Fatwapedia.com – Pada tulisan sebelumnya kita sudah bahas tentang Definisi Suap Dampak dan Hukumnya Dalam Islam. Nah kali ini in syaa Allah kita lanjutkan tentang Macam-macam suap.
Dalam keseharian, sering praktik risywah dipertontonkan oleh banyak orang dengan beragam bentuknya. Para ulama membagi bentuk-bentuk risywah menjadi beberapa bentuk:
1. Risywah dalam Penegakan Hukum
Risywah dalam penegakan hukum adalah yang paling berbahaya dalam tatanan masyarakat. Karena dengan risywah ini orang-orang bejat begitu leluasa merampas hak orang lain melalui sidang di pengadilan. Dan melalui risywah jenis ini tindak kejahatan perampasan hak orang lain mendapat pengesahan dari badan hukum dan dilindungi oleh negara. Risywah jenis ini yang telah menghancurkan kehidupan umat Yahudi sehingga Allah mencela mereka di dalam Alquran.
Alloh berfirman;
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram(hasil sogok). Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu”. (Al Maidah: 62).
Ibnu Jarir At Thabari menafsirkan ayat di atas, ia berkata,” Allah telah menjelaskan sifat-sifat orang-orang Yahudi dalam ayat ini, mereka begitu bersemangat untuk berbuat dosa dan menentang Allah. Mereka bersegera melanggar ketentuan Allah, mereka memakan harta haram melalui sogok yang mereka terima dalam penegakan hukum, sehingga mereka memutuskan suatu perkara berbeda dengan hukum Allah”.
2. Risywah Penerimaan dan Pengangkatan Calon Pegawai
Kepala negara dan kepala daerah telah diberi amanah oleh rakyat untuk mengemban tugas membawa masyarakat kepada kemajuan dunia dan akhirat. Para pimpinan ini, tentu tidak mampu melakukan tugas yang begitu besar sendirian. Dia membutuhkan para pembantu, yaitu para menteri, dan setiap menteri dibantu oleh ribuan para staf di departemen atau di kementeriannya.
Maka menjadi kewajiban bagi para pemimpin tersebut untuk mengangkat orang-orang yang terampil bekerja dan bersifat jujur sebagai pembantu mereka dalam menjalankan tugas yang telah diamanahkan di atas pundak mereka di setiap jajaran, mulai dari menteri hingga pegawai golongan terendah.
Bila hal ini mereka abaikan, mereka mengangkat para pembantunya berdasarkan kekerabatan, tawaran politik, dan sogok yang diberikan oleh setiap calon pegawai, ini jelas sebuah pengkhianatan.
Padahal Allah telah mewajibkan setiap muslim menjalankan amanah dengan baik dan menyampaikannya kepada yang berhak.
Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. (An Nisaa: 58).
Dan tindakan tersebut merupakan penipuan terhadap rakyat yang dipimpinnya. Dan Nabi shallallahu alaihi wa Sallam mengancam pemimpin yang menipu rakyatnya tidak akan masuk surga.
“Setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya yang beragama Islam, Ialu dia wafat dan dia menipu rakyatnya niscaya Allah mengharamkan dia masuk surga”. (HR. Bukhari).
Dan yang pasti, proses pengangkatan pegawai yang diwarnai proses sogok menyogok akan berakibat munculnya para pekerja yang tidak terampil dalam bekerja. Hal ini termasuk menyerahkan pekerjaan kepada yang bukan ahlinya. Yang berakhir dengan sebuah kehancuran. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat”. (HR. Bukhari).
3. Hadiah dari Calon Anggota Legislatif atau Calon Kepala Negara/Daerah Saat Kampanye
Seseorang yang mencalonkan diri dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat ataupun dalam pemilihan kepala negara dan kepala daerah sering membagi-bagikan hadiah kepada rakyat yang akan memilihnya. Hadiah ini termasuk juga risywah. Dalam bentuk apapun hadiah yang diberikan baik berupa: uang, bahan makanan pokok, baju kaos, topi atau cindera mata lainnya.
Hakikat risywah bentuk ini adalah kebalikan dari sogok yang diberikan calon pegawai kepada panitia yang akan menerimanya atau akan memilihnya adalah sebagai penerima sogok adalah sebagai kepala daerah yang akan dipilih rakyat pemberi sogok dan partai serta tim sukses pengusung calon tersebut adalah sebagai perantar terkena laknat dan dosa praktik risywah. sogok, kesemua mereka. Komite tetap fatwa dan penelitian keislaman kerajaan Arab Saudi telah menfatwakan haram pemberian dan penerimaan hadiah dari calon yang lkut pemilihan legislatif, fatwa no: 7245. yang ditanda tangani OIeh Syaikh Abdul Aziz bin Baz (ketua), yang berbunyi
Soal: apakah hukum Islam tentang seorang calon anggota legislatif dalam pemllihan yang memberikan harta kepada rakyat agar mereka memilihnya dalam pemilihan umum?
Jawab: perbuatan calon anggota legislatif yang memberikan Sejumlah harta kepada rakyat dengan tujuan agar mereka memilihnya termasuk risywah dan hukumnya haram”.
