Macam-macam Pencurian dan Hukumannya (Bag. 2)

Macam-macam Pencurian dan Hukumannya (Bag. 2)

Fikroh.com – Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang hukuman pencuri dalam pandangan islam. Pembahasan berikutnya adalah tentang apa Syarat Wajib Dalam Hukuman Potong Tangan Pencuri.

Syarat Wajib Dalam Hukuman Potong Tangan Pencuri

Ada empat rukun dalam pencurian: 

1. pencuri, 
2. orang yang kecurian, 
3. barang yang dicuri dan 
4. cara mengambil. 
Hukuman pencurian tidak wajib kecuali dengan terpenuhinya syarat-syarat yang berkaitan dengan masing-masing rukun dari rukun-rukun tersebut. Berikut syarat-syarat terpenting yang berkaitan dengan rukun-rukun tersebut dari hasil penelitian:

Pertama: Syarat-syarat yang berkaitan dengan pencuri: Bagi seorang pencuri ada syarat-syarat sebagai berikut sehingga wajib hukuman pencurian atasnya:

Taklif

Keinginan sendiri: Maka tidak dihukum orang yang bukan memiliki beban ibadah seperti orang gila atau anak kecil, jika ada anak kecil yang mencuri maka cukup dinasehati.

Begitu juga orang yang dipaksa dan tak memiliki pilihan lain tidak dihukum. Telah disebutkan berualang kali dalil-dalil bagi dua syarat ini.

Niat: maksudnya adalah dia tahu keharaman mencuri dan dia sedang mengambil barang miliki orang lain tanpa sepengetahuan dan keinginan dari pemiliknya dan dia berniat untuk memilikinya.

Tanpa Keraguan : artinya adalah bahwa pencuri tak memiliki keraguan pada barang yang dicuri, karena hukuman gugur dengan adanya keraguan.

Di Antara Keraguan Yang Disebutkan Oleh Para Ulama Dalam Masalah Ini Adalah

Dia mencuri dari sesuatu yang dia memiliki hak di dalamnya[3]. Keraguan ini memiliki banyak bentuk, di antaranya:

1. Seorang Ayah Yang Mencuri Harta Milik Anaknya

Ini adalah salah satu keraguan yang menggugurkan hukuman menurut pendapat kebanyakan ulama seperti imam yang empat dan selain mereka. Menurut mereka seorang ayah tidak dipotong tangannya karena mengambil harta anaknya, karena dia mengambil sesuatu yang dia memiliki hak pada barang yang dia ambil. Dari Jabir:

(أن رجلا قال: إن لى مالا وولدا , وإن أبي يريد أن يجتاح مالى فقال: أنت ومالك لأبيك)

Sesungguhnya seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, aku memiliki harta dan anak. Dan sesungguhnya ayahku membutuhkan hartaku.” Maka beliau bersabda: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.”[1]

Huruf lam dalam sabda beliau li-abika bermakna kepemilikan. Maka ini adalah suatu keraguan yang ada di antara ayah dan anaknya, maka tidak boleh memotong tangan orang yang telah Nabi nisbatkan suatu harta kepadanya.

Asy-Syafi’i berkata: Begitupula kakek dan nenek, bagaimanapun juga mereka tidak dipotong tangannya karena mencuri harta anaknya atau yang setelahnya dari keturunan mereka.

Ibn Hazm menyelisihi pendapat ini dan berkata: “Orang tua tetap dipotong tangannya (sebagaimana yang lainnya) jika mencuri harta anaknya berdasarkan keumuman ayat hukum potong tangan.” dan beliau menjawab tentang hadits di atas bahwa itu telah terhapus dengan ayat waris dan yang lainnya. Beliau berkata: “Tak ada yang seorangpun yang menyelisihi bahwa kedua orang tua jika membutuhkan lalu mengambil harta anaknya dengan sembunyi-sembunyi atau dengan memaksa atau cara bagaimanapun, maka tak ada hukuman baginya. Karena mereka hanyalah mengambil hak mereka, sedangkan bahasan di sini adalah jika mereka tak membutuhkan lalu mengambilnya dengan cera sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.” Selesai perkataan beliau secara ringkas.[2]

Penulis berkata: Pendapat yang benar adalah bahwa hadits tersebut terbatas pada sebabnya dan tak memiliki makna yang umum (bukan karena terhapus) berdasarkan konsesus para ulama bahwa anak juga mendapat warisan bersama ayahnya, bahkan terkadang bagiannya lebih besar daripada ayahnya. Maka bagi anak hartanya, dan bagi ayah hartanya sendiri pula. Dengan ini maka pendapat Mayoritas atas gugurnya hukuman dari orangtua yang jika mencuri harta anaknya lebih kuat, karena di samping itu orangtua tidak dihukum setimpal (qishash) karena membunuh anaknya, maka potong tangan lebih layak lagi untuk tidak dilaksanakan. Dan pernyataaan Ibn Hazm tersebut hanyalah dari sisi bahwa hal ini lebih baik untuk dianalogikan. Allah Maha Tahu.

2. Hukum Anak Yang Mencuri Dari Orang Tuanya

Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa seorang anak baik lelaki maupun perempuan tak dipotong tangannya jika mencuri dari harta orangtuanya atau kakek-nenek mereka. Karena harta orangtua biasa beredar di antara anak.

Sedangkan Malik, Abu Tsaur dan Ibn Hazm berpendapat bahwa anak tetap dipotong sebagai pengamalan makna luar ayat yang bersifat umum tanpa ada pengkhususannya.

Penulis berkata: Hukum ini tidak cocok dimutlakan dalam hal ini, jadi kapanpun harta ayah biasanya beredar di sekitar anak, maka tangannya tidak dipotong karena mengambilnya. Sedangkan jika hartanya disembunyikan darinya, maka tangannya dipotong. Allah Maha Tahu.

3. Mencuri Dari Kerabat[1]

Ats-Tsaury dan Abu Hanifah serta pengikutnya berpendapat bahawa tak ada potong tangan bagi yang mencuri dari saudara mahramnya, seperti saudara lelaki, saudara perempuan, paman dan bibi dari ayah juga paman dan bibi dari ibu. Karena diperbolehkan bagi mereka saling bertemu tanpa harus mengulangi izin dianggap sebagai keraguan yang menggugurkan hukuman. Dan juga karena memotong tangan salah satu di antara karena mencuri dapat memutus tali silaturahim dan hal tersebut adalah haram.

Adapun jika seorang kerabat yang bukan mahram mencuri, seperti anak lelaki atau perempuan paman dari ayah, anak lelaki atau perempuan bibi dari ayah, anak lelaki atau perempuan dari paman dari ibu dan anak lelaki atau peremuan bibi dari ibu, maka hukuman tetap ditegakkan kaena pencuriannya (menurut mereka) karena mereka tak biasa saling bertemu.

Adapun Mayoritas Ulama (termasuk Ibn Hazm) berpendapat bahwa seorang yang mencuri dari kerabatnya bukanlah suatu keraguan y ang dapat menggugurkan hukuman dari si pencuri. Oleh karena itu tetap wajib hukum potong tangan bagi yang mencuri dari kerabatnya, baik mahram maupun bukan mahram.

Penulis berkata: Inilah yang benar berdasarkan keumuman ayat potong tangan dan tak ada dalil yang menunjukan pengkhususannya untuk selain kerabat.

4. Suami Atau Istri Yang Mencuri Dari Pasangannya[2]

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tak ada penegakan hukuman jika salah seorang suami-istri mencuri harta pasangannya. Karena pencurian itu adalah dari tempat yang sama-sama mereka jaga dan tempati. Oleh karena tak terpenuhinya syarat penjagaan harta dan karena biasanya harta masing-masing mereka saling bercampur juga karena di antara mereka ada hak warisan yang tak bisa dihalangi oleh apapun.

Namun jika pencurian itu dilakukan pada harta yang tidak disimpan bersama di tempat tinggal mereka atau mereka tinggal bersama namun salah seorang di antara mereka melarang yang lain dari suatu harta atau menyembunyikannya darinya, maka para ahli fiqih berselisih pendapat dalam hal tersebut dalam tiga pendapat:

Pertama: Tak ada potong tangan di antara mereka berdua: Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat dalam Syafi’iyyah, juga yang paling kuat dalam Hanabilah. Mereka berkata: Karena harta-harta mereka biasa beredar di antara mereka, dan dengan Analogi Hukum baik dalam ushul maupun furu’nya juga karena di antara mereka ada sebab saling mewarisi tanpa ada penghalang.

