Fikroh.com – “Ummati…ummati.. ummati” itulah diantara desah terakhir dari Nabi terakhir itu. Nabi Muhammad saw seperti sedang meneguhkan misinya. Ia bukan penguasa yang egois dan tiranik. Sumpah serapah Edward Gibbon (1737-1794) bahwa Muhammad adalah pembohong dan akhir hayatnya cenderung pada seksualitas dan individualistis” adalah sampah. Nabi tidak menyebut “rakyatku…rakyatku… .” atau “hartaku…hartaku…” Padahal Nabi adalah seorang kepala dari sebuah Negara yang baru lahir.
Nabi Muhammad bukan raja yang ketika ajal sudah mempersiapkan pewaris. Bukan pula diktator yang setelah meninggal menuai hujatan dan pengadilan. Nabi terakhir itu bersih. Ia tulus ikhlas memikirkan keselamatan ummatnya.
Hujatan Norman Daniel, (Islam and the West), Alexander Ross (The Prophet of Turk and Author of the al-Coran 1653), Humphrey Preideaux ( The Life of Muhammad, 1679) juga nonsense. Kata mereka bahwa Nabi terakhir itu “tokoh penipu yang cerdik dan munafik” tidak terbukti. Tidak satupun sahabat yang merasa tertipu. Dan tidak satupun dari ummatnya yang merasa dibohongi.
Lalu apa pentingnya ummat bagi seorang nabi yang juga kepala Negara Islam itu?
Kata ummat bukan hanya keluar dari bibir Nabi. al-Qur’an menyebut kata itu sebanyak kurang lebih 70 kali. Itupun bukan hanya ummat Nabi terakhir, tapi juga ummat nabi-nabi terdahulu. Maka ketika Nabi menyebut “ummatku” orang mestinya faham disana ada kelompok yang “bukan ummatnya.
Memang ummat bukan hanya pengikut nabi-nabi. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang begitu. Dalam surah al-Jathiyah 28 kata “setiap ummat” berarti sangat umum. Bahkan dalam al-Araf 38 dan Al-Ankabut 18 ummat dilabelkan kepada jin dan manusia yang masuk ke neraka. Dan masih banyak lagi makna-makna yang tidak selalu religius.
Maka tidak salah jika para ulama dari abad 2 – 6 H beda pendapat tentang makna ummat. al-Laith Ibn Sa’ad (w.175 H) mengkaitkan ummat dengan kaum nabi-nabi. Abu Ja’far al-Tabari (w 310 H) memaknainya sebagai sekelompok manusia yang terkait pada satu mazhab atau agama. Tapi al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H) menambahkan terkait dalam arti ingkar atau taat.
Hanya al-Raghib al-Isfahani (w. 502 H) memperluas maknanya tidak hanya terkait sepenuhnya dengan agama. Ummat baginya adalah setiap kumpulan yang bersatu baik pada satu masalah, satu agama, satu zaman tertentu, ataupun tempat tertentu, baik itu alami atau direkayasa.
Al-Raghib lalu diikuti oleh pakar bahasa. Dalam tradisi ilmu bahasa Arab “ummah” memiliki sepuluh makna: asal sesuatu atau tempat rujukan, jama’ah (kumpulan), jalan atau agama, keadaan, orang yang beragama secara benar, tujuan, kerabat, bangunan, zaman dan buta huruf.
Dari perbedaan pendapat ini E.W.Lane, dalam karyanya Arabic-English Lexicon, meringkas makna ummat menjadi dua makna. Pertama orang-orang, masyarakat, suku, kaum keluarga/kerabat, atau partai. Kedua, masyarakat dari agama tertentu, masyarakat yang menerima utusan nabi-nabi, orang-orang beriman dan tidak beriman. TB Irving seorang professor Muslim Amerika secara singkat memaknai ummah dengan pengertian komunitas atau bangsa.
