Fatwapedia.com – Kembali kami hadirkan artikel dengan tema fikih mu’amalah. Kali ini sampai pada pembahasan larangan jual beli buah yang belum waktunya panen. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan keislaman kita (tafaqquh fiddinillah), serta menambahkan iman, mengobarkan semangat beramal dalam diri kita.
Al-Muallif rahimahullah Imam Abu Syuja’ setelah menjelaskan tentang hukum khiyar adanya hak bagi pembeli ataupun bagi penjual untuk membatalkan transaksi bila pada objek transaksi terdapat cacat.
Kali ini kita akan bersama-sama menyelami pernyataan al-muallif rahimahullah (Imam Abu Syuja’) yang mengatakan
ولا يجوز بيع الثمرة مطلقا إلا بعد بدو صلاحها
Tidak boleh memperjualbelikan buah-buahan secara mutlak alias tanpa syarat kecuali bila buah-buahan tersebut sudah siap petik, sudah menua, sudah sesaat lagi panen. Tanda bahwa buah tersebut sudah tua, sudah nampak kasat dengan mata.
Dari pernyataan muallif ini dapat kita pahami bahwa apa yang akan beliau sampaikan pada hukum ini, ini hanya berlaku pada buah-buahan, adapun selain buah-buahan maka boleh diperjualbelikan kapan saja.
Ini pemahaman secara tekstual dari pernyataan muallif, dengan demikian apapun barangnya baik siap panen ataupun tidak, selama bukan buah-buahan, boleh diperjual-belikan walaupun ketika pembeli membeli barang tersebut baru akan dipanen (dipetik) setelah sekian waktu.
Ini kalau kita berdasarkan pemahaman terhadap redaksi pernyataan muallif karena beliau hanya menyebutkan jual-beli buah-buahan. Namun dikalangan para ulama menjualbelikan buah-buahan yang belum siap panen (belum siap petik) disebut dengan sistem ijon (mukhadarah).
Di kalangan para ulama terjadi dua pendapat, apakah hukum ini hanya berlaku pada buah-buahan saja, atau pada semua barang yang semakna alias barang tersebut ditransaksikan pada hari ini, namun barang itu belum siap panen, belum siap dimanfaatkan, belum siap diserahterimakan kepada pembeli masih harus menunggu beberapa waktu agar barang tersebut siap diserahterimakan.
Contoh sederhananya ketika anda membeli pohon-pohonan yang masih kecil baru ditanam padahal pohon tersebut misalkan pohon jati, pohon sengon, baru layak dipotong setelah 5 tahun atau lebih.
Ketika anda membelinya di saat pohon itu baru berumur setahun, berarti pohonnya belum siap dipanen alias anda sebagai pembeli harus menunggu 5 tahun ke depan atau minimal 4 tahun ke depan untuk bisa mendapatkan barang yang anda beli.
Dengan kata lain ketika transaksi barang yang anda beli atau barang yang dijual belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembeli, padahal bisa jadi selama perjalanan 4 atau 5 tahun ke depan, barang tersebut gagal panen.
Seperti halnya ketika menjualbelikan buah-buahan yang masih hijau belum siap panen, bisa jadi ketika menunggu musim panen tiba buah-buahan (biji-bijian) tersebut rusak terkena hama, seperti jual padi yang masih hijau belum siap panen, bisa jadi di tengah perjalanan di tengah waktu gagal panen.
Sehingga praktek semacam ini, menjual buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau ini berpotensi menimbulkan kerugian atau kalau boleh di katakan, ini salah satu model dari jual beli gharar, karena tidak ada kepastian apakah pembeli bisa mendapatkan barang yang dia beli sesuai dengan kriteria yang disepakati atau tidak.
Karena ada unsur gharar ini, jual beli biji-bijian atau buah-buahan yang masih hijau (belum siap panen atau dipetik) dilarang dalam Islam, karena itu akan membuka celah terjadinya praktek memakan harta sebagian saudara kita dengan cara yang tidak dibenarkan.
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam beberapa riwayat, dari Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah dan yang lainnya dengan tegas,
نهى رسول الله عن بيع الثمرة حتى تزهي
Dalam riwayat lain dinyatakan:
حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang kita menjualbelikan buah-buahan, biji-bijian sampai muncul tanda-tanda bahwa biji-bijian dan buah-buahan telah menua (siap panen) atau sesaat lagi siap dipanen.
Karena tanda-tandanya sudah nampak buah itu sudah mulai masak.
قيل وما تزهي
Sebagian sahabat ketika mendengar hadits ini bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan تزهي? ” Kata Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam,
حتى تحمار أو تصفار
“Sampai buah-buahan tersebut warnanya menjadi kemerahan atau berubah menjadi kuning.”
