Fatwapedia.com – Empat ratus orang Bani Israil setiap harinya sibuk menyiapkan ritual ibadah untuk kaumnya. Mereka melengkapi segala sesajen dan persembahan untuk sebuah patung besar berbentuk wanita. Empat ratus juru kunci itu mengabdi dan melayani si berhala. Patung itu terletak di Kota Ba’labak, sebuah kota di sebelah barat Damaskus, Lebanon. Patung setinggi dua puluh hasta itu ditempatkan di sebuah bangunan altar. Altar tersebut lebih dikenal dengan Heliopolis sedangkan berhala itu sendiri disebut dengan Ba’l.
Bani Israil meyakini bahwa semua juru kunci itu sebagai nabi utusan si berhala. Berhala inilah yang menyesatkan Bani Israil. Kenapa berhala tersebut begitu diagungkan? Bukankah ia hanyalah batu berpahat saja? Rupa-rupanya, berhala besar itu bisa berbicara. Segala ucapan berhala dijadikan sebagai syariat agama Bani Israil. Betulkah berhala itu berbicara? Ternyata, yang sebenarnya berbicara adalah setan yang masuk ke dalam rongga berhala. Kira-kira syariat apa yang disampaikan oleh setan? Apa lagi kalau bukan kesesatan.
Bani Israil saat itu benar-benar telah meninggalkan ajaran Taurat. Kondisi mereka dengan sesembahan baru, Ba’l, yang memiliki empat wajah, betul-betul memprihatinkan. Mereka telah jauh melupakan ajaran Musa ‘alaihis salam. Mereka tiada lagi bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebaik-baik Pencipta, Rabb alam semesta, ditinggalkan begitu saja. Lalu, mereka memilih menyembah Ba’l, sebuah berhala yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kejadian ini berlangsung sepeninggal Nabi Hizqil ‘alaihis salam.
Singkat cerita sebelum peristiwa itu, di zaman Nabi Hizqil ‘alaihis salam ada seorang raja yang sangat kuat. Nama raj tersebut Nashr dari Babylonia. Dialah yang membunuh raja-raja lain pada masa itu. Nashr membuka benteng-benteng lalu membunuh siapa saja yang berada di dalamnya. Sehingga, orang-orang Yahudi Bani Israil melarikan diri ke Mesir. Tak lama setelah kejadian itu, sebagian orang Yahudi pergi ke daerah Babylonia. Mereka lantas menangkap Hizqil ‘alaihis salam dan membunuhnya. Jasad Hizqil kemudian dikubur di daerah tersebut.
Kejahatan Bani Israil semakin berderet panjang. Tak hanya membunuh para nabi, Bani Israil melupakan perjanjian mereka kepada Allah. Mereka membuat hal-hal baru dalam agama. Bahkan mereka menyembah berhala. Di antara deretan berhala yang mereka sembah bernama Ba’l. Demi mendakwahkan tauhid lagi, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Ilyas bin Yasin bin Fanhash bin Al Izar bin Harun bin Imran. Ada yang mengatakan bahwa Nabi Ilyas adalah Nabi Idris ‘alaihis salam.
Nabi Ilyas ‘alaihis salam adalah pemegang urusan Bani Israil sepeninggal Nabi Hizqil. Dalam dakwahnya, ia berkata kepada kaumnya, “Wahai kaum, tidakkah kalian bertakwa kepada Allah? Tidakkah kalian takut akan azab dan siksa-Nya? Kenapa kalian meninggalkan sebaik-baik Pencipta dan malah memilih menyembah Ba’l? Kenapa kalian meninggalkan Allah, sesembahan kalian dan sesembahan nenek moyang kalian yang terdahulu?” Tidak hanya sekali, Nabi Ilyas mengajak Bani Israil untuk kembali kepada ajaran Musa ‘alaihis salam.