Dalam kaitannya dengan agama makna ummah bersentuhan dengan kata “imam”, seorang yang diikuti dan dirujuk dalam berbagai hal (al-marja’). Disini makna “ummah” bersentuhan lagi dengan konsep din yang berarti jalan, keyakinan dan ketaatan. Dari sisi agama inilah Ibn Fariz (pakar bahasa Arab) bersikukuh ummah adalah orang-orang yang berada dalam agama yang benar. Sedikit agak lunak Ibn Manzur memahami ummah sebagai sekelompok orang yang bertujuan satu. Maka tidak salah kalau HAR Gibb memaknai ummat sebagai bagian dari konsep politik.
Terlepas dari makna-makna itu yang pasti maksud desah Nabi “ummati…ummati…” adalah apa yang disimpulkan Ibn Faris. Kalau kita rujuk al-Baqarah 143 dan Ali Imran 110 “ummatku” yang dimaksud Nabi adalah ummat penengah (ummah wasathan) dan ummat terbaik (khaira ummah).
Lalu apa arti ummat terbaik itu?
Bagi Sayyid Qutub artinya lebih dibanding ummat lain. Karena lebih maka bisa memberi. Memberi yang tidak dimiliki ummat lain. Memberi aqidah yang benar, konsep, aturan dan ilmu pengetahuan yang benar serta akhlaq yang baik kepada ummat manusia. Itulah makna rahmat bagi alam sesmesta. Buku Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an bahkan memerinci bahwa kata khair yang berarti kelebihan (afdhaliyyhah) dan keunggulan (al-tafawwuq) terdapat pada 89 tempat.
Keunggulan ummat ini juga besumber dari keunggulan nabinya. Banyak keutamaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad dibanding nabi-nabi lain sebelumnya. Diantara keunggulan itu dalam haidth riwayat Jabir ibn Abdillah bahwa misi Nabi bukan hanya untuk orang Arab,tapi untuk seluruh ummat mansuia. Nabi juga dikaruniai haknya memberi syafaat.
Kriteria ummat terbaik bukan hanya sekedar berbaik-baik kepada ummat lain. Ummat yang terbaik menurut al-Qur’an adalah yang: menyuruh kebaikan (baik menurut akal dan wahyu), mencegah kejahatan dan beriman kepada Allah.
Ummat terbaik adalah yang menjaga kehidupan ummat manusia dari kerusakan (mafsadah) berarti mengedepankan kebaikan (maslahah). Kebaikan, dalam rumusan al-Syatibi ada lima: baik untuk menjaga harta (mal), akal (aql), jiwa (nafs), keturunan (nasal) dan agama (din) manusia.
Jadi ummat terbaik mestinya bisa menjaga kelima kebaikan asasi manusia. Ummat Islam tidak perlu diajari doktrin HAM, kesetaraan gender, persamaan hak, berdemokrasi, melindungi anak-anak, perempuan. Konsep maslahat itu sudah cukup unggul dibanding konsep HAM dan lainnya.
Untuk menjadi ummat terbaik tentu ada syaratnya. Abd al-Kabir al-Humaidi, dalam Mafhum al-Ummah, merumuskan dua syarat: amanah dan kekuatan. Amanah mengharuskan sikap kejujuran, keikhlasan, ketaqwaan dan istiqamah, aqidah , ibadah dan akhlaq yang sahih. Dengan sifat ini hubungan sosial ummat Islam (mu’amalat) menjadi lebih unggul dari ummat yang lain. Quwwah (kekuatan), berarti ummat Islam harus memiliki kekuatan materi, pemikiran, politik, ekonomi, social, budaya dan peradaban.
Dari makna filologis “ummah” dan dari konsep “khayra ummah” kita bisa mamahami desah terakhir Nabi “ummati…ummati”. Kalau itu doa berarti mohon ummatku selamat dunia akherat. Jika itu kegundahan berarti itu peringatan “awas hati-hati jaga aqidah dan syariahmu wahai ummatku”. Dan jika itu harapan bermakna pesan “jadilah ummat terbaik dengan amanah quwwah. Wallahu a’lam.
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi