Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika seorang suami diuji dengan istri yang berlisan tajam dan berakhlak buruk, maka yang terbaik tentu saja bersabar dan tabah.
Hanya saja makna bersabar dan tabah ini selalu bergandengan dengan memaafkan.
Tidak dikatakan bersabar dan tabah jika seorang suami diam, tapi memendam seraya memelihara kekecewaan. Memendam marah. Memendam sakit hati. Memendam benci. Apalagi memendam dendam.
Ciri bahwa suami telah sabar, tabah dan memaafkan adalah menjalankan fungsi suami sebagai pakaian sebaik-baiknya. Karena Allah menyebut pasangan suami istri itu seperti pakaian bagi masing-masing. Yakni menutupi aib istrinya dan berusaha membela sekuat tenaga jika ada siapapun yang berusaha ingin melecehkan kehormatan sang istri. Malahan, tingkat memaafkan yang sangat tinggi itu terkadang mencapai level tidak ingat apa saja keburukan istri dan susah menceritakan perlakukan buruk apa saja yang pernah didapatkan dari istri.
Suami seperti inilah yang telah melaksanakan ayat Al-Qur’an sebagai berikut,
وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ [التغابن: 14]
Artinya, “… jika kalian memberikan ‘afwun, shofhun, dan ghufron (kepada istri dan anak-anak kalian) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang …” (Q.S. al-Tagābun: 14)
Yakni memaafkan istri sampai level ṣafḥun (memaafkan istri sampai level menolak untuk mengomelinya), gufrān (memaafkan istri sampai level menutupi kesalahannya) dan afwun (menghapus kesalahan istri dalam ingatan).
Suami seperti itu pulalah yang bisa kita lihat pada kisah ulama yang bernama Ibnu al-Labbād saat diuji istri berakhlak buruk berlisan pedas. Yakni demikian sabar, tabah dan bagusnya dalam memaafkan istri sampai-sampai beliau menolak untuk menceraikan istri. Menolak mencerai bukan karena cinta, tapi mencegah orang lain menderita. Yakni mencegah ada lelaki lain yang menikahinya sehingga dia menderita karena keburukan akhlaknya.
***
Adapun jika seorang suami diperlakukan buruk oleh istri lalu dia diam tapi tidak memaafkan, maka yang seperti ini akan menumpuk kekecewaan.
Artinya, diamnya sang suami bukan karena sabar dan bukan karena tabah. Tetapi diam karena memang jiwanya yang tidak sanggup untuk bertengkar.
Dia diam, tapi sambil memendam kecewa.
Kekecewaan itu lama-lama bisa menumpuk menjadi sakit hati.
Jika dibiarkan, sakit hati itu lama-lama bisa menjadi benci.
Bahkan benci itu lama-lama menjadi dendam.
Ciri suami yang sudah sangat kecewa kepada istrinya dan sakit hati adalah membiarkan istrinya dihinakan, dilecehkan, dan dibongkar aibnya. Bukannya membela, tapi justru malah mengiyakan, mengafirmasi, bahkan bisa jadi malah menambahi dan ikut-ikutan menghancurkan reputasi istrinya.
Jadi, fungsi suami sebagai pakaian istri sudah tidak jalan lagi.
Seakan-akan suami dalam situasi tersebut berkata,
“Dulu engkau menzalimiku sedemikian rupa. Engkau melecehkan kehormatanku. Engkau tidak bisa menghormati aku. Engkau tidak menaatiku. Engkau menghinakan aku sekian lama. Sekarang Allah membalasmu dengan penghinaan orang kepadamu. Rasakanlah balasan atas perbuatan jahatmu kepada suamimu. Al-jazā’ min jinsil ‘amal”!
Seakan-akan puas rasanya sang suami melihat istrinya dipandangnya telah “memetik” buah dari perlakukannya selama ini!
***
Tentu saja sikap suami yang demikian itu keliru.
Sabar itu bukan hanya diam, tapi juga digandeng dengan memaafkan.
Jika suami diam tapi memendam, kecewa, sakit hati, benci bahkan dendam maka diamnya berarti bukan karena sabar, tabah dan mengharap pahala dari Allah, tetapi diam karena lemah saja.
Yakni lemah untuk bertindak tegas atau bahkan keras. Beberapa lelaki memang punya watak bawaan seperti itu. Yakni orang mengiranya sabar, padahal sebenarnya lemah jiwanya.
***
Daripada memendam benci dan sakit hati, lebih baik suami berkata keras dan tegas kepada istri dengan maksud amar makruf nahi mungkar, walaupun dengan nada marah. Selama tetap berusaha menjaga ucapannya agar tidak melampaui batas. Kemudian beristighfar dan meminta maaf kepada istri jika saat kondisi marah sebelumnya ada kata-kata yang melampaui batas.
Ini dalam psikologi sekalipun malah dipandang baik, karena melepaskan emosi itu malah berperan dalam menyehatkan jiwa dan menghindarkan orang untuk memendam sakit hati dan kebencian.
Jika tidak sanggup bersabar, tidak sanggup memaafkan , tidak sanggup menghilangkan sakit hati, tapi juga tidak sanggup bertengkar maka lebih bertakwa melepas istri yang berlisan kotor dan berakhlak buruk tersebut. Yakni mencerai baik-baik dalam suasana persahabatan dan bebas dari kebencian. Itulah yang disebut dengan tasrīhun bi iḥsān dalam Al-Qur’an. Mempertahankan istri berakhlak buruk, tapi tidak mendapatkan kebaikan dunia, sudahpun begitu kebaikan akhiratpun juga tidak dapat adalah bentuk penyiksaan diri yang tidak bijaksana.
***
Para istri semestinya juga mengenal betul karakter suaminya.
Sebab mustahil istri tidak pernah melakukan kesalahan.
Jadi, mengenali karakter suami akan membantu menjaga keutuhan rumah tangga.
Jika suami termasuk saleh luar biasa, sangat sabar dan pemaaf maka Anda adalah di antara istri yang paling beruntung di dunia. Banyak bersyukurlah dan tingkatkanlah kualitas pergaulan dengan suami. Taat dan hormati suami. Semaksimal mungkin.
Jika suami termasuk tipe blak-blakan, melampiaskan emosi seketika saat sakit hati atau kecewa, maka bersyukurlah juga. Karena tandanya suami ingin menyelesaikan kekecewaan dan sakit hatinya seketika. Dengarkan saja dan mintalah maaf setelah itu. Biasanya jika minta maaf ini dikombinasi dengan menyenangkan suami di atas ranjang, maka selesailah kekecewaan tersebut dan rumah tangga kembali seperti sedia kala.
Jika suami termasuk tipe pendiam, tetapi memendam sakit hati, ini yang justru Anda harus waspada. Sebaiknya segera mengaku dosa dan meminta maaf. Jangan sampai menumpuk. Sebab ini hanya menunggu waktu saja untuk meletus. Begitu muncul wanita lain yang dipandangnya lebih “sempurna” , lebih menghormatinya, lebih menghargainya, lebih memuliakannya, lebih memanjakannya, dan lebih menaatinya maka seluruh aib Anda bisa dibongkar habis-habisan dan dicurhatkan kepada wanita “sempurna” itu. Setelah itu sang suami justru malah akan “bersorak” jika Anda dilecehkan di depan umum, karena merasa itu pembalasan yang tepat atas “kejahatan” Anda selama ini.