Fatwapedia.com – Termasuk pertanyaan yang sering masuk ke kami adalah tentang broadcast-broadcast (BC) singkat yang berseliweran melalui medsos -khususnya Whatsapp (WA), karena memang media ini saat ini paling populer dan mudah- yang menyebutkan bid’ahnya melafazkan niat, minimal itu adalah sebuah kesalahan. Sayangnya masalah se-sensitif seperti ini, BC-BC tersebut cenderung satu arus madrasah fiqih saja, tanpa ada komparasi yang mencerdaskan. Sehingga yang terjadi adalah “heboh”, panas, lalu left grup, ukhuwah pun retak, sebab BC-BC tersebut tumpah tidak terkendali di grup-grup awam, yang memandangnya secara semangat dan emosional, bukan karena ilmu.
Dalam masalah ini, juga masalah-masalah lainnya, memang pernah menjadi debat hangat para ulama sejak dahulu termasuk di negeri kita. Pihak yang menyetujui melafazkan niat, diwakili oleh para ulama di Nahdhatul Ulama, Jami’at khair, dan lainnya, dengan pihak yang tidak menyetujuinya yang diwakili oleh para ulama di Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al Irsyad, dan lainnya. Lambat laun debat masalah ini sebenarnya sudah mereda seiring bergantinya generasi dan memang permasalahan umat Islam begitu banyak dan kompleks, sehingga akan menjadi tidak produktif dan jalan ditempat jika abad 21 masih mendebatkan masalah yang sudah didebatkan para ulama sejak belasan abad sebelumnya.
Hari ini masalah tersebut kembali dihangatkan oleh segelintir orang. Riak-riak kembali terjadi. Mereka anggap itu nasihat dan pelurusan, memurnikan Islam, dan sebagainya, seakan manusia lain itu salah dan kotor keislamannya. Akhirnya, kembali lagi umat ini sibuk membahasnya dan meributkannya. Semoga tulisan ini dapat membuka mata kita tentang perbedaan ulama dalam hal ini, serta adabnya, sehingga kita bisa bersikap dewasa terhadap perbedaan yang ada.
Pertama Pihak yang kontra dan Alasannya
Pihak yang kontra memiliki sejumlah alasan, di antaranya:
1. Menurut pihak ini, melafazkan niat tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, bahkan imam empat madzhab.
2. Lau kaana khairan lasabaquuna ilaih seandainya itu baik niscaya mereka akan mendahului melakukannya. Ini kaidahnya. Jika memang melafazkan niat itu baik, kenapa bisa luput kebaikan ini dari generasi terbaik umat ini? Tidak mungkin mereka tidak mengenal kebaikan walau sekecil apa pun, apalagi sampai melewatinya begitu saja. Jika hal ini tidak ada pada masa itu, itu menunjukkan memang itu tidak dipandang baik oleh mereka.
3. Agama ini telah sempurna, sebagaimana firmanNya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku sempurnakan atasmu nikmatKu, dan Aku ridha Islam adalah agama bagi kamu. (QS. Al Maidah: 3)
Jadi, apa pun yang dahulunya bukan bagian dari agama, maka selamanya dia bukan bagian dari ajaran agama. Tidak seorang pun berhak memasukkannya sebagai bagian dari agama. Sebab kesempurnaan agama ini telah final, tidak dibutuhkan lagi penambahan walau dipandang baik oleh manusia.
4. Rasulullah ﷺ melarang kita untuk mengada-ada urusan agama. Masalah niat dalam shalat dan shaum adalah masalah ibadah, maka tentunya tidak boleh dikarang-karang sendiri. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ) رواه البخاري ومسلم
Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam), berupa apa-apa yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah di antara alasan-alasan pihak yang kontra melafazkan niat. Tentunya alasan-alasan ini tidak diterima begitu saja oleh pihak yang setuju melafazkan niat.