Sebagian mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

(كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زوجها، وَهِيَ مَسْئُولَةٌ رعيتها)

Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kalian pimpin. Seorang lelaki adaah pemimpin bagi keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang perempuan adalah pemimpin bagi rumah tangga suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya….[1]

Mereka berkata: Keduanya ibarat orang yang diberi titipan dan diizinkan untuk bersamaan, maka tak ada potong tangan jika ada yang mencuri dari yang lainnya.

Kedua: Hanya suami yang dipotong tangannya dan tidak bagi istri: Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah, maka seorang suami tetap dipotong tangannya jika mencuri sesuatu dari harta istrinya yang disembnyikan darinya. Sedangkan istri tidak dipotong tangannya jika mencuri dari suami walaupun dari harta yang disembunyikan darinya. Mereka berkata: karena seorang istri memiliki hak nafkah dari suami, maka ini merupakan suatu keraguan yang dengannya gugur suatu hukuman. Mereka juga bisa berdalil dengan sabda Nabi kepada Hindun bintu ‘Utbah ketika dia memberitahukan beliau bahwa Abu Shofyan tidak memberikan nafkah yang cukup baginya dan anaknya, maka beliau bersabda:

(خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ)

Ambillah darinya sejumlah yang bisa mencukupimu dan anakmu dengan cara baik.[2]

Mereka berkata: dalam hadits ini Nabi membiarkannya untuk mengambil harta suaminya untuk mencukupinya dan anaknya karena dia telah diberi amanah dengan harta suaminya seperti seorang yang sedang diberi titipan. Berbeda dengan suami, Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

(وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا)

Sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun.[3]

Ketiga: Wajib hukuman bagi siapapun yang mencuri dari yang lainnya: Ini merupakan madzhab Malikiyyah dan yang kuat menurut Syafi’iyyah dan riwayat lain dari Hanabilah. Ibn Hazm juga berpendapat demikian berdasarkan keumuman ayat pencurian dan juga karena dalam hal ini harta disimpan dengan baik dan barangkali belum tentu salah satu di antara mereka memberi kebebasan kepada yang lainnya dalam hartanya, maka hal ini mirip dengan pencurian dari orang asing. Adapun kedua pendapat sebelumnya yang berdalil dengan hadits “Kalian semua adalah pemimpin….”, maka Ibn Hazm telah menjawabnya dan berkata: Ini merupakan hujjah terbesar atas mereka, karena Nabi mengabarkan bahwa setiap lelaki di antara kita adalah pemimpin untuk hal-hal yang beliau sebutkan dan mereka semua bertanggungjawab terhadap hal-hal yang mereka pimpin. Maka jika mereka bertanggungjawab terhadap hal-hal tersebut, maka setiap muslim tahu dengan pasti bahwa mereka tidak boleh mencuri dan mengkhianati yang telah dititipkan dan diserahkan kepada mereka. Mereka dalam hal tersebut jika bukan seperti orang asing atau orang jauh dan bukan orang diberi kepemimpinan, maka tak diragukan lagi bahwa dosa dan kejahatan mereka lebih besar dibandingkan jika orang asing yang melakukannya, paling tidak mereka mendapatkan pula yang didapatkan oleh orang asing dan harus demikian. Adapun perkataan mereka: sesungguhnya keduanya adalah seperti orang yang diberi titipan atau yang diijinkan untuk bersamaan. Justru ini merupakan hujjah terbesar atas mereka, karena tak ada perselisihan di antara mereka bahwa orang yang diberi titipan jika mencuri dari hal yang tidak dititipkan kepada mereka (namun dari harta orang yang menitipkan yang lain yang disimpannya) dan orang yang diperbolehkan untuk bersamaan dengannya jika mencuri dari harta yang tersembunyi darinya milik orang yang telah diizinkan untuk bersamaan dengannya, maka wajib adanya potong tangan bagi keduanya menurut mereka tanpa ada khilaf. Maka dengan adanya kemiripan yang jelas ini dengan kondisi yang sebaliknya, maka hukum potong tangan tidaklah gugur dari pasangan suami-istri karena mencuri salah satu di antara mereka mencuri dari yang lainnya kecuali dari harta yang diamanatkan kepada mereka dan tidak disembunyikan dari mereka…..[1]

Adapun menjadikan hadits Hindun bin Utbah sebagai dalil untuk membedakan antara pencurian suami dan pencurian istri, maka jawabannya adalah:

Sesungguhnya Rasulullah tidak membiarkan perbuatan Hindun untuk harta yang dia tidak memiliki hak di dalamnya dari harta suaminya atau mengambil yang lebih dari haknya. Maka baginya yang dia ambil dengan cara yang benar dan atasnya potong tangan sebagaimana yang Allah syariatkan jika dia mengambilnya dengan cara mencuri.[2]

Penulis berkata: Yang lebih kuat adalah tidak menghukumi dengan satu hukum, akan tetapi bagi setiap keadaan ada hukum yang sesuai dengannya sebagaimana yang telah dijelaskan dalam masalah anak yang mencuri harta orangtuanya. Allah Maha Tahu.

5. Rekan Kerja Yang Mencuri Dari Harta Usaha Bersama[3]

Hanafiyyah dan Syafi’iyyah (dalam pendapat yang paling benar menurut mereka) juga Hanabilah berpendapat atas tidak adanya hukuman bagi rekan kerja yang mencuri dari harta usaha bersama. Karena si pencuri memiliki hak dalam harta tersebut, hak inilah yang menjadi keraguan yang menggugurkan hukuman darinya.

Mereka berdalil bahwa Rasulullah menggugurkan hukuman potong tangan dari seorang budak dari rampasan perang yang mencuri dari harta rampasan perang[4]. Hadits ini dhaif dan tak bisa dijadikan dalil.

Sedangkan Malikiyyah berpendapat: Tetap dipotong tangannya dengan dua syarat, yang satu adalah harta tersebut tidak disimpan oleh rekan kerja tersebut, dan yang satunya adalah jika harta yang dicuri adalah harta dari rekan kerja yang lain dan lebih dari seperempat dinar.

Menurut Syafi’iyyah dalam pendapatnya yang lain, tetap dipotong tangannya karen seorang rekan kerja tak memiliki bagian dari saham rekannya. Maka jika dia mengambilnya lebih dari haknya dan sejumlah batas minimum, maka tetap dipotong. Ini merupakan madzhab Ibn Hazm dan lebih dekat pada kebenaran.

6. Mencuri Dari Baitul Maal Atau Harta Rampasan Perang[1]

Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tak ada potong tangan bagi yang mencuri dari Baitul-Maal jika pencurinya adalah seorang muslim apakah ia kaya atau miskin. Kaena setiap muslim memiliki hak di Baitul-Maal. Maka hak ini adalah suatu keraguan yang menggugurkan hukuman darinya sebagaimana jika dia mencuri dari harta usaha bersama.

Mereka berdalil dengan riwayat dari Al-Qasim bin `Abdurrahman dia berkata: Seorang lelaki mencuri dari Baitu al-Maal, maka Sa’ad bin Abi Waqqash melaporkannya melalui surat pada `Umar bin Al-Khaththab. Lalu `Umar membalas suratnya dengan: Tak ada potong tangan untuknya karena dia memiliki hak di dalamnya (baitu al-maal).[2]

Dari `Ubaid bin al-Abrash, sesungguhnya dihadapakan kepada Ali bin Abi Thalib seorang lelaki yang telah mencuri topi perang dari harta rampasan perang, namun Ali tidak memotong tangannya dan berkata: Sesungguhnya dia memiliki bagian dari harta itu.[3]

Sedangkan Malikiyyah berpendapat (dilemahkan oleh Syafi’iyyah) bahwa tetap dipotong tangannya berdasarkan keumuman ayat. Adapun keraguan yang ada adalah lemah karena dia mencuri dari harta yang tersimpan, tak ada keraguan baginya dan tak ada bagian baginya jika dia tidak membutuhkan. Ibn Hazm menyetujui pendapat ini berdasarkan kaidah bahwa tetap ada hukum potong tangan bagi mereka yang mencuri bukan dari bagiannya dan mencapai jumlah batas minimun hukuman.

