Oleh: Ahbib Sholih
Pembahasan ini cukup panjang, bila dirincikan, bahkan ada satu buku yang khusus untuk membahas hal ini, diantaranya adalah kitab “Al-‘Ishmatu Fii Dhou Aqidati Ahlissunnah Wal Jamaah”, karya Syaikh Manshur bin Rosyid at-Tamimi. Karena itu, dalam postingan ini saya sebutkan kesimpulannya dan mungkin akan saya bagi menjadi beberapa postingan. Dan pembahasan ini saya angkat karena bertepatan dengan bulan kelahiran Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, yaitu bulan Rabiul Awal. Dan saya bagi dalam beberapa poin.
Pertama: Kemakshuman Nabi Dari Kekufuran Atau Kesyirikan Sebelum Diangkat Menjadi Nabi
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah manusia yang dijaga dari kesyirikan ataupun kekufuran sejak masa kecilnya, sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Beliau tidak pernah mengagungkan berhala apalagi menyembahnya. Diantara buktinya :
Kisah Pembelahan Dada
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam didatangi Jibril ketika sedang bermain dengan seorang anak laki-laki kecil, lalu Jibril mengambil Rasulullah ﷺ dan membaringkan, membelah dan mengambil hatinya, dikeluarkannya segumpal darah dari hati tersebut dan berkata, ini bagian setan darimu. (Anas bin Malik) berkata, lalu hatinya dicuci di bejana emas dengan air zamzam, kemudian dipasang lagi dan dikembalikan tempat semula. (Anas bin Malik) berkata, anak laki-laki kecil itu berlari mengadukan kepada ibunya yaitu tentang teman sesusunya. Malahan mereka berkata, Muhammad dibunuh. (Anas bin Malik) berkata, lalu mereka menemuinya ternyata Muhammad dalam keadaan berubah warnanya. (HR. Ahmad no. 12048. Sanad shohih menurut Syaikh Syu’aib al-Arnauth)
Apa hikmah dibelahnya dada beliau? Jawabannya adalah untuk mensucikan hatinya, sehingga tidak ada akhlak tercela yang beliau miliki dan juga tidak ada yang tersisa di hatinya kecuali tauhid. Imam As-Suhaili berkata,
فِي حَالِ الطّفُولِيّةِ لِيُنَقّى قَلْبُهُ مِنْ مَغْمَزِ الشّيْطَانِ، وَلِيُطَهّرَ وَيُقَدّسَ مِنْ كُلّ خُلُقٍ ذَمِيمٍ، حَتّى لَا يَتَلَبّسَ بِشَيْءِ مِمّا يُعَابُ عَلَى الرّجَالِ، وَحَتّى لَا يَكُونَ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ إلّا التّوْحِيدُ؛
[السهيلي، الروض الأنف ت الوكيل، ١٧٣/٢]
“(Persitiwa pembelahan dada) di masa kecil beliau tujuannya untuk membersihkan hatinya dari godaan Syaitan, dan juga untuk membersihkan dan mensucikan dari setiap akhlak yang tercela. Sehingga tidak melakukan hal yang dicela bila dilakukan, dan juga tidak ada sesuatu dalam hatinya kecuali hanyalah tauhid.” (Ar-Roudh al-Anif, karya as-Suhaili, 2/173)
Kisah Bersama Zaid Bin Haritsah Saat Thawaf
Imam Baihaqi berkata dalam kitab Dalail Nubuwwah,
عَنْ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ، قَالَ: كَانَ صَنَمٌ مِنْ نُحَاسٍ يُقَالُ لَهُ: إِسَافٌ، أَوْ نَائِلَةُ، يَتَمَسَّحُ بِهِ الْمُشْرِكُونَ إِذَا طَافُوا. فَطَافَ رسول الله، صلى الله عليه وآله وَسَلَّمَ، فَطُفْتُ مَعَهُ، فَلَمَّا مَرَرْتُ مَسَحْتُ بِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ: لَا تَمَسَّهُ! فَقَالَ زَيْدٌ: فَطُفْتُ فَقُلْتُ فِي نَفْسِي لَأَمَسَّنَّهُ حَتَّى أَنْظُرَ مَا يَكُونُ، فَمَسَحْتُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ، صَلَّى الله عليه وآله وَسَلَّمَ، أَلَمْ تُنْهَ؟
قُلْتُ: زَادَ فِيهِ غَيْرُهُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو بِإِسْنَادِهِ: قال زيد: فو الذي هُوَ أَكْرَمَهُ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ مَا اسْتَلَمَ صَنَمًا حَتَّى أَكْرَمَهُ اللهُ بِالَّذِي أكرمه وأنزل عليه [ (4) ] .
[البيهقي، أبو بكر، دلائل النبوة للبيهقي محققا، ٣٤/٢]
Zaid bin Haritsah berkata : dulu terdapat berhala yang terbuat dari tembaga yang dinamai Isaf atau Na’ilah, orang-orang musyrikin terbiasa mengusapnya saat mereka melakukan thawaf.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah thawaf (sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul), dan aku juga thawaf bersamanya. Tatkala aku melewati berhala tersebut aku pun mengusapnya, maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : Jangan engkau usap. Maka aku berkata dalam hati : Aku benar-benar akan mengusapnya lagi, sehingga aku melihat apa yang terjadi. Maka aku mengusapnya lagi, maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata : “Bukankah engkau telah dilarang dari hal itu?”
