Fatwapedia.com – Ada beberapa istilah penting dalam bidang ilmu akidah, khususnya pada masalah tauhid asma’ wa shifat yang seyogyanya kita mengerti dengan baik. Keempat istilah itu adalah Takwil, Itsbat, Tafwidh dan Tajsim. Apa makna dari istilah-istilah itu?
Berikut ini adalah definisi dan penjelasan mengenai terminologi diatas yang ditulis oleh Ust. Nidhol Masyhud (Babanya Shofia) di Grup FB Forum Diskusi Hadits, semoga bermanfaat.
1. Takwil (تأويل)
Ungkapan Takwil sudah digunakan oleh Quran dan Sunnah. Dalam Quran dan Sunnah, pengertiannya berkisar pada “wujud/kenyataan”. Bila takwil itu dikaitkan dengan sebuah berita, maka takwil sebuah berita adalah wujud nyata dari apa yang diberitakan (termasuk takwil mimpi). Bila takwil itu dikaitkan dengan perintah, maka takwil dari sebuah perintah adalah perwujudan nyata berupa pelaksanaan perintah tersebut.
Nah, di era Salaf, istilah ini juga digunakan untuk menyebut “penjelasan tentang kenyataan”, atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah “Tafsir”. Mentakwil suatu nash berarti menafsirkan atau menjelaskan kandungan dari sebuah berita atau perintah yang dikandung oleh nash tersebut.
Di era belakangan, istilah Takwil digunakan pula untuk penafsiran yang jauh dari teks asal. Inilah pengertian takwil yang kemudian populer di Ushul Fiqih dan Ilmu Kalam, yaitu memalingkan suatu teks dari kemungkinan artinya yang dekat kepada kemungkinan artinya yang jauh, atau memalingkan suatu teks dari pengertian asalnya (lahiriah) kepada pengertian lain yang tidak dapat dipahami hanya dari teks itu sendiri.
Nah, konsep Takwil memiliki banyak kerumitan, sebab konsep ini terkait dengan dua hal yang cukup rumit dan telah menjadi ambigu, yaitu “ihtimal” dan “zhahirun nash”. Ihtimal adalah bahwa sebuah makna itu MUNGKIN dikandung oleh kata yang sedang dibahas, dan Zhahir berarti arti yang muncul secara MENGEMUKA dari kata tersebut. Persoalannya adalah: Zhahir dan Ihtimal di situ parameternya apa? Dan, apakah yang dimaksud dengan Zhahir dan Ihtimal itu adalah Zhahir dan Ihtimal dari suatu kata ketika dipisahkan dari konteks wicarnya, ataukah ketika ia telah berada dalam konteksnya sebagaimana digunakan oleh nash yang tengah dibahas. Pembahasan ini punya kaitan erat dengan kontroversi Teori Majaz (walaupun tetap bisa dibahas tanpa harus membahas teori Majaz itu sendiri).
2. Itsbat (اثبات)
Dalam dunia kajian Asma’ wa Shifat Allah SWT, istilah “Itsbat Shifat” berarti menetapkan suatu shifat sebagai shifat (atribut) Allah. Meng-itsbat shifat qudrah (kemampuan), misalnya, berarti menyatakan bahwa qudrah ini adalah suatu atribut yang dimiliki oleh Allah SWT, dan bahwa ia merupakan atribut yang unik (punya identitas tersendiri) sehingga bukan merupakan nama lain dari dzat (Allah SWT) dan bukan pula merupakan nama lain dari atribut-atribut lainnya yang bukan merupakan padanan/sinonimnya.
Nah, demikian pula halnya dengan atribut-atribut yang ramai dipersoalan. mengitsbat atribut wajhun (wajah) dan yadun (tangan) berarti menetapkan bahwa wajhun dan yadun ini merupakan atribut Allat SWT (wajah Allah dan tangan Allah), sekalugus menetapkan bahwa wajhun itu bukan yadun dan keduanya bukan merupakan nama lain dari dzat Allah, bukan nama lan dari atribut-atribut lainnya (seperti qudrah, ilmu, dst), serta tentu saja bukan merupakan nama lain dari makhluk-makhluk Allah SWT (kontras, misalnya, dengan kalangan yang manafsirkan yadullah sebagai ni’matullah yang berarti suatu makhluk).
