Fatwapedia.com – Ilmu fiqih adalah hasil yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum-hukum syari’at yang bersifat amalan. Adapun hukum syari’at yang berkaitan dengan keyakinan, ia termasuk pembahasan ilmu Aqidah. Amalan tersebut baik berupa amalan fisik maupun amalan hati. Hanya saja, ilmu fiqih dominannya membahas amalan fisik, sedangkan amalan hati lebih dominan dibahas di dalam ilmu Akhlaq. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimanakah awal mula kemunculan ilmu fiqih, kita mesti mengetahui bagaimana Allah menurunkan hukum-hukum syari’at-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagaimana diketahui, wahyu diturunkan dalam waktu 23 tahun, terbagi kepada dua periode; 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Periode Makkah konsennya pada penguatan aqidah disertai dengan dasar-dasar ibadah dan akhlaq mulia dalam lingkup pembentukan wujud seorang muslim secara pribadi. Belum diturunkan syariat yang bersifat amalan selain shalat yang merupakan lantai awal dari seluruh bangunan syariat. Yaitu pelaksanaan shalat dua rakaat pada pagi dan petang sejak awal-awal da’wah dan shalat lima waktu pada waktu menjelang akhir periode Makkah, tepatnya pada saat perisiwa Isra Mi’raj bulan Dzul Qa’dah tahun 12 Kenabian.
Barulah pada periode Madinah diturunkan syariat Islam secara komprehensif. Dalam sirahnya kita bisa melihat bagaimana besarnya perjuangan beliau dalam menegakkan syariat Islam, dari satu medan perang ke medan perang lain yang beliau lalui, hingga syariat Islam dapat terlaksana secara kaffah, baik mencakup urusan individu, keluarga, masyarakat dan juga negara. Wahyu dalam periode Madinah inilah yang menjadi wilayah besar pembahasan ilmu fiqih.
Faktor yang membuat ilmu fiqih ini berkembang adalah karena di dalam syariat Islam diberikan ruang untuk ijtihad. Dimana dalam nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah ada yang dalalah (petunjuk makna)nya bersifat qath’i (tegas, tanpa mengandung kemungkinan lain) dan adapula yang bersifat zhanni (tidak tegas, mengandung kemungkinan lain). Dalam nash yang bersifat zhanni inilah diberikan ruang untuk berijtihad, sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh satu ulama bisa berbeda dengan yang dihasilkan oleh ulama lain, sesuai dengan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Adapun dalam nash yang bersifat qath’i, tidak diperbolehkan dan tidak diperlukan adanya ijtihad. Seperti ayat qul huwallahu ahad (katakanlah Dialah Allah yang Satu). Petunjuk makna dalam ayat ini qath’i, tegas dan tidak berkemunginan lain bahwa Allah itu Satu, tidak mungkin maknanya dialihkan menjadi dua, tiga dan sebagainya. Begitu pula tentang kewajiban shalat lima waktu, yaitu berdasarkan perintah Allah Aqimush shalaah (dirikanlah shalat), lalu diperjelas oleh sabda Nabi ﷺ, “Allah mewajibkan shalat lima waktu”. Petunjuk maknanya qath’i, tidak mungkin dialihkan menjadi tidak wajib. Dalam hal yang qath’i ini tidak mungkin para ulama berbeda pendapat. Ini adalah diantara wilayah ijma, yang disepakati oleh seluruh ulama.
Dalam kitab Ar-Risalah, imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Seluruh yang Allah jelaskan bagi makhluk-Nya di dalam kitab-Nya, untuk hukum-Nya, sebagaimana telah terdahulu disebutkan, yang mereka beribadah dengannya, ada beberapa bentuk :
Ada yang Ia jelaskan secara nash, seperti sejumlah kewajiban-kewajiban yang Ia wajibkan, bahwa mereka wajib shalat, zakat, haji, shaum. Dan bahwa Ia mengharamkan perbuatan keji, baik yang zahir maupun batin. Ia menyebutkan dalam nash keharaman zina, khomer, memakan bangkai, darah dan daging babi. Dan Ia menjelaskan kepada mereka bagaimana kewajiban wudhu, serta yang lainnya yang Ia jelaskan di dalam nash.
Ada yang Ia hukumi kewajibannya di dalam kitabnya dan menjelaskan kaifiyatnya melalui lisan nabi-Nya. Seperti bilangan shalat, zakat dan waktunya, dan selain itu dari kewajiban-kewajiban yang ia turunkan dari kitab-Nya.
Ada yang Rasulullah ﷺ sebutkan dalam sunnahnya yang tidak ada nash hukumnya dari (kitab) Allah. Sungguh Allah telah mewajibkan di dalam kitab-Nya taat kepada rasul-Nya, dan menyerahkan urusan kepada hukumnya. Maka siapa yang menerima dari Rasulullah, maka sungguh ia menerima kewajiban dari Allah.
