Membantah Pendapat Bid'ah Berdoa Setelah Shalat

Membantah Pendapat Bid'ah Berdoa Setelah Shalat

Fatwapedia.com – Segala puji bagi Allah dan sholawat serta salam kepada Nabi-Nya Muhammad, Amma Ba’du. Sahabat yang di rahmati Alloh pada kesempatan ini izinkan kami menulis artikel dengan judul Hukum Berdoa Setelah Shalat. Sebetulnya pembahasan akan hal ini sudah banyak di jelaskan oleh para ulama. Namun tidak ada salahnya untuk kita angkat kembali dengan harapan bisa menambah wawasan kita dan tentu bisa kita amalkan sesuai dengan tuntunan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam. Berikut penjelasannya.

Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu anhu berkata :

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: «جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ المَكْتُوبَاتِ»

“Ada yang bertanya : ‘Wahai Rasulullah, Kapankah doa didengar?’. Nabi menjawab : “Pertengahan akhir malam dan setiap Dubur (akhir) sholat-sholat wajib”.

Hadits ini ditakhrij oleh Imam Tirmidzi dalam “Sunannya” (no. 3838) dan Imam Nasa’I dalam “Sunan Kubro” (no. 9936), semuanya dari jalan :

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الثَّقَفِيُّ المَرْوَزِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ:

“Muhammad bin Yahya Ats-Staqofiy Al Marwaziy, haddatsanaa Hafsh bin Ghiyaats dari Ibnu Juraij dari Abdur Rokhman bin Saabith dari Abi Umaamah , ia berkata : ‘idem’”.

Kedudukan sanad:

1. Muhammad bin Yahya, dinilai ‘Tsiqoh, hafidz’ dalam “At-Taqriib” oleh Al Hafidz Ibnu Hajar.

2. Hafsh bin Ghiyaats (w. 194 atau 195 H), perowi Bukhori-Muslim, dinilai ‘Tsiqoh, ahli fiqih, berubah hapalannya menjelang tutup usia’ oleh Al Hafidz dalam “At-Taqriib”.

3. Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juroij (w. 150 H atau lebih), perowi Bukhori-Muslim, Al Hafidz dalam “At-Taqriib” menilainya “ يدلس و يرسل فاضل و كان ثقة فقيه’ “ (Tsiqoh, ahli fiqih, ulama yang utama, beliau sering memudaliskan dan memursalkan hadits’). Kemudian dalam kitabnya “Thobaqootul Mudallisiin”, Al Hafidz memasukkanya dalam tingkatan yang ketiga yakni :

“Perowi yang banyak melakukan tadlis, para ulama tidak berhujjah dengan haditsnya, kecuali jika ia menjelaskan aktivitas periwayatannya dengan pendengaran”.

Dalam riwayat ini Imam Ibnu Juraij meriwayatkan dengan sighot “’an’anah” (yakni dari fulan dari fulan) yang berarti tidak jelas aktivitas periwayatannya dengan pendengaran.

4. Abdur Rokhman bin Saabith (w. 118 H), Perowi Muslim, dinilai ‘Tsiqoh, banyak melakukan irsal’.

5. Abu Umaamah Suday bin ‘Ajlaan (w. 86 H), seorang sahabat yang masyhur.

Penilaian Ulama:

Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini berkata: “Ini hadits Hasan”. Namun penilaian beliau rohimahulloh disanggah oleh beberapa ulama, alasannya dalam hadits ini terdapat dua cacat, yaitu:

1. Ketidakjelasan riwayat Ibnu Juraij dari Abdur Rokhman bin Saabith, karena dalam riwayat ini, Ibnu Juraij menggunakan “’an’anah” sedangkan Ibnu Juraij adalah seorang Mudallis, yang mana riwayatnya baru dapat dijadikan hujjah ketika menjelaskan aktvitas periwayatannya. Berdasarkan hal inilah Imam Al Albani dalam kitabnya “Tahqiq Al Kalimut Thayyib” (h. 113) mendoifkan hadits ini.

2. Terjadi keterputusan sanad antara Abdur Rokhman bin Saabith dengan Abu Umaamah , karena menurut Imam Al Mizzi dalam kitabnya “Tahdzibul Kamal” menukil bahwa :

“Abbas ad-Duuriy berkata : ‘Imam Yahya –bin Ma’in- pernah ditanya : ‘(apakah) Abdur Rokhman bin Saabith pernah mendengar dari Sa’ad?’

Al Imam berkata: ‘Saad bin Ibroohiim?’,

mereka berkata: ‘bukan, dari Sa’ad bin Abi Waqqoosh?’,

Al Imam menjawab: ‘tidak pernah’.