Inilah konsep Itsbat yang pengertiannya jelas berbeda dengan Takwil dan Tafwidh. Takwil dan tawfidh dibangun oleh keyakinan bahwa suatu atribut itu bukan merupakan atribut Allah SAW, atau dibangun dari sebuah keraguan apakah ia memang merupakan atribut Allah atau bukan, atau juga dibangun dari keyakinan bahwa itu merupakan atribut Allah SWT tetapi diyakini/dimungkinkan bahwa atribut itu adalah nama lain saja dari atribut lainnya yang sudah diistbat.
Dalam sejarah, kalangan Itsbat ini berasal dari Ahlul Hadits dan sebagain generasi senior Ahlul Kalam, yang sering pula dikenal dengan sebutan “kalangan Ash-Shifaathiyyah”, meskipun pada rinciannya ada beberapa perbedaan. Tokoh-tokohnya dari para senior Mutakallimin adalah semisal Ibnu Kullab, Al-Qalanisi, Al-Muhasibi, Al-Asy’ari, dan Al-Baqillani. Di lingkungan Asy’ariyyah, mayoritas asy’ariyyah mengitsbat tujuh atribut (qudrah, iradah, ilmun, hayah, sama’, bashar, kalam). Di samping atribut ini, kalangan mutaqaddimin Asy’ariyyah semisal Abul Hasan, Al-Baqillani, dan Al-Baihaqi juga mengitsbat beberapa atribut lainnnya, semisal wajhun (wajah) dan yadaan (dua tangan). Adapun kalangan mutaakhkhirin, mereka rata-rata menafikan atau meragukan atribut-atribut ini (khususnya Ar-Razi dan Al-Amidi). Kemudian, ada pula As-Sanusi yang membakukan penambahan itsbat 7 atribut lanjutan, yaitu kaunuhu qadiran, muridan, hayyan, sami’an, bashiran, dan mutakalliman. Inilah makanya konsep yang kemudian dikenal di banyak lingkungan Asy’ariyyah zaman ini adalah konsep shifat 20, meskipun dasar konsep itu ditentang oleh jumhur mutakallim asy’ariyyah.
3. Tafwidh (تفويض)
Istilah ini saya kenal pertama digunakan oleh Al-Juwaini dalam Nizhamiyyah, ketika beliau membantah keras sikap Takwil dan menganjurkan Tafwidh yang dinisbahkan sebagai madzhab Salaf. Tetapi di situ tidak dirincikan apa yang sebetulnya dimaksudkan oleh Al-Juwaini dengan Tafwidh ini. Sebelum Al-Juwaini, sudah ada Al-Barbahari yang menggunakan istilah ini dalam Syarhus Sunnah, tetapi juga tidak dengan penjelasan yang memadai untuk mengetahui apa rinciannya yang dimaksudkan dengan Tafwidh ini (apalagi beliau sandingkan dengan ungkapan tashdiq, taslim, dan ridha).
Nah, kemudian Al-Ghazali dalam Iljamnya (ketika membantah keras sikap Takwil) mencetuskan konsep ‘tafwidh’ secara detail dan jelas definisi operasionalnya, sekaligus menisbahkannya kepada Salaf. Beliau mungkin tidak menggunakan istilah Tafwidh, melainkan Sukut, Imsak, Kaff, dan Taslim. Akan tetapi, yang nantinya dimaksudkan oleh banyak ulama sebagai tafwidh ya sikap yang seperti dimaksudkan oleh Al-Ghazali ini. Di sinilah, konsep ‘Tafwidh’ itu memiliki definisi yang jelas dengan konsep Itsbat Shifat. Tafwidh terhadap ayat/hadits ttg shifat Allah SWT berarti sikap untuk diam, tidak membicarakannya, tidak mentakwilkannya, tidak menafsirkannya, tidak menerjemahkannya, tidak mengaitkannya dengan nash-nash yang sejenis, serta bahkan tidak menggunakan derivasinya. Dan menurut Al-Ghazali, sikap ini wajib ditempuh oleh orang awam serta juga oleh orang alim dalam berbicara kepada orang awam, bahkan perlu juga ditempuh dalam pembicaraan sesama orang alim. Contoh tokoh asy’ariyah yang membantah sikap tafwidh seperti ini adalah Ibnu Furak.
