Fikroh.com – Darren Mak, yang merupakan pemuda keturunan China asal Singapura ini, memiliki kisah yang hidup yang menarik. Khususnya, ketika dia mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam.
Memiliki Kelebihan yang Langka
Darren, adalah salah satu dari jutaan orang yang memiliki kelebihan cukup langka, yakni ia dapat memahami 14 bahasa yang berbeda, atau lebih dikenal sebagai polyglot. Banyak sekali cerita di balik hidayah yang ia dapatkan.
Di balik senyumannya yang manis, tentu banyak orang yang mengira jika ia adalah pemuda sederhana yang ramah. Namun, tidak pada kenyataannya. Sebelum memeluk Islam, dia justru dikenal sebagai seorang pemarah.
Bahkan, saat usianya 17 tahun, ia pernah mengalami depresi parah, hingga membuatnya mencoba untuk mengakhiri hidup, dengan cara bunuh diri. Padahal ia tahu, mengakhiri hidup bukan cara terbaik untuk menghilangkan depresi yang dialaminya.
“Saya banyak berpikir tentang kematian, karena aku berpikir apa gunanya? Kadang-kadang saya mencari tahu cara yang paling tidak menyakitkan untuk bunuh diri dan merencanakan cara bunuh diri,” kata dia.
Meskipun ia seorang polyglot, namun prestasinya di sekolah tidak sebanding dengan kemampuan bahasa yang ia miliki. Selain pemarah, dia juga dikenal sebagai peminum berat.
Berkali-kali percobaan bunuh diri ia lakukan, tak ada satu pun yang berhasil. Sampai akhirnya pada suatu malam, ia bermimpi hal yang menurutnya aneh.
Ia bermimpi tentang situs suci umat Islam, yang sebelumnya sama sekali tak ia ketahui. Apalagi, ia merupakan seorang atheis yang tidak mempercayai agama apa pun.
“Letakkan bebanmu dan hadapkan dirimu ke Kabah,” perintah sebuah suara dalam mimpinya.
Karena tidak memiliki bekal apapun tentang Islam pun Ka’bah, Darren merasa bingung, terlebih mimpi itu sangat spesifik, hingga melekat di ingatannya. Tetapi sebagai seseorang yang percaya pada nasib, ia menganggap ini sebagai pertanda.
“Aku benar-benar ketakutan,” katanya sambil tertawa kecil.
Perlahan-lahan Mempelajari Islam
Semenjak mengalami mimpi tersebut, perlahan-lahan dia mulai mempelajari Islam, dan melakukan penelitian sederhana selama dua tahun. Ini dilakukannya seorang ini sebelum dia memutuskan untuk mendaftarkan diri dalam kursus mualaf ketika usianya menginjak 19 tahun.
Menjadi polyglot memang berguna. “Beberapa bahasa (saya tahu) sedikit membantu ketika belajar Islam, tetapi materi utama saya masih dalam bahasa Inggris,” katanya.
Ketika Mak mengumumkan mualafnya di Facebook, orang mengira dia mengerjai mereka.
“Seseorang benar-benar mengirimi saya pesan ‘ini lelucon kan?’”
Temannya bisa tahu bahwa Darren telah berubah. Suatu hari, ketika dia resmi menyandang status sebagai Muslim, ia bertemu dengan seorang teman sekolah menengah saat makan malam. Lima menit setelah makan, dia ingat temannya tiba-tiba berkata kepadanya
“Hei Darren, aku baru sadar kamu belum mengucapkan sepatah kata pun.”
Sang ibu sangat senang dengan perubahan yang ada pada diri putranya. Menurutnya, Darren menjadi lebih punya tujuan hidup, menjadi lebih baik, dan tentunya lebih bahagia dari sebelumnya.
Namun, sang ayah justru sebaliknya. Ia jadi lebih berhati-hati karena anaknya menjadi mualaf. Sebab, perpindahan agama yang dilakukan anaknya itu, terjadi saat kekejaman ISIS sedang memuncak. Tidak mudah memang menerima perubahan besar dalam diri seseorang, dan kekhawatiran wajar saja terjadi.
“Dia sangat ketakutan sehingga saya berubah menjadi teroris. Dia sangat takut sampai hari ini pun dia masih ragu. Seperti ketika saya mengatakan saya akan ke Indonesia, misalnya, dia akan bertanya, melakukan apa?” ujar dia.
Sejak memeluk Islam, ia lebih berhati-hati dalam memilih makanan. Tak jarang, ia memakan makanan yang berbeda dengan keluarganya. Namun, Darren Mak tak pernah memaksakan ibunya untuk mengikuti maunya.
Sebagai anak, dia tidak ingin merepotkan ibunya untuk membeli dapur baru lengkap dengan peralatan yang berbeda. Namun, ibunya memahami sehingga ketika memasak makanan untuknya, dia memasak dengan cara yang berbeda.
Begitu juga ketika berkunjung ke rumah neneknya. Neneknya memahami cara hidup seorang Muslim. Sehingga ketika makan bersama di meja makan terhidang dua makanan yang berbeda.
Menjadi seorang Muslim China juga memberi Darren Mak perspektif unik tentang perjuangan komunitas Muslim, seperti menemukan tempat makan di Singapura.
“Makanan halal tidak murah. Setidaknya dua hingga tiga dolar lebih mahal rata-rata per makan. Dan ketika saya menyadari saya hanya bisa makan dari satu restoran di sekolah saya selama empat tahun berikutnya dalam hidup saya, saya seperti (menghela nafas),” katanya.
Darren mengaku antusias menyambut Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, biasanya dia menghabiskan Hari Raya sendirian karena kebanyakan orang sibuk dengan keluarganya masing-masing.
“Saya biasanya menghabiskan waktu sendiri atau bersama beberapa teman yang tidak bisa berkumpul bersama keluarga,”katanya.
Dia tidak terlihat seperti tipikal Muslim atau Melayu di Singapura. Ia bersyukur, terhindar dari perundungan yang sering dihadapi rekan-rekan Muslimnya sehari-hari.
Namun, ketika seorang sopir taksi mengetahui Mak adalah seorang Muslim, ia memperingatkannya untuk berhati-hati karena ‘Islam selalu mendapatkan sesuatu’. Dia tidak menjelaskan lebih lanjut, tetapi jelas bagi Mak ke mana arah pembicaraan itu.
“Ini membuka mata saya pada kesulitan yang dialami umat Islam di sini. Dan ini adalah hal-hal yang tidak harus dipikirkan oleh non-Muslim,” katanya.
Sumber : Seruni.id