Memang, mengajak kepada kebenaran itu jauh lebih sulit dibandingkan mengajak kepada kejelekan. Akan ada permusuhan dan perlawanan serta penentangan. Oleh karena itu, dibutuhkan kegigihan dan kesabaran dalam berdakwah di jalan Allah. Hal inilah yang dirasakan oleh Nabi Ilyas, dan para pendakwah kebenaran yang lain. Dan demikianlah sunnatullah hingga akhir zaman nanti. Jadi, jangan terlalu bersedih saat anda mengajak orang lain berbuat kebaikan kemudian mendapat perlawanan dan penentangan. Anda bukan orang pertama yang mengalaminya. Anda hanyalah orang dalam urutan kesekian dan akan ada lagi orang-orang setelah anda yang kelak akan mendapat gilirannya. Bersabar dan bertawakallah.
Tidak ada yang menyambut seruan dakwah nabi ini kecuali beberapa saja. Ada seorang raja di masa itu yang beriman terhadap ajaran Nabi Ilyas. Jumlah raja di tengah Bani Israil lumayan banyak. Mereka tersebar di daerah-daerah. Tidak satupun dari para raja tersebut yang mau beriman kepada Nabi Ilyas kecuali satu saja. Raja yang beriman ini tinggal satu daerah dengan Nabi Ilyas. Hanya saja, keimanannya tidak bertahan lama. Ia tidak sabar dan tidak kuat menanggung beban iman.
Pada suatu hari raja tersebut berkata kepada Nabi Ilyas, “Wahai Ilyas, tidaklah aku melihat apa yang kamu dakwahkan ini melainkan kebatilan. Sungguh, aku melihat sekian raja Bani Israil menyembah berhala. Namun, kondisi mereka sama dengan kondisi kita. Mereka makan dan minum dengan enak seperti kita. Bahkan dunia mereka tidak berkurang sekalipun mereka beribadah kepada para berhala. Saya tidak melihat bahwa kita ini lebih baik dari mereka.”
Raja tersebut ternyata memandang bahwa ukuran kebenaran itu adalah dunia. Pada ujungnya, raja tersebut memilih untuk murtad. Ia kembali menyembah berhala dan berbuat seenaknya seperti Bani Israil yang lain. Sehingga, tidak ada seorang pun yang beriman kepada Nabi Ilyas. Mereka justru semakin melampaui batas. Bani Israil tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran Nabi Ilyas. Setiap kali didakwahi, Bani Israil menentang. Setiap kali diajak kepada kebaikan, Bani Israil melawan. Setiap kali diperingatkan dari kejelekan, Bani Israil mencibir.
Nabi Ilyas ‘alaihis salam kemudian berdoa kepada Allah, “Ya Allah sesungguhnya Bani Israil telah enggan. Mereka lebih memilih untuk beribadah kepada selain-Mu. Maka dari itu, cabutlah segala kenikmatan-Mu dari mereka.” Allah yang Mahaadil lagi Mahabijak mendengar dan mengabulkan doa tersebut. Akhirnya hukuman ditimpakan kepada Bani Israil. Selama tiga tahun berturut-turut, hujan tidak turun. Bani Israil dilanda paceklik panjang. Musim kemarau tak kunjung usai. Tak setetes air hujan pun turun. Sumur dan sungai kering. Tanaman menguning lalu berubah menjadi coklat hingga akhirnya mati. Hewan ternak kehausan. Tidak ada sumber air yang bisa dijadikan untuk bertahan hidup.
Di saat kemarau panjang mendera Bani Israil, Nabi Ilyas mengasingkan diri. Rupa-rupanya Bani Israil ingin mencelakakannya. Maka dari itu, ia berusaha untuk bersembunyi dari kaumnya. Alkisah, kelaparan melanda seluruh Bani Israil, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dari kaum laki-laki hingga kaim wanita. Bagaimana tidak demikian, sumber air kering, sekian ladang terbengkelai, tanaman dan tumbuhan mati, hewan ternak kehausan. Tidak sedikit yang mati kelaparan.
