Fikroh.com – Dalam tulisan ini, penulis tidak akan berbusa-busa dengan memberikan pengantar atau narasi apapun sebagai pendahuluan, mengingat apa yang sedang kita bicarakan ini sudah sangat viral dan gaduh sejak beberapa hari yang lalu. Bahkan apa yang akan penulis utarakan di sini juga sudah ditulis oleh banyak orang. Hanya saja saya kok merasa masih gatal jika tidak memberikan tanggapan sendiri secara langsung. Karenanya, penulis akan langsung masuk pada poin-poin pokok berikut:
Pertama, Bahwa film tersebut digarap dengan modal yang sangat-sangat minim. Bukan modal dana atau peralatan, melainkan modal pengetahuan. Memangnya, sejak kapan dan di mana ada perkelahian antara orang yang pakai sarung dan berjilbab melawan mereka yang memakai celana cingkrang dan bercadar? Fenomena seperti itu tidak pernah terjadi di sini.
Karena itu film ini tidak berangkat dari realita melainkan dari ilusi belaka. Tidak berangkat dari suatu masalah untuk menyelesaikannya melainkan –tampaknya– ingin membuat masalah baru. Maka, film ini lebih ditujukan untuk melakukan stereotipe dan stigmatisasi berdasarkan ilusi: membikin kotak-kotak dalam umat supaya saling curiga lalu bersitegang. Padahal sebelumnya tak ada masalah dan tak ada apa-apa.
Kedua, Masih karena keterbatasan pengetahuan dan minimnya modal ilmu itu tadi, pembuat film juga gagal memahami hakikat radikalisme yang mereka klaim sebagai ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena gagal memahami esensi radikalisme, akhirnya mereka terjebak oleh simbol-simbol yang sebenarnya tak ada kaitannya sama sekali dengan radikalisme.
Alih-alih memberikan pemahaman akan bahaya radikalisme secara akurat, pembuat film justru mengidentifikasi cadar dan celana cingkrang sebagai representasi dari radikalisme. Tindakan itu tidak saja jauh dari akurat, namun lebih dari itu juga terkesan lucu dan cupu. Memang apa kaitannya? Sejak kapan orang bercadar menjadi simbol penghinaan pada negara dan ingin membubarkan NKRI?
Ketiga, Ironisnya, kejahilan-kejahilan yang tertuang di dalam film tersebut, sebagaimana diuraikan di muka, justru ditempelkan pada organisasi umat Islam terbesar yang sangat berwibawa, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Bagaimana mungkin NU akan menyerang cadar, atau melakukan stigmatisasi terhadap cadar sebagai simbol radikalisme, padahal menutup seluruh aurat bagi wanita adalah pendapat terkuat yang diikuti oleh NU?
Kontradiksi semacam ini hanya menunjukkan bahwa film itu bukan rekomendasi dari para ulama NU, dan tidak mungkin pula para ulama sesepuh NU mengoreksi film itu sebelumnya. Segelintir orang yang pikirannya sudah kontroversial berhasil menyusup ke dalam organisasi yang didirikan oleh para ulama ini, lalu mereka berbuat seenaknya di situ: hal-hal yang berseberangan dengan landasan dan garis-garis besar haluan NU. Sudah pasti mereka akan kualat nantinya.
Keempat, Hal lain yang menunjukkan bahwa film tersebut tidak merepresentasikan NU adalah, karena NU merupakan organisasi keagamaan umat Islam terbesar dan berwibawa, yang di dalamnya terdapat para ulama yang sangat-sangat mumpuni dan para intelektual yang pemikirannya sangat tajam dan akurat. Apakah mungkin mereka tidak paham hakikat radikalisme, lalu berpikir radikalisme adalah cadar dan celana cingkrang? Cetek sekali, bukan? Jadi tidak mungkin. Sangat tidak masuk akal. Orang awam di kalangan NU sekalipun tidak akan sampai berkesimpulan seperti itu.
Lalu, apa mungkin pula ulama NU akan meresepkan cara-cara preman dalam membendung pemikiran radikalisme, sebagaimana dipertontonkan di dalam film tersebut? Ini juga tidak mungkin dan jauh dari nalar sehat. Sebab asas NU adalah Islam Ahlusunah wal Jamaah. Mereka memiliki landasan, hujah, dan argumentasi yang sangat kuat, sehingga tidak akan minder di hadapan kelompok manapun, dan tidak akan pernah kehabisan dalil kalau sekadar untuk menghadapi radikalisme.
Bukankah adu argumentasi itu yang dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu? Bagaimana Sayyidina Ibnu Abbas berdebat dengan orang-orang Khawarij dari kubu ekstrem kanan, dan bagaimana al-Imam al-Asy’ari berdebat dengan Muktazilah dari kubu ekstrem kiri. Lalu bagaimana pula ulama-ulama NU dari dulu hingga kini selalu siap meladeni adu argumen dengan kelompok manapun, baik dari kubu kanan maupun kiri.
Setelah tradisi ilmiah yang sangat panjang, begitu berwibawa, dan gemilang itu, lalu, kok bisa-bisanya tiba-tiba di Channel NU muncul respons yang tidak ilmiah terhadap radikalisme seperti itu, kok seperti orang kehabisan dalil, atau malah tak punya modal dalil sama sekali sehingga langsung main keroyokan seperti itu? Ini jelas bukan dari NU.
Kelima, Barangkali itulah sebabnya kenapa para ulama NU sangat geram dengan film susupan itu. Mereka banyak memberikan kritik terhadap film itu, dan menyayangkan ditayangkannya film itu di Channel NU. Karena bagaimanapun, itu adalah kekonyolan yang bisa mencoreng NU. Bahkan, di akun Twitter seseorang meminta tanggapan kepada Habib Abu Bakar as-Segaf Pasuruan terkait film itu. Beliau pun menanggapinya dengan dua kalimat sederhana: “Film Sampah”.
Oleh: Achyat Ahmad, Direktur Annajah Center Sidogiri