Oleh : M Syihabuddin Dimyathi
Fatwapedia.com – Telah lumrah beredar sebuah keyakinan di masyarakat kita bahwa rambut dan kuku wanita saat haid tidak boleh ada yang lepas, atau kalau ada yang lepas maka ‘wajib’ di kumpulkan dan nantinya setelah haid selesai, ikut dimandikan. Di sebagian masyarakat kita bahkan ada yang meyakini kalau rambut yang rontok tersebut jika tidak dimandikan maka kelak di akhirat akan menjadi api, ada juga yang mengatakan akan menjadi ulat.
Dari itu, banyak dari mereka yang mempunyai ihtiyath atau kehati-hatian untuk tidak bersisir maupun keramas sampai seminggu, bahkan lebih, tergantung hari haid yang dialami.
Hal ini tentunya bisa menimbulkan beberapa problem turunan, seperti suami yang bisa saja tidak suka dengan bau rambut istri karena berhari-hari tidak keramas, nantinya bisa bikin retak hubungan rumah tangga, dan problem lainnya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, “Apakah benar ketentuannya demikian dalam syariat Islam?”
Dalam tulisan pendek ini, kami berusaha menyajikan hasil penelitian kami terhadap permasalahan ini, yang mana kami klasifikasikan hasil penelitian ini menjadi tiga bagian :
Pertama, pembahasan dalil landasan.
Kedua, komentar berbagai ulama’ menanggapi dalil tersebut.
Ketiga, kesimpulan.
Sebelum ke pembahasan utama, kami akan mengulas sedikit tentang judul yang kami tampilkan. Dalam judul tersebut kami hanya menyebutkan rambut wanita haid. Judul tersebut hanya memandang kebanyakan pembahasan yang terjadi. Secara aslinya pembahasan ini juga mencakup kuku, darah dan segala hal yang ada di tubuh, bukan hanya rambut. Objek kajian ini juga bukan sebatas wanita haid, karena yang jadi titik poin disini adalah ‘hadats besar’, maka juga mencakup wanita nifas dan orang junub.
1- Dalil Landasan
Imam Ghazali, dalam Ihya’nya menyatakan :
ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها
“Tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah atau membuang sesuatu dari badannya disaat dia sedang berjunub, karena seluruh bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali berjunub. Dan dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab junub yang ada pada rambut tersebut.”[1]
Keterangan ini ada dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada pembahasan Kitab Adab al-Nikah. Keterangan tersebut juga dikutip oleh banyak ulama’, baik ulama’ turats maupun kontemporer, seperti tiga serangkai Syarh Minhaj, yaitu Tuhfah Ibnu Hajar, Nihayah Imam Ramli, dan Mughni Khatib Syarbini. Ulama’ kontemporer yang menukil keterangan tersebut diantaranya adalah ulama’ besar Suriah yang bergelar Al-Suyuthi al-Tsani, Dr. Wahbah ibn Musthofa al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuh dan Syekh ‘Athiyyah Shaqr -ulama besar al-Azhar- dalam Mawsu’ah Ahsan al-Kalam Fi al-Fatawa Wa al-Ahkam.
Dalam Ihya’nya Imam Ghazali tidak menyebutkan dalil rujukan atas statement tersebut. Dari penelusuran yang kami lakukan, ternyata Imam Ghazali bertendensi dengan sebuah hadits cukup panjang tentang hilir-mudiknya malaikat siang malam untuk mencatat orang-orang shalat, sebagaimana yang di jelaskan al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asqolani dalam Fath al-Barinya:
تَنْبِيهٌ اسْتَنْبَطَ مِنْهُ بَعْضُ الصُّوفِيَّةِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُفَارِقَ الشَّخْصُ شَيْئًا مِنْ أُمُورِهِ إِلَّا وَهُوَ عَلَى طَهَارَةٍ كَشَعْرِهِ إِذَا حَلَقَهُ وَظُفْرِهِ إِذَا قَلَّمَهُ وَثَوْبِهِ إِذَا أَبْدَلَهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ
“Sebagian ulama sufi (yakni Abu Thalib al-Makki dan Imam Ghazali -pen*) mengambil dalil dari hadits ini bahwa seseorang disunnahkan untuk tidak memisahkan sesuatu dari badannya kecuali ia dalam keadaan suci, seperti memangkas rambut, memotong kuku, mengganti baju dan semisalnya.”[2]
2- Komentar-komentar Ulama’ Menanggapi Dalil Landasan Tersebut
Ihya’ Imam Ghazali dengan segala kepopuleran yang dimilikinya tentu memantik banyak respon dan tanggapan dari para ulama’, baik dari sisi hadits maupun lainnya, tak terkecuali satu statement yang kami kutip dalam makalah ini.