Pada era Ar-Razi, konsep dan istilah Tafwidh menemukan pembakuannya, yaitu berpijak pada sikap Tawaqquf. Lebih dari itu, Ar-Razi berupaya untuk mengharmoniskan sikap Tafwidh ini dengan sikap Takwil (berbeda dengan para pendahulunya). Kalau tidak salah, pilihan yang ditempuh oleh Al-Amidi pun demikian adanya. Dalam kerangka inilah tokoh semisal Ibnu Taimiyyah itu membantah Tafwidh dan Takwil, yaitu Tafwidh yang dilandasi oleh sikap tawaqquf dan Takwil yang dilandasi oleh sikap nafy, di samping beliau juga membantah sikap Tasybih dan Takyif, yaitu tasybih yang dilandasi sikap mengkiaskan khasaish dan takyif yang dilandasi perincian tanpa dalil.
4. Tajsim (تجسيم)
Tajsim berarti “men-jism-kan”, yaitu menyebut atau menganggap sebagai jism. Dalam kaitannya dengan aqidah mengenai Allah SWT, mentajsim berarti menyebut atau menganggap Allah SWT itu sebagai jism. Nah, apa itu “jism”? Ini titik rumitnya.
Ungkapan “jism” pada asalnya dalam bahasa Arab berarti jasad. Jism manusia adalah jasadnya (yang berbeda dengan ruhnya). Dari ungkapan ini, kemudian juga diturunkan ungkapan sifat yang berarti “besar”. Akan tetapi, dalam dunia Filsafat dan Kalam, ungkapan ini telah menjadi sebuah istilah khusus. Dan peliknya, ada beragam definisi untuk istilah ini.
Ada yang menggunakan istilah “jism” dalam pengertian “sy-syai’” (sesuatu), dalam pengertian “al-maujud” (entitas), dalam pengertian “al-qaaim bin-nafs” (entitas yang kongkret), atau dalam pengertian “al-musyaar ilaih” (sesuatu yang bisa ditunjuk).
Adapula yang menggunakan istilah jism ini dalam pengertian “ath-thawil al-`aridh al-`amiq” (sesuatu yang berdimensi tiga), dalam pengertian “al-muhtamil lil-a`raadh” (entitas yang punya aksiden, seperti bisa diam dan bisa bergerak), “ma lahu yamin wa-syimal wa-zhahr wa-bathn wa-a’la wa-asfal” (entitas bersisi enam).
Dan, adapula yang menggunakan istilah “jism” ini adalah pengertian “al-muallaf minal ajzaa’” (sesuatu yang disusun/tersusun dari bagian-bagian), dalam pengertian “al-jauhar ma’a a`raadhih” (substansi beserta aksiden-aksidennya), atau dalam pengertian “majmuu`atul a`raadh al-muallafah al-mujamma’ah” (sekumpulan aksiden yang disusun dan dirangkai).
Beragamnya definisi-definisi ini membuat beragam pula sikap para ulama terhadap Tajsim. Di antara definisi-definisi itu, ada yang disepakati sebagai predikat Allah SWT (misalnya “al-maujuud”), ada yang disepakati sebagai bukan predikat Allah SWT (misalnya “majmuu`atul a`raadh”), ada yang dipertentangkan (misalnya “al-musyaal ilaih”), dan ada pula yang pengertiannya belum pasti sehingga perlu diberikan definisi lebih lanjut.
Nah, sikap para ulama terhadap tajsim ini bermacam-macam. Ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai “jism”, ada yang tidak segan menyebut Allah SWT sebagai “bukan jism”, dan ada pula yang segan untuk menyebut Allah SWT sebagai “jism” maupun “bukan jism”. Perdebatan seputar tajsim pun hanya akan menjadi tuntas jika dibahas dari kedua sisi, yaitu sisi penggunaan istilah, dan sisi maknawi yang dimaksud dengan istilah ini. Sisi kedua inilah yang lebih efektif untuk diperdebatkan.