Namun, ada sebuah keajaiban yang dialami oleh Nabi Ilyas ‘alaihis salam. Di manapun ia singgah, di situ dijumpai makanan, roti maupun minuman. Oleh karena itu, ketika mencium bau sedap sebuah makanan dari suatu rumah atau daerah, Bani Israil menyimpulkan bahwa di situ ada Nabi Ilyas. “Ilyas pasti batu saja di tempat ini,” gumam mereka. Bani Israil kembali memburu Nabi Ilyas. Sebab, mereka menganggap Nabi Ilyas sebagai biang keladi atas semua musibah yang menimpa mereka. Bani Israil ingin membalasnya. Mereka hendak menimpakan kejelekan kepadanya.
Dari satu rumah berpindah ke rumah yang lainnya. Dari satu daerah hijrah ke daerah selanjutnya. Demikian seterusnya. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil. Setiap gagal menemukan Nabi Ilyas, Bani Israil menumpahkan kejengkelan mereka kepada pemilik rumah atau penduduk daerah tersebut. Orang yang tidak bersalah menjadi korban pelampiasan kemarahan. Sungguh kezaliman yang luar biasa.
Hingga pada suatu malam, Nabi Ilyas ‘alaihis salam singgah di rumah salah seorang kerabatnya. Di dalam rumah tersebut terdapat seorang pemuda. Pemuda yang ternyata bernama Ilyasa’ itu terbaring sakit. Seluruh penghuni rumah sepakat merahasiakan keberadaan Nabi Ilyas dari Bani Israil. Mereka tidak ingin Nabi Ilyas diketahui oleh kaum yang zalim itu. Di saat itulah, Nabi Ilyas mendoakan kesembuhan bagi Ilyasa’. Secara nasab, Ilyasa’ adalah keponakan Nabi Ilyas.
Si pemuda Ilyasa’ akhirnya beriman terhadap ajaran Nabi Ilyas. Kemanapun Nabi Ilyas ‘alaihis salam pergi, ia menemani. Kemanapun Nabi Ilyas berpindah, ia menyertai. Dari pamannya pemuda ini mempelajari segala ajaran kebenaran. Ilyasa’ bermulazamah kepada Nabi Ilyas. Dipahami dan dicernanya baik-baik setiap yang diajarkan sang paman. Sampai akhirnya, usia Nabi Ilyas menginjak senja. Badannya tak sekuat saat muda. Di waktu yang sama, Ilyasa’ semakin terlihat matang dan dewasa.
Sudah seribuan hari, hujan tak kunjung tiba. Sedangkan wabah kelaparan semakin hebat saja. Dengan hukuman ini, Bani Israil mulai sadar. Mereka lantas mendatangi Nabi Ilyas, memintanya berdoa kepada Allah agar menghilangkan musibah ini. Untuk meyakinkan permintaan tersebut, Bani Israil berjanji akan beriman jika musibah itu benar-benar hilang. Nabi Ilyas memenuhi permintaan mereka dan memegang janji tersebut. Betul, doa tersebut didengar Allah subhanahu wa ta’ala. Seketika itu hujan turun dari langit. Bumi menjadi basah dengan rahmat dan berkah dari Allah. Hujan itu sebagai salah satu bukti kebenaran dakwah Nabi Ilyas ‘alaihis salam.
Bani Israil bergembira dengan kondisi ini. Mereka yang dulu merindukan tetes air hujan, kini terobati. Sumur dan sungai terisi kembali. Tanaman mulai menghijau lagi. Dan hewan-hewan ternak dapat minum sehingga menghasilkan daging dan susu yang melimpah. Namun, ternyata Bani Israil tetaplah Bani Israil. Bukannya bersyukur dengan nikmat ini tapi mereka justru kufur. Dan demikianlah Bani Israil. Nikmat dibalas dengan maksiat. Karunia ditimpali dengan dosa. Mereka kembali kepada kesesatan. Janji hanyalah sebatas janji. Dengan nikmat ini, Bani Israil justru menjadi lebih kufur dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Penentangan Bani Israil semakin bertambah saja. Tidak hanya mendustakan ajaran Nabi Ilyas, mereka bahkan berusaha membunuhnya. Kejahatan di atas kejahatan. Pelanggaran berlanjut dengan pelanggaran. Tidak kuat dengan perlawanan Bani Israil yang sudah mencapai puncaknya Nabi Ilyas melarikan diri. Ia bersembunyi dari kaumnya. Bani Israil memang kaum yang begitu melampaui batas. Sampai pada puncaknya, Nabi Ilyas ‘alaihis salam berdoa kepada Allah. Ia meminta untuk diistirahatkan dari kaumnya. Allah subhanahu wa ta’ala pun memberikan wahyu kepadanya, “Pergilah pada hari sekian ke tempat demikian. Di tempat tersebut, naikilah kendaraan yang akan datang kepadamu.”