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam shallallahu ‘alayhi wa sallam memberikan contoh konkret tentang tanda buah atau biji-bijian itu mulai menua yaitu berubahnya warna menjadi merah atau kuning yang semula berwarna hijau atau warna yang lainnya.
Adanya perubahan warna ini biasanya itu menandai bahwa buah tersebut sudah sudah mulai masak atau tua.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam shallallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan alasan mengapa kita dilarang menjual biji-bijian atau buah-buahan yang belum tua atau belum siap panen.
Beliau mengatakan:
أَرَأَيْتَ إِنْ مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ عن أخيه فَبِمَ يأكل أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ بالبطل
Coba pikirkan (renungkan) oleh kalian, andai kalian menjual buah-buahan atau biji-bijian yang belum siap panen masih muda kemudian penjual, menerima pembayaran. Ternyata di masa menunggu panen, ternyata biji-bijian atau buah-buahan tersebut banyak yang rusak, gagal panen, atau panennya sedikit, jauh dari expektasi yang diinginkan, maka dalam kondisi ini kata Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:
“Mengapa sebagian dari kalian memakan harta saudaranya dengan cara-cara yang tidak benar alias penjual akan mendapatkan pembayaran. Kemudian dia akan memanfaatkan hasil penjualan tersebut, dimakan, padahal ternyata pada saatnya pembeli gagal mendapatkan buah-buahan atau biji-bijian yang dia beli”.
Sehingga di sini terjadi praktek kezhaliman, penjual menzhalimi pembeli.
Dari pernyataan muallif kalau ditinjau dari illah (alasan) dilarangnya praktek jual beli dengan sistem ijon, maka alasan ini relevan pada kasus-kasus lain serupa seperti yang saya contohkan di atas, jual-beli tanaman jati, sengon atau yang serupa di saat masih kecil, akan dipanen kapan? Setelah sekian tahun.
Sehingga bisa jadi di tengah jalan, di tengah waktu terkena angin taufan, terkena hama, terserang ulat misalnya, atau kekeringan sehingga pohonnya mati dan tumbang.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpakan bencana pada ladang tersebut baik ladang sengon ataupun jati padahal pembeli sudah membayar senilai transaksi yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Apalagi penjual sudah membelanjakan uang tersebut.
Maka dalam kondisi semacam ini, maka penjual sama saja telah memakan harta pembeli tanpa alasan yang dibenarkan. Kenapa? Karena pembeli gagal mendapatkan barang yang dia inginkan.
Tentu ini adalah suatu praktek kezhaliman, karenanya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kita menjual buah-buahan atau biji-bijian sampai nampak tanda-tanda tersebut siap panen atau mulai menua.
Karena secara tradisi bila buah-buahan atau biji-bijian itu sudah tua, sudah mulai ada tanda-tanda perubahan warna, mulai menguning, mulai memerah warna buahnya, maka biasanya hama tidak lagi datang.
Dan biasanya jarak dari perubahan warna, (munculnya tanda-tanda menua pada buah-buahan atau biji-bijian tersebut) dengan musim panen biasanya jaraknya sangat pendek hanya hitungan beberapa hari saja, bisa jadi hanya sepekan, tiga atau empat hari.
Karena waktunya pendek maka waktu yang pendek itu ditoleransi dalam syari’at, apalagi mayoritas secara tradisi buah-buahan yang sudah menampakkan tanda-tanda tua biasanya bisa dipanen, jarang terkena wabah ataupun hama, sehingga potensi gagal panen sangat kecil prosentasinya, karena itu dibolehkah.
Dalam kaidah dinyatakan: الحكم لالغالب hukum setiap masalah itu dikaitkan dengan kondisi yang mayoritas bukan yang minoritas (sedikit/kecil/jarang/langka).
Kalau ditinjau dari alasan ini, maka alasan ini sekali lagi relevan pada jual-beli sengon yang baru ditanam dan akan dipetik (dipanen) setelah sekian tahun, jati pun demikian, termasuk jual beli anak ayam.
Ketika ada seorang peternak misalnya biasa umur normal ayam dipanen adalah 35 hari (ayam potong). Sebagian orang (tengkulak) ketika seorang peternak memulai memelihara ayam yang masih kecil baru umur sepekan (3 atau 5 hari) kadang kala seorang tengkulak datang dengan membeli (memborong) ayam piaraan peternak tersebut. Karena biasanya kalau seorang peternak memelihara 1000 ekor ayam biasanya setelah 35 hari akan tersisa sekitar 800-900 ekor ayam.
Maka berdasarkan tradisi ini kemudian dilakukan transaksi jual-beli antara peternak dengan tengkulak, dalam kasus ini tengkulak hanya akan mengambil dan peternak baru akan menyerahkan ayamnya jika sudah genap berusia 35 hari, padahal selama 30 hari ini bisa jadi ayam yang dipelihara mati semua, terkena penyakit alias gagal panen.
