Fatwapedia.com – Sesiapa yang menginginkan hafal Al-Quran secara permanen (tidak pernah lupa), bolehlah mengikuti nasehat dan masukan yang disampaikan oleh Syekh Yusri Jabr, Mursyid Tarekat Syadziliyah Ghumariyah di Mukattam, Kairo, Republik Arab Mesir.
Nasehat pertama: Orang yang rutin mengkhatamkan Al-Quran selama sebulan sekali. Sebulan sekali khatam, sebulan sekali khatam. Begitu seterusnya.
Cara menghafal seperti ini, kata Syekh Yusri, selamanya tidak akan pernah lupa. Namun, kekuatan hafalannya masih rentan dan berpotensi kecil untuk lupa sewaktu-waktu.
Pasti anda mengenal sosok ulama asal Syam, bernama Syekh Said Ramadhan Al-Buthi. Lebih ciamik lagi, beliau bisa membaca khatam Al-Quran sekali dalam tiga hari. Jika mulai membuka mushaf hari Ahad, maka di penghujung hari Selasa sudah membaca do’a khatam Al-Quran. Luar biasa. Beliau menjalaninya dalam waktu yang lama, sampai tidak terasa buah dari konsistensi itu, beliau bisa menghafal Al-Quran dengan sendirinya.
Nasehat Kedua: Orang yang rutin mengkhatamkan Al-Quran setiap dua minggu sekali. Ini lebih baik hafalannya ketimbang tipe pertama tadi. Lebih baik hafalannya di sini maksudnya bila ditilik dari segi keakuratan.
Nasehat Ketiga: Adapun orang yang rutin mengkhatamkan Al-Quran selama seminggu sekali tidak akan pernah salah, hafalannya tidak akan melenceng (bedakan, “salah” bukan “lupa” lagi).
Syekh Yusri memiliki seorang guru, namanya Syekh Abdul Hakim. Selama dua puluh tahun, guru Syekh Yusri ini konsisten mengkhatamkan Al-Quran sekali dalam seminggu.
Bayangkan, Konsistensi Syekh Abdul Hakim mengkhatamkan Al-Quran sekali perminggu ini terjadi selama dua puluh tahun, berarti setahun beliau mengkhatamkan Al-Quran sebanyak 52 kali. 52 kali khatam Al-Quran terulang selama dua puluh kali. Artinya, 1,040 kali Syekh Abdul Hakim pernah mengkhatamkan Al-Quran.
Syekh Yusri mengatakan, bahwa suatu ketika guru beliau itu shalat sunah Tarawih berjamaah bersama dengan beliau di bulan Ramadhan. Dan Syekh Abdul Hakim tidak pernah tidur. “Dari sejak Isya sampai Subuh, selama mengimami kita shalat, beliau tidak pernah salah,” kenang beliau.
Sesudah Syekh Abdul Hakim capek mengimami, Syekh Yusri sebagai murid pun turun mengimami, menyempurnakan shalat tersebut.
Syekh Abdul Hakim mendapatkan cara atau metode seperti ini dari guru beliau, Syekh az-Zayyat, kemudian Syekh Yusri mendapatkan metode ini dari guru beliau, Syekh Abdul Hakim. Iinilah yang dinamakan sebagai sanad atau silsilah keilmuan.
Setiap bulan Ramadhan tiba, kita masih menyaksikan bagaimana cara Syekh Kinasih Yusri menghidupkan malam. Dengan apa lagi kalau bukan dengan apa yang dicontohkan dan didapatkan dari guru beliau, Syekh Abdul Hakim.
Syekh Yusri suatu ketika pernah bertanya kepada Syekh Abdul Hakim, “Wahai Syekh, saya perhatikan mengapa hafalan engkau tidak pernah salah atau keliru?”
“Orang yang rutin mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali, pasti bakal jadi seperti itu (tidak pernah keliru hafalan Al-Qurannya),” jawab sang guru.
Kemudian Syekh Yusri membeberkan salah satu tips dan kiat agar kita bisa khatam Al-Quran dalam waktu seminggu sekali.
Metode ini terkenal dengan rumus Arab yang berbunyi فمي مشوق atau Fammi Musyawaq.