Adapun Syafi’iyyah membedakan antara harta yang disimpan oleh kelompok yang dia termasuk dari mereka atau para orangtua dan anak-anak dari kelompoknya, maka dalam hal ini tak ada potong tangan karena adanya keraguan dan antara harta yang disimpan oleh kelompok yang dia bukan bagian darinya, maka tetap dipotong tangannya.

7. Budak Yang Mencuri Harta Tuannya

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa seorang budak tidak dipotong tangannya jika mencuri dari harta tuannya berdasarkan keputusan banyak salaf dalam hal ini. Dari as-Sa`ib bin Yazid: Sesungguhnya Abdullah bin Amr al-Hadhramy datang bersama seorang budak laki-laki kepada `Umar dan berkata kepadanya: “Potonglah tangan budak ini, karena sesungguhnya dia telah mencuri.” Maka `Umar berkata: “Apa yang dia curi?” Abdullah berkata: “Dia mencuri cermin milik istriku yang berharga 60 dirham.” Maka `Umar berkata: “Bawa dia, karena tak ada potong tangan baginya, pembantu kalian yang mencuri perhiasan kalian.”[4]

Dari Amr bin Syurahbail dia berkata: Ma`qal al-Muzany datang kepada Abdullah bin Mas’ud dan berkata: “Budakku mencuri pakaianku, apakah aku potong tangannya?” Abdullah berkata: “Tidak, kepemilikanmu yang saling memiliki.”[1]

Ibn Qudamah menyebutkan hasil-hasil keputusan yang semisal ini dari para salaf, kemudian beliau berkata: “Keputusan-keputusan ini sangatlah masyhur dan tak ada yang menyelisihinya, maka ini adalah suatu konsesus. Dan merupakan pengkhususan dari ayat potong tangan berdasarkan konsesus para ulama, yaitu mereka yang kita anggap sebagai para imam dan tak ada yang menyelisihi mereka di zaman mereka maka tak boleh menyelisihi mereka setelah itu sebagaimana tidak boleh untuk meninggalkan konsesus Shahabat karena perkataan seorang Tabi’in.”[2]

8. Pencurian Dari Harta Orang Yang Berutang[3]

Para ahli fiqih berselisih dalam wajibnya hukuman bagi orang yang diutangi jika mencuri dari harta orang yang berutang darinya sebagai berikut:

a. Jika orang yang berutang kaya dan tidak mengingkari utang itu atau utang tersebut diakhirkan pembayarannya padahal tidak boleh, maka Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ditegakkan hukuman atasnya (jika yang dicuri telah mencapai batas minimum) karena tak ada keraguan di dalamnya untuk mencurinya padahal harta tesebut mudah untuk dia dapatkan.

Adapun Hanafiyyah berpendapat bahwa tak ada hukuman dalam kondisi apapun selama yang dia curi itu merupakan bagian dari utang.

b. Jika yang berutang mengingkari utangnya atau mengundur-undur pelunasannya kemudian dia mencuri sejumlah haknya, maka semua berpendapat tak ada hukuman atasnya.

c. Jika dia mengambil lebih dari haknya (utangannya) dan mencapai batas minimum, maka Malikiyyah berpendapat bahwa dipotong tangannya karena dia telah melampaui batas dengan mengambil sesuatu yang bukan haknya, begitupula yang dikatakan oleh Ibn Hazm, hanya saja beliau mengecualikan jika haknya tak bisa kembali kepadanya kecuali dengan perbuatannya tersebut dan dia tak bisa jika hanya mengambil haknya saja, maka tak dipotong tangannya dan dia harus mengembalikan kelebihannya.

Sedangkan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat tak ada potong tangan, karena harta utang tersebut terjaga darinya walaupun dia sudah diperbolehkan melihatnya untuk mengambil haknya. Namun Hanabilah membatasi bahwa pencurian kelebihan tersebut adalah dari tempat penyimpanan yang hartanya ada di dalamnya. Maka jika dia mengambil dari tempat yang hartanya tidak disimpan di dalamnya, maka dipotong tangannya karena tak ada keraguan.

Keraguan: Pencuri Dalam Kondisi Terdesak Dan Butuh[4]

Kebutuhan yang mendesak merupakan suatu keraguan yang menggugurkan hukuman. Kondisi darurat menjadikan seorang manusia diperbolehkan untuk mencuri harta orang lain sesuai kebutuhannya untuk mencegah kehancuran dirinya. Maka Bagi siapa yang mencuri karena kelaparan atau kehausan yang dapat menyebabkan kematian, maka tak ada hukuman atasnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala :

(فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ)

Tetapi siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.[1]

Berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala :

(وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ)

Kalian Janganlah membunuh diri kalian[2]

Yang dibutuhkan pasti lebih sedikit daripada kondisi darurat tersebut, yaitu segala kondisi yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan yang sangat dan kesempitan yang jelas. Oleh karena itu diperkenankan menjadikannya sebagai keraguan yang menggugurkan hukuman, namun tak menutup kemungkinan adanya jaminan atau hukuman ringan.

Oleh karena itu para ahli fiqih bersepakat bahawa tak ada hukum potong tangan ketika musim paceklik. `Umar bin Al-Khaththab berkata: “Tak ada hukum potong tangan dalam tangkai buah dan tidak pula ketika musim paceklik.”[3]

Cerita budak-budak Hathib bin Abi Balta’ah ketika mereka mencuri seekor unta milik seseorang dari Muzainah lalu dihadapkan kepada `Umar dan mengakuinya, lalu `Umar berkata: “Demi Allah, seandainya aku tidak tahu bahwa kalian mempekerjakan mereka sampai membuat mereka kelaparan sehingga jikalau salah satu di antara mereka memakan yang Allah haramkan maka telah halal bagiku untuk memotong tangan mereka. Dan sungguh demi Allah, aku tidak melakukannya dan aku akan memberikan denda yang akan menakutimu (yaitu `Abdurrahman bin Abi Balta’ah).” Kemudian beliau berkata: “Wahai orang dari Bani Muzany, berapa harga yang kau inginkan bagi untamu?” Dia berkata: “400.” `Umar berkata: “Pergilah dan beri dia 800.”[4]

Ibnu al-Qayyim berkata[5]: Pengguguran hukuman dalam masa paceklik itu murni suatu Analogi Hukum dan hasil dari kaidah-kaidah agama. Jika ketika itu adalah musim kelaparan dan kekeringan, maka kebanyakan orang pasti dalam kondisi membutuhkan dan darurat. Maka hampir tidak mungkin karena kondisi darurat ini jika tak ada yang mencuri untuk mengisi perutnya, maka wajib bagi yang memiliki harta untuk memberikannya baik dengan perniagaan atau secara gratis. Ada perselisihan dalam hal ini, yang benar adalah hendaknya dia memberikannya secara cuma-cuma karena adanya kewajiban untuk menolong dan menyelamatkan orang dengan kemampuannya tersebut. Maka tergabunglah sikap mendahulukan orang lain dan memenuhi kebutuhan orang-orang.

Keraguan yang kuat ini menggugurkan hukuman dari mereka yang membutuhkan, bahkan lebih kuat daripada kebanyakan keraguan lain yang disebutkan oleh banyak ahli fiqih, apalagi dia diperbolehkan memaksa untuk mengambil dari orang yang memiliki harta untuk mengisi perutnya. Dalam masa paceklik, banyak orang yang membutuhkan dan bahkan dalam kondisi darurat, maka ketika itu tak bisa dibedakan antara mereka yang mencuri karena kebutuhan dan yang tidak. Maka terjadilah ketidakjelasan antara mereka yang wajib dihukum dan yang tidak, maka semuanya digugurkan. Ya, jika telah jelas bahwa orang tersebut mencuri bukan karena kebutuhan dan pada hakekatnya dia tak perlu mencuri, maka dipotong tangannya.

C. Keraguan: Perkataan pencuri “Ini milikku”[1]

Ini salah satu keraguan yang ditetapkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah dari Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dan Syafi’iyyah menamakannya dengan: Pencuri yang licik.

