Fatwapedia.com – Tsamud adalah nama salah satu kabilah ‘Arab Baidah atau ‘Aribah, jauh sebelum masa Nabi Ibrahim Al Khalil ‘alaihis salam. Nama Tsamud diambil dari nama nenek moyang mereka, yaitu Tsamud bin ‘Abir bin Iram bin Sam bin Nuh ‘alaihis salam.
Setelah bangsa ‘Ad dimusnahkan oleh Allah subhanahu wa taala karena kekafiran dan kedurhakaan mereka, Tsamud muncul menggantikan mereka.
Kaum Tsamud menetap di daerah Hijr, antara Madinah dan Syam ke arah Wadil Qura dan sekitarnya, sekarang dikenaal dengan Madain Shalih. Mereka diberi usia yang panjang dan berbagai kesenangan hidup. Allah subhanahu wa taala memudahkan mereka membuat rumah di tanah yang datar. Sampai rumah itu hancur, mereka masih hidup. Setelah itu, mereka memahat gunung-gunung batu sebagai rumah tempat tinggal. Sisa-sisa bangunan tersebut masih bisa kita lihat sampai saat ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melewati bekas-bekas perkampungan mereka bersama para shahabat beliau. Hal itu terjadi pada tahun kesembilan hijrah, dalam peristiwa Tabuk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk segera meninggalkan tempat itu, tidak boleh menggunakan air yang ada di situ untuk minum dan memasak, kecuali yang diambil dari Bi`r Naqah (Sumur Unta). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupi wajah beliau dan segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Tsamud, sebagaimana halnya ‘Ad binasa karena kekafiran dan kedurhakaan mereka, bukan karena mereka malas dan bodoh, tidak menguasai teknologi atau pengetahuan yang tinggi.
Seandainya kekuatan itu bermanfaat bagi seseorang, tentu orang-orang semisal kaum ‘Ad akan jaya abadi. Begiu pula seandainya harta benda dengan semua jenisnya itu berguna, dapat menyelamatkan seseorang dari azab Allah subhanahu wa taala, tentu hanya Qarun yang selamat.
Demikian pula, jika kekuasaan itu dapat menyelamatkan seseorang dari siksa Allah, pastilah Fir’aun dapat menyelamatkan dirinya. Akan tetapi, di mana mereka orang-orang yang kaya, berkuasa, atau memiliki tubuh-tubuh yang tinggi besar dan kuat seperti kaum ‘Ad?
Mereka telah terkubur dan hancur lebur. Tidak ada yang dikenang dari mereka selain pelajaran bahwa kekafiran dan kedurhakaan kepada Allah subhanahu wa taala dan Rasul-Nya hanya berujung kepada kehinaan dan kehancuran, cepat atau lambat.
Kaum Tsamud Dan Nabi Shalih ‘alaihis Salam
Di saat-saat kekafiran dan kedurhakaan serta kesombongan mereka memuncak, ternyata rahmat Allah masih selalu mendahului murka-Nya. Dengan rahmat-Nya, Dia mengutus salah seorang saudara mereka senasab, untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan kepada mereka.
Beliau adalah Shalih bin ‘Ubaid bin Asif bin Masih bin ‘Ubaid bin Hadzir bin Tsamud bin Iram bin Sam bin Nuh ‘alaihis salam.
Nabi Shalih tumbuh dalam pengawasan Allah subhanahu wa taala. Sampai dewasanya, beliau selalu terpelihara dari perilaku yang tercela. Bahkan sebelum beliau diangkat menjadi nabi, buah pikiran dan nasihat beliau selalu diterima oleh masyarakatnya. Tidak jarang, dalam berbagai keadaan yang membutuhkan solusi cepat dan tepat, mereka datang kepada Nabi Shalih meminta pendapat dan bimbingan beliau. Kemudian, mereka menerapkannya dan benarlah sebagaimana yang diarahkan oleh Nabi Shalih.
Suatu ketika, setelah Allah subhanahu wa taala mengutus beliau sebagai nabi, beliau berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, beribadahlah hanya kepada Allah, karena tidak ada sesuatu yang berhak menerima ibadah dalam bentuk apa pun selain Allah subhanahu wa taala.”
Inilah ucapan pertama yang juga diserukan oleh nabi-nabi sebelum beliau, Nuh dan Hud ‘alaihis salam. Itulah ajaran dakwah pertama yang juga disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau.
Allah subhanahu wa taala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” [Q.S. An Nahl:36].
Itulah inti sari dakwah seluruh Nabi dan Rasul, semua menyuarakan agar tidak menyerahkan peribadatan dalam bentuk apa pun kepada sesuatu selain Allah subhanahu wa taala. Inilah inti sari makna kalimat Tauhid; (tidak ada sesembahan yang haq selain Allah).