4. Hadiah untuk Pegawai dari Pengguna Jasanya
Pada dasarnya Islam menganjurkan para pemeluknya untuk saling memberikan hadiah agar tercipta keharmonisan hubungan antara pemberi dan penerima hadiah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Salinglah memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai”. (HR. Bukhari di kitab Adabul Mufrad. Derajat hadis ini dinyatakan hasan oleh Al-Albani).
Akan tetapi, bila hadiah diberikan oleh bawahan kepada atasan di tempat kerja instansi pemerintahan ataupun swasta, dari seorang murid kepada seorang guru, dari seorang pengusaha kepada seorang pejabat, dari seorang yang bersengketa kepada hakim ataupun jaksa, dari seorang rakyat pengguna jasa kepada pegawai yang melayani Urusan mereka, dari pembayar pajak kepada pemungut pajak, dari salah seorang yang berada di akhir antrian kepada petugas yang mengatur antrian agar urusannya lebih didahulukan, dari orang yang sedang disidak (inspeksi mendadak) kepada petugas sidak, dari orang yang melanggar peraturan lalu lintas kepada penegak displin lalu lintas pendeknya dari orang yang membutuhkan jasa kepada orang yang memberikan jasa dan pemberi jasa telah digaji oleh pihak yang mempekerjakannya, dan pemberi hadiah memberikannya bukan karena hormat kepada yang diberi akan tetapi karena jabatannya, jika ia berhenti maka akan diberi hadiah.
Maka hadiah dalam kasus di atas tidak lagi murni sebagai hadiah, akan tetapi telah berubah menjadl risywah. Baik diberikan sebelum urusannya selesai maupun setelah urusannya selesai. Baik hadiah berupa uang, barang atau apapun bentuknya.
Hal ini dilarang Islam karena akan mengakibatkan pegawai/pejabat yang diamanahkan untuk menjalankan tugas sesuai ketentuan pihak yang mempekerjakannya akan mengkhianati amanah tersebut dan akan berbuat sesuai dengan keinginan pemberi hadiah.
Suatu saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat Ibnu Lutfiyyah untuk menarik zakat bani Sulaym. Kemudian lbnu Lutbiyyah datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,” Ini adalah zakat, aku serahkan kepadamu dan ini adalah hadiah dari bani Sulaym untukku”.
Seketika itu juga, rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menaiki mimbar, lalu bersabda,
“Apa gerangan seorang pekerja yang kami amanahkan, Ialu dia datang, seraya berkata: ini untukmu dan ini hadiah dari masyarakat untukku. Andaikan dia duduk saja di rumah bapaknya atau di rumah ibunya, apakah ada orang yang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi jiwa Muhammad di TanganNya, tidak seorang pekerjapun yang menerima hadiah apapun, melainkan hadiah tersebut akan dibawanya di atas pundaknya, mungkin seekor unta yang mengeluarkan suara keras, mungkin juga seekor sapi yang mengoak, atau seekor kambing yang mengembek”.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tinggi kedua tangannya sehingga lengan jubahnya turun dan kelihatan kilauan pangkal lengannya, lalu beliau bersabda, “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya? (HR. Bukhari dan Muslim)
Potongan terakhir hadis di atas sangat menyentuh sekali, sepertinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwa akan terjadi di suatu masa kebanyakan umatnya yang diberi amanah sebuah pekerjaan akan berbuat seperti perbuatan Ibnu Lutbiyah, sehingga perlu beliau terangkan bahwa bila itu terjadi beliau berlepas tangan dari perbuatan umatnya karena beliau telah menyampaikan risalah yang diamanahkan Allah kepadanya.
Ancaman dalam hadis di atas cukup untuk menghentikan gerak tangan orang untuk menerima risywah berkedok hadiah.
Bayangkan! Setiap hadiah yang diterimanya dari yang terkecil hingga yang besar akan dipanggul di atas pundaknya. Kuat tidak kuat dia pasti akan memanggulnya. Apakah seorang pejabat kuat memanggul rumah yang dihadiahkan seorang pengusaha kepadanya? Belum lagi ditambah mobil, tanah dan lain sebagainya?
Dalam hadis yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan antara seorang pejabat yang menerima hadiah dengan pejabat yang melakukan ghulul (menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi, termasuk juga korupsi).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang kami angkat untuk melakukan sebuah pekerjaan, kami akan memberinya gaji yang cukup, maka apapun yang dia terima (hadiah) setelah itu dianggap ghulul”. [HR. Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan antara hadiah untuk pegawai dengan ghulul, karena dua perbuatan ini sama-sama pengkhianatan terhadap hak orang banyak, ghulul jelas mencuri hak orang banyak sedangkan hadiah pegawai yang diberikan oleh orang karena jabatan yang dipangkunya, maka hadiah tersebut adalah imbalan jabatan dan bukan orangnya, oleh karena imbalan jabatan harus diberikan kepada pemilik jabatan yaitu negara yang mempekerjakannya, maka ketika diambil oleh pegawai tadi untuk kepentingan pribadinya sama dengan ia mencuri harta rakyat.