Dalam kasus semacam ini menurut mayoritas ulama tidak masalah diperjual-belikan karena larangannya hanya berlaku pada buah-buahan dan biji-bijian.
Namun wallahu alam, pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan sama halnya dengan buah-buahan dan biji-bijian alias terlarang, karena alasan larangan jual-beli buah-buahan dan biji-bijian di saat masih hijau relevan pada kasus menjual hewan sebelum tiba musim panennya, sebagaimana relevan menjual pohon-pohonan sebelum tiba musim panennya.
Seperti menjual tebu baru ditanam (baru tumbuh) baru akan dipetik setahun yang akan datang, maka menjual tebu sebelum tiba panen terlarang karena potensi terjadi gagal panen, sehingga ketika terjadi panen penjual akan memakan harta pembeli dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syari’at.
Ini penjelasan tentang pernyataan al-Imam muallif rahimahullah:
ولا يجوز بيع الثمرة مطلقا إلا بعد بدو صلاحها
Adapun ketika buah-buahan atau biji-bijian itu telah menampakkan tanda tua (menguning, atau memerah, atau mengeras) maka hukum asalnya boleh untuk diperjualbelikan, baik langsung dipetik, dipanen setelah transaksi, atau menunggu hingga betul-betul sempurna kondisi buah-buahan atau biji-bijian tersebut telah menguning semua (siap panen), karena biasanya jarak (intervalnya) sangat pendek.
Perbedaan waktu yang sangat pendek ini di toleransi secara aturan syari’at apalagi biasanya hama tidak akan menyerang biji-bijian atau buah-buahan setelah muncul tanda-tanda menua.
Al-muallif di sini mengatakan:
لا يجوز بيع الثمرة مطلقا
“Tidak boleh menjualbelikan biji-bijian secara mutlak alias tanpa syarat.”
Sehingga mafhumnya, secara pemahaman terbalik atau yang disebut dengan mafhum mukhalafah kalau menjualbelikan biji-bijian dan buah-buahan yang belum tua namun dengan syarat, setelah dibeli langsung dipetik (dipanen).
Seperti orang yang menjual mangga muda untuk dijadikan sebagai bahan baku rujak, menjual jagung muda yang belum siap panen untuk dijadikan jagung sayur, atau dijadikan jagung bakar, karena jagung bakar tidak akan menyajikan jagung yang sudah tua.
Kalau transaksinya, menjualbelikan biji-bijian atau buah-buahan yang belum siap panen (belum tua) dengan persyaratan, setelah transaksi langsung dipetik maka mayoritas ulama mengatakan mafhum mukhalafahnya boleh.
Karena alasan dilarangnya menjualbelikan buah-buahan dan biji-bijian yang belum tua tidak lagi relevan pada kasus ini, kenapa? Karena ada kepastian, pembeli bisa mendapatkan barang yang dia beli setelah transaksi. Karena setelah transaksi dia akan segera petik buah-buahan atau biji-bijian yang masih muda tersebut, tidak menunggu atau tidak akan dibiarkan menjadi tua.
Maka secara mafhum mukhalafah menjualbelikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih muda dengan syarat langsung dipetik, maka itu boleh, karena tidak ada lagi potensi gagal panen, tidak ada lagi opsi bahwa penjual gagal panen, tidak! Karena setelah transaksi (dijualbelikan) pembeli langsung bisa mendapatkan barang yang dia beli.
Al-muallif mengatakan:
لا يجوز بيع الثمرة مطلقا إلا بعد بدو صلاحها
Mafhumnya secara redaksi tekstual pernyataan muallif ini ada gambaran bahwa buah-buahan itu baru boleh diperjualbelikan kalau tanda-tanda menua itu sudah merata di semua ladang.
Kalau anda punya ladang kurma, punya ladang padi (misalnya), bisa jadi munculnya warna kuning atau merah atau tanda-tanda tua buah-buahan dan biji-bijian itu tidak merata, di sudut yang dekat dengan air belum nampak tanda-tanda tua sedangkan di sudut yang jauh dari air (kurang air) bisa jadi sudah lebih dahulu menunjukkan perubahan warna menjadi kuning, merah atau yang lainnya.
Mafhum dari pernyataan muallif bahwa idealnya buah-buahan itu boleh dijualbelikan kalau sudah muncul tanda-tanda tua pada semua ladang. Tanda-tanda tua itu merata di semua bagian ladang, di semua pohon.
Adapun bila tanda tua buah-buahan atau biji-bijian itu baru muncul di satu pohon, muncul di satu sudut petak tanah, apakah itu sudah cukup untuk menandai bolehnya menjualbelikan biji-bijian atau pun buah-buahan tersebut? Walaupun pada mayoritas pohon, mayoritas areal sawah padinya masih berwarna hijau, munculnya tanda tua di salah satu sudut atau pohon?