Ditanyakan lagi: ‘ia mendengar dari Abu Umaamah?,

Al Imam menjawab: ‘tidak pernah’.

Ditanyakan lagi: ‘ia mendengar dari Jaabir?’,

Al Imam menjawab: ‘tidak pernah’. Abdur Rokhman memursalkan hadits.

ad-Duuriy berkata: “Adalah madzhabnya Imam Yahya, bahwa Abdur Rokhman bin Saabit memursalkan dari mereka (yang disebutkan diatas) tidak pernah mendengar hadits dari para sahabat diatas”.

Imam Abdullah bin Yusuf Az Zailaaiy dalam kitabnya “Nashbur Rooyyah” (3/426) menambahkan :

“Imam Ibnul Qothoon dalam kitabnya berkata : ‘ketahuilah bahwa apa yang diriwayatkan Abdur Rokhman bin Saabith dari Abu Umaamah , tidak bersambung, yakni terputus, dan tidak pernah mendengar darinya”.

Namun dua alasan pelemahan hadits ini dapat dijawab:

1. Imam Ibnu Juraij telah menjelaskan aktifitas periwayatannya, dalam riwayat yang ditulis oleh Imam Abdur Rozaq dalam “Mushonafnya” (no. 3948) beliau menulis :

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ، أَنَّ أَبَا أُمَامَةَ، سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ …. فيه : قَالَ: فَأَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: «شَطْرُ اللَّيْلِ الْآخِرُ، وَأَدْبَارُ الْمَكْتُوبَاتِ»

“Dari Ibnu Juraij ia berkata: akhbaronii (telah mengabariku) Abdur Rokhman bin Saabith, bahwa Abu Umaamah bertanya kepada Nabi ….. (didalam pertanyaannya disebutkan-pent.) ‘Doa apakah yang didengar?’. Nabi menjawab : “Pertengahan akhir malam dan dubur (akhir) sholat-sholat wajib”.

Dalam riwayat ini, Imam Ibnu Juraij telah menjelaskan aktivitas pendengaran riwayatnya dari Abdur Rokhman bin Saabit yakni dengan perkataannya “Telah mengabariku”, sehingga tadlisnya sudah terangkat dan pencacatan riwayat ini karena tadlisnya Ibnu Juraij, telah gugur.

2. Penilaian Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Yahya ibnul Qohthoon bahwa Abdur Rokhman bin Saabith tidak mendengar dari para Shahabat , sebagaimana yang disebutkan oleh kedua Imam tersebut, bukan keputusan final, bahwa Abdur Rokhman memang benar-benar secara pasti tidak mendengar dari mereka para Shahabat yang namanya disebutkan, yakni dari Shahabat Sa’ad bin Abi Waqqoosh , Abu Umammah dan dari Jaabir bin Abdullah .

Ini Buktinya:

A. Imam Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “Jarh wat Ta’dil” (no. 1137) berkata :

وعن بن جابر عبد االله، متصل

“dan dari Jaabir bin Abdullah , muttashil (bersambung)”.

Penilaian senada bahwa Abdur Rokhman mendengar dari Jaabir juga dikatakan oleh Imam Abu Nadhor Ibnu Makuulaa, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu ‘Asaakir dalam “Tarikh Damsyiq” (34/379).

Artinya penilaian kemursalan Abdur Rokhman bin Saabith dari Jaabir adalah pendapat pribadinya Imam Ibnu Ma’in, sebagaimana telah dikatakan Imam Abbas Ad Duuriy sebelumnya, bahwa madzhabnya Imam Yahya, berpendapat Abdur Rokhman memursalkan dari ketiga orang Shahabat tersebut.

B. Seandainya kita melihat kepada tahun wafatnya Abdur Rokhman yakni pada tahun 118 H dan tahun wafatnya Sahabat Abu Umaamah, yaitu tahun 86 H,

Maka ada kemungkinan Abdur Rokhman bertemu dengan Abu Umaamah . Karena Abdur Rokhman sendiri, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Abi Hatim mendengar dari Jaabir bin Abdullah yang tahun wafatnya, ada yang mengatakan pada tahun 68 H, atau 72 H, atau 73 H atau atau 77 H. Hal ini menunjukkan bahwa Abdur Rokhman pasti sezaman dengan Abu Umaamah.