Ibnu al-Qayyim menyelisihi hal ini dan menyatakan kebatilan keraguan ini dan berpendapat bahwa itu merupakan suatu alasan yang diharamkan untuk menggugurkan hukuman pencurian, beliau berkata: Alasan untuk menggugurkan hukuman pencurian dengan perkataan pencuri: Ini adalah milikku, ini adalah rumahku dan pemiliknya adalah budakku, merupakan alasan yang lebih layak untuk dianggap sebagai lelucon, penghinaan dan menngolok-olok daripada sebagai alasan yang syar’i. Kami berkata: Allah terjaga dari menciptakan dalam fitrah dan akal manusia untuk menerima alasan semacam ini yang seperti suatu igauan hambar yang bertentangan dengan akal dan maslahat, maka terlebih disyariatkan untuk menerima alasan ini.

Bagaimana dia bisa berprasangka kepada Allah dan membuat prasangka yang buruk: bahwa Dia mensyariatkan untuk menolak kebenaran dengan kebatilan yang semua orang tahu akan kebatilannya. Atau dengan kebohongan yang semua orang yakin akan kebohongan itu. Kapan kebohongan, tak tahu malu, terang-terangan dalam kepalsuan dan kedustaan diterima dalam suatu agama dari agama-agama yang ada atau dalam suatu agama dari agama-agama yang ada atau peraturan seorang manusia? Bagi siapa yang memiliki setitik akal dan kemudian diuji dengan pencurian, maka dia tak akan rela dengan alasan dusta dan palsu ini. Untuk Allah dan wahai akal! Tidak bisakah pencuri siapapun dia bicara seperti ini dan lolos dari hukuman potong tangan? Lalu apa gunanya legalitas potong tangan jika kemudian dapat gugur dengan kepalsuan dan kedustaan ini.

Beliau juga menjelaskan kebatilan alasan ini dengan perkataannya:

Demi Allah ini adalah suatu hal yang menakjubkan, bagaimana bisa potong tangan gugur dari mereka yang terbiasa mencuri harta-harta manusia dan setiap kali tertangkap dan bersamanya ada barang curiannya dia berkata: “ini milikku, dan rumah yang aku masuki adalah rumahku sedangkan orang yang biasa di rumah itu adalah budakku?” Mereka yang membenarkan alasan akan berkata: hukuman gugur darinya dengan pengakuannya itu.

Maka apakah ada hal ini dalam suatu peraturan yang melindungi dan adil, terlebih lagi dalam suatu agama yang dibawa oleh seorang nabi dari para nabi? Terlebih lagi dalam suatu agama yang merupakan agama yang paling sempurna yang menyentuh orang-orang yang berilmu.

Kedua: Syarat-Syarat Yang Dianggap Pada Orang Yang Kecurian

Orang yang kecurian haruslah diketahui dan mencari barangnya[1]: Menurut Mayoritas hukuman gugur dari seorang pencuri (berbeda dengan pendapat Malikiyyah) jika orang yang kecurian tidak diketahui, yaitu jika pencuriannya telah terbukti namun tak diketahui pemilik dari barnag curian tersebut. Karena hukuman baru bisa ditegakkan berdasarkan pengakuan dari pemilik harta atau yang dalam posisinya, dan pengakuan itu tak bisa terjadi karena ketidaktahuan ini. Namun hal ini tidak mencegah untuk memenjarakan si pencuri sampai yang memiki hak mempermasalahkannya dan mengakui kepemilikan harta itu.

Faedah:

Mayoritas Ulama (Abu Hanifah dan Syafi’i, juga Ahmad dalam salah satu riwayat darinya dan menjadi madzhab) berpendapat bahwa disyaratkan dalam penegakkan hukuman: orang yang kecurian mencari hartanya. Hal ini berdasarkan hadits Shafwan bin Umayyah:

Bahwa dia datang ke Madinah lalu tidur di masjid dengan berbantalkan mantelnya. Lalu datang seorang pencuri dan mengambil mantelnya dari bawah kepalanya. Shafwan pun menangkap pencuri itu dan datang kepada Nabi dengan membawanya. Lau Rasulullah memerintahkan untuk memotong tangannya, maka Shafwan berkata: “Sebenarnya aku tak menginginkan hal ini, aku mensedekahkan mantel itu.” Maka Rasulullah bersabda: “Bila saja itu sebelum kau datang dengannya kepadaku?”[2]

Sementara itu Imam Malik berpendapat (ini merupakan salah satu riwayat lain dari Ahmad) bahwa tak disyaratkan pencarian orang yang kecurian berdasarkan keumuman ayat yang tak mensyaratkan adanya pencarian harta dari orang yang kecurian dan keumuman ini datang setelah hadits Shafwan yang merupakan pengkhususan bagi keumuman ayat.

2. Kepemilikan yang sah atas barang yang dicuri[3]: yaitu orang yang kecurian haruslah pemilik barang yang dicuri tersebut atau wakil bagi pemiliknya, yang dititipi, yang meminjam, yang berutang, yang diberi gadai, yang menyewa atau yang semisalnya. Karena mereka adalah yang mewakili si pemilik asli dalam menjaga dan menyimpan barang tersebut.

Jika yang kecurian tidak memiliki kepemilikan yang sah atas barang tersebut, seperti dia merampasnya atau mencurinya, maka Hanabilah dan Syafi’iyyah (dalam pendapat yang kuat menurut mereka) berpendapat bahwa hukuman tidak ditegakkan atasnya karena bagi siapa yang mencuri dari orang lain itu seperti yang menemukan barang yang hilang lalu mengambilnya.

Malikiyyah berkata: ditegakkan hukuman atasnya, karena dia mencuri harta yang terjaga tanpa ada keraguan di dalamnya, karena kepemilikannya atas harta itu masih di tangannya walaupun hasil mencuri. Pendapat ini dilemahkan oleh Syafi’iyyah.

Sedangkan Hanafiyyah membedakan antara yang mencuri barang hasil rampas, maka dipotong tangannya karena kepemilikannya itu seperti suatu jaminan yang merupakan kepemilikan yang sah dan antara pencurian barang hasil curian maka tidak dipotong tangannya karena kepemilikannya bukanlah kepemilikan yang sah dan juga bukan kepemilikan berdasarkan amanat atau jaminan, maka kepemilikannya tidak sah.

Penulis berkata: Pendapat yang lebih kuat adalah tetap ditegakkan hukuman atasnya selama barng tersebut ada dalam penjagaan orang lain. Tak ada dalil yang menganggap ketidaksahan kepemilikannya atas barang tersebut. Allah Maha Tahu.

3. Orang yang kecurian haruslah yang terlindungi darahnya[1]: yaitu dia haruslah seorang muslim berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

(إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ)

Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian haram atas masing-masing kalian.[2]

Atau dia seorang Dzimmy, maka seorang pencuri yang muslim atau dzimmy dipotong tangannya jika mencuri dari seorang dzimmy menurut Mayoritas ahli fiqih.

Adapun jika orang yang kecurian adalah seorang harby, maka tidak ditegakkan hukuman atas pencuri yang muslim dan dzimmy berdasarkan kesepakatan para ahli fiqih karena harta seorang harby adalah halal bagi mereka berdua.

Adapun jika dia seorang musta`man, maka Hanfiyyah (kecuali beberapa dari mereka) dan Syafi’iyyah berkata: tidak ditegakan hukuman atas seorang muslim jika dia mencuri darinya, karena dalam hartanya ada keraguan kehalalan karena dia dianggap seperti orang yang berasal dari Negara Kafir yang diperangi.

Sedangkan Malikiyyah dan Hanabilah (dan sebagian kecil hanafiyyah) berkata: harta seorang musta`man itu terlindungi, maka jika seorang muslim atau dzimmy mencuri darinya maka ditegakkan hukuman atasnya.

Ketiga: Syarat-Syarat Yang Berlaku Bagi Kriteria Barang Curian

Harta tersebut haruslah berharga (dihormati oleh agama)[3]

Andai seseorang mencuri sesuatu yang tak ada harganya dalam pandangan agama, seperti babi, khamr, bangkai atau alat-alat permainan yang haram, juga buku-buku yang haram, salib dan patung, maka tak ada potong tangan atasnya menurut pendapat kebanyakan ahli fiqih. Dan ada baiknya di sini disebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan:

2. Malikiyyah dan Abu Yusuf dari Hanafiyyah berpendapat bahwa bagi siapa yang mencuri suatu bejana yang di dalamnya ada khamr dan bejana tersebut harganya mencapai batas minimum potong tangan walau tanpa khamrnya, maka ditegakkan hukuman atasnya. Begitupula jika mencuri salib yang berharga batas minimun menurut pendapat Abu Yusuf dan Ibn Hazm.

