Fatwapedia.com – Upaya menyesatkan umat dan menjauhkan masyarakat dari kebenaran, dengan memperalat nama besar ulama atau tokoh terhormat, terbukti efektif. Ibarat mempromosikan barang palsu menggunakan nama perusahaan bonafid. Barangnya laku, masyarakat tertipu. Dalam khazanah agama, muslihat ini dilakukan bukan oleh orang bodoh, tapi tokoh cerdik untuk kepentingan pencitraan serta menjauhkan masyarakat dari kebenaran, seperti firman Allah Swt:
“Samiri berkata kepada Musa: “Aku mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui. Aku telah mengambil segenggam tanah bekas jejak malaikat Jibril, lalu tanah itu aku gunakan melebur perhiasan mereka dalam tungku api. Karena hawa nafsuku membisikkan begitu kepadaku.” (QS Thaahaa [20] : 96).
Di kalangan bani Israel, ada tokoh selain Nabi Musa, yang sebenarnya pengikut Musa juga, tapi ingin menjegal popularitas Musa serta menyimpangkan umat Musa dari ajaran Tauhid. Tokoh itu bernama Samiri. Dia mempengaruhi umat Nabi Musa dengan memanipulasi nama Malaikat Jibril, sehingga bani Israil berani membantah ajaran Musa atas provokasi Samiri.
Dalam dialog dengan Musa, apakah yang mendorong Samiri mengajak menyembah patung anak sapi, padahal Musa menyeru untuk menyembah Allah? Samiri menjawab: “Aku mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui. Aku telah mengambil segenggam tanah bekas jejak malaikat Jibril…..” (Qs. Thaahaa [20] : 96)
Samiri menggunakan nama Malaikat Jibril untuk menutupi dustanya menyimpangkan umat nabi Musa dari ajaran Tauhid. Wahyu Allah yang disampaikan Nabi Musa dibenturkan dengan ‘wahyu palsu’ oleh Samiri mengatasnamakan Jibril. Anehnya, mengapa omongan dusta Samiri lebih bisa diterima oleh masyarakat Israel ketika itu, ketimbang berpegang teguh pada ajaran tauhid yang dibawa Nabi Musa? Sehingga mayoritas umat nabi Musa menjadi sesat akibat pengaruh propaganda dusta Samiri.
Bagaimana dengan umat Nabi Muhammad? Ternyata upaya menghancurkan Islam dan menyimpangkan umat dari ajaran Muhammad Saw dengan memanipulasi nama tokoh terhormat untuk menghancurkan Islam dan menyimpangkan umat dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad, juga bertebaran selama berabad-abad.
Firman Allah Swt :
“Wahai Muhammad, katakanlah: “Wahai kaum Yahudi dan Nasrani, marilah kita ikuti ajaran yang benar yang ada pada agama kami dan agama kalian bahwa kita tidak akan menyembah siapa pun selain Allah. Kita tidak menyekutukan Allah sedikit pun, dan kita tidak akan menjadikan sesama makhluk sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Jika ternyata kaum kafir Yahudi dan Nasrani menolak ajakan itu, katakanlah kepada mereka: “Bersaksilah kalian bahwa sesungguhnya kami, kaum muslim adalah orang-orang yang tunduk kepada Allah.” (QS Aali ‘Imran [3] : 64)
Beginilah cara Yahudi dan Nasrani menyimpangkan keyakinan rakyat muslim. Berdusta atas nama ulama atau tokoh yang dihormati, terbukti efektif untuk menipu masyarakat awam. Samiri menggunakan nama Malaikat Jibril, sedang Yahudi dan Nasrani memanipulasi nama Nabi Ibrahim. Ketokohan Ibrahim As dijadikan alasan untuk membantah dan mendebat Nabi Muhammad Saw.
Memperalat nama tokoh untuk propaganda palsu, sehingga kebenaran tertutup di mata masyarakat awam diinformasikan pada ayat berikut ini:
“Wahai kaum Yahudi dan Nasrani, mengapa kalian berbeda pendapat tentang agama Ibrahim, padahal Taurat dan Injil diturunkan sesudah masa Ibrahim? Apakah kalian tidak mau memikirkan kebenaran fakta itu? Wahai kaum Yahudi dan Nasrani, semestinya kalian berdebat tentang hal yang kalian ketahui saja. Mengapa kalian berdebat tentang agama Ibrahim yang kalian sama sekali tidak mengetahuinya? Allah Maha Mengetahui kebohongan kalian, sedangkan kalian tidak mengetahui keadaan agama Ibrahim yang sebenarnya. Ibrahim sama sekali tidak beragama Yahudi dan tidak juga beragama Nasrani. Akan tetapi Ibrahim adalah seorang yang beragama tauhid. Ibrahim taat kepada Allah, dan dia sama sekali tidak termasuk orang yang berkeyakinan dan berbuat syirik. Orang-orang yang paling berhak mengaku menjadi pengikut agama Ibrahim adalah mereka yang mengikuti agama Ibrahim dan agama Muhammad. Para sahabat Muhammad yang beriman bersamanya mengikuti agama Ibrahim. Allah menjadi pelindung orang-orang beriman di dunia dan di akhirat.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 65-68)
Berdusta atas nama tokoh
Hampir dalam semua konflik perbedaan paham dalam Islam, para manipulator agama menggunakan nama tokoh untuk menyimpangkan umat Islam dari ajaran Islam. Kelompok manusia yang paling berhasil menyesatkan manusia lain menggunakan metode Samiri adalah Syi’ah. Mereka berhasil memanipulasi nama Ali bin Abi Thalib untuk menghancurkan Islam, dengan membenturkannya dengan para sahabat Nabi Saw. atas nama mencintai ahlul bait.
Syi’ah dengan licik mengklaim ketokohan Ali di satu pihak, yang dianggap pewaris sah kekhalifahan Islam, lalu membenturkannya dengan sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, yang dituduh merampas hak Ali di pihak lain. Atas nama mencintai ahlul bait, kemudian mereka mengangkat Ali sebagai imam Syi’ah pertama. Padahal Ali sendiri sepanjang hidupnya mengakui kepemimpinan 3 orang khalifah sebelumnya. Bahkan Ali sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai imam Syi’ah. Selain itu, Syi’ah menolak Al-Qur’an, dan sunnah yang disampaikan para sahabat dan ulama Islam, kecuali versi ulama Syi’ah. Akibatnya, konflik Islam dan Syi’ah selama berabad-abad telah mengorbankan jutaan umat Islam dan Syi’ah.
Untuk mempertahankan kesesatannya, Syiah cerdik menggunakan momentum serta memperalat tokoh agama. Belum lama ini, kaum Syi’ah memanfaatkan kedatangan Syeikh Al Azhar, Mesir, untuk menyatakan Syi’ah saudara Muslim.
Dalam ceramah di Kantor MUI, Senin 22 Februari 2016, Prof. Dr. Ahmad Tayyeb, ketika menjawab pertanyaan dari Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. Machasin dan Ketua Fatwa MUI Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo tentang Syi’ah dan Ahmadiyah, ia mengatakan:
“Apa itu Islam sudah jelas digariskan oleh Rasulullah: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji sebagaimana dalam hadisnya yang masyhur. Jika seseorang melaksanakannya, maka ia adalah seorang muslim.
Berbeda misalnya, jika ada yang meyakini bahwa Muhammad bukanlah Nabi dan Rasul terakhir, dan masih terbuka peluang munculnya nabi-nabi baru, maka jelas kita sepakat menolaknya. Karena, kenabian dan kerasulan Muhammad sebagai yang terakhir merupakan sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya dalam agama.
Termasuk, jika mengatakan bahwa Allah keliru dalam menurunkan risalah-Nya, yaitu seharusnya bukan kepada Muhammad tetapi kepada yang lain, siapapun dia, maka jelas-jelas hal seperti ini bertentangan dengan ajaran prinsip dalam agama: sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya dalam agama.
Jika ada yang mencela dan mencaci-maki sahabat Rasul, seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah dan sebagainya, maka itu adalah sebuah kebodohan dan bukan ajaran yg benar. Apalagi jika ada yang meyakini bahwa Allah keliru dalam menurunkan risalahnya kepada Muhammad, mestinya kepada Ali bin Abi Thalib, itu jelas sebuah pengingkaran yang nyata.
Termasuk Syi’ah, tidak bisa semuanya dikafirkan. Karena memang tidak mudah kita mengkafirkan orang, selama dia adalah seorang muslim seperti definisi Rasul di atas. Janganlah engkau mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat. Kecuali jika pengingkarannya sangat nyata dan merupakan prinsip dalam agama.”
Begitulah, untuk kepentingan menghancurkan Islam dan menjauhkan umat dari ajaran Islam yang sebenarnya, para manipulator agama membenturkan antara ahli fiqh dan ahli hadits. Misalnya, pendapat Imam Syafi’i dibenturkan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari berkenaan dengan wudlu. Apakah membasuh kepala seluruhnya ataukah cukup menyentuh beberapa helai rambut saja. Padahal antara ulama ahlu sunnah, Imam Syafii dan Imam Bukhari, tidak terdapat perbedaan terkait hal dimaksud.
Manipulasi yang sama juga dilakukan oleh kaum mu’tazilah. Mereka menggunakan nama besar Imam Abu Hanifah untuk menolak Hadits Ahad, yang sekarang dikembangkan oleh kaum Ingkaru Sunnah. Begitu juga yang dilakukan kelompok tertentu, yang dalam kitab rujuan mereka membolehkan untuk mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, dengan memanipulasi nama besar Ibnu Taimiyah. Padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah berpendapat demikian, baik dalam kitab Siyasah Syar’iyah maupun kitab beliau yang lain.
Di Indonesia, kaum manipulator agama juga berperan besar menyesatkan umat Islam dari ajaran Islam. Betapa banyak tokoh Islam yang membenarkan dakwah menggunakan dangdut campur sari, wayang, klenik, mengatas namakan Wali Songo. Mereka berbohong dengan alasan, bahwa Wali Songo adalah ulama moderat, toleran, pluralis, dan menghargai budaya lokal. Sehingga orang-orang kejawen merasa enjoi melestarikan budaya musyrik, bid’ah dan khurafat dengan alasan mengikuti ajaran Wali Songo.
Tidak mau kalah, sejumlah tokoh juga memanipulasi kesohoran Wali Songo untuk menyeru Islam Nusantara yang anti Islam Arab. Termasuk para penyokong maulid Nabi, tidak segan-segan memanipulasi ketokohan Shalahuddin Al Ayubi. Padahal ulama dan Panglima Islam itu menyerukan maulid Nabi untuk membangkitkan semangat jihad Islam di kalangan kaum muslimin untuk melawan tentara salib. Lagi pula khalifah rasyidah tidak pernah mengadakan maulid Nabi, apakah mereka dianggap tidak mencintai Nabi Saw?
Di negeri kita, manipulasi tokoh tak hanya dilakukan dalam urusan agama. Dalam urusan pindah ibukota negara pun, untuk meyakinkan rakyat, para manipulator ini menggunakan nama besar Bung Karno. Padahal Bung Karno tidak pernah berniat pindah ibu kota ke hutan belantara Kalimantan.
AL-USTADZ M. THALIB (Mutarjim Al-Qurán Tarjamah Tafsiriyah)