Mayoritas ulama berpandangan bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban itu dianjurkan.
Sebagian besarnya setuju jika menghidupkan malam nishfu sya’ban dilakukan secara berjamaah (berkumpul di masjid-masjid), dan sebagiannya lagi hanya menganjurkan menghidupkan malam nishfu ini dengan ibadah secara masing-masing (tanpa adanya kumpulan). (Syaikh Qudaisy Al-Yafi’i, Hukm Ihya Laylatay Al-‘Ied wa Laylata An-Nishf, hal. 1)
Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya’ban dan Khususnya Nishfu Sya’ban
Hadits-haditsnya amat banyak. Bahkan Imam Ibn Majah, Imam Tirmidzi, Imam Al-Bayhaqi, Imam Al-Fakihi dan Imam Ibnul Atsir membuat Bab tersendiri di dalam kitab matan hadits mereka berkenaan dengan malam nishfu sya’ban.
Dari Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam :
“Allaah Ta’ala memandang kepada makhluq-Nya pada malam nishfu sya’ban dan mengampuni seluruh dosa makhluq-Nya kecuali mereka yang musyrik dan dengki.” (HR. At-Thabrani, di dalam Mu’jam Al-Kabir [20/189], dan Abu Nu’aim [5/195])
Hadits ini di shahihkan oleh Imam Ibn Hibban, dan berkata Imam Al-Haitsami di dalam Al-Majma’ [8/126] : Hadits ini diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir dan Al-Awsath, dan para perawi nya tsiqah.
Dari Abdullah Ibn Amr bahwasanya Rasulullaah bersabda :
“Allaah Ta’ala memandang kepada makhluq-Nya pada malam nishfu sya’ban kemudian mengampuni dosa hamba-hamba Nya kecuali orang yang dengki dan orang yang bunuh diri.” (Musnad Ahmad [2/176]. Di shahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Tahqiq Musnad Ahmad beliau).
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata :
فقدت رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة فخرجت فإذا هو بالبقيع فقال أكنت تخافين أن يحيف الله عليك ورسوله قلت يا رسول الله إني ظننت أنك أتيت بعض نسائك فقال إن الله عز وجل ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب
Aku kehilangan Rasulullaah pada suatu malam kemudian aku keluar rumah, mendapati ia berada di Baqi’. Rasulullaah bersabda, “Apakah engkau takut Allaah dan Rasul-Nya tidak memenuhi hak engkau?”. Aku menjawab, “Wahai Rasulullaah.. Aku menyangka bahwa engkau mendatangi istri-istrimu yang lain.” Maka Rasulullaah menjawab, “Sesungguhnya Allaah ‘Azza Wa Jalla turun pada malam nishfu sya’ban ke langit dunia mengampuni dosa dosa meski sebanyak bulu kambing suku kilab.” (HR. At-Tirmidzi No. 670. Imam Bukhari mendho’ifkan hadits ini)
Hadits ini memiliki jalur lain di dalam kitab Fadha’il Al-Awqat karya Al-Bayhaqi (hal. 128).
Dari Al Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr, dari Ayahnya, dari pamannya, dari kakeknya : Dari Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda,
ينزل الله إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لكل شيء إلا رجل مشرك أو رجل في قلبه شحناء
“Allaah Ta’ala turun pada malam nishfu sya’ban kemudian mengampuni setiap dosa kecuali dari laki-laki yang melakukan syirik atau yang di dalam hatinya ada dengki.” (HR. Al-Bayhaqi No. 3827)
Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya’ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nishfu sya’ban.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallaahu ‘anhu, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam,
يا رسول الله لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم
“Wahai Rasulullaah.. Saya tidak melihat Anda shaum (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya’ban.” Beliau menjawab, “Bulan Sya’ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada Rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan shaum.” (HR. An-Nasa’i No. 2666)
Dan memang terdapat hadits yang menganjurkan untuk beramal di malam nishfu sya’ban.
Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasululah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda,
إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها فإن الله ينزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا فيقول ألا من مستغفر لي فأغفر له ألا مسترزق فأرزقه ألا مبتلى فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر
“Bila datang malam nisfu sya’ban, maka bangunlah pada malamnya dan shaum lah pada siangnya. Sesungguhnya Allaah turun pada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit dunia dan berkata, “Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, maka Aku akan memberinya rizki. Adakah orang yang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya. Adakah yang begini.. Adakah yang begini..” hingga terbit fajar. (HR. Ibnu Majah No. 1378)
Pendapat Ulama Soal Amaliyah Nishfu Sya’ban
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Al-Laduniyyah [2/59], menuliskan bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah ber zuhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Al-Qasthalani kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya’ban.