Seandainya benar apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Ma’in dan Imam Ibnul Qohthoon, terkait tidak mendengarnya Abdur Rokhman kepada Abu Umaamah Rodhiyallahu ‘anhu, maka inilah riwayat yang dinamakan dalam ilmu Mustholah dengan istilah Mursal Khofiy, karena definisinya sebaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar dalam “Nuzhatun Nadhor” (hal. 20) :

“Adapun jika perowi itu sezaman, namun tidak diketahui ia pernah berjumpa dengan gurunya, maka ini adalah Mursal Khofiy”.

oleh karenanya, ini cocok diterapkan dalam kasus ini.

C. Namun kami condong menerima riwayat Abdur Rokhman dari Shahabat Abu Umaamah adalah Muttashil (bersambung) dengan alasan :

1. Imam Al Mizzi dalam kitabnya “Tahdzibul Kamal” menggolongkan Shahabat Abu Umaamah sebagai salah seorang gurunya Abdur Rokhman, tanpa memberikan komentar terjadinya keterputusan. Begitu juga Imam Badrudin Al ‘Aini dalam “Maghooniy Al Akhyar” (no. 1493) menggolongkan Abu Umaamah adalah salah seorang gurunya Abdur Rokhman, tanpa memberikan komentar terjadinya keterputusan sanad. Begitu juga Imam Ash-Shofadiy dalam kitabnya “Al Waafiy bil Waafiyaat” (6/70) menulis:

عبد الرحمن بن سابط الجمحي المكي. وله أبيه عن روى صحبة، وعن عائشة وجابر وأبي أمامة وأرسل عن معاذ وغيره، وقد وثقوه .

“Abdur Rokhman bin Saabith Al Jumhiy Al Makkiy, meriwayatkan dari Bapaknya – seorang sahabat – dan juga dari Aisyah , Jaabir dan Abu Umaamah . Ibnu Saabith memursalkan dari Muadz dan selainnya. Ibnu Saabith ditsiqohkan oleh para ulama”.

2. Imam Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “’Ilaalul Hadits” (no. 150) pernah menulis :

”Imam Abu Zur’ah pernah ditanya tentang hadits dari Laits bin Abi Sulaim dari Abdur Rokhman bin Saabith dari Abu Umaamah atau dari saudaranya Abu Umaamah dari Nabi : “celakalah tumit-tumit di neraka”. Maka Abu Zur’ah menjawab : ‘saudaranya Abu Umaamah , aku tidak mengenalnya’” –selesai-.

Seandainya benar bahwa Abdur Rokhman tidak mendengar dari Abu Umaamah , tentunya orang sekelas Imam Abu Zur’ah akan menyebutkan cacat ini, selain dari kemajhulan saudaranya Abu Umaamah.

3. Hadits ini memiliki beberapa syawahid (penguat) yang menunjukkan secara makna, bahwa Nabi menganjurkan baik secara perkataan maupun perbuatan Beliau, terkait berdoa setelah sholat, diantaranya :

A. Hadits Muadz bin Jabal Rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi berkata kepadanya :

«يَا مُعَاذُ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ»، فَقَالَ: ” أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “

“Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu, demi Allah aku mencintaimu. Lalu sabdanya : “aku berwasiat kepadamu, janganlah tinggalkan berdoa setiap selesai sholat, dengan doa : “Ya Allah, bantulah aku dalam mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus dalam beribadah kepada-Mu” (HR. Abu Dawud dan Nasa’I, dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Al Hakim dan Imam Al Albani).

B. Hadits Abu Bakrah Rodhiyallahu ‘anhu, anaknya berkata :

كَانَ أَبِي يَقُولُ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ»، فَكُنْتُ أَقُولُهُنَّ، فَقَالَ أَبِي: أَيْ بُنَيَّ، عَمَّنْ أَخَذْتَ هَذَا؟ قُلْتُ عَنْكَ، قَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُهُنَّ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ»

“Bapakku berdoa pada akhir sholat : ‘Ya Allah, aku berlindung dengan-Mu dari kekafiran dan kefakiran serta azab kubur’. Maka aku pun ikut berdoa seperti itu. Bapakku berkata : ‘wahai anakku, dari siapa engkau mengambil doa yang aku ucapkan ini? Sesungguhnya Rasulullah berdoa dengannya pada akhir sholat” (HR. Abu Dawud dan Nasa’I, dishahihkan oleh Imam Al Hakim dan Imam Al Albani).

