Fatwapedia.com – Ada sejumlah hadits tentang puasa yang dinilai dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu) oleh para ulama yang semestinya kita ketahui. Karena status kehujahan hadits palsu tidak dipakai dalam agama. Berikut ini kumpulan hadits-hadits lemah dan palsu tentang keutamaan ramadhan yang banyak beredar di masyarakat.
Pertama; I’tikaf 10 hari di bulan Ramadhan sama dengan pahala dua haji dan dua umrah.
Dari Ali bin Husain dari ayahnya yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib RA, Rasulullah saw bersabda,
مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
“Siapa yang berpuasa sepuluh hari di bulan Ramadhan maka itu sama seperti dua kali haji dan dua kali umrah.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 2888 dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 3680 dan 3681, semua dari jalur Sa’id bin Sulaiman, dari Hayyaj bin Bistham, dari ‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Muhammad bin Zadzaan, dari Ali bin Husain.
Dalam Ath-Thabarani tertulis Muhammad bin Sulaim, tapi yang benar adalah Muhammad bin Zadzaan sebagaimana yang dikoreksi oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab. Lalu Al-Baihaqi mengomentari, “Dia ini matruk”.
Sanad ini hancur parah karena diriwayatkan oleh tiga orang yang kelemahannya para secara berturut:
Hiyaj bin Bastham, Al-Hafizh dalam At-Taqrib no 8286 mengatakannya dhaif. Dalam Al-Mizan Adz-Dzahabi memasukkannya di nomor rawi 9287 menukil pernyataan Imam Ahmad yang menganggapnya matruk, Ibnu Ma’in mengatakannya dhaif, dan Abu Hatim mengatakan masih boleh ditulis haditsnya, Abu Daud mengatakan, “Mereka meninggalkan haditsnya”.
‘Anbasah bin Abdurrahman bin Anbasah bin Sa’id bin Ash dinyatakan matruk oleh Al-Bukhari, bahkan Abu Hatim mengatakannya “pemalsu hadits” (Al-Mizan 3/301).
Muhammad bin Zadzaan sebagaimana kata Al-Baihaqi, “matruk” Al-Bukhari mengatakan “tidak boleh ditulis haditsnya”.
Nuansa kepalsuan tampak dari kalimat hadits ini dimana amalan sunnah mengalahkan pahala amalan wajib bahkan sampai dua kali lipat. Makanya Syekh Al-Albani memasukkannya sebagai hadits palsu dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah, no. 518.
Kedua; Lima perkara yang membatalkan puasa dan wudhu.
Ibnu Al-Jauzi menyebutkan dalam kitab Al-Maudhu’aat (2/560), Muhammad bin Nashir memberitakan kepada kami, dia berkata, Hasan bin Ahmad bin Banna memberitakan kepada kami, dia berkata, Abu Fath bin Abi Al-Fawaris menceritakan kepada kami, dia berkata, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, Ahmad bin Ja’far Al-Jammal menceritakan kepada kami, Sa’id bin ‘Anbasah menceritakan kepada kami, Baqiyyah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hajjaj menceritakan kepada kami, dari Jaban, dari Anas yang berkata, Rasulullah saw bersabda,
خَمْسٌ يُفَطِّرْنَ الصَّائِمَ وَيَنْقُضْنَ الْوُضُوءَ: الْكَذِبُ، وَالنَّمِيمَةُ، وَالْغَيِبَةُ، وَالنَّظَرُ لشَهْوَة، وَالْيَمِين الْكَاذِبَةُ
“Ada lima perkara yang dapat membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: Dusta, mengadu domba, ghibah, melihat dengan birahi, dan sumpah palsu.”
Kemudian Ibnu Al-Jauzi mengatakan, “Hadits ini palsu. Para perawinya dari Sa’id sampai kepada Anas semua terkritik. Yahya bin Ma’in mengatakan Sa’id ini pendusta.”
Sa’id di sini adalah Sa’id bin ‘Anbasah Ar-Razi disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/154) menukil pernyataan Ibnu Ma’in, “Pendusta” dan pernyataan Abu Hatim, “Tidak dipercaya”.
Muhammad bin Hajjaj disebutkan pula oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (3/510, no. 7356) menukil dari Al-Azdi, “Tidak ditulis haditsnya”.
Jaban tidak disebut oleh Adz-Dzahabi yang meriwayatkan dari Anas, tapi disebut oleh Al-Asqalani dalam Lisan Al-Mizan (2/403, no. 1726) menukil dari Al-Azdi, “matrukul hadits”.