Ada juga yang Allah wajibkan atas makhluknya berijtihad di dalam mencarinya, dan menguji ketaatan mereka dalam ijtihad. Sebagaimana Ia menguji ketaatan mereka pada perkara lain yang Allah wajibkan atas mereka.” (Ar-Risalah, Dar Ibnu Jauzi, hal.93-94).
Nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah itu ada yang bersifat qath’i dan ada yang bersifat zhanni, baik dari segi riwayat maupun dari segi dalalahnya. Dari segi riwayat, yang termasuk qath’i adalah Al-Qur’an dan hadits mutawatir. Dan yang termasuk zhanni adalah hadits ahad. Sedangkan dari segi dalalah adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Ijtihad dapat dilakukan pada nash-nash yang zhanni baik dari segi riwayat maupun dalalahnya, serta pada perkara-perkara yang tidak ada nashnya dengan mengambil petunjuk dari nash tersebut. Ketika kita menemukan kasus baru yang tidak disebutkan di dalam nash, bukan berarti nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah itu tidak sempurna. Keduanya telah disempurnakan oleh Allah. Hanya saja, untuk kasus-kasus baru dapat disingkap hukumnya melalui ijtihad oleh para ulama. Karena di dalam nash itu pasti ada petunjuk untuk menjawab setiap permasalahan baru itu. Di sinilah peran penting ilmu fiqih. Para ulama itu tidak membuat hukum yang baru, tetapi mereka menyingkap hukum yang tersembunyi. Dan hukum yang telah berhasil disingkap itu dikategorikan sebagai hukum Allah, bukan hukum buatan ulama.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ بِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِي كِتَابِ اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا
“Tidak ada suatu peristiwa/kasus yang menimpa seseorang dari pemeluk agama Allah kecuali di dalam kitab Allah terdapat dalil yang memberi jalan petunjuk kepadanya.” (Ar-Risalah, hal. 92)
Allah menyebutkan peran para ulama ini di dalam firman-Nya,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila sampai kepada mereka suatu perkara tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri (ulama) diantara mereka, niscaya orang-orang yang melakukan istinbat (menyimpulkan hukum) akan mengetahuinya. Kalaulah bukan karena karunia Allah atas kalian dan rahmatnya, niscaya kalian benar-benar mengikuti syetan kecuali sedikit saja.” (QS. An-Nisa : 83).
Suatu perkara/berita/permasalahan, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, baik berkenaan dengan kondisi aman, dalam arti kondisi biasa yang dihadapi manusia, maupun berkenaan dengan kondisi ketakutan, dalam arti kondisi tidak biasa yang dihadapi manusia, janganlah disebarkan dengan cepat, diberi opini, penilaian dan dihukumi secara serampangan. Tetapi hendaklah diserahkan kepada rasul, baik secara langsung saat beliau masih hidup, atau kepada sunnahnya ketika beliau telah wafat. Begitu pula kepada para ulama yang memiliki pemahaman mendalam. Merekalah kemudian yang mampu menyimpulkan hukum dalam perkara tersebut. Agama Islam ini merupakan karunia bagi orang-orang beriman, dan syariatnya merupakan rahmat. Jika syariat ini tidak diikuti, maka mereka tentu akan mengikuti syetan.
Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa ayat ini merupakan landasan yang besar di dalam istinbat dan ijtihad. (Al-Iklil fi Istinbat At-Tanzil, hal. 77).
Jadi, ijtihad itu dapat dilakukan dalam tiga bidang :
Pertama, meneliti nash yang zhanni dari segi periwayatan. Ini dapat dilakukan dengan perangkat ilmu-ilmu hadits. Sehingga dapat diketahui mana hadits shahih dan hasan yang dapat dijadikan hujjah, dan mana hadits yang dhaif yang tidak dapat dijadikan hujjah.
Kedua, meneliti nash yang zhanni dari segi dalalahnya. Di sinilah peran kaidah-kaidah istinbat untuk dapat menyimpulkan hukum dari nash. Seperti apabila menemukan lafazh yang umum, apakah ia tetap dalam keumumannya, ataukah dikhususkan ataukah yang dimaksud adalah khusus. Lafazh yang mutlak, apakah tetap dalam kemutlakannya, ataukah ada yang mengikatnya. Lafazh yang musytarok, apakah jalan yang ditempuh untuk menguatkan salah satu maknanya. Perintah dan larangan, apakah ia dipahami secara asal petunjuknya yang menunjukkan wajib dan haram, ataukah dipalingkan, dan sebagainya.
Ketiga, berijtihad pada perkara-perkara yang tidak ada nashnya, dengan mengambil petunjuk dari nash. Di sinilah dapat diterapkan kaidah-kaidah pengamatan (nazhar) seperti qiyas, maslahat mursalah, istishhab dan maqashid syar’iyyah.
Poin pertama merupakan bidang ilmu hadits, sedangkan poin kedua dan ketiga merupakan bidang ilmu fiqih.
Oleh: Muhammad Atim