1. Bentuk Pertama
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktek seperti ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, “Amal seperti ini bukan bid’ah.” Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
2. Bentuk kedua
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
Jadi, amaliyah ibadah khusus di malam nishfu sya’ban itu pun berkembang dua pendapat. Hal ini juga disampaikan oleh Imam Ibn Rajab Al-Hanbali dalam Latha’iful Ma’arif, hal. 263.
Menurut Syaikh ‘Athiyah Shaqr -Beliau adalah Mantan Ketua Lajnah Fatwa Al Azhar Mesir- dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nishfu sya’ban antara Maghrib dan Isya’ demi untuk bertaqarrub kepada Allaah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdo’a meminta ampunan kepada Allah. Semua itu memang dianjurkan. (Fatawa Al-Azhar, sumber : islamport.com)
Menurut kalangan madzhab Hanafi :
Dianjurkan menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan beragam ibadah, namun makruh hukumnya jika berkumpul di suatu tempat. Ibadah tersebut dikerjakan sendiri-sendiri saja.
Imam Ibn Nujaim berpendapat,
ومن المندوبات إحياء ليالي العشر من رمضان وليلتي العيدين وليالي عشر ذي الحجة وليلة النصف من شعبان … ويكره الإجتماع على إحياء ليلة من هذه الليالي في المساجد
“Dan termasuk perkara sunnah ialah menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan, malam-malam dua hari raya, sepuluh malam awal Dzul hijjah, dan malam nishfu sya’ban… Dan dimakruhkan jika sengaja berkumpul dalam rangka menghidupkan malam-malam tersebut di masjid-masjid.” (Al-Bahr Ar-Ra’iq, 2/56)
Madzhab Syafi’I :
Imam Syafi’I menyebutkan di dalam Al-Umm [2/264] :
وبلغنا أنه كان يقال : إن الدعاء يستجاب في خمس ليال في ليلة الجمعة، وليلة الأضحى، وليلة الفطر، وأول ليلة من رجب، وليلة النصف من شعبان
“Dan telah sampai kepada kami bahwa dikatakan : Do’a akan diijabah di lima malam : Malam jum’at, malam idul adha, malam idul fithri, awal malam bulan Rajab, dan malam nishfu sya’ban.”
Kemudian Imam Syafi’I menyebutkan riwayat dari Ibrahim Ibn Muhammad bahwasanya ia melihat para ulama Madinah berkumpul pada malam ‘ied di masjid Nabawi untuk berdzikir dan berdo’a. Maka Imam Syafi’I memandang hal tersebut sunnah dikerjakan di lima malam mustajab tersebut.
Madzhab Hanbali :
Imam Ibn Taimiyyah di dalam Majmu’ Al-Fatawa [23/132],
وأما ليلة النصف فقد روى في فضلها أحاديث وآثار ونقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة فلا ينكر مثل هذا وأما الصلاة فيها جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الإجتماع على الطاعات والعبادات
“Dan adapun malam nishfu sya’ban maka terdapat riwayat berkenaan dengan keutamaannya, berbagai hadits dan atsar. Dinukil pula dari kalangan salaf bahwasanya mereka melaksanakan shalat sunnah di malam tersebut. Maka shalatnya seorang laki-laki di malam tersebut telah ada contoh dari kalangan salaf, dan ia memiliki hujjah untuk melakukan itu dan tidak boleh diingkari. Sedangkan jika shalat dilaksanakan berjamaah, maka hal itu berdiri di atas kaidah umum berkenaan dengan anjuran berkumpul dalam rangka ketaatan dan ibadah.”
Ini semua menunjukkan bahwa pembacaan yasin, do’a dan dzikir pada malam nishfu sya’ban disetujui oleh sebagian ulama. Maka dari itu, amaliyah tersebut tidak mengapa kita amalkan, semata-mata dalam rangka menghidupkan malam nishfu sya’ban. Wallahu a’lam.
Penulis: Muhammad Rivaldi