Maknanya juga jelas bertentangan dengan ijma’ bahwa hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa dan juga tidak membatalkan wudhu.
Ketig; Yang Mendapati Ramadhan di Mekah, hadits dari Ibnu Abbas
Ibnu Majah meriwayatkan, “Muhammad bin Abi Umar Al-Adani menceritakan kepada kami, Abdurrahim bin Zaid al-‘Ammi menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas yang berkata, Rasulullah saw bersabda,
“مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ بِمَكَّةَ فَصَامَه وَقَامَ مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ لَهُ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِائَةَ أَلْفِ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيمَا سِوَاهَا، وَكَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ لَيْلَةٍ عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ يَوْمٍ حُمْلَانَ فَرَسٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَفِي كُلِّ يَوْمٍ حَسَنَةً، وَفِي كُلِّ لَيْلَةٍ حَسَنَةً”
“Siapa yang mendapati Ramadhan di Mekah dan dia puasa di sana serta shalat malam di sana sedapatnya, maka Allah mencatat untuknya seratus ribu Ramadhan di tempat lain. Setiap harinya Allah tuliskan pahalanya seperti membebaskan seorang budak, setiap hari seperti membawa kuda dalam perang di jalan Allah, setiap hari ada sati kebaikan dan setiap malam ada satu kebaikan.” (Sunan Ibni Majah, no. 3117).
Status: sanad sangat lemah dan tanda kepalsuan dari susunan kalimat amat tampak.
Dalam sanadnya ada dua orang bermasalah yaitu ayah dan anak Abdurrahim dan Zaid Al-‘Ami.
Abdurrahim ini disebut oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan 2/605, no. 5030.
Al-Bukhari mengatakannya, “Mereka meninggalkannya”. Ibnu Ma’in sekali mengatakan dia pendusta, di lain waktu mengatakan, “Tidak tsiqah”. Al-Jauzajani mengatakan, “tidak tsiqah”. Abu Daud mengatakan “dhaif”, Abu Hatim mengatakan, “Mereka meninggalkan haditsnya”, Abu Zur’ah mengatakan, “waah (sangat lemah)”.
Ini semua menunjukkan dia lemah parah bahkan bisa jadi berdusta.
Sedangkan ayahnya, Zaid bin Hawari Al-‘Ami disebut oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan 2/102, no. 3003. Keadaannya lebih baik daripada anaknya, Ibnu Ma’in sekali mengatakan dia dhaif sekali mengatakan shalih, Abu Hatim juga mengatakan, dhaif tapi boleh ditulis haditsnya. Beberapa mengatakan shalih artinya masih bisa dipertimbangkan haditsnya bila ada penguat. Itu menunjukkan kelemahannya tidak parah.
Jadi pangkal kelemahan paling parah ada di Abdurrahim anaknya. Belum lagi susunan kalimat dalam menjelaskan pahala yang begitu besar dan seakan bukan kalimat Rasulullah yang penuh balaghah, cukup menunjukkan bahwa hadits ini dibuat-buat.
Keempat; Ramadhan di Mekah, hadits Ibnu Umar:
Al-Bazzar meriwayatkan, “Amr bin Abdurrahman bin Hammad bin Mas’adah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Nafi’ menceritakan kepada kami, ‘Ashim bin ‘Umar menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, dia berkata, Rasulullah saw bersabda,
رمَضَانُ بِمَكَّةَ أفْضَلُ مِنْ أَلْفِ رَمَضَانَ بِغَيْرِ مَكَّةَ.
“Ramadhan di Mekah lebih utama daripada seribu Ramadhan di selain Mekah.” (Musnad Al-Bazzar, no. 6144).
Al-Bazzar mengatakan, Hadits ‘Ashim ini tidak ada yang meriwayatkannya selain dia dan kami tidak mengetahui ada yang meriwayatkan hadits ini sampai kepada Nabi saw selain jalur ini.” Ini menunjukkan bahwa hadits ini Gharib.
Pangkal kelemahan hadits ini terletak pada ‘Ashim yaitu putra Umar bin Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Dia adalah rawi yang ditinggalkan (matruk).
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan memuat biografinya di jilid 2, hal. 355, nomor rawi: 4060. Menukil bahwa Imam Ahmad melemahkannya, Al-Bukhari mengatakannya, “munkarul hadits”, An-Nasa`iy mengatakan, “Matruk”, Ibnu Hibban mengatakan, “Tidak boleh berhujjah dengannya”.