Statement itu memberi banyak respon dari para ulama’, yang mana sekian statement tanggapan itu kembali kepada dua kelompok utama, yaitu pihak yang sepakat dan yang tidak.
Kami tampilkan beberapa diantaranya :
Pertama, Komentar ulama’ yang sepakat
1- Syekh Sa’id Ba’asyin:
وندب لنحو جنب: أن لا يزيل شيئا من بدنه إلا بعد الغسل؛ لأن الأجزاء تعود إليه في الآخرة، فيعود جنباً؛ تبكيتاً له، ثم تزول عنه ما عدا الأجزاء الأصلية، ويقال: إن كل شعرة تطالب بجنابتها
“Disunahkan pada semisal orang junub untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya kecuali setelah mandi, karena seluruh anggota badan akan kembali kepadanya di akhirat kelak, maka hal itu akan menjadi sebab dia junub, sebagai pencelaan terhadapnya, kemudian anggota-anggota badan tadi akan hilang darinya kecuali anggota tubuh yang pokok, dan dikatakan bahwa setiap rambut kelak akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut.” [3]
2- Ibnu Hajar al-Haitami :
وَأَنْ لَا يُزِيلَ ذُو حَدَثٍ أَكْبَرَ قَبْلَهُ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ نَحْوَ دَمٍ قَالَ الْغَزَالِيُّ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ بِوَصْفِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا
“Dan orang yang memiliki hadats besar, sebelum mandi, untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya, walaupun semisal darah. Al-Ghazali berkata…”karena anggota tubuhnya tersebut akan kembali padanya di akhirat kelak dalam keadaan junub, dan di katakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut.”
Dari sekian ulama’ yang sepakat dengan statement Imam Ghazali, kami belum menemukan mereka menampilkan dalil landasan (al-Qur’an ataupun Hadits) dari apa yang telah diungkapkan Imam Ghazali, hanya menukil keterangan tersebut atau menyampaikannya dengan ungkapan lain yang senada, yang tidak keluar dari maksud Imam Ghazali. Seperti juga ibarot Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in:
وينبغي أن لا يزيلوا قبل الغسل شعرا أو ظفرا، وكذا دما، لان ذلك يرد في الآخرة جنبا. 5
“Dan seyogyanya sebelum mandi mereka tidak menanggalkan rambut atau kuku, begitu juga darah. Karena itu akan di kembalikan diakhirat dalam keadaan junub.”
Kedua, Komentar ulama’ yang tidak sepakat
1. Hasyiyah Syarwani dan juga mengutip dari Imam Sa’d dalam Syarh ‘Aqa`id al-Nasafiyyah menyatakan :
(قَوْلُهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَوْدَ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيهِ خِلَافٌ، وَقَالَ السَّعْدُ فِي شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ الْمُعَادُ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى آخِرِهِ ع ش
“Pernyataan Mushonnif “anggota yang terlepas kelak di akhirat akan kembali”, ini didasari penilaian bahwa anggota yang kelak kembali di akhirat bukan terkhusus anggota-anggota asli (pokok), dan dalam permasalahan ini ada khilaf. Al-Sa’d di dalam Syarh ‘Aqa`id al-Nasafiyyah berkata “anggota yang kelak dikembalikan hanyalah anggota asli yang masih tersisa dari awal umur hingga akhir hayat.”
2. Imam Bujairami mengatakan :
عِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ قَلْيُوبِيٌّ
“Perlu dipertimbangkan kembali pendapat tersebut, karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal, bukan seluruh kuku yang dia potong selama hayatnya begitu juga bukan seluruh rambutnya.” Keterangan ini mirip dengan yang diutarakan al-Qulyubi.
3. Al-Madaabighi :
وَعِبَارَةُ الْمَدَابِغِيِّ قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلَخْ أَيْ الْأَصْلِيَّةَ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ
“Ucapan Mushannif “Karena anggota-anggota tubuhnya…dst”. Maksudnya hanya anggota tubuh yang asli seperti tangan yang terpotong. Berbeda semisal rambut dan kuku.”
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolani :
وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ: إنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكُونُ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ ثُمَّ عِنْدَ دُخُولِ الْجَنَّةِ يَصِيرُونَ طِوَالًا
“Sesungguhnya setiap orang nantinya akan sesuai dengan anggota tubuh saat ia meninggal. Kemudian ketika masuk surga maka mereka menjadi tinggi-tinggi.”
