Fatwapedia.com – Pada tulisan ini akan dikupas tuntas hukum seputar i’tikaf dengan penjelasan yang mudah dipahami. Dilengkapi dengan dalil-dalil i’tikaf dari Al-Quran maupun As-Sunnah. In syaa Alloh tulisan ini bermanfaat untuk panduan i’tikaf di masjid selama bulan ramadhan khususnya i’tikaf pada 10 hari terakhir.
Pengertian I’tikaf
I’tikaf (الاعتكاف) dari segi bahasa berasal dari kata (العكوف). Artinya; Menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama. Seperti firman Allaah dalam surat Al-Anbiya: 52 dan surat Asy-Syu’ara: 71.
Sedangkan dari segi istilah, yang dimaksud i’tikaf adalah menetap di masjid dengan niat beribadah(taqarrub ilallaah), dengan kriteria tertentu dan dilakukan oleh orang tertentu. (Al Iqna’, 2/247).
Landasan Hukum I’tikaf:
Syariat I’tikaf dinyatakan dalam Alquran, hadits serta pendapat para ulama salaf.
Dalam surat Al Baqarah ayat 125, Allah Ta’aala berfirman,
أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang I’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS. Al Baqarah[2] : 125)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ -متفق عليه
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I’tikaf sesudahnya.” (Muttafaq alaih).
Para ulama sepakat bahwa I’tikaf adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk I’tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya. (Ibnul Mundzir, Al Ijma’, hal. 53)
Lama i’tikaf dan Waktunya
Berkaitan dengan waktu dan durasi minimal i’tikaf terdapat beberapa pendapat berikut:
Pendapat pertama : Masa minimal i’tikaf adalah sehari.
Ini merupakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah, sebagian Malikiyyah, sebagian Syafi’iyyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad. (Fathul Qadir, 2/110; Mawaahib Al Jalil, 2/454; Raudhatut Thalibin, 2/391)
Dalilnya: Mereka mengatakan bahwa i’tikaf tidak sah jika tidak shaum. Dan waktu shaum adalah sehari.
Pendapat Kedua: I’tikaf dilakukan dengan masa waktu minimal sehari semalam.
Pendapat tersebut merupakan pendapat masyhur di kalangan madzhab Maliki.
Dalilnya adalah pendapat Ibn ‘Umar dan Umar Ibnul Khattab yang memerintahkan manusia untuk beri’tikaf minimal sehari semalam. (Syarh Al ‘Umdah, 2/760)
Pendapat Ketiga: Masa minimal i’tikaf adalah 10 hari.
Pendapat ini merupakan salah satu riwayat Imam Malik. Dengan dalil bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dalam waktu 10 hari.
Pendapat Keempat: Pendapat mayoritas ulama yang memandang bolehnya i’tikaf walau hanya beberapa saat, dimana tolok ukurnya ialah ‘urf masyarakat.
Dalil mereka ialah keumuman ayat Qur’an, Surat Al Baqarah ayat 187 :
وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْـتُمْ عٰكِفُوْنَ ۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ
“dan janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf..” (QS. Al Baqarah[2] :187)
I’tikaf bermakna berdiam diri. Dan segala aktivitas berdiam diri di masjid dalam rangka taqarrub ilallaah adalah i’tikaf. Baik itu lama maupun sebentar.
Adapun dalil dari Sunnah ialah hadits :
إني لأمكث في المسجد الساعة، وما أمكث إلا لأعتكف
“Sesungguhnya aku ingin berdiam diri di masjid walau sesaat, dan tidak lah aku berdiam diri di masjid melainkan aku beri’tikaf”. (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al Mushannaf[4/347], dan Ibn Abi Syaibah[3/89]. Sanadnya shahih)
Imam Nawawi mengatakan bahwasanya i’tikaf meski sesaat, tetap akan diberikan pahala walau sebatas duduk di masjid bahkan walau mengisi dengan perkara dunia -seperti makan minum- di masjid. (Al Jami’ Al Aam fi Fiqh As Shiyam, hal. 411)
Sedangkan lama maksimal I’tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah di tahun wafatnya pernah melakukan I’tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Adapun waktu I’tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah melakukan I’tikaf di bulan Syawwal (Muttafaq ‘alaih).