Cukuplah ini semua sebagai pelemahan yang parah meski Ibnu ‘Adi mengatakan, “Meski dia lemah tapi haditsnya boleh ditulis.” (Al-Kamil 6/402).
Kelima; Qiyam Ramadhan adalah Bid’ah yang harus dilestarikan
Ath-Thabarani dalam Al-Awsath meriwayatkan, “Muhammad bin Aban menceritakan kepada kami, Ismail bin Amr menceritakan kepada kami, Husyaim menceritakan kepada kami, dari Zakariya bin Abi Maryam, dia berkata, Aku mendengar Abu Umamah Al-Bahili berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda
إن الله فرض عليكم صوم رمضان ولم يفرض عليكم قيامه وإنما قيامه شيء أحدثتموه فدوموا عليه فإن ناسا من بني إسرائيل ابتدعوا بدعة فعابهم الله بتركها وقال
“Sesungguhnya Allah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan tapi tidak mewajibkan qiyamnya (shalat malam). Qiyamnya merupakan sesuatu yang kalian adakan maka lestarikanlah dia karena ada sebagian orang di kalangan Bani Israil telah mengkreasi satu bid’ah tapi Allah mengecam mereka lantaran mereka meninggalkannya. Allah berfirman tentang mereka,
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۖ
“Dan kerahiban yang mereka ada-adakan, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka kecuali bahwa mereka mencari keridhaan Allah. Tapi mereka tidak menjaga amalan itu sebaik-baiknya….. (sampai akhir ayat) (Qs. Al-Hadid: 27).
Status hadits munkar.
Dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, no. 7450.
Dalam sanadnya ada dua rawi yang bermasalah:
Ismail bin Amr bin Nujaih Al-Bajali.
Adz-Dzahabi menyebutnya dalam Al-Mizan, no. 922. Abu Hatim dan Ad-Daraquthni menganggapnya dhaif. Ibnu ‘Adi mengatakan, “Dia punya beberapa hadits yang tidak ada penguatnya.” Lalu Ibnu ‘Adi menyebutkan 6 hadits yang pangkal rusaknya dari dia.
Sementara Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab Ats-Tsiqaat. Tapi yang melemahkan lebih kuat karena menjelaskan kelemahannya apalagi sekelas Abu Hatim dan Ad-Daraquthni.
Tambahan lagi ada Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 1/37 sempat menyebut namanya dan mengatakan dia ini (صاحب غرائب ومناكير عن سفيان الثوري وعن غيره) (Orang yang meriwayatkan hal-hal munkar dan bersendirian dari Ats-Tsauri dan lainnya). Ini merupakan kalimat jarh mufassar (pelemahan yang detil) sehingga jelas kelemahannya.
Tentang Zakariya bin Abi Maryam
Adz-Dzahabi memasukkannya dalam Al-Mizan, no. 2885 dan menukil perkataan An-Nasa`iy, “tidak kuat”. Kemudian juga menukil cerita Abdurrahman bin Mahdi di mana disebut nama Zakariya ini kepada Syu’bah dan Syu’bah malah berteriak.
Ibnu Abi Hatim yang merupakan sumber kisah teriaknya Syu’bah ini mengatakan, “Teriakan Syu’bah itu menunjukkan dia tidak ridha pada Zakariya.” (Al-Jarh wa At-Ta’dil 3/592).
Tambahan lagi tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Husyaim, cukuplah ini semua membuktikan dia dhaif bile bersendirian. Apalagi riwayat ini munkar maknanya karena menganggap qiyam Ramadhan (shalat malam di bilan Ramadhan) adalah bid’ah, padahal jelas qiyam Ramadhan dilakukan Rasulullah dan beliaupun menyatakan pensyari’atannya dalam hadits yang shahih, “Siapa yang melaksanakan qiyam di bulan Ramadhan karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”
Keenam; Yang Masih ada Hutang Puasa, maka puasanya tidak diterima
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya, Hasan menceritakan kepada kami, Ibnu Lahi’ah menceritakan kepada kami, Abu Aswad menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Rafi’, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw yang bersabda,
” مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ، لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ، وَمَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ، فَإِنَّهُ لَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ حَتَّى يَصُومَهُ”
“Siapa yang mendapati Ramadhan sementara dia masih pumya hutang puasa Ramadhan dulu maka tidak diterima puasanya. Siapa yang puasa sunnah sementara dia masih punya hutang puasa dulu yang belum dia qadha` (ganti) maka puasa sunnah itu juga tidak diterima darinya sampai dia bayar dulu hutang puasanya.” (Musnan Ahmad, no. 4621).
Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabarani dalam Al-Awsath dari jalur Abdullah bin Yusuf dari Ibnu Lahi’ah. Lalu Ath-Thabarani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah kecuali dengan jalur ini, hanya diperoleh dari jalur Ibnu Lahi’ah.”
Sebagaimana diketahui bahwa Abdullah bin Lahi’ah ini dhaif dan terbukti dalam riwayat ini dia simpang siur (idhthirab) sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah, 2/235-237, nomor hadits 838.
Maknanya juga munkar karena yang shahih dari Abu Hurairah adalah puasa orang yang ada hutang puasa tetap sah hanya saja bila sampai Ramadhan berikutnya dia belum membayar tanpa uzur maka dia dikenakan denda membayar fidyah memberi makan satu orang miskin untuk tiap puasa yang masih terhutang. Riwayat Abu Hurairah ini ada dalam Sunan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.
Maka status hadits ini munkar, karena Ibnu Lahi’ah bersendirian lalu maknanya bertentangan dengan riwayat Abu Hurairah sendiri.
Ketujuh; Hadits, Puasa Ramadhan tergantung zakat Fitrah.
Ada dua riwayat tentang hal ini disebutkan oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah, riwayat Anas dan riwayat Jarir.
Riwayat Anas
Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Baqiyyah bin Walid, Abdurrahman bin Utsman menceritakan kepadaku dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يُرْفَعُ إِلا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya bulan Ramadhan itu masih digantung antara langit dan bumi, tidak diangkat kecuali kalau sudah ditunaikan zakat fithri.”
Dikeluarkan pula oleh Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad 9/121 pada biografi Sahl bin Ismail Abu Thahir Al-Jauhari Ath-Tharsusi juga melalui jalur Baqiyyah bin Walid.
Juga dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq jilid 43 hal. 93 dalam biografi Ali bin ‘Asakir bin Surur Abu Hasan Al-Maqdisi Al-Kasysyab, juga melalui jalur Baqiyyah bin Walid, tapi dengan redaksi (حتى يؤدي زكاة ماله) (sampai ditunaikan zakat hartanya) bukan menggunakan redaksi zakat fithri sebagaimana riwayat Ibnu Al-Jauzi dan Al-Khathib.
Jadi semua sanad hadits ini bermuara kepada Baqiyyah bin Walid dari Abdurrahman bin Utsman. Di sini Baqiyyah menggunakan shighat tahdits, tapi ‘an’anah pada riwayat dari Abdurrahman bin Utsman ke Anas, padahal dia mudallis tadlis taswiyah, sehingga masih mengandung kelemahan.
Tapi menurut Ibnu Al-Jauzi pangkal kelemahannya terletak pada Abdurrahman bin Utsman yang dikatakan oleh Imam Ahmad, “Orang-orang membuang haditsnya”. Lalu ada Ibnu Hibban yang mengatakan, “Tidak boleh berhujjah dengannya.” [1]
Tapi Syekh Al-Albani meragukan kalau Abdurrahman di sini adalah yang diperbincangkan oleh Imam Ahmad di atas karena yang itu satu thabaqah dengan Baqiyyah bin Walid. [2] Bila benar diam aka diapun mungkin tak bertemu dengan Anas. Kalau bukan dia berarti orang yang majhul ‘ain, dan majhul ‘ain bila bersendirian begini maka kelemahannya parah.
Riwayat Jarir
Dikeluarkan oleh Ibnu Al-Jauzi dalam Al-‘Ilal setelah hadits Anas di atas dengan sanadnya:
“Abu Qasim bin Hushaih menceritakan kepada kami, dia berkata, Ali bin Ali Al-Bashri mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abu Bakr bin Muhammad bin Ibrahim bin Hamdan Ad-Diir mengabarkan kepada kami, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ishaq Al-Faqih mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abdullah bin Ali bin Ubaidah Al-Muaddib menceritakan kepadaku, dia berkata, Muhammad bin Ubaid Al-Bashri menceritakan kepada kami, dia berkata, Mu’tamir menceritakan kepada kami, dia berkata, Ismail bin Abi Khalid menceritakan kepada kami. Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah yang berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
“إِنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يُرْفَعُ إِلا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya bulan Ramadhan itu akan tergantung antara langit dengan bumi, tidak diangkat kecuali dgn zakat fithri.”