Mungkin ada pertanyaan di benak kita, bukankah rasulullah juga seorang pemimpin? Dan beliau tidak pernah menolak hadiah bahkan menerimanya.
Pertanyaan ini dijawab oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz Saat ditanyakan kepada beliau kenapa beliau menolak hadiah Padahal rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima hadiah, beliau menjawab, “Adalah hadiah yang diberikan kepada rasulullah benar hakikatnya hadiah, adapun sekarang hadiah diberikan untuk tujuan risywah”. (HR. Bukhari).
Maksud Umar bin Abdul Aziz bahwa hadiah yang diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pemberinya mengharap keberkahan beliau sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi Wa sallam bukan karena mengharapkan kepentingan duniawi dari jabatan beliau sebagai pemimpin. Berbeda dengan pemimpin setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang memberikan hadiah kepadanya tentunya mereka memiliki kepentingan dengan jabatan yang dipangku oleh orang yang menerima hadiahnya.
Kapan Suap (Risywah) Dibolehkan?
Seorang muslim yang hidup di tengah masyarakat pemakan sogok, sangat susah baginya mendapatkan hak-haknya bila tidak memberikan sogok, apakah pada saat itu sogok hukumnya dibolehkan dan dosanya hanya menimpa penerima sogok, bukan pemberi sogok?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama: tetap berdosa hukumnya memberikan sogok pada saat itu.
Dalil pendapat ini bahwa hadis-hadis yang menjelaskan haramnya memberi dan menerima sogok mutlak, tanpa ada pengecualian. Dengan demikian, dalam kondisi apapun haram hukumnya memberikan sogok.
Pendapat kedua: dalam kondisi tertentu seseorang dibolehkan memberikan sogok dan dosanya hanya menimpa penerima sogok, yaitu: bila dia tidak mungkin mendapatkan hak-haknya kecuali dengan memberikan sogok, atau ia tidak dapat menolak kezaliman yang menimpa dirinya kecuali dengan membayar sogok, maka pada saat itu ia dibolehkan membayar sogok dan dosanya hanya menimpa penerima sogok.
Pendapat ini merupakan mazhab mayoritas para ulama.
lbnu Abidin (ulama mazhab hanafi, wafat: 1252H) berkata, “sogok ada empat bentuk bentuk yang ke empat: sogok yang diberikan untuk menolak kezaliman pada diri dan hartanya dari orang penerima sogok, sogok jenis ini halal bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima”.
Ar Ramli (ulama mazhab Syafi’i, wafat: 1004 H) berkata, “Adapun orang yang mengetahui bahwa hartanya akan diambil dengan cara yang batil kecuali dia memberikan sogok, maka dia tidak berdosa memberikan sogok”.
lbnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat: 682H) berkata, “jika seseorang memberikan sogok untuk menolak kezaliman terhadap dirinya diriwayatkan dari beberapa tabi’in, seperti ‘Atha dan Hasan al bashri bahwa hal tersebut dibolehkan”.
lbnu taimiyah berkata, “Seseorang boleh memberikan hadiah sebagai perantara untuk mendapatkan haknya atau menolak kezaliman atas dirinya. Pendapat ini yang dinukil dari para ulama salaf dan para ulama besar”.
Yang menjadi dalil pendapat ini, atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa pada saat berada di Habsyah harta beliau diambil oleh seseorang, maka beliau membayar sogok sebanyak 2 keping uang emas, seraya berkata, “dosa sogok ini hanyalah ditanggung oleh orang yang menerima”. Atsar ini diriwayatkan oleh Qurthubi dalam tafsirnya.
Juga dapat dianalogikan dengan tebusan membayar tawanan muslim yang ditahan oleh orang kafir dalam sebuah peperangan. Persamaannya bahwa harta yang dibayar kepada orang kafir untuk mendapatkan hak, yaitu nyawa seorang muslim sama dengan sogok, akan tetapi dibolehkan karena untuk menolak kezaliman atas dirinya, begitu juga hukumnya dengan membayar sogok untuk menolak kezaliman.
Wallahu a’lam, pendapat mayoritas para ulama ini sangat kuat, dengan catatan, wajib berusaha terlebih dahulu untuk menempuh jalan yang benar demi mendapatkan haknya atau menolak Kezaliman, akan tetapi bila selalu menemui jalan buntu maka pada saat itu baru dibolehkan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang risywah sangat jelas bahwa islam berusaha memberantas praktik sogok menyogok dengan menghukumi haram perbuatan tersebut, mengutuk semua pihak yang terlibat, dan mengancam pelakunya dengan azab di dunia dan akhirat.
Adapun langkah-langkah konkrit islam memberantas risywah, tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah islam memberantas korupsi yang telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan islam memberantas korupsi, karena kedua tindakan kejahatan ini sama-sama pengkhianatan terhadap amanah yang dibebankan dalam mengemban tugas untuk kemaslahatan orang banyak.
[Sumber Buku Harta Haram Muamalat Kontemporer]