Perkataan Para Ulama Yang Kontra
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Beliau memiliki pendapat yang sangat keras dalam masalah ini, Beliau mengatakan:
الحمد لله الجهر بلفظ النِّيَّة ليس مشروعاً عند أحدٍ من علماء المسلمين ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا فعله أحدٌ من خلفائه وأصحابه وسلف الأمة وأئمتها ومن ادَّعى أنَّ ذلك دين الله وأنه واجب فإنه يجب تعريفه الشريعة واستتابته من هذا القول فإن أصرَّ على ذلك قتل
“Segala puji bagi Allah. Menjaharkan dengan lafaz niat tidaklah disyariatkan menurut satu pun ulama muslimin, bukan pula perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan bukan juga perbuatan seorang pun khalifahnya dan para sahabat serta umat terdahulu dan para imamnya. barang siapa yang mengklaim bahwa itu adalah ajaran agama Allah dan bahwa itu wajib, maka dia wajib memahami syariat dan dimintakan tobatnya dari pendapatnya itu, jika dia masih begitu, maka mesti dibunuh…” (Al Fatawa Al Kubra, 1/1. Darul Ma’rifah)
2. Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah
Beliau menjelaskan:
النية هى القصد والعزم على فعل الشىء، ومحلها القلب، لا تعلق لها باللسان أصلاً ولذلك لم ينقل عن النبى صلى الله تعالى عليه وسلم ولا عن أصحابه فى النية لفظ بحال، ولا سمعنا عنهم ذكر ذلك. وهذه العبارات التى أحدثت عند افتتاح الطهارة والصلاة قد جعلها الشيطان معتركاً لأهل الوسواس، يحبسهم عندها ويعذبهم فيها، ويوقعهم فى طلب تصحيحها فترى أحدهم يكررها ويجهد نفسه فى التلفظ بها، وليست من الصلاة في شىء، وإنما النية قصد فعل الشىء، فكل عازم على فعل فهو ناويه، لا يتصور انفكاك ذلك عن النية فإنه حقيقتها، فلا يمكن عدمها فى حال وجودها، ومن قعد ليتوضأ فقد نوى الوضوء، ومن قام ليصلى فقد نوى الصلاة، ولا يكاد العاقل يفعل شيئاً من العبادات ولا غيرها بغير نية، فالنية أمر لازم لأفعال الإنسان المقصودة، لا يحتاج إلى تعب ولا تحصيل
“Niat adalah Al Qashdu (maksud, kehendak) dan kemauan kuat untuk melakukan sesuatu. Letaknya di hati dan pada dasarnya sama sekali tidak terkait dengan lisan. Karena, hal itu tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak dari para sahabat tentang pelafazan, dan kami tidak mendengarnya dari mereka menyebutkan hal itu. Kalimat-kalimat tersebut adalah hal yang baru (mudats) ketika memulai thaharah (bersuci) dan shalat. Syetan telah membuatnya sebagai medan peperangan bagi orang yang was-was, syetan telah menghalanginya ketika niat dan menyakitinya, serta menjatuhkan mereka ketika membetulkan niat. Anda lihat, mereka mengulang-ngulang niat dan memberatkan diri dalam melafazkannya, padahal itu sama sekali bukan bagian dari shalat, karena niat itu adalah kehendak untuk melakukan sesuatu. Maka, setiap orang yang bertekad untuk melakukan sesuatu maka dia telah berniat, gambaran itu tidaklah akan lepas dari niat sebab itu adalah hakikatnya. Mana mungkin menganggap tidak ada niat padahal dia telah mewujudkan perbuatannya. Barang siapa yang telah berwudhu maka tentunya dia telah berniat wudhu, dan barang siapa yang berdiri untuk shalat tentunya dia telah berniat untuk shalat. Tidaklah diterima oleh orang yang berakal, melakukan sesuatu dari peribadatan dan tidak pula selainnya tanpa berniat. Maka, niat adalah perkara yang mesti ada pada setiap perbuatan manusia yang memiliki tujuan, tanpa perlu lagi bersusah payah dan perdebatan.” (Ighatsatul Lahfan, Hal. 136-137)
3. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
Beliau berkata ketika menyebutkan fardhu pertama dalam wudhu yaitu niat, katanya:
وهي عمل قلبي محض لا دخل للسان فيه،والتلفظ بها غير مشروع
“Niat adalah murni perbuatan hati, bukan termasuk amalan lisan, dan melafazkan niat merupakan amalan yang tidak disyariatkan.” (Fiqhus Sunnah, 1/43. Darul Kitab Al ‘Arabi)
4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah
Beliau ditanya tentang melafazkan niat secara jahr, lalu beliau menjawab:
التلفظ بالنية بدعة ، والجهر بذلك أشد في الإثم ، وإنما السنة النية بالقلب ؛ لأن الله سبحانه يعلم السر وأخفى ، وهو القائل عز وجل { قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ } . ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أحد من أصحابه ، ولا عن الأئمة المتبوعين التلفظ بالنية ، فعُلم بذلك أنه غير مشروع ، بل من البِدَع المحدثة . والله ولي التوفيق .