Dalam sanad ini ada nama Muhammad bin Ubaid Al-Bashri yang dikatakan oleh Ibnu Al-Jauzi “majhul”. Pernyataan Ibnu Al-Jauzi ini disetujui oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Lisan Al-Mizan 7/334 dan menjadikan hadits di atas sebagai hadits riwayatnya yang tidak ada penguatnya (laa yutaba’ ‘alaih).
Katanya pula hadits ini ada dalam Al-Muhtaarah karya Adh-Dhiya` Al-Maqdisi tapi saya belum menemukan di kitab yang tercetak. Ada kemungkinan masih belum tercetak, mengingat versi yang tercetak sekarang baru setengah dari kitab aslinya. Wallahu a’lam.
Dengan demikian hadits ini lemah dan tidak bisa saling menguatkan, sehingga zakat fithri bukanlah penentu diterimananya amalan puasa Ramadhan atau tidak. Dia hanyalah kewajiban tersendiri dan punya konsekuensi yang terpisah dari ibadah puasa. Wallahu a’lam.
Kedelapan; Ramadhan diawali rahmat
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda,
أول شهر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار
“Awal bulan Ramadhan itu adalah rahmat, tengahnya adalah ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Fadhail Ramadhan (hal. 65, no. 37), Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil fid Dhu’afa, semua Ketika menyebut biografi Salam bin Sawwar. Semua melalui Salam bin Sawwar, dari Maslamah bin Shalt, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah.
Sebab kelemahan hadits ini adalah semua sanadnya bermuara kepada Salam bin Sawwar dan Maslamah bin Shalt.
Salam bin Sawwar, Ibnu ‘Adi menganggapnya munkarul hadits, Al-‘Uqaili mengatakan haditsnya tidak terjaga (ghairu mahfuzh) dan maksudnya adalah hadits di atas, tidak benar berasal dari Az-Zuhri. Adz-Dzahabi menyebutnya dalam Mizan Al-I’tidal (2/178) dan riwayat-riwayat munkar yang dia riwayatkan, hadits di atas adalah salah satunya.
Maslamah bin Shalt dikatakan oleh Abu Hatim munkarul hadits (Al-Jarh 8/269). Sementara Ibnu ‘Adi mengatakannya tidak dikenal (Al-Kamil 4/325).
Hadits senada yang lebih Panjang dan terdapat kalimat di atas adalah hadits Salman di bawah ini
Kesembilan; Hadits Salman tentang khutbah Rasulullah di akhir Sya’ban.
Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam shahihnya,
(8) بَابُ فَضَائِلِ شَهْرِ رَمَضَانَ، إِنَّ صَحَّ الْخَبَرُ
1887 – ثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ، ثَنَا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ، ثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ سَلْمَانَ قَالَ:
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ، فَقَالَ:
“أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ”. قَالُوا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ. فَقَالَ: “يُعْطِي اللَّهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ، أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخَصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا، سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لَا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ”.
“Ali bin Hujr As-Sa’di menceritakan kepada kami, Yusuf bin Ziyad menceritakan kepada kami, Hammam bin Yahya menceritakan kepada kami, dari Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’id bin Musayyib, dari Salman yang berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam berkhutbah (di hadapan) kami pada hari terakhir bulan Sya’ban, beliau bersabda: “Wahai manusia, telah menaungi kalian bulan nan agung, bulan penuh barokah, bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Allah telah menjadikan berpuasa di dalamnya suatu kewajiban, dan qiyamul lail sebagai sunnah, barangsiapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan satu kebaikan maka dia bagaikan menunaikan kewajiban pada bulan lainnya, dan barangsiapa yang menunaikan kewajiban di dalamnya, maka dia bagaikan menunaikan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Ia adalah bulan kesabaran, dan pahala sabar adalah surga, ia bulan saling mengasihi, bulan saat rezeki orang mukmin bertambah. Barangisapa memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka dosa-dosanya akan terampuni, dibebaskan dari neraka. Dan dia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun juga.
Shahabat bertanya: “Tidak semua dari kita memiliki apa yang dapat diberikan untuk memberi buka bagi orang yang berpuasa?”. Beliau bersabda: ”Allah akan memberikan pahala ini bagi orang yang memberikan buka orang yang berpuasa, walau dengan kurma, seteguk air, atau segelas susu. Ia adalah bulan yang permulaannya rahmah, pertengahannya ampunan, dan akhirnya kebebasan dari siksa neraka. Barangsiapa yang meringankan budaknya (pembantunya) maka Allah akan mengampuninya dan memerdekakannya dari neraka.