Menurut pendapat yang lebih rajih bahwa itu sudah cukup sebagai pertanda, bahwa buah-buahan yang ada di ladang tersebut boleh diperjual-belikan, walaupun tanda-tanda tua itu baru muncul di sebagian tempat, di salah satu pohon dan belum rata di semua bagian sawah atau ladang ataupun semua pohon.
Sebagian ulama memberikan penjelasan lebih lanjut, kalau di satu ladang ada buah-buahan dengan species yang berbeda, ada jeruk sunkist, ada jeruk lemon, ada jeruk purut, ada tiga jenis, ada jeruk bali, bahkan ada empat.
Apakah munculnya tanda menua pada jeruk sunkist itu cukup sebagai pertanda bahwa buah-buahan yang sejenis (sesama jeruk) boleh dijual, walaupun pada kenyataannya jeruk bali masih muda, jeruk lemonnya masih muda atau masing-masing jenis (species) harus muncul tanda-tanda menuanya.
Sebagian ulama mengatakan selama itu satu jenis yaitu sama-sama jeruk maka munculnya tanda-tanda menua pada jeruk sunkist atau yang serupa itu bisa dianggap sebagai tanda menua pada jeruk bali, jeruk lemon dan yang lainnya.
Namun wallahu ta’ala a’lam, yang lebih rajih selama jenis buah-buahan itu berbeda, maka munculnya tanda-tanda menua pada satu jenis tidak bisa dijadikan alasan untuk membolehkan jual beli jenis lain sampai pada jenis itu muncul tanda tuanya.
Tanda menua pada jeruk sunkist tidak cukup sebagai bukti bahwa jeruk bali juga sudah siap panen, sudah siap untuk diperjualbelikan, tidak! Masing-masing jenis.
Sebagaimana padi pun demikian, ada padi C4, ada rojolele, ada pandan wangi, ada jenis padi yang lainnya, kadang kala antara satu jenis dengan jenis yang lainnya menjadi selisih masa musim panen, bisa jadi dua pekan perbedaannya bisa lebih atau bisa kurang.
Maka pendapat yang lebih rajih pada masing-masing ladang dan masing-masing jenis harus muncul tanda-tanda menuanya baru boleh diperjualbelikan, termasuk pada masing-masing ladang.
Bisa jadi buah-buahan itu dipengaruhi oleh tata kelola atau perawatan pemilik ladang, ketika ladangnya sering disirami, diberi pupuk disiangi, maka bisa jadi buah-buahannya lebih cepet menua dibanding pohon-pohon atau ladang-ladang yang diambaikan, sehingga hidup secara alami tanpa campur tangan manusia, tidak disiangi gulmanya, tidak diberi pupuk, tidak disemprot hamanya, maka perlakuan yang berbeda ini sering kali mempengaruhi lama dan pendeknya masa panen.
Sehingga wallahu alam, pendapat yang lebih rajih dan lebih kuat dalam hal ini bahwa jika ingin diperjualbelikan buah-buahan dan biji-bijiannya maka masing-masing ladang harus sudah ada tanda-tanda buah dan biji di ladang tersebut sudah mulai menua.
Adapun bila di ladang anda belum menunjukkan warna kuning, tetapi di ladang milik tetangga anda (saudara anda), di tempat yang berbeda sudah mulai menguning sudah mulai menunjukkan tanda-tanda tua, maka yang boleh diperjualbelikan adalah milik saudara anda, adapun ladang anda yang masih hijau murni, belum waktunya untuk diperjualbelikan.
Dan secara tradisi asal usul daerah, ketinggian dan kerendahan suatu daerah dari permukaan laut juga mempengaruhi masa panen, sama-sama padi bisa jadi ketika ditanam di musim dingin (penghujan) di tempat dingin bisa jadi musim panennya lambat, tapi tatkala padi itu ditanam di dataran rendah dengan kadar air yang bagus dan musim kemarau, bisa jadi lebih cepat mengalami masa tuanya.
Intinya adanya tanda-tanda tua harus betul-betul kita dapatkan di ladang masing-masing, di setiap species buah-buahan masing-masing, baru boleh ditransaksikan jual beli.
Adapun bila belum ada tanda-tanda tua pada buah-buahan dan biji-bijian yang akan kita jual maka belum boleh ditransaksikan karena itu berarti masih biji-bijian dan buah-buahan yang muda. Kalau masih muda maka masih ada celah besar, ruang yang sangat lebar terjadinya gagal panen, baik karena hama, cuaca ataupun yang lainnya.
Ini yang bisa kami sampaikan, kurang dan lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A