3. Syafi’iyyah berpendapat bahwa Bagi siapa yang mencuri alat-alat permainan, bejana emas atau perak, patung, salib atau buku-buku yang tidak berharga di mata agama, maka ditegakan hukuman atasnya jika barang yang dicurinya mencapai batas minimum dan setelah barang-barang tersebut dirusak atau dihancurkan.

Begitupula pendapat Malikiyyah namun mereka membatasinya bahwa barang tersebut dia rusak di dalam penyimpanan.

Adapun Hanabilah berpendapat bahwa tangannya tidak dipotong walaupun harga barang tersebut mencapai batas minimum setelah dihancurkan. Hal ini dikarenakan barang-barang tersebut membantu dalam kemaksiatan, maka dia memiliki hak untuk mengambil dan merusaknya, jadi dalam hal ini ada keraguan yang menggugurkan hukuman. Namun jika ada perhiasan di alat-alat tersebut dan harganya mencapai batas minimum, maka ada dua riwayat dari mereka dalam menegakkan hukuman:

4. Jika seseorang mencuri khamr dari seorang dzimmy, maka Abu Hanifah, Malik dan ats-Tsaury berpendapat: tak ada potong tangan atasnya, namun dia harus membayar ganti rugi. Sedangkan asy-Syafi’i, Ahmad dan pengikut mereka berkata: tak ada potong tangan atas mereka dan juga tak ada ganti rugi. Pendapat ini didukung oleh Ibn Hazm dan pendapat inilah yang paling kuat.

5. Ibn Hazm berpendapat bahwa Bagi siapa yang mencuri bangkai maka dipotong tangannya, beliau berkata: karena kulitnya masih ada, bisa disamak dan bisa dimanfaatkan atau dijual.

6. Apakah seseorang yang menculik orang merdeka, dia dipotong tangannya?

Abu Hanifah, ats-Tsaury, Syafii, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa bagi siapa yang menculik orang biasa, maka tak ada hukuman atasnya apakah yang diculiknya itu anak kecil atau sudah dewasa, karena dia mencuri sesuatu yang bukan berupa harta benda. Walaupun yang diculik itu memakai pakaian yang mahal atau membawa perhiasan yang sama nilainya dengan batas minimum hukuman, karena hal-hal tersebut dianggap termasuk bagian dari oang yang diculik.

Dalam riwayat dari Hanabilah: jika orang itu berniat untuk mencuri benda-benda tersebut, maka dipotong tangannya.

Sedangkan Hasan al-Bashri, asy-Sya’by, Malik, Ishaq dan Ibn Hazm berpendapat bahwa bagi siapa yang menculik orang biasa, maka dipotong tangannya. Hal ini berdasarkan suatu riwayat dari Aisyah:

)أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتى برجل يسرق الصبيان ثم يخرج فيبيعهم فى أرض أخرى فأمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقطعت يده)

Sesungguhnya dihadapkan kepada Rasulullah seseorang yang menculik seorang anak kecil, kemudian dia membawanya dan menjualnya di negeri lain. Maka Rasulullah memerintahkan untuk dipotong tangannya.[1]

Adapun jika yang diculik adalah seorang budak yang masih kecil dan belum mengerti apa-apa, maka penculiknya dianggap mencuri harta benda dan atasnya hukum potong tangan tanpa ada khilaf di antara para ulama. Namun jika yang diculik sudah mumayyiz, maka sebagian ulama ada yang menggugurkan hukuman potong tangan atas pencurinya, hal ini dikarenakan jika yang diculik itu tidak menaati si penculik, maka dia tak akan bisa menculiknya. Ibn Hazm berkata: Hal ini tidak layak untuk dimutlakan begitu saja, karena bisa saja dia menculiknya ketika sedang tidur, mabuk, pingsan, dipaksa, atau diancam akan dibunuh dan dia tak bisa melawannya. Maka jika kondisinya demikian, ini adalah suatu penculikan yang memenuhi syarat maka pencurinya dipotong tangannya berdasarkan dalil Al-Qur`an.[2]

7. Apakah disyaratkan untuk barang yang dicuri adalah yang tidak cepat rusak?[3]

Hanafiyyah mengugurkan hukuman potong tangan untuk pencurian barang yang mudah rusak:

Seperti susu, daging, buah-buahan dan buah-buahan basah. Adapun jika buah-buahan kering dan disimpan dalam keranjang, maka berlaku hukum potong tangan.

Khilaf dalam permasalahan ini berkisar pada hadits `Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya:

(أَنَّ رسول الله سُئِلَ عَنِ الثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ فَقَالَ: «مَا أَصَابَ مِنْ ذِي حَاجَةٍ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَمَنْ خَرَجَ بِشَيْءٍ مِنْهُ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ، وَمَنْ سَرَقَ شَيْئًا مِنْهُ بَعْدَ أَنْ يُؤْوِيَهُ الْجَرِينُ، فَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ، وَمَنْ سَرَقَ دُونَ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ(

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang kurma yang masih menggantung di pohon? Maka beliau menjawab: “Bagi siapa makan darinya karena kebutuhan, tidak menyembunyikan (buah yang lain), maka ia tidak berdosa. Bagi siapa keluar dari (kebun) tersebut dengan mengambil sesuatu darinya, maka ia harus mengganti dua kali lipat beserta hukuman tambahan. Bagi siapa mencuri sesuatu darinya setelah dikumpulkan dalam keranjang dan senilai tameng, maka baginya hukuman potong tangan. Dan Bagi siapa mencuri sesuatu yang kurang dari nilai tersebut, maka harus mengganti dua kali lipat beserta hukuman tambahan.[4]

Hanafiyyah berpendapat bahwa Nabi mengugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan dari pohonnya dikarenakan masih basah dan mudah busuk. Nabi mewajibkan potong tangan atas pencuri dari keranjang karena buah-buahan tersebut sudah kering sehingga tidak mudah busuk. Maka mereka menjadikan hal tersebut sebagai dasar bagi semua hal yang bisa berkurang harganya karena cepat rusak.

Adapun Mayoritas ulama berpendapat bahwa sebabnya berkisar pada tempat penyimpanan, bukan karena kering atau basahnya, Inilah yang benar dan didukung oleh kenyataan bahwa Nabi menggugurkan hukuman potong tangan dari pencuri kambing dari tempat gembala dan menjatuhkan hukuman bagi yang mencurinya dari kandangnya karena itulah tempat penyimpanannya. Dalam hadits `Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang diriwayatkan oleh an-Nasaa`i dia berkata:

(سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كَمْ تُقْطَعُ الْيَدُ؟ قَالَ: «لَا تُقْطَعُ الْيَدُ فِي ثَمَرٍ مُعَلَّقٍ، فَإِذَا ضَمَّهُ الْجَرِينُ قُطِعَتْ فِي ثَمَنِ الْمِجَنِّ، وَلَا تُقْطَعُ فِي حَرِيسَةِ الْجَبَلِ، فَإِذَا آوَى الْمُرَاحَ قُطِعَتْ فِي ثَمَنِ الْمِجَنِّ(

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai berapa harga barang yang menyebabkan tangan dipotong? Beliau bersabda: “Tidak dipotong tangan karena buah yang menggantung di pohon, kemudian apabila telah terkumpul dalam tempat pengeringan maka tangan orang yang mencurinya dipotong apabila mencapai harga tameng, dan tidak dipotong karena mengambil kambing yang digembala di gunung, kemudian apabila kambing tersebut telah memasuki kandangnya maka tangan yang mengambilnya dipotong apabila mencapai harga tameng.[1]

8. Apakah pencuri mushaf dipotong tangannya?[2]

Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat (merupakan madzhab dalam Hanabilah) bahwa pencuri mushaf tidak dipotong tangannya, karena dia memiliki hak belajar darinya dan tak ada larangan dari siapapun yang membutuhkannya untuk memanfaatkannya.