Pergilah Nabi Ilyas pada waktu yang ditentukan ke tempat yang dimaksud, datanglah seekor kuda dari api. Inilah yang dijanjikan Allah kepadanya. Nabi Ilyas segera mengendarai kuda tersebut. Tak lama setelah itu Allah subhanahu wa ta’ala memakaikan pakaian bulu dan cahaya kepadanya. Lalu, ia terbang bersama malaikat, meninggalkan Bani Israil.
Lalu sang keponakan memanggil-manggil, “Wahai Paman, wahai Paman! Apa yang Anda perintahkan kepadaku?” Di saat itulah Nabi Ilyas ‘alaihis salam melemparkan selendangnya kepada Ilyasa’. Ini adalah pertanda bahwa Nabi Ilyas menyerahkan urusan Bani Israil. Hanya Allah yang mengetahui kebenaran kisah israiliyat ini.
Berakhirlah tugas kenabian Nabi Ilyas ‘alaihis salam. Kini, estafet dakwah dilanjutkan oleh Nabi Ilyasa’ ‘alaihis salam. Ia mendakwahi Bani Israil agar beribadah kepada Allah dan berpegang dengan ajaran Nabi Ilyas. Waktu berjalan sekian lamanya sampai Allah mewafatkan Nabi Ilyasa’. Keponakan Nabi Ilyas ini meninggalkan beberapa pengganti untuk memimpin umat. Akan tetapi, Bani Israil semakin menyimpang. Semakin banyak kaum yang bertindak lalim dan sewenang-wenang. Bahkan, membunuh para nabi adalah hal biasa bagi mereka.
Ada seorang raja di tengah-tengah Bani Israil yang sangat kejam dan melampaui batas. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa orang yang dibebani tanggung jawab untuk menghadapi raja lalim itu adalah Dzulkifli. Dzulkifli artinya orang yang memiliki tanggungan dan beban. Bani Israil semakin rusak. Perbuatan dosa mereka sudah tidak terhitung lagi.
Hingga tibalah Allah subhanahu wa ta’ala menghukum mereka. Allah kirimkan untuk Bani Israil raja lalim, yang mengniaya dan menumpahkan darah mereka. Bahkan mereka dikalahkan dan dikuasai oleh musuh. Tepatnya, ketika berperang melawan penduduk kota Ghaza dan ‘Asqalan, Palestina, Bani Israil dipukul mundur. Bani Israil kocar-kacir. Tidak itu saja, peninggalan suci Nabi Musa ‘alaihis salam berhasil direbut oleh musuh. Tabut beralih tangan. Lebih dari itu, Bani Israil diusir dari kampung halamannya sendiri.
Kesedihan mendalam begitu dirasakan Bani Israil. Mereka hanyut dalam nestapa. Sampai-sampai, begitu mengetahui kejadian tersebut raja Bani Israil saat itu tertunduk lehernya. Seketika itu juga ia mati karena kesedihan yang mendalam. Setelah itu, tinggallah Bani Israil seperti kambing tanpa penggembalanya. Mereka tercerai-berai. Lebih dari dua ratus tahun lamanya kehidupan mereka terhina. Selama masa panjang itu tidak ada seorang pemimpin yang bisa menyatukan mereka. Itulah awal mula kisah Nabi Samuel ‘alaihis salam. Silakan simak kembali kisah tersebut pada majalah Qudwah edisi 27 vol. 3 1436 H/2015 M. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 32 vol.03 1436 H/ 2015 M rubrik Anbiya’. Pemateri: Ustadz Abu Abdillah Al Majdiy.