5. Fatwa Daar Al-Ifta’ Al-Mishriyah :
لكن هذا الكلام لا دليل فيه على منع ذلك أثناء الجنابة، ولا فى مطالبة الجز المفصول بجنابته يوم القيامة، وقد وُجِّه مثل هذا السؤال لابن تيمية كما قال السفارينى فى كتابة ” غذاء الألباب ج 1 ص 382 ” فأجاب: قد ثبت عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه لما ذكر الجنب قال ” إن المؤمن لا ينجس حيا ولا ميتا ” قال: وما أعلم لكراهة إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا، بل قد قال النبى صلى الله عليه وسلم للذى أسلم ” ألق عنك شعر الكفر واختتن ” فأمر الذى أسلم بذلك ولم بأمره بتأخير الاختتان وإزالة الشعر حتى يغتسل، فإطلاق كلامه يقتضى جواز الأمرين، وكذلك تؤمر الحائض بالامتشاط فى غسلها مع أن الامتشاط يذهب ببعض الشعر، فعلمنا عدم كراهة ذلك. وأن ما يقال فيه مما ذكر لا أصل له. قال عطاء: يحتجم الجنب ويقلم أظفاره ويحلق رأسه وإن لم يتوضأ، رواه البخارى.
وعلى هنا فلا كراهة فى قص الشعر والظفر أثناء الجنابة
“Tidak ada dalil atas pelarangan melakukan hal-hal tersebut (baik memotong kuku, rambut, keluar darah dan lainnya) di waktu Junub (ataupun haid, dan hadats besar lainnya).
(Kemudian) tidak ada dalil juga tentang penjelasan pada hari kiamat kelak anggota-anggota tubuh yang terlepas sebab Junub akan menuntut seseorang.
Dan dalam penutupan akhir dari jawaban di perjelas “dari keterangan ini, maka tidak ada kemakruhan (apalagi pengharaman) dalam memotong rambut dan kuku ketika Junub (dan hadats besar lainnya).”
3. Kesimpulan
Masih terjadi selisih pendapat diantara ulama’ akan hukum menanggalkan sesuatu dari tubuh ketika hadats besar. Statement Imam Ghazali dan dalil yang digunakan dipandang banyak ulama’ tidak kuat untuk menyatakan pelarangan melakukan hal itu. Apalagi sampai taraf pengharaman seperti yang menjadi keyakinan sebagian masyarakat.
Kemudian, untuk kuku atau rambut yang sudah terlanjur di potong atau rontok saat hadats besar, kami belum menemukan referensi yang menyatakan itu wajib di mandikan. Bahkan dalam Nihayah al-Muhtaj Imam Ramli dan juga Hawasyi al-Syarwani dengan tegas dikatakan bahwa bagian yang terlepas sebelum mandi, junubnya tidak bisa hilang dengan memandikannya.
الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ اهـ. 11
“Bagian-bagian tubuh yang terlepas sebelum mandi wajib maka janabahnya tidak bisa hilang dengan memandikannya.”
Adapun keterangan NU Online yang menyatakan ada pendapat wajib memandikan anggota yang terlepas saat haid yang berangkat dari ibarot Imam Nawawi dalam Raudhoh yang mengutip keterangan Al-Bayan karya Al-Umroni, hemat kami mereka salah paham.
Kami kutipkan keterangan NU online tersebut:
Adapun sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok, kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh? Apakah bagian yang terlepas wajib dibasuh? Para ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin mengatakan sebagai berikut.
ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم
Artinya, “Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, ‘Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.’ Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, ‘Wajib membasuh bagian yang tampak saja.’ Pendapat ini lebih sahih.
Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz 1, halaman 125).
Keterangan terjemahan dalam kurung di paragraf terakhir baris kedua merupakan hasil pemahaman yang di tangkap penulis, bukan menerjemahkan teks asli dari ibarot Roudhoh, dan itu salah. Bukti kesalahannya kami tampilkan dari Al-Bayan karya Al-Umroni yang menjadi rujukan Roudhoh.
ٍإذا غسل الجنب جميع بدنه إلا طرف شعره، فقطع ما بقي من الشعر ممّا لم يغسله.. فقد اختلف أصحابنا المتأخرون فيها:
فمنهم من قال: يجب عليه غسل ما ظهر من الشعر بالقطع؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا} [النساء: 43] والقطع لا يسمى غسلا.