Sebagaimana jumlah hari yang ada tujuh dalam seminggu, begitu pun kalimat Fammi Musyawaq dalam bahasa Arab itu ada tujuh huruf.
- Hari pertama: sesuai dengan rumus tadi, diawali dengan huruf ‘Fa’ dan setelahnya huruf ‘Mim’. Artinya, membaca atau menghafal Al-Quran dari mulai surat Al-Fatihah (Fa) sampai surat Al-Maidah (Mim).
- Hari kedua: dari surat Al-Maidah (Mim) sampai surat Yunus (Ya).
- Hari ketiga: dari surat Yunus (Ya) sampai surat Maryam (Mim).
- Hari Keempat: dari surat Maryam (Mim) sampai surat Al-Syu’ara (Syin).
- Hari kelima: dari mulai surat Asy-Syu’ara` (Syin) sampai Ash-Shaffat (Waw)
- Hari keenam: dari mulai surat Ash-Shaffat (Waw) sampai surat Qaf (Qaf).
- Hari ketujuh, dari surat Qaf (Qaf) sampai akhir surat dalam Al-Quran (Surat An-Nas).
Semoga kita bisa meneladani apa yang disampaikan oleh Syekh Yusri. Amin.
Komentar
Qultu (aku berkata): Saya pribadi (penulis) tidak pernah secara khusus mengkhususkan waktu untuk menghafal Al-Qur’an (kalaupun mengikuti beberapa program tahfizh niatnya hanya agar bacaan saya bisa disimak koreksi oleh guru-guru mulia) sebab khawatir kalau-kalau -dalam guliran waktu dan tumpukan dosa- Qur’an melupakan saya atas teks-teks suci yang telah saya hafalkan. Sebagai alternatif pilihan saya mengikuti tips dari Guru kami Al-Ustaz Abdul Syakur Al-Hafizh sebagaimana Guru Beliau -al-Maghfurlahu- Mbah Yai … -saya tidak ingat- menghafal Al-Qur’an yakni dengan dawam mengkhatamkannya sampai ‘hafal dengan sendirinya’ -apakah berhenti ketika sudah hafal?- tentu tidak, tapi terus membaca, memahami, dan mengamalkan ilal lahdi. Di sinilah hamilul quran itu.
Saya pun meng-iya-kan, pasalnya, dulu ketika kecil diajari oleh orang tua kalau tiap pagi baca al-Waqiah dan senjanya wirid al-Mulk, kalau jumat baca Yasin. Kemudian di langgar kampung tiap jumat subuh selalu baca al-Sajdah dan al-Dahr, hasilnya ketika menjelang usia belasan tanpa sadar saya telah hafal ayat-ayat itu. Di sinilah (barangkali) bukti bahwa qur’an itu memang mudah.
Karena bagi saya, -sebagaimana pesan Ibnu al-Qayyim- bahwa yang disebut ahlul qur’an itu bukanlah orang yang sekeder hafal qur’an, fasih dan mutqin dalam membaca ayat-ayat suci tapi minus pemahaman, maka lebih dari itu yakni nilai-nilai quran bisa hadir dalam selaksa keseharian, dalam relasi-interaksi baik horizontal dan vertikal sepanjang hidup. Untuk bisa memahami dan mengamalkan apa yang ada di dalam qur’an ini lebih penting dan lebih sulit. Kalau sekedar hafal, orientalis saja ada yang hafal qur’an. Penguasa zalim seperti Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafy memiliki hafalan yang luar biasa, bahkan berjasa besar terhadap qur’an
Pada akhirnya, titah hafal menghafal qur’an sejatinya menyiratkan pesan penting bahwa tujuan qur’an dibaca dan dihafal ialah difahami, ditadabburi dan diamalkan, sepanjang hayat masih dikandung badan, itulah salah satu cara Allah untuk menjaga autentitas qur’an. Sehingga energi quran mampu mewarnai kehidupan di zaman kini hingga nanti. Bahkan menyiratkan makna transformasi dunia dari gelap gulita yang diselimuti kemusyrikan dan kebodohan menjadi terang benderang dengan cahaya tauhid dan ilmu.
Oleh: Ahmad Fauzan Azima