Dalam riwayat lain ada tambahan, bahwa Zaid berkata, “Demi Dzat yang telah memuliakan Rasulullah dan menurunkan kepadanya Kitab, beliau tidak pernah mengusap berhala sekalipun sampai beliau dimuliakan menjadi nabi dan diturunkan kepadanya Kitab.” (Dalail an-Nubuwah, 2/34)
Kalam Imam Ahmad
Disebutkan dalam kitab As-Sunnah karya Abu Bakar al-Khollal dari Hanbal bin Ishaq
نَا حَنْبَلُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ: مَنْ زَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَى دِينِ قَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُبْعَثَ؟ فَقَالَ: ” هَذَا قَوْلُ سُوءٍ، يَنْبَغِي لِصَاحِبِ هَذِهِ الْمَقَالَةِ تَخَذُّرَ كَلَامَهُ، وَلَا يُجَالَسُ، قُلْتُ لَهُ: إِنَّ جَارَنَا النَّاقِدَ أَبُو الْعَبَّاسِ يَقُولُ هَذِهِ الْمَقَالَةُ؟ فَقَالَ: قَاتَلَهُ اللَّهُ، أَيُّ شَيْءٍ أَبْقَى إِذَا زَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَى دِينِ قَوْمِهِ وَهُمْ يَعْبُدُونَ الْأَصْنَامَ.
[أبو بكر الخلال، السنة لأبي بكر بن الخلال، ١٩٥/١]
Disampaikan dari Hanbal bin Ishaq, beliau berkata : Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Siapa yang menganggap bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berada dalam agama kaumnya (maksudnya menyembah berhala dll) sebelum diutus (apa pendapatmu)?
Beliau menjawab, “Sesungguhnya ini adalah perkataan keji, hendaknya perkataan orang seperti ini diwaspadai, dan jangan diajak duduk bersama.”
Maka aku berkata, “Sesungguhnya tetangga kami yang bernama Abul Abbas mengatakan perkataan seperti ini.” Maka beliau menjawab, “Semoga Allah memeranginya, lantas apa yang dia sisakan, apabila dia menganggap bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berada dia atas agam kaumnya, padahal mereka menyembah berhala?!.” (Kitab As-Sunnah, karya Abu Bakar al-Khollal, 1/195)
Kalam Ibnu Bathoh
Beliau berkata dalam kitab Al-Ibanah ash-Shugro,
من زعم أنه كان على دين قومه قبل أن يبعث، فقد أعظم الفرية على رسول الله صلى الله عليه وسلم. ولا يكلم من قال بهذا ولا يجالس
“Barangsiapa yang beranggapan bahwa Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam berada di atas agama kaumnya (berupa pengagungan dan penyembahan kepada berhala dll) sebelum beliau diutus menjadi Nabi dan Rasul, sungguh dia telah membuat kedustaan yang besar terhadap diri Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Orang seperti ini tidak perlu diajak bicara dan tidak boleh duduk bersamanya.” (Kitab al-Ibanah ash-Shughro, hlm. 171)
Kalam Ibnu Qutaibah
Beliau menyatakan dalam kitab T’wil Mukhtalaf al-Hadits, tentang anggapan adanya pertentangan antara riwayatbahwa beliau berada diatas agama kaumnya (seperti yang disebutkan oleh ath-Thobari dalam tafsirnya dari as-Suddi, dimana beliau berkata,
عَنِ السُّدِّيِّ، {وَوَجَدَكَ ضَالًّا} [الضحى: 7] قَالَ: كَانَ عَلَى أَمْرِ قَوْمِهِ أَرْبَعِينَ عَامًا. وَقِيلَ: عُنِيَ بِذَلِكَ: وَوَجَدَكَ فِي قَوْمٍ ضُلَّالٍ فَهَدَاكَ
[الطبري، أبو جعفر، تفسير الطبري = جامع البيان ط هجر، ٤٨٩/٢٤]
Maka maksud dari riwayat tersebut adalah, bahwasanya beliau masih melakukan amalan-amalan yang diwariskan dari Nabi Ibrahim alahissalam, karena ajaran-ajaran yang ditinggalkan oleh beliau untuk bangsa Arab, sebagian masih mereka kerjakan. Seperti halnya, haji, diyat, khitan, pernikahan, jatuhnya thalaq dll. Ibnu Qutaibah berkata,
وَنَحْنُ نَقُولُ: إِنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ فِيهِ، بِنِعْمَةِ اللَّهِ، مُتَعَلَّقٌ وَلَا مَقَالٌ، إِذَا عَرَفَ مَعْنَاهُ، لِأَنَّ الْعَرَبَ جَمِيعًا، مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، خَلَا الْيَمَنَ. وَلَمْ يَزَالُوا عَلَى بَقَايَا مِنْ دَيْنِ أَبِيهِمْ إِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَمِنْ ذَلِكَ حَجُّ الْبَيْتِ وَزِيَارَتُهُ، وَالْخِتَانُ، وَالنِّكَاحُ، وَإِيقَاعُ الطَّلَاقِ، إِذَا كَانَ ثَلَاثًا، وَلِلزَّوْجِ الرَّجْعَةُ فِي الْوَاحِدَةِ وَالْاثْنَتَيْنِ، وَدِيَةُ النَّفْسِ مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ2، وَالْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَاتِّبَاعُ الْحُكْمِ فِي الْمُبَالِ فِي الْخُنْثَى، وَتَحْرِيمُ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ بِالْقَرَابَةِ وَالصِّهْرِ وَالنَّسَبِ -وَهَذِهِ أُمُور مَشْهُورَة عَنْهُم
[الدِّينَوري، ابن قتيبة، تأويل مختلف الحديث، صفحة ١٧٦]
CATATAN : Sengaja tidak saya terjemahkan teks ini, karena kesimpulannya sudah saya sebutkan.