Allah subhanahu wa taala juga berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku. Maka menyembahlah kalian hanya kepada-Ku.’” [Q.S. Al Anbiya:25].
“Hai kaumku, bukankah Allah subhanahu wa taala yang mula-mula menciptakan kalian dari tanah. Dia menciptakan bapak kalian, Adam dari tanah itu. Kemudian menjadikan kalian memakmurkan dunia dan menggali semua kekayaan yang ada di dalamnya? Mintalah ampunan kepada-Nya dan bertobatlah. Sesungguhnya Rabb-ku (Allah Ta’ala) Maha dekat kepada orang-orang yang menaati-Nya lagi Maha Mengabulkan doa orang-orang yang berdoa kepada-Nya.”
Akan tetapi, para pemuka masyarakat menolak. Dan sejak dahulu, orang-orang yang merasa dirinya terpandang serta memiliki kedudukan di dalam masyarakat adalah orang-orang yang paling depan menentang dakwah para Nabi dan Rasul, kecuali yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa taala.
Kebanyakan para pembesar menolak karena khawatir kedudukan mereka jatuh dan akhirnya sederajat dengan orang-orang yang miskin dan kurang berpendidikan. Mereka khawatir pamor mereka merosot, bahkan pengaruh mereka hilang dari tengah-tengah masyarakat.
Mereka berkata dengan penuh keheranan, “Hai Shalih, sebetulnya kamu termasuk yang kami harapkan sebelum ini. Kecerdasan dan kebijakanmu membuat kami sering menemuimu untuk meminta nasihat dalam setiap persoalan yang rumit di hadapan kami. Tetapi, sekarang kami jadi ragu, dengan apa yang kamu katakan ini. Apakah kamu menghalangi dan melarang kami menyembah apa yang disembah oleh para leluhur kami. Sungguh, kami meragukan apa yang kamu dakwahkan kepada kami ini.”
Dengan lemah lembut, Nabi Shalih menjawab keraguan mereka, “Hai kaumku, bagaimana pendapat kalian jika aku mempunyai bukti nyata dari Rabbku dalam setiap urusan yang Dia mengutusku menyampaikannya kepada kalian? Bagaimana jika Dia memberi rahmat (kenabian) kepadaku? Maka siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya, dengan membiarkan kalian tetap beribadah kepada sesuatu selain Allah? Apabila aku melepaskan dakwah ini, tidak mengajak kalian kembali kepada yang haq, niscaya kalian tidak dapat memberi manfaat apa pun kepadaku, bahkan hanya menambah kerugian kepadaku.”
“Ingatlah kenikmatan yang Allah Ta’ala limpahkan kepada kalian, ketika Dia menjadikan kalian orang-orang yang berkuasa, menggantikan kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi. Kalian mendirikan istana-istana di tanah yang datar dan kalian pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”
“Bukankah kalian akan dibiarkan tinggal di sini (di negeri kalian ini) dengan aman, di dalam kebun-kebun serta mata air, tanam-tanaman, dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut. Kenapa kalian pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rapi hanya kalian jadikan untuk berbangga diri dan main-main? Kenapa tidak kalian jadikan tempat tinggal. Bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Terimalah apa yang bermanfaat bagi kalian di dunia dan akhirat, dengan beribadah hanya kepada Rabb (Yang Mencipta, Menguasai, Memberi rezeki, Mengatur, dan Memelihara) kalian.”
“Aku juga tidak meminta upah kepada kalian atas dakwah ini. Upahku hanya dari Allah, Rabb (Yang Mencipta, Menguasai, Memberi rezeki, Mengatur, dan Memelihara) semesta alam.”
Akan tetapi, mereka masih mendustakan beliau. Bahkan mengatakan, “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir. Kamu tidak lain hanya seorang manusia biasa seperti kami. Bagaimana mungkin Allah memberi wahyu dan mengistimewakan kamu, bukan kami? Sebetulnya kamu adalah orang yang amat banyak dusta dan kejahatannya.”
Menurut mereka, sangat aneh kalau Allah subhanahu wa taala mengutus seorang Rasul kepada mereka dari kalangan manusia. Bagaimana mungkin seorang manusia seperti mereka menerima dan menyampaikan berita-berita dari langit? Menceritakan hal-hal gaib dan semua keadaan yang tersembunyi dari pengetahuan manusia? Bagaimana mungkin dia mengerti keadaan alam-alam yang tinggi di atas sana, sementara dia manusia biasa yang berjalan di atas tanah, berkeliling di pasar-pasar, makan, minum, tidur, dan menikah?
“Kalau kami mengikuti seorang manusia biasa, bukan raja di antara kami, bukan pula dari kalangan terhormat, dan lebih-lebih lagi dia hanya seorang diri, sungguh, niscaya kami betul-betul dalam keadaan sesat dan gila.”