Maka hendaklah kalian memperbanyak empat kebaikan. Dua kebaikan yang membuat Tuhan rida terhadap kalian, dan dua kebaikan lagi yang tidak dapat kalian abaikan. Sementara dua kebaikan yang membuat Tuhan kalian rida adalah persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan kalian memohon ampun kepada-Nya. Sementara dua kebaikan yang tidak dapat kalian abaikan adalah memohon surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari siksa neraka. Dan siapa yang di bulan ini mengenyangkan orang yang berpuasa (memberi makan berbuka), maka Allah akan memberinya seteguk minuman dari telagaku yang membuatnya tidak akan haus hingga masuk surga”.
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 3336, Ibnu Abi -Ad-Dunya dalam Fadha`il Ramadhan, Ibnu Syahin dll, semua bermuara pada Yusuf bin Ziyad.
Kemudian Al-Baihaqi juga meriwayatkan mutabi’ bagi jalur Yusuf bin Ziyad yaitu dari jalur Abu Bakar As-Sahmi, dari Iyas bin Abdul Ghaffar, dari Ali bin Zaid bin Jud’an.
Dengan demikian ada dua jalur: jalur Yusuf bin Ziyad, dari Hammam dari Ali, dan jalur Iyas bin Abdul Ghaffar dari Ali bin Zaid.
Yang menjadi pangkal kelemahan adalah tiga orang yaitu Yusuf bin Ziyad, Iyas bin Abdul Ghaffar dan Ali bin Zaid bin Jud’an. Kesemua jalur muaranya adalah Ali bin Zaid bin Jud’an, sehingga banyak yang menjadikannya sebagai pangkal terakhir kelemahan riwayat ini.
Ali bin Zaid bin Jud’an sendiri memang masih diperselisihkan kredibilitasnya, tapi jumhur ulama jarh wat ta’dil menganggap riwayatnya dha’if dalam hadits meski dia orangnya jujur dan shaleh.
Beberapa pendapat ulama tentangnya disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal 3/127, dan juga Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (20/434 – 444). Intinya dia dhaif bila meriwayatkan hadits bersendirian hanya saja kelemahannya tidak parah dan masih bisa dijadikan i’tibar.
Tapi kalau saya perhatikan pangkal utama kelemahan riwayat ini bukan pada ali bin Zaid, bahkan bisa jadi ini tidak shahih dari Ali bin Zaid. Pangkal utama adalah Yusuf bin Ziyad dan Iyas bin Abdil Ghaffar dan keduanya tidak bisa saling menguatkan.
Yusuf bin Ziyad Abu Abdillah Al-Bashri dianggap oleh Al-Bukhari “munkarul hadits”, Abu Hatim mengatakannya, “munkarul hadits”, Ad-Daraquthni mengatakan, “dia terkenal meriwayatkan yang bathil”. (Lihat Mizan Al-I’tidal 4/465).
Iyas bin Abdul Ghaffar atau Iyas bin Abi Iyas dikatakan oleh Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu’afa` (1/151) di aini majhul dan haditsnya tidak mahfuzh (terjaga, tidak dipastikan benar), lalu Al-Uqaili menyebutkan hadits di atas sebagai contoh haditsnya.
Adz-Dzahabi menyebutnya dalam Al-Mizan (1/282) dan mengatakan tidak dikenal dan khabarnya munkar.
Yang lebih parah adalah bahwa Ibnu Abi Hatim menyebutkan dalam kitab Al-‘Ial (1/249):
“Aku bertanya kepada ayahku ttg hadits yang diceritakan kepada kami oleh Hasan bin Arafah, dari Abdullah bin Bakr As-Sahmi, dia berkata, Iyas menceritakan kepadaku, dari Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’id bin Musayyib, bahwa Salman Al-Farisi berkata, “Rasulullah ﷺ berkhutbah di hadapan kami di hari terakhir bulan Sya’ban…..
Ayahku menjawab, “Ini adalah hadits munkar! Abdullah bin Bakr salah sebut di dalamnya, sebenarnya dia adalah Aban bin Abi Ayyasy, bukan Iyas.”
Bila benar apa yang dikatakan Abu Hatim bahwa itu adalah Aban bin Ayyasy maka lebih lemah lagi, karena Aban ini matruk, sampai-sampai Syu’bah pernah mengatakan, “Aku lebih baik minum kencing keledai daripada menceritakan hadits darinya.”