C. Hadits Zaid bin Arqom Rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

سَمِعْتُ نَبِيَّ الَّلهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: – وَقَالَ سُلَيْمَانُ: كَانَ رَسُولُ الَّلهُ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُبُرِ صَلَاتِهِ: – «اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، أَنَا شَهِيدٌ أَنَّكَ أَنْتَ الرَّبُّ وَحْدَكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ أَنَا شَهِيدٌ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، أَنَا شَهِيدٌ أَنَّ الْعِبَادَ كُلَّهُمْ إِخْوَةٌ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، اجْعَلْنِي مُخْلِصًا لَكَ وَأَهْلِي فِي كُلِّ سَاعَةٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ اسْمَعْ وَاسْتَجِبْ، اللَّهُ أَكْبَرُ الْأَكْبَرُ، اللَّهُمَّ نُورَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ»

“aku mendengar Nabi berdoa – Sulaiman berkata : ‘Nabi berdoa pada akhir sholat : “Ya Allah, Rabb kami, Rabb segala sesuatu, aku bersaksi bahwa Engkau adalah satu-satunya Rabb yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, Rabb kami, Rabb segala sesuatu, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu. Ya Allah ,Rabb kami, Rabb segala sesuatu, aku bersaksi bahwa hamba-hamba-Mu semuanya adalah bersaudara. Ya Allah, Rabb kami, Rabb segala sesuatu, jadikan aku orang yang ikhlas kepada-Mu dan ahli untuk setiap saat baik di dunia maupun di akhirat, wahai pemilik Keagungan dan Kemulian, dengarkanlah dan perkenankan (doaku). Allah Maha Besar, Ya Allah Cahaya langit dan Bumi” (HR. Abu Dawud dan Nasa’I).

Kedudukan sanad : didalamnya ada Abu Muslim Al Bajiliy yang hanya ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban, dan Dawud Ath-Thufaawiy yang dinilai lemah oleh Imam Ibnu Ma’in, namun mendapat tautsiq dari Imam Ibnu Hibban. Imam Al Albani menilai dhoif hadits ini, namun melihat kelemahan yang ringan pada perowinya, maka Insya Allah hadits ini dapat dijadikan penguat.

D. Hadits Suhaib Ar Ruumiy Rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

أَنَّ دَاوُدَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ: «اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي

“Bahwa Nabi Dawud alaihis Salam berdoa setelah selesai sholatnya : ‘Ya Allah, perbaikilah agamaku… “ (HR. Nasa’I, dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban).

4. Banyak para ulama yang menilai shahihnya atau dapat dijadikan hujjah hadits ini, diantara mereka :

1. Imam Tirmidzi sebagaimana telah dinukil.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Majmu Fatawa” (5/271) berhujjah dengan hadits ini.

3. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” (18/96) menyetujui penghasanan Imam Tirmidzi.

4. Begitu juga Imam Ibnu Rajab menyetujui penghasanan Imam Tirmidzi dalam kitabnya “Fathul Bari” (6/111).

5. Imam Al Mubarokfuriy juga menyetujuinya dalam “Tuhfatul Ahwadzi”.

6. Imam Mugholothooyi dalam “Syaroh Ibnu Majah” menyepakatinya juga.

7. Imam Syaukani dalam “Nailul Author” kelihatannya tidak mempermasalahkan sanad hadits ini.

8. Imam Shon’aniy dalam “Subulus Salam” juga berhujjah dengan hadits ini, kata beliau :

“Dikuatkan berdoa setelah sholat wajib dengan hadits Tirmidzi dari Abu Umaamah”.

9. Imam Al Albani sebelumnya beliau sempat mendhoifkan hadits ini, lalu setelah penelitian lebih lanjut, akhirnya beliau menshahihkannya. Penulis kitab “Taroju’aat Al’Alamah Al Albani” mengelompokan hadits ini sebagai hadits yang dulunya didhoifkan oleh Imam Al Albani, lalu dirujuk oleh beliau dengan menilainya hasan atau shahih. Hadits ini dicatatat penulis kitab tersebut pada no. 83.

10. Syaikh Sayyid Sabiq dalam “Fiqhus Sunah” juga berhujjah dengan hadits ini.

11. Syaikh DR. Maahir Yaasiin dalam “Taliq Riyadhus Sholihin” diam tidak mengomentari hadits ini, yang menunjukkan persetujuan beliau dari penghukuman hasan haditsnya oleh Imam Tirmidzi.

12. Syaikh Hisamuddin ‘Afanah berhujah dengan hadits ini dalam “Fatwa Yas’alunak”.

13. Syaikh Muhammad Sholih Al Munajid dalam “Fatawal Islam” berhujjah dengan hadits ini dan memasukkannya sebagai salah satu waktu dikabulkannya doa.

14. Syaikh DR. Abdullah Faqih juga berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakannya mustajabnya doa selesai sholat dalam “Fatawa Al Islamiyyah”.

Bersambung…

Ust Neno Triyono

Leave a Comment