Semoga Allah memburukkan muka mereka. Itulah buah kedangkalan pikiran mereka. Nabi Shalih yang bertahun-tahun hidup bersama mereka, bahkan selalu mereka mintai pendapatnya, mereka katakan pendusta dan banyak kejahatannya? Maha suci Allah dari kedustaan yang mereka ada-adakan terhadap-Nya dan terhadap para Rasul-Nya ‘alaihimus salam.
Nabi Shalih masih mengingatkan mereka, “Hai kaumku, mengapa kalian minta disegerakan azab? Mengapa kalian tidak meminta rahmat dari Allah? Hendaklah kalian meminta ampun kepada Allah, dengan meninggalkan kesyirikan dan kedurhakaan kalian, agar kalian mendapat rahmat, karena rahmat Allah itu sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik dan bertobat kepada-Nya.”
Mereka kembali menjawab, “Kami tidak pernah melihat satu kebaikan pun pada wajahmu dan orang-orang yang mengikutimu itu. Kami selalu mendapat kesialan karena kalian.”
Nabi Shalih berkata kepada mereka, “Kesialan yang menimpa kalian tidak lain karena dosa-dosa kalian. Bahkan kalian diuji dengan berbagai kesenangan dan kesusahan agar Allah melihat apakah kalian akan meninggalkan kejelekan kalian dan bertobat, ataukah tidak!”
Tidak hanya itu, mereka juga menantang, “Datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar!”
Nabi Shalih menjawab, “Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kalian mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu. Tiap-tiap giliran minum dihadiri oleh yang punya giliran, sedangkan yang tidak ada gilirannya hari itu, dilarang hadir.”
Demikianlah, Allah subhanahu wa taala mengirimkan seekor unta betina yang merupakan sebagian nikmat paling besar kepada mereka, sekaligus salah satu tanda kekuasaan Allah. Nikmat ketika mereka dibolehkan memerah susu unta itu, yang ternyata mencukupi mereka semua, sebagai ujian bagi mereka dari Allah. Karena itu, bersabarlah dalam berdakwah kepada mereka dan tunggulah apa yang akan menimpa mereka. Atau tunggulah, apakah mereka akan beriman atau tetap mengingkari?
Nabi Shalih mengingatkan mereka, “Dan janganlah kalian sentuh unta betina itu dengan sesuatu kejahatan. Itu akan menyebabkan kalian ditimpa azab pada hari yang besar.”
Tetapi mereka mendustakan beliau. Mereka membunuh unta itu. Mereka memanggil kawannya dan langsung membunuh unta itu, bahkan menantang Nabi Shalih agar mendatangkan azab yang diancamkan kepada mereka.
Nabi Shalih marah dan mengancam, “Bersukarialah kalian di rumah kalian selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.”
Saat itu, di kota tersebut ada sembilan orang yang berbuat kerusakan. Mereka seakan-akan sudah menyiapkan diri untuk merintangi dakwah Nabi Shalih dan berusaha memadamkan agama Allah ini.
Setelah berhasil membunuh unta tersebut, mereka bertekad ingin membunuh beliau.
Mereka melakukan makar, Allah membalas makar mereka, tetapi mereka tidak menyadari.
Pada hari yang dijanjikan, yaitu setelah tiga hari, datanglah azab yang diancamkan. Allah subhanahu wa taala mengirimkan kepada mereka suara yang menggelegar hingga mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka.
Suasana kota menjadi sepi. Seolah-olah mereka belum pernah menempati daerah tersebut.
Allah subhanahu wa taala menyelamatkan Nabi Shalih bersama orang-orang yang beriman.
Pelajaran dan Hikmah
Dakwah seluruh Nabi dan Rasul adalah sama, mengajak manusia kepada tauhid, menyerahkan ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa taala, satu-satunya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Apabila kenikmatan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa taala tidak diatur dan digunakan untuk menaati-Nya, niscaya akan berubah menjadi petaka.
Allah subhanahu wa taala pasti menolong Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, di dunia dan di akhirat. Banyak atau sedikitnya pengikut bukan acuan menilai sebuah kebenaran.
Akibat buruk kemaksiatan bisa mengenai tanah dan air. Oleh sebab itulah, ketika melewati perkampungan Hijr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka memasukinya kecuali dalam keadaan menangis. Beliau melarang pula para shahabat memanfaatkan airnya atau memakan adonan yang dicampur air yang ada di sana.
Akibat buruk kemaksiatan itu bisa jadi berlanjut sampai zaman berikutnya, agar orang-orang yang datang sesudah mereka mengambil pelajaran. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 11 vol. 1 1435 H/ 2013 M rubrik Bidayah wa Nihayah. Pemateri: Ustadz Idral Harits.