Sedangkan Malik, Syafi’i dan sebagian dari Hanabilah juga Abu Yusuf dari Hanafiyyah serta Zhahiriy berpendapat bahwa tetap dipotong tangannya jika harga mushaf mencapai batas minimum. Hal ini dikarenakan orang-orang menganggapnya sebagai barang yang berharga. Ibn Hazm membantah keraguan yang dikatakan oleh Hanafiyyah dan mengatakan bahwa hak belajar itu berupa pengajaran lisan saja, bukan pada mushaf karena tak ada dalam Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’ atas kewajiban tersebut. Yang ada hanyalah saling mengajari Al-Qur`an dalam bentuk pelajaran dan hafalan sebagaimana yang dulu dilakukan oleh para Shahabat di masa Rasulullah tanpa ada khilaf di antara mereka bahwa ketika itu tak ada mushaf di masa mereka. Maka rusaklah perkataan mereka: Sesungguhnya si pencuri memiliki hak pembelajaran dalam mushaf itu. Dan dibenarkan bagi pemilik mushaf tersebut untuk mencegah siapapun yang ingin mengambilnya karena tak ada kebutuhan mendesak kepadanya. Maka yang benar adalah potong tangan tetap dijatuhkan kepada pencuri mushaf, baik mushaf itu ada perhiasannya atau tidak berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala :

(وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا)

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya[3]

Hal ini juga berlaku pada buku-buku keilmuan yang bermanfaat. Allah Maha Tahu.

Barang Curian Itu Harus Mencapai Ukuran

Maksud dari ukuran di sini adalah: batas minimum yang jika seseorang mencuri sesuatu yang lebih murah dari batas tersebut maka tidak dipotong tangannya dan jika mencuri yang seharga ukuran maka dipotong tangannya.

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tak ada penegakan hukuman kecuali jika harga barang yang dicuri mencapai ukuran. Namun mereka berselisih dalam batasan ukuran ini dengan perselisihan yang besar sampai ada sekitar dua puluh pendapat. Dan dari pendapat-pendapat tersebut ada empat yang paling terkenal:

Pertama: Tangannya tidak dipotong kecuali karena mencuri yang seharga 1 dinar atau 10 dirham[1]: Ini merupakan madzhab Abu Hanifah dan pengikutnya dan merupakan perkataan `Athaa’. Mereka berargumentasi dengan hal-hal berikut:

a. Hadits `Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata:

(لا قطع فيما دون عشر دراهم)

Tak ada potong tangan pada pencurian di bawah 10 dirham.[2]

Dalam lafazh lain:

(لا تقطع يد السارق فيما دون ثمن المجن)

Tangan pencuri tidak dipotong jika mencuri sesuatu yang lebih murah daripada harga tameng.

Mereka berselisih dalam membatasi harga tameng, di antara mereka ada yang menghargainya dengan 3 dirham, sebagian lain menghargainya dengan 4 dirham, sebagian lain menghargainya dengan 5 dirham dan sebagian lain menghargai dengan 10 dirham. Maka Hanafiyyah memandang bahwa mengambil pendapat ukuran yang paling besar adalah yang lebih baik, karena dalam pendapat yang paling kecil ada keraguan yang dapat mengugurkan hukuman.

b. Hadits Ibn `Abbas dia berkata:

(قطع رسول الله رجلا في مجن قيمته دينار أو عشرة دراهم)

Rasulullah memotong tangan seseorang karena mencuri tameng seharga satu dinar atau sepuluh dirham.[3]

Jawaban: dalam hadits ini tak ada penjelasan bahwa tak ada potong tangan pada pencurian di bawah harga tersebut.

Kedua: Ukuran yang mewajibkan potong tangan karena mencurinya adalah seperempat dinar emas atau 3 dirham perak atau barang-barang lainnya yang seharga 3 dirham: artinya adalah masing-masing emas dan perak dianggap sebagai benda tersendiri, maka jika barang yang dicuri bukanlah berupa emas atau perak maka dihargai dengan dirham (perak). Jika harganya mencapai tiga dirham namun belum mencapai seperempat dinar, maka ditegakkan hukuman atasnya. Jika harganya mencapai seperempat dinar namun belum mencapai 3 dirham, maka tak ada hukuman. Jadi dasarnya (dalam pendapat ini) adalah dirham perak.

Pendapat ini dikenal merupakan madzhab Malik dan Ahmad, dan Ishaq juga berkata demikian dan diceritakan pula dari al-Laits dan Abu Tsaur.[1]

Mereka berargumentasi dengan hal-hal berikut:

a. Hadits Ibn `Umar:

(أن النبي قطع في مجن قيمته ثلاثة دراهم)

Sesungguhnya Nabi memotong tangan karena mencuri tameng seharga tiga dirham.[2]

b. Hadits `A’isyah, sesungguhnya Nabi bersabda:

(لا تقطع يد السارق إلا في ربع الدينار فصاعدا)

Tangan pencuri tidak dipotong kecuali mencuri sesuatu seharga seperempat dinar atau lebih.[3]

Mereka mengambil dalil dari hadits `A’isyah jika yang dicuri adalah emas dan dari hadits Ibn `Umar jika yang dicuri adalah perak atau hal lain selain emas dan perak. Mereka menguatkan pendapat mereka dengan riwayat dari beberapa Shahabat:

Dari Anas: sesungguhnya seorang pencuri mencuri suatu tameng (aku senang karena aku membelinya hanya dengan tiga dirham atau seharga tiga dirham), maka Abu Bakr memotong tangannya.[4]

Dari Amrah dia berkata: Seorang lelaki yang mencuri buah utrujah dihadapkan kepada `Utsman, maka `Utsman memerintahkan agar buah itu dihargai dan seharga tiga dirham (hitungan uang dua belas dirham sama dengan satu dinar), maka beliau memotong tangannya.[5]

Ketiga: Ukurannya adalah seperempat dinar emas atau yang seharga itu: artinya adalah bahwa standar perhitungannya adalah emas. Maka hukuman tidak ditegakkan bagi yang mencuri 3 dirham atau yang seharga 3 dirham karena jumlah itu lebih sedikit dari seperempat dinar.

Ini adalah madzhab Syafi’i dan diriwayatkan dari `Umar, `Utsman, Ali dan `A’isyah. Pendapat ini juga dikatakan oleh ahli fiqih yang tujuh, `Umar bin `Abdul `Aziz, al-Auza’y dan Ibnul Mundzir[1]. Dalil mereka adalah:

a. Hadits `A’isyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(لا تقطع يد السارق إلا في ربع الدينار فصاعدا)

Tangan pencuri tidak dipotong kecuali mencuri sesuatu seharga seperempat dinar atau lebih.[2]

Mereka berkata: Hadits ini merupakan sabda yang lebih kuat daripada sekedar perbuatan dan sangat jelas dalam membatasi. Hadits-hadits shahih lainnya hanyalah menceritakan tentang perbuatan tanpa ada yang menjadikannnya umum.

b. Hadits `A’isyah juga diriwayatkan dengan lafazh:

)اقطعوا فى ربع دينار ولا تقطعوا فيما هو أدنى من ذلك” قالت: وكان ربع الدنيار يومئذ ثلاثة دراهم والدينار اثنا عشر درهما)

“Potonglah tangan pencuri karena mencuri seperempat dinar dan janganlah kalian potong karena mencuri yang lebih sedikit dari itu.” `A’isyah berkata: ketika itu seperempat dinar sebanding dengan 3 dirham dan 1 dinar adalah 12 dirham.[3]

Penulis berkata: hadits ini lemah dengan lafazh ini.

c. Sesungguhnya yang dijadikan sebagai standar untuk menghargai sesuatu adalah emas, karena emas adalah standar barang mulia di seluruh dunia. Pernyataan ini didukung dengan nukilan Al-Khaththabiy sebagai dalil bahwa standar uang di zaman itu adalah dinar. Dalam dokumen-dokumen kuno tertulis di dalamnya: “10 dirham: seberat 7 mitsqal”, maka dirham diukur dengan dinar dan dihitung dengannya.