Dengan demikian pangkal kelemahan riwayat ini bisa jadi bukan gara-gara Ali bin Zaid bin Jud’an, melainkan dari perawi sebelumnya yaitu Yusuf bin Ziyad dan juga Iyas bin Abi Iyas atau mungkin dia adalah Aban bin Abi Ayyasy. Wallahu a’lam.
Tidak puasa maka kafir dan halal darahnya
Abu Ya’la meriwayatkan, Abu Yusuf Al-Jiizi menceritakan kepada kami, Muammal menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami, Amr bin Malik an-Nukri menceritakan kepada kami, dari Abu al-Jauza`, dari Ibnu Abbas, Hammad berkata, Aku rasa dia memarfu’nya (mengatakan Rasulullah bersabda),
عُرَى الْإِسْلَامِ وَقَوَاعِدُ الدِّينِ ثَلَاثَةٌ عَلَيْهِنَّ أُسِّسَ الْإِسْلَامُ مَنْ تَرَكَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً فَهُوَ بِهَا كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَالصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
“Akar Islam dan pondasi agama itu ada tiga, di atasnyalah Islam dibangun, dan siapa yang meninggalkan salah satu darinya maka dia kafir halal darahnya: Syahadat tiada ilah selain Allah, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.”
Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Yazid al-Qarathisi, Asad bin Musa menceritakan kepada kami, Mu’ammal menceritakan kepada kami. Jadi semua bermuara kepada Mu’ammal bin Ismail.
Mu`ammal bin Ismail ini diperselisihkan. Adz-Dzahabi menyebutkan penilaian para ulama terhadapnya dalam Mizan Al-I’tidal: Ibnu Ma’in menganggapnya tsiqah, Abu Hatim mengatakan, “dia jujur, kuat mempertahankan sunnah tapi suka salah (dalam hadits)”, Al Bukhari mengatakannya “munkarul hadits”, Abu Zur’ah mengatakan, “Dalam haditsnya banyak yang keliru. Sementara Abu Daud mengangungkannya.
Lalu Adz-Dzahabi menyebutkan satu riwayatnya sampai kepada Ibnu Abbas tentang mut’ah dan Adz-Dzahabi mengesankan dialah penyebab dari riwayat munkar itu. Lihat Mizan Al-I’tidal 4/228-229.
Kemudian di sana ada pula nama ‘Amr bin Malik an-Nukri yang tidak ditemukan tautsiqnya kecuali dari Ibnu Hibban, itupun dengan catatan “Dia sering salah dan bersendirian dalam meriwayatkan.” Inilah yang dijadikan Syekh Al-Albani dalam kitab Tamam Al-Minnah (hal. 138) melemahkan hadits ini.
Dengan demikian hadits ini lemah dan tak bisa jadi sandaran hukum untuk mengkafirkan dan menghalalkan darah orang yang tidak puasa.
Kesepuluh: Rajab bulan Allah dan Ramadhan bulan umatku
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri:
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ، وَشَعْبانُ شَهْرِيْ، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ
”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Status: Palsu (maudhu’)
Alasan:
Semua jalurnya melalui Abu Bakr An Naqqasy yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai Dajjal pemalsu hadits. (Lihat: Tabyin Al-’Ajab, hal. 40-41).
Keterangan:
Hadits ini dibahas panjang lebar oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam risalahnya ”Tabyiinul ’Ajab bimaa warada fii Syahri Rajab”, dan beliau berkesimpulan hadits di atas palsu.
Hadits dengan makna senada juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Fadha`il Al-Awqaat, dengan sanadnya dari Ghanjar, dari Nuh bin Abu Maryam, dari Zaid Al-Ammi, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas. Al-Hafizh memastikannya palsu karena adanya Nuh bin Abu Maryam yang ber-kunyah Abu ’Ishmah. (tabyiin Al-’Ajab, hal. 41).
Akan tetapi Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits dengan lafaz ini hanya dha’if sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhuu’ah, no. 4400. Riwayat yang ia bawakan adalah yang terdapat dalam kitab At-Targhib karya Al-Ashbahani dalam At-Targhib dari Qiran bin Tamam, dari Yunus, dari Al-Hasan (Al-Bashri), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Demikian nukilan Syekh Al-Albani. Saya temukan hadits ini dalam kitab At-Targhib karya Qawam As-Sunnah Al-Ashbahani dengan sanad sebagai berikut:
أخبرنا عبد الواحد بن علي بن فهد ببغداد، ثنا أبو الفتح بن أبي الفوارس، ثنا عبد الله بن محمد بن جعفر، ثنا عبد الله بن محمد بن زكريا، ثنا يوسف بن إسحاق البابي وكان ثقة، ثنا محمد بن بشير البغدادي، ثنا قران بن تمام، عن يونس، عن الحسن، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((من صام يوماً من رجب عدل له بصوم سنتين، ومن صام النصف من رجب عدل له بصوم ثلاثين سنة)) .
وقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((رجب شهر الله -عز وجل- وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي)) .
Sanad ini jelas dha’if karena mursal, Hasan Al-Bashri bukan sahabat Nabi, melainkan tabi’in. Juga ada nama Muhammad bin Basyir Al-Bahdadi, yaitu Muhammad bin Basyir bin Marwan bin ‘Atha Al-Kindi Al-Waizh.
Biografinya disebut oleh Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (2/98-99) dan menukil dari Ibnu Ma’in yang mengatakannya, “Tidak tsiqah”, juga Ad-Daraquthni yang menyebutnya, “Tidak kuat dalam hadits.” Dengan demikian hadits ini teranggap sangat lemah. Wallahu a’lam.
Kesebelas; Ibadahnya orang Puasa
Diriwayatkan:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَ صُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَ عَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَ دُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَ ذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
”Tidurnya orang puasa itu adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya akan dilipatgandakan, doanya terkabul dan dosanya terampuni.”
Status hadits: Sangat lemah
Keterangan:
Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Hadits ini sendiri diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam ”Syu’ab Al-Iman” dari Abdullah bin Abu Aufa. Dalam sanad Al-Baihaqi ada nama Sulaiman bin ’Amr An-Nakha’i yang dianggap pemalsu hadits. (Lihat: As-Silsilah Adh-Dha’ifah, no. 4696 dan Faidh Al-Qadir, karya Al-Munawi, juz 6 hal. 378, no. 9293).
Dengan demikian sanad ini palsu, tapi hadits ini ada syahid (penguat)nya dijelaskan oleh Syekh Al-Albani secara panjang lebar dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah juz. 10, hal. 230 – 231. Intinya, derajat hadits dengan redaksi di atas tidak sampai palsu, melainkan hanya dhaif jiddan (lemah sekali).
Keduabelas: Bergembira dengan datangnya Bulan Ramadhan
Diriwayatkan:
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرانِ
”Barangsiapa bergembira akan datangnya bulan Ramadhan, niscaya Allah akan mengharamkan jasadnya dimakan api neraka.”
Status: Tidak ada asalnya.
Keterangan:
Hadits ini terdapat dalam kitab Durratun Nashihiin, karya Utsman Al-Khubawi yang terkenal memuat banyak hadits palsu dan sangat lemah, meski tak sedikit pula hadits shahih dalam kitab itu.
Berhubung hadits ini tidak bisa ditemukan dalam kitab-kitab yang mu’tabar, maka penulis berkesimpulan hadits ini palsu.
Ketigabelas; Doa Malaikat
Perihal do’a Malaikat Jibril yang diaminkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika naik mimbar:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada).
Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri.
Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.”
Hadits ini yang belakangan berkembang, setelah mencari-cari ternyata hadits ini tidak ada asalnya. Besar kemungkinan ini diucapkan oleh orang yang hafalannya salah kemudian diforward ke teman-temannya baik via internet, grup chatting, maupun mulut ke mulut.
Memang ada hadits doa malaikat Jibril yang diaminkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi redaksinya bukan demikian, melainkan sebagai berikut:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين قال الأعظمي : إسناده جيد
“Dari Abu Hurairah; Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam naik mimbar lalu bersabda, ‘Amin … amin … amin.’ Para sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau berkata demikian (berkata amin sebanyak tiga kali), wahai Rasulullah?’ Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku, ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua),’ maka aku berkata, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu,’ maka kukatakan, ‘Amin.” (Al-A’zhami berkata, “Sanad hadis ini jayyid.”)
Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib, 2:114, 2:406, 2:407, dan 3:295; juga oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Madzhab, 4:1682. Dinilai hasan oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:142; juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Qaulul Badi‘, no. 212; juga oleh Al-Albani di Shahih At-Targhib, no. 1679.
Catatan kaki:
[1] Al-‘Ilal al-Mutanahiyah 2/8, tahqiq Irsyadul Haq.
[2] Lihat As-Silsilah Adh-Dha’ifah 1/118.
Penulis: Anshari Taslim, Pimpinan Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta.