Oleh: Shadiq Sandimula
Fatwapedia.com – Aktivitas bekerja merupakan kegiatan ekonomi manusia yang paling mendasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di era modern yang penuh dengan “hectic” dunia kerja, seringkali mengarahkan seseorang pada perilaku menyimpang dalam bekerja yang disebut dengan “suicidal work ethics” atau “etos kerja bunuh diri”, yakni pemaksaan untuk memenuhi target kerja sehingga mengorbankan diri sendiri, baik waktu, perasaan, dan tentu kesehatan diri.
Dalam Islam, bekerja itu sendiri merupakan perbuatan yang terpuji asalkan dijadikan sarana untuk mencapai tujuan yang dibenarkan dalam agama, yaitu untuk mencapai kemandirian diri yang hal tersebut membantunya untuk merealisasikannya dirinya sebagai hamba Tuhan. Dengan niat dan tujuan tersebut, maka bekerja akan dinilai menjadi sebuah ibadah yang sangat dianjurkan.
Dalam konteks ini al-Khallâl dalam bukunya al-Hats ala al-Tijarah menyebutkan sebuah riwayat dari sahabat Umar yang secara eksplisit menyatakan bahwa mencari rezeki merupakan bentuk ibadah (ibâdah) dan pengakuan (taṣdîq) kepada Allah. Rezeki dalam redaksi hadith ini disebut dengan ‘fadhl Allah’ yang merujuk pada al-Qur’an (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10):
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ.
“Dan apabila telah ditunaikan ibadah shalat Jumat, maka bertebaranlah di atas muka bumi, serta carilah karunia dan rezki Allah, dan sebanyak mungkin ingatlah Allah, agar mudah-mudahan kalian beruntung”.
Al-Zuhaylî menafsirkan ayat tersebut dengan rezeki yang telah Allah lebihkan kepada para hambaNya melalui keuntungan yang diperoleh dari usaha dan pekerjaan, meski demikian dia tidak boleh lalai dari mengingat Tuhan dalam aktivitasnya itu.
Bekerja merupakan suatu bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah dengan syarat bahwa hal tersebut merupakan pekerjaan dengan hasil yang halal. Bahkan bekerja untuk memperoleh hasil yang halal merupakan anjuran kuat dalam agama. Hal tersebut didukung dengan sabda Nabi, bahwa hal yang paling baik yang dimakan oleh seseorang adalah hasil usahanya sendiri:
إنَّ أطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ.
“sebaik-baik makanan yang dikonsumsi oleh seorang adalah apa yang dia peroleh dari hasil usaha kerjanya sendiri.”
Hadith ini memiliki kesamaan makna dengan banyak hadith yang memiliki redaksi yang hampir sama tentang terpujinya usaha untuk mencari penghidupan yang dilakukan oleh diri sendiri. Penggunakan redaksi ‘athyab’ dari kata thayyib dimaknai sebagai sesuatu yang paling utama (afḍal) dari segala jenisnya.
Izutsu menjelaskan bahwa kata thayyib merupakan salah satu konsep Ethico-Religious dalam Islam, yakni suatu sifat (adjective) yang menandakan makna denotatif berupa kualitas apapun yang memilik kesan kenikmatan, kenyamanan, dan manis. Yakni, pada dasarnya, bekerja serta memperoleh penghasilan untuk menghidupi diri sendiri merupakan berbuatan yang memiliki kesan manis dan penuh penghargaan, sebab dilakukan atas usaha keras diri sendiri (self effort and self achievement).
Bekerja juga merupakan sarana untuk melakukan ibadah, al-Khallâl menjelaskan bahwa seseorang boleh melakukan ibadah spiritual tatkala dia telah mampu untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Dia mencela perbuatan zuhd terhadap dunia namun tidak dibekali dengan kekuatan material. Hal ini bermakna bahwa bekerja merupakan sarana seseorang untuk sampai pada keadaan dia bisa memfokuskan diri melakukan ibadah tanpa bergantung pada orang lain terkait keperluan hidupnya.
Jika konsep etika Protestan itu menggunakan alasan pencapaian spiritual sebagai legitimasi untuk memperoleh kemaslahatan material dengan konsep ‘innerweltlitche askese’, maka dalam Islam bekerja itu sendiri sebagai sarana beribadah yang berorientasi pada pencapaian kemaslahatan spiritual.
Kemudahannya dalam menjalankan kehidupan dunia dengan adanya harta dari hasil usahanya sendiri merupakan kemudahan pula baginya untuk mengamalkan agamanya. Hal itu berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh al-Khallâl:
نِعْمَ الْعَوْنُ الْغِنَى أَوِ الْيَسَارُ فِي الدِّيْنِ.
“Sebaik-baik pertolongan untuk agama adalah kecukupan dan kemudahan diri secara material.”
Seseorang yang memiliki kelebihan harta, maka mudah baginya untuk beramal sosial, dimana hal tersebut dipuji dalam agama. Dalam konteks ini orang yang memiliki kelebihan harta lebih utama dari orang yang fakir. Al-Khallâl juga menjelaskan bahwa bekal berupa harta (zâd) harus dimiliki seseorang sebelum dia mengamalkan ajaran agamanya yang memang mensyaratkan kemampuan fisik dan finansial sebagai sarana tercapainya tujuan keagamaan itu.
Dimana dalam Islam, kebahagiaan akhirat memiliki korelasi yang sangat dekat dalam kehidupan dunia sebagaimana yang diungkapkan al-Ghazali, meliputi tiga hal: 1) Diri (Nafsiyyah), seperti pengetahuan dan akhlak yang baik; 2) Tubuh (Badaniyyah), seperti kesehatan dan keamanan; dan 3) Hal eksternal (Khârijiyyah), seperti kekayaan dan lingkungan sosial yang baik. Wallahu a’lam.