Fatwapedia.com – Ada jama’ah ibu-ibu yang bertanya kepada penulis, lebih baik mana shalat Subuh di awal waktu atau menunggu suami bangun agar bisa berjamaah bersama?
Contoh kasus dalam masalah ini adalah untuk muslimah yang shalat di rumah. Namun, persoalan ini juga bisa terjadi kepada laki-laki.
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ telah membahas panjang lebar tentang perbedaan pendapat ulama’ tentang hal ini. Namun sebelum memilih pendapat yang kuat beliau menyampaikan sebuah hadits riwayat imam Muslim sebagai berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ : ” كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاةَ عَنْ وَقْتِهَا قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي قَالَ صَلِّ الصَّلاةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ
“Dari Abu Dzar dia berkata Rasulullah SAW bertanya kepadaku: “Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya? Abu Dzar menjawab, “Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. Beliau bersabda: “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya, jika kamu mendapati bersama mereka, maka shalatlah lagi. Sebab hal itu dihitung pahala sunnah bagimu”. (HR. Muslim no. 1027)
Berdasarkan hadits tersebut imam Nawawi menyimpulkan,
فَاَلَّذِي نَخْتَارُهُ أَنَّهُ يَفْعَلُ مَا أَمَرَهُ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي مَرَّتَيْنِ مَرَّةً فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ مُنْفَرِدًا لِتَحْصِيلِ فَضِيلَةِ أَوَّلِ الْوَقْتِ وَمَرَّةً فِي آخِرِهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ لِتَحْصِيلِ فَضِيلَتِهَا
“Pendapat yang aku pilih adalah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah yaitu shalat dua kali. Pertama, shalat sendiri di awal waktu agar mendapatkan keutamaan awal waktu. Kedua, shalat berjama’ah setelahnya agar juga mendapatkan keutamaan jama’ah”
Namun kalau tidak ingin shalat dua kali dan memilih salah satunya, maka beliau melanjutkan penjelasannya:
فَإِنْ أَرَادَ الِاقْتِصَارَ عَلَى صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ فَإِنْ تَيَقَّنَ حُصُولَ الْجَمَاعَةِ آخِرَ الْوَقْتِ فَالتَّأْخِيرُ أَفْضَلُ لِتَحْصِيلِ شِعَارِهَا الظَّاهِرِ وَلِأَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الصَّحِيحِ فِي مَذْهَبِنَا وَفَرْضُ عَيْنٍ عَلَى وَجْهٍ لَنَا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ خُزَيْمَةَ مِنْ أَصْحَابِنَا وهو مذهب احمد ابن حَنْبَلٍ وَطَائِفَةٍ فَفِي تَحْصِيلِهَا خُرُوجٌ مِنْ الْخِلَافِ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ يَأْثَمُ بِتَأْخِيرِهَا وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ إنْ فَحُشَ التَّأْخِيرُ فَالتَّقْدِيمُ أَفْضَلُ وَإِنْ خَفَّ فَالِانْتِظَارُ أَفْضَلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
[النووي ,المجموع شرح المهذب ,2/263]
“Jika ingin memilih salah satunya, maka bila dia yakin bisa berjamaah ketika mengakhirkan waktu, maka mengakhirkan shalat untuk bisa berjamaah lebih utama agar mendapat syiar jama’ah yang nyata. Hal ini juga dikarenakan shalat jama’ah adalah fardhu kifayah menurut pendapat shahih dalam madzhab Syafi’i dan fardhu ‘ain menurut Ibn Khuzaimah dari madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali dan beberapa ulama’ lainnya. Dengan demikian, melakukan shalat berjamaah berarti telah keluar dari khilafiyah. Sedangkan mengakhirkan shalat (masih dalam waktunya) tidak ada satu ulama’ pun yang menyatakan berdosa. Namun ada juga ihtimal bahwa ketika terlalu akhir, maka shalat di awal waktu lebih utama. Namun jika tidak terlalu akhir, maka menunggu shalat berjama’ah adalah lebih utama. Wallahu A’lam”