Oleh: Taufik M Yusuf Njong
Fatwapedia.com – Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam kitabnya “Min Al-Fikr Wa Al-Qalb”(1) menceritakan sebuah kisah menarik yang terjadi antara Abu Hazim(2) dan Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik dengan tema “Laisa Hikmah, Bal Nifaq”. Jika diterjemahkan secara bebas, artinya kurang lebih “Bukan Bijaksana, Tapi Kemunafikan”.
Dari cerita tersebut, Syeikh Al-Buthi melalui Abu Hazim seolah ingin menjelaskan kepada kita bahwa seorang ‘Alim yang bijak itu bukan berarti ia harus selalu bersikap dan menggunakan kata-kata lemah lembut dalam berdakwah di setiap kondisi. Terkadang, kritikan yang tajam bahkan terhadap penguasa (terlebih penguasa zalim), justru menunjukkan betapa hikmah/bijaknya seorang ‘alim tersebut dalam berdakwah.
Kisah dimulai dengan kedatangan Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik ke Madinah dan keinginannya untuk bertemu dengan sisa-sisa para ulama (tabi’in) yang pernah bertemu dengan para sahabat Rasulullah Saw. Disebutlah nama Abu Hazim dan beliaupun dipanggil menghadap Khalifah. Ketika utusan Khalifah datang menyampaikan perintah Khalifah, Abu Hazim menjawab: “Aku tidak punya kebutuhan apapun dari Khalifah, jika dia membutuhkanku, hendaklah dia yang datang kesini…!”
Catatan pertama:
Sebagian da’i kontemporer kadang terlalu berlebihan dalam memahami keta’atan kepada Waliyul Amri dan terlalu mudah menuduh orang yang tidak ta’at kepada Waliyul Amri sebagai Khawarij. Dan semoga, tidak ada yang menuduh Abu Hazim sebagai khawarij karena penolakannya terhadap undangan dan perintah Amirul mukminin, Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik.
Kisah berlanjut, pada akhirnya, Khalifah lah yang datang menemui Abu Hazim dan meminta nasehatnya. Abu Hazimpun menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan seorang ulama kepada penguasa hingga kemudian Sulaiman Bin Abdul Malikpun menangis.
Khalifah kemudian berkata: “Apa pendapatmu tentang kondisi/posisi kami wahai Abu Hazim?”
Tanpa tedeng aling-aling Abu Hazim menjawab dengan lantang: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya nenek moyangmu telah memaksa umat ini dengan pedang, mereka telah merampas kekuasaan/pemerintahan tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin dan tanpa keridhaan mereka, hingga (karenanya) umat Islam (kemudian) terbunuh dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka semua sekarang sudah pergi (mati), andai kau mau merenungi ucapan mereka dan ucapan orang-orang terhadap mereka..!”
Seorang pengawal Khalifah yang kaget mendengar kelancangan Abu Hazim bergegas menukas: “Alangkah buruknya ucapanmu (terhadap Khalifah) wahai Abu Hazim…!”
Abu Hazim langsung menimpali: “Kau berdusta, sesungguhnya Allah SWT telah mengambil janji dari para ulama untuk menjelaskan (kebenaran) kepada semua orang dan tidak menutup-nutupinya..”
Catatan kedua:
Seorang ulama dituntut untuk berkata yang benar dan tidak segan mengkritisi penguasa jika kritik memang dibutuhkan. Kritik Abu Hazim terhadap Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik juga dilakukan di depan umum (setidaknya, didepan para pengawal Khalifah dan sebagian murid Abu Hazim) Wallahu A’lam. Ini penting dicatat, sebab ada sebagian kalangan ketika menyampaikan tentang hukum mengritik penguasa menggiring seolah-olah kritik terhadap penguasa hanya dibolehkan empat mata lalu menuduh mereka yg mengkritik penguasa secara terang-terangan di depan publik sebagai provokasi yang menjadi ciri khas khawarij.
Sebelum meninggalkan Abu Hazim, Khalifah kemudian meminta Abu Hazim untuk mendoakannya dan abu Hazimpun berdoa:
“Ya Allah, jika Sulaiman adalah wali-Mu, maka mudahkanlah urusannya di dunia dan di akhirat. Dan jika dia adalah musuh-Mu, maka tariklah ubun-ubunnya pada apa yang Engkau sukai dan ridhai..!”
Setelah Khalifah dan para pengawalnya pergi, sebagian orang yang berada di majelis itu kemudian menanyakan kepada Abu Hazim arti “hikmah” dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 125. Abu Hazim kemudian menjelaskan bahwa hikmah bukanlah “tameng” agar seorang ‘Alim itu selamat dan aman dari hal-hal yang memudharatkannya. Tapi, hikmah adalah siyasah (dan seni) bagaimana agar kebenaran itu sampai ke akal dan jiwa manusia dengan jelas. Abu Hazim menjelaskan bahwa hikmah bukan bersikap lembut dalam setiap kondisi, bukan juga bersikap keras dalam setiap kondisi. Tapi hikmah adalah bagaimana kita meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dan menyampaikannya kepada orang lain dengan cara yang paling cepat dan tepat.
Ya Allah, jika pemimpin kami adalah wali-Mu, maka mudahkanlah urusannya di dunia dan di akhirat. Dan jika ia adalah musuh-Mu, maka tariklah ubun-ubunnya pada apa yang Engkau sukai dan ridhai..!
Dan terakhir mari kita berdoa “seperti” doa Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim:
“Ya Allah, barangsiapa yang menjabat suatu jabatan dalam urusan/pemerintahan ummatku (umat Islam) lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia”.
Catatan kaki:
1. Al-Buthi, Min Al-Fikr Wa Al-Qalb, Hal: 202-210. Cet Dar El-Faqih.
2. Nama Abu Hazim adalah Salamah bin Dinar, berasal dari ras Persia. Beliau salah satu dari 7 ulama Madinah yang masyhur dimasanya. Dikenal sebagai pribadi yang zuhud dan ahli Ibadah. Beliau wafat tahun 140 H di masa pemerintahan Khalifah Al-Manshur dari dinasti Abbasiyah.
Wallahu A’lam.