“Melafazkan niat adalah bid’ah, dan mengeraskannya lebih berat lagi dosanya. Sunahnya adalah niat itu di hati, karena Allah Ta’ala Mengetahui rahasia dan yang tersembunyi. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Katakanlah apakah kalian hendak mengajarkan Allah tentang agama kalian? Dan Allah Maha mengetahui apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi.”
Dan, tidak ada yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pula dari seorang pun sahabatnya, dan tidak pula dari para imam panutan tentang pelafazan niat. Maka, telah diketahui bahwa hal itu tidaklah disyariatkan, bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan. Wallahu Waliyut Taufiq.” (Fatawa Islamiyah, 1/478.)
5. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
Badan fatwa kerajaan Saudi Arabiya, yang saat itu diketuai oleh Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah ditanya tentang hukum melafazkan niat shalat. Mereka menjawab:
الصلاة عبادة، والعبادات توقيفية لا يشرع فيها إلا ما دل عليه القرآن الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة، ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه تلفظ في صلاة فرضا كانت أم نافلة بالنية، ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه رضي الله عنهم وعملوا به، لكن لم يحصل ذلك فكان التلفظ بالنية في الصلاة مطلقا بدعة، وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » وقال: « وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة »
“Shalat adalah ibadah, dan ibadah mestilah tawqifiyah (menunggu adanya dalil). Tidak boleh mensyariatkan sesuatu dalam ibadah kecuali adanya petunjuk Al Quran Al Karim, atau As Sunnah Ash Shahihah. Tidak ada yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang adanya pengucapan niat pada shalat wajib atau shalat sunah. Seandainya itu ada, niscaya Beliau akan menyampaikannya kepada para sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan mereka mengamalkannya. Tetapi hal itu tidak didapatkan, maka melafazkan niat adalah bid’ah secara mutlak. Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.” Juga sabdanya: “Hati-hatilah kalian terhadap perkara yang baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, No. 2444). Dan lain-lainnya.
Pihak Yang Pro Terhadap Melafazkan Niat dan Alasannya
Kelompok ini bukan berarti tanpa alasan, berikut ini alasan-alasan mereka:
1. Ayat yang berbunyi: Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (QS. Qaf : 18)
Dengan demikian melafazkan niat dengan lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.
Ayat lainnya: Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik. (QS. Al Fathir : 10).
Maksudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
2. Mereka mengqiyaskan (menganalogikan/mencari unsur intrinsik yang sama) pelafazan niat dengan pelafalan kalimat talbiyah dalam haji, khususnya saat awal memasuki miqat yaitu kalimat: Labaik ‘Umratan wa Hajjan… dst.
3. Hadits-Hadist dasar Dasar Talaffuzh binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)
Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Radhiallahu ‘Anhu. Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan: “Aku penuhi panggilanMu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”. (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mengucapkan niat diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.
Imam Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Ushalli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama. Namun, ulama berselisih apakah qiyas boleh dilakukan dalam perkara ibadah?
Hadits Riwayat Imam Al Bukhari dari Umar Radhiallahu ‘Anhu. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq: ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah: “Sengaja aku umrah di dalam haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia bisa ditetapkan dengan nash juga bisa tetap dengan qiyas.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul mukminin Radhiallahu ‘Anha. Beliau berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berkata kepadaku : “Wahai ‘Aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Radhiallahu ‘Anhu. Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bersabda : _”Kalau begitu hari ini aku puasa”_. (HR. Muslim).
