Fikroh.com – Jika membahas sejarah suatu kejadian atau tokoh, seringkali ada beberapa versi ditemukan. Ada versi “pemenang” yang cenderung membesar-besarkan pahlawan yang diusungnya. Ada pula versi “orang yang kalah” yang cenderung menjelek-jelekkan si pemenang. Serta ada juga “versi netral” yang menceritakan apa adanya…
Cara memandang tokoh sejarah tergantung pada versi sejarah mana yang dibaca. Kalau seseorang membaca versi pemenang, misalnya kalau membaca sejarah Soviet yang ditulis oleh sejarawan Soviet, maka tentu Joseph Stalin (Ioseb Besarionis dzе Jughashvili) akan dinarasikan sebagai pahlawan hebat, suka menolong, hormat guru, sayang teman, dan rajin menabung… sedangkan kalau membaca sejarah narasi dari orang-orang Selatan (ex-Confederate States) tentang Ulysses S. Grant, maka akan ditemukan sosok tokoh yang pemabuk, korup, suka KKN, kejam, egois, dan tak peduli pada korban yang jatuh pada anak buahnya.
Ya begitulah sejarah, tergantung versi siapa yang menulisnya… maka begitu pula tentang akhir kehidupan dari Gajah Mada, sang Mahapatih dari Kerajaaan Majapahit. Iya, ternyata ada 2 versi dari akhiran tentang sosok Gajah Mada ini yang ditulis dua pihak yang berbeda.
Mau tahu?
Baiklah, ada dua versi yaitu versi Nāgarakṛtâgama (versi resmi dari Kerajaan Mahajapahit) dan versi Kidung Sunda (versi netral). Kenapa dikatakan versi Kidung Sunda ini relative “netral”? Karena ia ditemukan oleh sejarawan bangsa Belanda di Bali, bukan di tanah Pasundan / Parahiyangan.
Kisahnya dimulai saja dari Perang Bubat yang diawali dari niyat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda yang katanya sangat cantik dan putih. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya sebuah lukisan sang Putri (yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu bernama Sungging Prabangkara) di Kerajaan Majapahit. Menurut catatan sejarah Pajajaran (oleh Saleh Danasasmita dan oleh Yoseph Iskandar), niyat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda, karena Raden Wijaya (pendiri Majapahit) dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya Rakeyan Jayadarma, raja Kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara. Di dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh yang berasal dari Pajajaran. Sedangkan sebagai raja, alasan politik dari Hayam Wuruk berniyat memperistri Dyah Pitaloka untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.
Maka keluarga Kerajaan Majapahit pun mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka, di mana upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak Dewan Kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya berkeberatan -khususnya Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati- dengan cara ini, sebab menurut adat yang berlaku pada saat itu adalah tidak lazim pihak pengantin perempuan yang datang kepada pihak pengantin laki-laki. Selain itu, para penasihat kerajaan menduga bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik dari Majapahit yang saat itu sedang berusaha keras melebarkan kekuasaannya di Nusantara. Walaupun ada banyak keberatan dari para penasihatnya, Maharaja Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat bersama dengan rombongan ke Majapahit, karena ia memandang rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negeri tersebut.
Saat rombongan Kerajaan Sunda sampai di tanah Majapahit, mereka diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta dengan Permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka, dan diiringi hanya sedikit prajurit pengawal elité saja (karena niyatnya melakukan pesta pernikahan).
Menurut Kidung Sundâyana, karena melihat lemahnya pengawalan terhadap Raja Sunda tersebut, timbul niyat Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda dalam rangka memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ketika itu di pulai Jawa, semua kerajaan sudah ditaklukkan oleh Majapahit, namun hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri oleh Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, akan tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu, dan ia membiarkan Gajah Mada yang melakukan perundingan.
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada yang diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya dianggap sebagai memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan dalam rangka undangan pernikahan.
Gajah Mada tidak bergeming, dan tanpa menunggu Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (namanya: Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai Ksatria Sunda, Linggabuana menolak intimidasi itu sehingga terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkara yang berjumlah besar dan bersenjata lengkap, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (namanya: Balamati) yang berjumlah kecil dan hanya dengan persenjataan pengawalan (bukan untuk perang).
Peristiwa di Pesanggrahan Bubat itu berakhir dengan gugurnya Maharaja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga Kerajaan Sunda yang datang ke Bubat. Disebutkan bahwa sang Putri Dyah Pitaloka melakukan “bela pati” (arti: bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya) di mana ini diikuti oleh segenap perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan maupun abdi, karena mereka menolak diperlakukan sebagai tawanan dan dijadikan budak.
Akibat peristiwa di Pesanggrahan Bubat itu, Raja Hayam Wuruk menjadi sangat marah kepada Gajah Mada dan menonaktifkannya dari jabatannya sebagai Mahapatih, lalu mengasingkannya ke Madakaripura di Tongas (daerah Probolinggo sekarang).
Di dalam Nāgarakṛtâgama diceritakan hal yang sedikit berbeda, dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara, maka Hayam Wuruk menganugerahkan dukuh “Madakaripura” yang berpemandangan indah di Tongas kepada Gajah Mada. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih, hanya saja ia memerintah dari Madakaripura. Namun intinya sama saja, kalau di Kidung Sunda Gajah Mada diasingkan ke Madakaripura sedangkan di Kakawin Nāgarakṛtâgama ia diberikan “hadiah” tanah perdikan di Madakaripura. Keduanya sama-sama maknanya “dicopot” dan “diasingkan”, hanya beda penarasian saja.
Dikisahkan pula bahwa Gajah Mada “moksa” (mati namun dengan jasad hilang lenyap).
Demikianlah kisah akhiran dari orang yang telah berbuat tidak ksatria dan makar jahat di Zaman Doeloe Kala.
Oleh: Arsyad Syahrial