Keempat: Dipotong tangannya karena mencuri sedikit atau banyak, kecuali emas maka tidak dipotong kecuali jika mencuri seperempat dinar atau lebih: Ini merupakan madzhab Abu Muhammad Ibn Hazm dan dalam pendapat hukum potong tangan untuk pencurian apakah itu sedikit ataupun banyak disepakati juga oleh: al-Hasan dan beberapa pengikut Syafi’i[4]. Mereka berdalil dengan hal-hal berikut:

a. Keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala :

(وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا)

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya[1]

Mereka berkata: perintah ini mencakup pencurian yang sedikit atau banyak.

b. Hadits Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(لَعَنَ اللهُ السَّارِقَ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ)

Allah melaknat seorang pencuri, yang mencuri telur maka dipotong tangannya dan yang mencuri tali lalu dipotong tangannya.[2]

Mereka berkata: Hadits tersebut merupakan dalil yang kuat bahwa tak ada batasan dalam harga barang curian yang kemudian mewajibkan potong tangan, jadi apapun yang memiliki harga baik sedikit atau banyak maka tetap ada potong tangan. Adapun sesuatu yang hina dan pada dasarnya tak memiliki harga, maka tak ada potong tangan karena mencurinya. Hal ini berdasarkan hadits `A’isyah dia berkata:

(لَمْ تُقْطَعْ يَدُ سَارِقٍ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَدْنَى مِنْ ثَمَنِ المِجَنِّ تُرْسٍ أَوْ حَجَفَةٍ، وَكَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ذَا ثَمَنٍ)

Tangan pencuri pada zaman Nabi tidak dipotong karena mencuri sesuatu yang lebih murah daripada harga tameng: yang dari kayu atau besi maupun yang dari kulit, dan kesemuanya memiliki harga.[3]

Kemudian Ibn Hazm mengecualikan dari keumuman ini: emas, maka jika yang dicuri adalah emas (saja), maka pencurinya dipotong tangannya jika mencapai seperempat dinar atau lebih berdasarkan hadits `A’isyah dalam masalah ini.

Menurut Ibnu Hazm, barang yang dicuri selain emas tetap membuat pencurinya dipotong tangannya baik mahal ataupun murah.

Pendapat Yang Kuat Dari Pendapat-Pendapat Tersebut

Pendapat yang kuat menurutku dan lebih dekat dengan kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut: yang kedua dan yang ketiga. Namun menjadikan emas (seperempat dinar = 1,0625 gram) sebagai ukuran adalah yang paling kuat berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Syafi’iyyah. Juga karena barang-barang dan uang kertas yang digunakan di zaman sekarang diukur dengan harga emas. Allah Maha Tahu.

Maka yang tertinggal ada jawaban untuk hadits:

(لَعَنَ اللهُ السَّارِقَ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ…)

Allah melaknat seorang pencuri, yang mencuri telur maka dipotong tangannya…

Maka ada yang mengatakan: maksud dari telur di sini adalah jika mencapai ukuran seperempat dinar atau lebih, begitupula dengan tali[1]. Ada juga yang mengatakan:Harga barang yang dianggap sebagai ukuran adalah harganya saat pencurian[2]

Madzhab yang empat bersepakat bahwa harga barang yang dianggap sebagai ukuran adalah saat dikeluarkan dari penyimpanannya. Maka jika harga barang yang dicuri kurang dari ukuran saat dicuri, tapi kemudian bertambah sehingga mencapai ukuran setelah dikeluarkan dari penyimpanannnya, maka tak ada hukuman.

Adapun jika harga barang (ketika dikeluarkan dari penyimpanannya) mencapai ukuran lalu berkurang setelah itu, maka Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ditegakkan hukuman atas pencurinya baik harga barangnya itu sendiri yang berkurang seperti jika rusak sebagiannya di tangan pencuri ketika mengeluarkannya dari penyimpanan atau dikarenakan perubahan harganya di pasaran.

Sedangkan Hanafiyyah berpendapat: ada pembedaan, jika kurangnya harga ada pada barang itu sendiri seperti rusak di tangan pencuri, maka kurangnya harga ini tak dianggap dan pencurinya tetap dihukum. Adapun jika disebabkan oleh berubahnya harga, maka dalam madzhab Hanafiyyah ada dua riwayat: Yang pertama, harga yang dianggap adalah ketika pencurian terjadi, maka pencuri dihukum sebagaimana pendapat Mayoritas. Kedua, jika harga berkurang sampai di bawah ukuran sebelum diputuskan hukuman, maka tak ada hukuman, karena pencuri tak memiliki andil dalam berkurangnya harga dan karena berkurangnya harga ketika pemutusan hukuman menimbulkan keraguan yang menggugurkan hukuman.

Barang Yang Dicuri Haruslah Tersimpan

Hirz (penyimpanan) -menurut para ahli fiqih-: tempat yang kuat dan biasanya harta disimpan di dalamnya dengan anggapan bahwa pemiliknya tidak menyia-nyiakan barang tersebut dengan meletakan di dalamnya.

Sebagian ahli fiqih (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa hukuman pencurian tidak ditegakkan kecuali jika pencuri mengambil barang yang mencapai ukuran dari penyimpanannya. Karena harta yang tidak disimpan dapat hilang karena kelalaian pemiliknya.[3]

Mayoritas ulama berdalil dengan hadits `Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata:

(سمعت رَجُلًا مِنْ مُزَيْنَةَ يسأل رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الحَرِيسَةِ التي توجد في مرتاعها؟ فقَالَ: ” فِيهَا ثَمَنُهَا مَرَّتَيْنِ، وَضَرْبُ نَكَالٍ، وَمَا أُخِذَ مِنْ عَطَنِهِ فَفِيهِ الْقَطْعُ، إِذَا بَلَغَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ ” قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَالثِّمَارُ، وَمَا أُخِذَ مِنْهَا فِي أَكْمَامِهَا؟ قَالَ: ” مَنْ أَخَذَ بِفَمِهِ، وَلَمْ يَتَّخِذْ خُبْنَةً، فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ، وَمَنِ احْتَمَلَ، فَعَلَيْهِ ثَمَنُهُ مَرَّتَيْنِ وَضَرْبًا وَنَكَالًا، وَمَا أَخَذَ مِنْ أَجْرَانِهِ، فَفِيهِ
الْقَطْعُ، إِذَا بَلَغَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ)

Aku mendengar seorang lelaki dari Muzainah bertanya kepada Nabi mengenai al-Harisah[1] yang ditemukan di tempat gembalanya, maka Nabi bersabda: “Yang mencurinya harus menggantinya dengan dua kali lipat harganya juga cambukan serta hukuman. Dan yang dia ambil dari ‘Athn[2] maka atasnya hukum potong tangan jika yang dia ambil mencapai harga suatu tameng.” Dia berkata: Wahai Rasulullah, adapun buah-buahan yang diambil ketika dia masih di tangkai-tangkainya?” Maka Nabi menjawab: “Bagi siapa yang mengambilnya untuk makan dan tidak menyimpannya, maka tidak ada dosa baginya. Dan bagi siapa yang membawanya, maka dia harus menggantinya dua kali lipat serta cambukan dan hukuman. Dan apapun yang dia ambil dari penyimpanannya, maka atasnya hukum potong tangan jika yang dia ambil mencapai harga suatu tameng.”[3]

Dalam hadits tersebut ada penjelasan tentang penyimpanan, Nabi mengugurkan hukuman potong tangan dari pencuri buah-buahan yang masih ada di pohonnya dan menjatuhkan hukuman kepada yang mencuri dari keranjang, begitupula pada kambing. Hadits ini adalah yang mengkhususkan keumuman firman Allah:

(وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا)

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya[4]

Penyimpanan Ada 2 Macam[5]:

Tempat penyimpanan barang itu sendiri (penjagaan tempat): yaitu segala tempat yang dipakai untuk penyimpanan, tak bisa masuk ke dalamnya kecuali dengan izin seperti rumah dan tempat tinggal.

Penyimpanan dengan sarana lain (seorang penjaga): yaitu segala tempat yang tidak dipakai untuk penyimpanan, tak ada orang yang dilarang untuk memasukinya seperti masjid dan pasar. Dan penjagaan tidak terlaksana kecuali jika ada penjaganya, yaitu orang yang menjaganya.

Patokan penyimpanan dan batasan pengertiannya dikembalikan kepada adat kebiasaan, maka dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat serta jenis harta yang akan disimpan. Juga bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan kekuasaan dari yang adil kepada yang lalim dan dari yang kuat kepada yang lemah.