ومنهم من قال: لا يجب عليه شيء؛ لأنه زال ما وجب غسله، فهو كما لو توضأ وترك رجله، ثم قطعت من فوق الكعب.. فإنه لا يجب عليه غسل ما ظهر بالقطع عن الحدث. 12
Disana dengan jelas disebutkan bahwa yang wajib dibasuh bukanlah anggota yang terlepas tersebut, melainkan “ma dzoharo minas-sya’ri bil qoth’i”, yakni pegasan alias bagian rambut yang nampak sebab adanya pemotongan.
Kemudian, statement Imam Ghazali sendiri seperti yang diutarakan al-Syarwani berangkat dari penilaian bahwa yang dikembalikan kelak adalah semua anggota tubuh selama hidupnya, baik rambut yang di potong, kuku ataupun lainnya. Dan ini merupakan pendapat lemah.
Shighot لا ينبغي sendiri seperti tertera dalam statement Imam Ghazali bisa mengarah pada dua hukum, bisa makruh bisa haram seperti keterangan dalam al-Tahdzib karya Imam al-Baghowy. (13) Tapi dengan memandang berbagai komentar ulama’, baik yang sepakat atau tidak, bisa disimpulkan bahwa alur hukum yang paling tinggi hanya bertaraf makruh.
Untuk masyarakat yang meyakini bahwa rambut yang terlepas dan kuku yang terlepas jika tidak di mandikan sewaktu bersuci nantinya akan menjadi api atau ulat kami rasa tidak ada dalilnya. Yang mengatakan nantinya akan kembali dalam keadaan hadats besar juga telah dijawab oleh para ulama.
Kesimpulan Akhir,
1- Hukum memotong rambut, kuku, dan semisalnya ketika junub, haid, dan hadats besar lainnya adalah antara makruh dan mubah. Tidak sampai ke taraf haram. Salah satu yang menyatakan mubah adalah Darul Ifta’ Mesir yang menyatakan jawazul amroin (kebolehan melakukan dua perkara, yakni boleh memotong ataupun tidak).
2- Untuk hukum memandikan rambut dan kuku yang terlepas sebelum mandi wajib, maka tidak ada kewajiban atau kesunahan sama sekali. Kesunahannya adalah dengan memendam. Wallahu ta’ala a’lam.
Catatan tambahan:
Kami menafsiri “sebagian ulama’ sufi” dalam ibarot Fath al-Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar dengan Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H) dan Imam Ghazali (450-505 H) karena setau kami pertama kali yang istinbath demikian adalah Abu Thalib Al Makki dalam kitab Quut al-Quluub, kemudian Imam Ghazali mengadopsi pemikiran tersebut dan beliau cantumkan dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin.
Kemudian kenapa kami memilih ibarot Imam Ghazali untuk di tampilkan dalam dalil landasan, karena memang umumnya pembahasan masalah ini merujuk pada Ihya’ Imam Ghazali, dan yang dikutip oleh banyak ulama’ dalam kitab-kitabnya juga dari Ihya’, bukan dari Quut al-Quluub Abu Thalib Al Makki.
Referensi:
[1] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya` ‘Ulum al-Diin, (Beirut: Daar al-Ma’rifah) 2/51.
[2] Ibn Hajar al-‘Asqolani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Ma’rifah) 2/37.
[3] Sa’id Ba’asyin, Busyro al-Karim bi Syarh Masa’il al-Ta’lim, (Jeddah: Daar al-Minhaj) 135.
[4] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-‘Ubbadi (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[5] Zain al-Diin al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain, (Beirut: Daar ibn Hazm) 69.
[6]’Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-‘Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[7] ‘Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-‘Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[8] ‘Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-‘Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[9] Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/247.
[10] Majmu’ah min al-Mu`allifin, Fatawa Daar al-Ifta’ al-Mishriyyah, 8/418.
[11] Syams al-Diin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/229.
[12] Al-Umroni, Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, (Jeddah: Dar Al-Minhaj), 1/263.
[13] al-Baghowy al-Syafi’i, al-Tahdzib fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) 1/65.
و”ينبغي” الأغلب فيها استعمالها في المندوب تارة والوجوب أخرى، ويحمل على أحدهما بالقرينة، وقد تستعمل للجواز والترجيح، و”لا ينبغي” قد تكون للتحريم أو الكراهة أهـ تحفة بزيادة من النهاية.
Tulisan ini merupakan kutipan hasil karya ilmiah penulis untuk memenuhi tugas fan Insya’ kelas 3 Tsanawiy di Madrasah Ghazaliyyah Syafi’iyah Pesantren Sarang