Hadits ini, khususnya kalimat: “Kalau begitu hari ini aku puasa”, menunjukan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengucapkan niat di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata :
“Aku pernah shalat ’Idul Adha bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi)
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan niat dengan lisan diketika beliau menyembelih qurban.
Demikianlah alasan-alasan kelompok yang mendukung kebolehan bahkan kesunnahan melafazkan niat. Tentunya alasan-alasan ini tidak diterima begitu saja oleh yang pihak yang kontra.
Perkataan Ulama Yang Membolehkan Melafazkan Niat
1. Para Ulama Madzhab
Mereka adalah para imam kaum muslimin, dan mereka merupakan pilar-pilar penting tersebarnya Fiqih Islam. Dalam masalah ini, mayoritas ulama madzhab mengatakan SUNNAH melafazkan niat. Hal ini menjadi koreksi pihak yang mengatakan Imam Madzhab tidak pernah mengajarkannya. Jika yang dimaksud Imam Madzhab adalah Imam perintis madzhab bisa jadi benar bahwa mereka tidak melakukan atau memerintahkannya. Tapi, murid-murid mereka berbeda dengan guru-gurunya.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ .وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ
Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat dalam peribadatan adalah sunah, agar lisan dapat membimbing hati.
Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazkan niat adalah makruh. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menyebutkan:
ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.
“Secara qah’i melafazkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)
Jadi menurut keterangan di atas, secara umum kebanyakan ulama madzhab adalah menyunnahkan melafazkan niat, ada pun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut. Sedangkan para imam perintis empat madzhab, tidak ada riwayat dari mereka tentang pensyariatan melafazkan niat.
2. Imam Muhammad bin Hasan Al Hanafi Rahimahullah, kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah Rahimahullah
Beliau mengatakan:
النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل
“Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100)
3. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ
“(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal), sunnahnya ini diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)
4. Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه
“Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)
5. Imam Al Bahuti Al Hambali Rahimahullah
Beliau mengatakan ketika membahas niat dalam shalat:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا
“Tempatnya niat adalah di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah) diucapkan lisan ..” *(Kasysyaf Al Qina’, 2/442. Mawqi’ Islam) Dan lain-lain.
Bagaimana Menyikapinya?
Sebenarnya sederhana saja, silahkan kita ambil pendapat yang menurut kita paling kuat dan menenangkan dihati, tapi jangan inkari pendapat saudara kita yang berbeda, apalagi membatil-batilkan pendapat yang mereka ikuti, atau memprovokasi orang awam untuk memusuhi pendapat yang berbeda itu. Kenapa kita menganggap batil mereka yang berbeda dengan kita, padahal mereka yang berbeda tidak menganggap batil pendapat kita?
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah berkata:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” *(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)*
Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan Rahimahullah, beliau berkata:
ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.
Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu. *(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)
Maka, belajarlah adabnya ulama jangan sekedar fiqihnya. Di antara penyebab tajamnya lisan sebagian orang saat ini karena kurangnya adab dan akhlak. Mudah mentahdzir dan mencela pihak yang berbeda dengannya. Na’udzubillah min dzaalik!
Abu Abdillah Al Balkhiy Rahimahullah berkata:
أَدَبُ الْعِلْمِ أَكْثَرُ مِنْ الْعِلْمِ
Adabnya ilmu lebih banyak dibanding ilmu itu sendiri. *(Al Adab Asy Syar’iyyah, 4/264)*
Imam Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah berkata:
لا يَنْبُلُ الرَّجُلُ بِنَوْعٍ مِنْ الْعِلْمِ مَا لَمْ يُزَيِّنْ عِلْمَهُ بِالأَدَبِ
Seseorang tidaklah mulia dengan beragam ilmu selama dia tidak menghiasinya dengan adab. (Ibid, 2/264)
Demikian. Wallahu A’lam wa Ilahil Musytaka
Penulis: Ust. Farid Nu’man Hasan Lc.