Oleh karena itu para ahli fiqih berselisih tentang syarat-syarat yang menjadikan suatu penyimpanan menjadi sempurna, yang dengannya ditegakkan hukuman bagi yang mencuri dari penyimpanan tersebut. Permasalahan ini dijelaskan dalam buku-buku yang membahas cabang-cabang keilmuan dalam fiqih.

Footnote:
[3]Fathu al-Qadir (5/144), Jawahiru al-Iklil (2/293), Nihayatu al-Muhtaj (7/435), al-Mughny (10/284), Kasysyaf al-Qanaa’ (6/141) dan al-Huduud wa At-Ta`ziraat (hal/ 378)
[1]Shahih dengan semua jalur periwayatannya, lihat al-Irwa` (838)
[2]Al-Muhalla (11/345)
[1]Al-Bada`i’ (7/75) dan rujukan-rujukan sebelumnya.
[2]Al-Bada`i’ (5/75), Mughny al-Muhtaj (4/162), al-Madwanah (16/76), al-Mughny (10/287), Kasysyaf al-Qana’ (6/141) dan al-Muhalla (11/347)
[1]Al-Muhalla (11/348)
[2]Al-Muhalla (11/349) secara ringkas
[3]Al-Bada`i’ (7/76), al-Madwanah (4/418), Qalyuby (4/188) dan Kasysyaf al-Qanaa’ (6/142)
[4]Dha`if, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2590) dan al-Baihaqy (8/282) dari hadits Ibnu Abbas.
[1]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (893) dan Muslim (1839)
[2]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (5364) dan Muslim (1714)
[3]Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’: 20
[1]Ibnu ‘Abidin (3/208), ad-Dasuqy (4/337), Mughny al-Muhtaj (4/163), Kasysyaf al-Qanaa’ (6/142) dan al-Muhalla (11/327)
[2]Dha`if, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hazm (11/327) dan lihat al-Irwa` (2422)
[3]Dha`if, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hazm (11/327), al-Baihaqy (8/282) dan lihat al-Irwa` (2423)
[4]Sanadnya Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Malik (1584), dan Syafi’i meriwayatkan darinya (267), Abdurrazzaq (10/210), al-Baihaqy (8/281) dan ad-Daruqthny (3/188)
[1]Sanadnya Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqy (8/281)
[2]Al-Mughny karya Ibnu Qudamah (10/285)
[3]al-Bada`i’ (7/72), Ibnu ‘Abidin (4/94), ad-Dasuqy (4/337), Minahu al-Jalil (4/526), Mughny al-Muhtaj (4/162), al-Mughny (10/288), Kasysyaf al-Qanaa’ (6/143) dan al-Muhalla (11/328)
[4]Al-Mabsuth (9/140), Qalyuby wa ‘Umairah (4/162), al-Mughny (10/288), al-Muhalla (11/343) dan al-Fatawa al-Hindiyyah (2/176)
[1]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah: 173
[2]Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’ : 29
[3]Dha`if, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (10/242), Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (11/343) dan lihat al-Irwa` (2428)
[4]Sanadnya terputus, diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa` (2/123) dan asy-Syafi’i meriwayatkan darinya (267)
[5]I’lam al-Muwaqqi’in (3/23)
[1]Nihayatu al-Muhtaj (7/422), Kasysyaf al-Qanaa’ (6/143), I’lam al-Muwaqqi’in (3/257) dan al-Huduud wa At-Ta`ziraat (hal. 376-377)
[1]Al-Bada`i’ (7/81), Al-Mudawwanah (16/68), al-Umm (6/141) dan Kasysyaf al-Qanaa’ (6/118)
[2]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (4394), an-Nasaa`i (8/68, 69, 70), Ibnu Majah (2595), Ahmad (6/465), al-Baihaqy (8/265), al-Hakim (4/380) dan Ibnu al-Jarud (828)
[3]Al-Bada`i’ (7/71), Al-Mudawwanah (7/19), al-Muhadzzab (2/299) dan Kasysyaf al-Qanaa’ (6/140)
[1]Al-bada`i’ (7/69), Al-Mudawwanah (6/19), al-Muhadzab (2/299) dan al-Mughny (10/76)
[2]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (1218)
[3]Al-Bada`i’ (7/67-69), Ibnu Abidin (3/273-275), Fathu al-Qadir (4/227-232), Al-Mudawwanah (16/77), ad-Dasuqy (4/336), al-Khursyi (8/96), Mughny al-Muhtaj (4/173), Nihayatu al-Muhtaj (7/421), Qalyuby wa ‘Umairah (4/1095), al-Mughny (10/24-284), Kasysyaf al-Qanaa’ (6/78,130), Syarh Muntaha al-Iradaat (3/364) dan al-Muhalla (11/334-338)
[1]Bathil, diriwayatkan oleh ad-Daruquthny (2/202) dan beliau mendha`ifkannya, al-Baihaqy (8/268) dan al-Albany berkata dalam al-Irwa` (2407): hadits palsu.
[2]Al-Muhalla karya Ibnu Hazm (11/236)
[3]Fathu al-Qadir (5/130), al-Mughny (10/247), al-Huduud wa At-Ta`ziraat (hal. 367) dan rujukan-rujukan yang sebelumnya
[4]Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (4390), at-Tirmidzi (1289) dan an-Nasaa`i (8/85)
[1]Hasan, diriwayatkan oleh an-Nasaa`i (8/78)
[2]Al-Bada`i’ (7/68), Mughny al-Muhtaj (4/173), al-Mughny (10/249) dan al-Muhalla (11/337)
[3]Al-Qur’an, Surat Al-Ma’idah: 38
[1]Dinar: uang dari emas, dalam negara Islam beratnya adalah 4,25 gram. Dirham: uang dari perak, dalam negara Islam beratnya adalah 2,975 gram.
[2]Dha`if, diriwayatkan dengan lafadz ini oleh ad-Daruquthny (4/193) dengan sanad yang lemah dan memiliki beberapa lafadz. Lihat Fathu al-Bary (12/105)
[3]Sanadnya lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (4387) dan ada juga dalam riwayat yang mursal oleh an-Nasaa`i (4947) sebagai syahidnya.
[1]Ad-Dasuqy (3/333), Jawahir al-Iklil (2/290), al-Mughny (10/242), Kasysyaf al-Qanaa’ (4/78) dan al-Inshof (10/262)
[2]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (6796) dan Muslim (1686)
[3]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (6790) dan Muslim (1684) dan lafadz dari Muslim.
[4]Sanadnya Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (10/236), Syafi’i (274 – Syifa` al-‘Ay) dan al-Baihaqy (8/259)
[5]Sanadnya Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (10/237), Malik (1574) dan Syafi’i meriwayatkan darinya (273)
[1]Mughny al-Muhtaj (4/158), Qalyuby wa Umairah (4/186), al-Mughny (10/242) dan Fathu al-Bary (12/109
[2]Hadits Shahih, telah disebutkan takhrijnya
[3]Dha`if dengan lafadz ini, diriwayatkan oleh Ahmad (6/80), al-Baihaqy (8/255) dan lihat al-Irwa` (2409)
[4]Al-Muhalla (11/351), Mughny al-Muhtaj (4/158) dan al-Mughny (10/242)
[1]Al-Qur’an, Surat Al-Ma’idah 38
[2]Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (6799) dan Muslim (1687)
[3]Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (6794)
[1]Lihat Fathu al-Bary (12/110)
[2]al-Badaa`i’ (7/79), Al-Mudawwanah (16/90), Nihayatu al-Muhtaj (7/420) dan al-Mughny (10/278)
[3]al-Badaa`i’ (7/66), ad-Dasuqy (4/338), Mughny al-Muhtaj (4/164) dan Kasysyaf al-Qanaa’ (6/110)
[1]Maksudnya adalah: kambing yang kemalaman dan belum kembali ke kandangnya hingga kemudian dicuri dari gunung
[2]al-‘Athn: tempat dimana unta-unta ditinggalkan untuk minum
[3]Hasan, telah disebutkan takhrijnya
[4]Al-Qur’an, Surat Al-Ma’idah: 38
[5]al-Badaa`i’ (7/73), al-Khursyi (8/117), Qolyuby wa Umairoh (4/190) dan al-Mughny (10/251)

Leave a Comment