Beliau juga diriwayatkan pernah I’tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadhan (HR. Muslim).
Namun waktu I’tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Masjid Adalah Tempat I’tikaf
Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i’tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum’at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa I’tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah. (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 8009).
Disamping, jika I’tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i’tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat I’tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.
Yang dimaksud masjid sebagai tempat I’tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid.
Lebih baik lagi jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta I’tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur dan menyimpan barang bawaan.
Bolehkah I’tikaf Di Mushalla?
Perlu diperjelas dahulu apa yang dimaksud dengan mushalla di sini? Sebab ada kesalahkaprahan dalam masalah ini.
Makna mushalla yang sebenarnya adalah tempat umum yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk shalat. Misalnya lapangan yang digunakan untuk shalat Id, maka ketika itu lapangan tersebut disebutk sebagai mushalla (tempat shalat). Atau lorong dan basement di perkantoran yang sewaktu-waktu digunakan sebagai tempat shalat dan jika selesai dikembalikan fungsinya seperti semula. Mushalla seperti ini jelas tidak dapat digunakan untuk I’tikaf.
Adapun apa yang disebut mushalla pada bangunan yang telah khusus diperuntukkan untuk shalat bahkan sudah diwakafkan untuk itu, sebagaimana yang banyak terdapat di tengah masyarakat, pada hakekatnya itu adalah masjid, hanya saja tempat tersebut umumnya tidak digunakan untuk shalat Jumat. Karenanya, oleh masyarakat, untuk membedakannya dengan masjid yang digunakan untuk shalat Jumat tempat tersebut disebut dengan istilah mushallah. Sementara di negeri-negeri Arab, tempat seperti itu tetap disebut dengan masjid, sedangkan masjid yang digunakan untuk shalat Jumat disebut Jami’.
Kesimpulannya, dibolehkan I’tikaf di mushalla seperti yang dijelaskan di atas dengan catatan di mushalla tersebut dilaksanakan shalat berjamaah lima waktu. Adapun untuk shalat Jum’at dia boleh keluar ke masjid lain dan segera kembali ke mushalla tersebut jika sudah selesai. Wallahu a’lam.
Kapan mulai I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dan kapan berakhir?
Jumhur berpendapat bahwa awal mulai i’tikaf yang disunnahkan ialah, sesaat sebelum terbenamnya matahari(maghrib), di hari ke -20 bulan Ramadhan. (Al Minhaj, 8/240)
Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa I’tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu I’tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan.
I’tikaf Bagi Perempuan
Perempuan dibolehkan melakukan I’tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah melakukan I’tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan I’tikaf (HR. Bukhari)
Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas.
Keluar dari Masjid saat I’tikaf
Secara umum, orang yang sedang I’tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا – متفق عليه
“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan jika sedang I’tikaf.” (Muttafaq alaih)
Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang I’tikaf boleh keluar masjid adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.
Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I’tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali I’tikafnya.
Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i’tikaf.
Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka I’tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat I’tikaf dari awal.
Bahkan, orang yang sedang i’tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Dawud)
Pembatal I’tikaf
Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I’tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan I’tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.
Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I’tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid.
Seseorang dibolehkan membatalkan I’tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.
Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang saat i’tikaf
Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah, tholabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah dikunjungi Shofiyah binti Huyay, isterinya, saat beliau I’tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat. Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan penampilan sebagaimana Rasulullah disisirkan Aisyah ra, saat beliau I’tikaf.
Dilarang saat I’tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya.
Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll. Wallahua’lam bishshaawab.
*Oleh: Ustdaz Muhammad Rivaldy Abdullah (Pengasuh Ma’had Nashirus Sunnah Kairo-Mesir)