Fatwapedia.com – Prof. Malik Badri dikenal sebagai psikolog yang mempelopori Islamisasi psikologi. Bukunya Dilema Psikolog Muslim barangkali sudah menjadi klasik, rujukan awal untuk Islamisasi psikologi. Terkait dengan konsep perubahan sosial kita dapat menemukan pemikirannya dalam beberapa bukunya. Level perubahan yang akan dibahas berikut adalah perubahan pada level individu dan perubahan pada level sosial. Perubahan pada level individu ini mengacu pada bukunya Tafakur [Fiqh Tafakur] sedangkan perubahan pada level sosial mengacu pada bukunya Islam dan Alkoholisme.
Basis Kognitif Untuk Perubahan Pada Level Individu
Perilaku manusia dipengaruhi secara kuat oleh elemen kognitif dirinya. Elemen kognitif utama adalah berpikir. Sehingga perubahan perilaku individu mesti bermula dari perubahan elemen kognitifnya, yaitu cara berpikirnya. Sebenarnya jauh sebelum para psikolog kognitif modern menemukan relasi ini, para ulama Islam dahulu sudah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap relasi antara unsur kognitif dengan perilaku [sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim]. Demikian pula jauh sebelum psikoterapis menerapkan relasi unsur kognitif dengan perilaku dalam praktek terapi mereka, seperti dalam teknik reciprocal inhibition [terapi dengan menerapkan lawan dari yang diderita oleh klien secara bertahap], para ulama Islam dulu juga memberi perhatian untuk teknik yang setara sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghazali.
Tentu saja kita tidak sekadar membangun apologi, bahwa Islam atau umat Islam sudah mengatakan isu-isu modern sebelum pakar modern membicarakannya, tetapi ini bisa memberikan kita basis perspektif yang lebih reflektif terhadap isu-isu ini. Malik Badri mengutip paparan Ibnul Qayyim untuk mendeskripsikan relasi unsur kognitif dengan perilaku. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa dasar dari setiap perilaku sadar adalah berbagai pikiran dan niat yang melintas. Urutan prosesnya dapat digambarkan dalam skema berikut : dorongan/lintasan niat [khawathir] – dorongan/lintasan pikiran [fikrah] -syahwat/keinginan – azimah/kemauan kuat – perbuatan [‘amal] – kebiasaan[‘adah].
Dari penjelasan di atas dapatlah kita pahami hikmah dari banyaknya ajakan Qur’an untuk mengajak manusia menggunakan akal, mendayakan pikiran dan merenungkan ayat-ayat Allah yang ditebarkan pada semesta raya, dalam diri manusia sendiri atau yang tertulis dalam Al Qur’an. Apalagi berpikir secara tepat dalam pandangan islam bernilai ibadah. Berpikir yang merupakan ibadah ini kita kenal dengan sebutan tafakur.
Untuk mengoperasionalkan proses berpikir agar memberikan hasil yang tepat, sesuai dengan nilai ibadah yang dikandungnya dalam kerangka Islam, Malik Badri mengelaborasi lebih jauh konsep tafakur (kontemplasi) ini. Ia menekankan proses tafakur ini bermula dari musyahadah hingga mencapai syuhud. Selanjutnya tahapan-tahapan itu dapat kita petakan sebagai berikut :
- Tahap musyahadah, mendayagunakan persepsi empiris secara langsung [idrak hissi mubasyir] untuk memikirkan alam
- Tahap tadzwuq [rasa kagum, inbihar] terhadap kerapian, keteraturan dan keindahan alam
- Tahap muraqabah, menghubungkan keindahan, kerapian semesta ini kepada Allah pencipta-Nya
- Tahap syuhud, tafakur yang berkelanjutan sehingga objek-objek yang tampak remeh pun memicu tafakur mendalam yang menunjukkan keagungan Allah
Faktor Motivasi/Dorongan Keagamaan Dalam Perubahan Sosial
Malik Badri melakukan studi kasus mengenai prestasi pemantangan terhadap alkohol pada masa Nabi. Ketika itu diriwayatkan khamr mengalir di Madinah. Prestasi ini adalah prestasi besar yang efeknya terasa sampai sekarang. Khamr secara syar’i adalah haram, tetapi lebih dari itu efek sosial dari keharamannya tetap berpengaruh hingga saat ini, di mana dunia Islam saat ini memiliki problem alkoholisme dalam masyarakatnya.
Berhasilnya pemantangan alkohol di Madinah merupakan sebuah contoh proses perubahan sosial. Adalah penting untuk mencari penyebab dari perubahan itu. Ilmu sosial modern barangkali bisa memberikan banyak sekali analisis, karena menurutnya tidak ada sebab tunggal dari sebuah perubahan sosial. Tetapi kita bisa menyatakan bahwa sebab utama dari perubahan sosial itu adalah islam. Dorongan kegamaan atau motivasi keagamaan menjadi faktor penting untuk perubahan sosial itu. Mengatakan islam sebagai penyebab perubahan tidak berarti kita mengatakannya sebagai sebab tunggal, tetapi karena islam sendiri serba mencakup sisi-sisinya dalam transformasi masyarakat ketika itu.
Untuk memahami proses transformasi sosial itu perlu dipahami karakteristik masyarakat Arab jahiliyah. Masyarakat jahiliyah ketika itu adalah masyarakat kesukuan, dengan fanatisme kesukuan yang sangat besar. Moralitas dasar yang mengatur ketika itu adalah pengejaran terhadap rasa bangga kesukuan. Isyarat remeh yang merendahkan individu atau kebanggaan suku bisa membuat pertikaian yang berpuluhan tahun. Sesuatu yang positif, menguatkan kebanggaan suku, akan dijunjung tinggi bahkan berlebihan. Kehidupan kesukuan yang saling mengejar kebanggaan ketika itu membuat rasa tidak aman sosial menjadi tinggi. Kesiapan berperang dipentingkan. Anak laki-laki menjadi andalan, besar dengan kedinginan ayah dan obsesi untuk lekas besar. Anak perempuan jadi tidak berharga bahkan banyak yang dibunuh. Nasib anak laki-laki dan perempuan ini menyisakan trauma psikologis bagi kaum ibu. Struktur keluarga goyah. Pergaulan bebas dan prostitusi hal yang umum ditemui. Masyarakat Arab jahiliyah juga memiliki sisi romantisme yang tampak pada syair-syair yang mereka hasilkan. Kemampuan syair adalah kebanggaan. Syair juga bisa menjadi alat untuk menjatuhkan prestige lawan. Syair bisa sangat mematikan bagi individu dan menjadi aib yang melekat bagi sebuah suku. Situasi sosial seperti ini menjadi kondisi optimal bagi tumbuhnya pecandu alkohol. Dan sejarah juga mencatat betapa lekatnya alkohol dalam kehidupan masyarakat jahiliyah ketika itu.
Berdasarkan deskripsi di atas bisa kita memahami bahwa transformasi yang dilakukan Islam terhadap masyarakat arab jahiliyah menjadi masyarakat muslim kemudian bukanlah transformasi yang satu sisi, tetapi transformasi menyeluruh. Malik Badri memberikan beberapa analisis terkait dengan peranan islam dalam transformasi masyarakat di atas.
1. Proses pelarangan secara gradual dan Hambatan Timbal-Balik Kultural (Cultural Reciprocal Inhibition).
Proses pelarangan khamr tidak dilakukan secara tiba-tiba. Ada tahapan-tahapan tertentu, proses gradual. Pada awalnya sekedar melakukan sentuhan lembut terhadap masalah khamr di Makkah, kemudian masuk ke tahap afirmasi adanya dosa dan manfaat pada khamr tetapi dosanya lebih banyak ketimbang manfaatnya. Setelah itu masuk tahap pelarangan meminum khamr ketika hendak sholat. Pada puncaknya pelarangan terhadap khamr sebagaimana tercatat dalam surat Al Ma’idah : 90-91.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Proses gradual ini melalui waktu bertahun-tahun, seiring turunnya wahyu.
Malik Badri mengembangkan konsep Cultural Reciprocal Inhibition (Hambatan Timbal Balik Kultural), pengembangan lanjut dari teknik terapi reciprocal inhibition, untuk memahami hikmah gradualitas pelarangan khamr. Jika dalam terapi individual terapi reciprocal inhibition dilakukan dengan [pada kasus kecanduan alkohol misalnya] menyuntikkan zat atau sengatan listrik yang menimbulkan mual, sakit kepala saat timbul keinginannya untuk mengonsumsi alkohol. Maka dalam cultural reciprocal inhibition kita bisa membangun analogi serupa untuk transformasi sosial. Analogi yang diberikan oleh Malik Badri adalah sebuah masyarakat (yang terbelakang) mungkin saja menolak nilai-nilai budaya dari peradaban lain, tetapi tidak menolak sisi teknologinya. Seiring dengan penggunaan teknologi itu terciptalah santai semacam terhipnotis secara sosial tanpa perlawanan frontal; tetapi lama kelamaan dosis nilai atau sikap kultural yang dibawa oleh teknologi itu semakin meningkat sehingga terjadilah perubahan kultural dalam masyarakat itu. Demikian pula yang terjadi dengan tahapan-tahapan proses pelarangan khamr, melalui tahapan-tahapan itu resistensi sosial atau ketegangan individu-individu diadaptasikan secara perlahan, sisi-sisi sosial ekonomi diberikan waktu untuk adaptasi dan perubahan, hambatan-hambatan sosial dimunculkan tanpa membuat shock bagi pecandu khamr baru kemudian memuncak pada pelarangannya.
2. Faktor motivasi intrinsik berupa motivasi keagamaan (yaitu Islam) menjadi faktor utama. Islam pada awalnya tidak menyentuh sisi pelarangan khamr, tetapi pada basis kepercayaan dan nilai masyarakat pagan arab. Penerimaan terhadap Islam membentuk transformasi sosial terhadap masyarakat. Nilai, keyakinan baru merubah internal individ, struktur keluarga dan masyarakatnya.
3. Persuasi sosial sebuah larangan juga terait erat dengan kohesi masyarakat baru yang terbentuk. Faktor kepemimpinan Rasulullah ﷺ sangat penting dalam kohesi sosial baru itu. Proses penjagaan terhadap sebuh keputusan (larangan) juga dilembagakan; termasuk dalam hal ini peran yang dimainkan oleh ibadah-ibadah yang disyari’atkan Islam.
Sumber asal: Blog Refleksi[Budi]
Sekilas Profil:
Professor Dr. Malik Badri
Born: Rufa’a, Sudan in 1932
Education:
- Bachelor (with Distinction) from American University of Beirut in 1956
- Masters (M.A) from American University of Beirut in 1958
- PhD from University of Leicester, England in 1961
Workspace:
- The Dean of Faculties of Education at the University of Khartoum
- The Dean of Faculties of Education at Juba University
- The Acting Dean of the International Institute of Islamic Thought and Civilisation (ISTAC) at IIUM, Malaysia
- Senior Clinical Psychologist in a number of hospitals and clinics in the Middle East and Africa The Founder of the Psychological Clinic of the University of Riyadh, Saudi Arabia in 1971
- The Distinguished Professor of Clinical Psychology in the Department of Psychology at Ahfad University in Omdurman, Sudan
- The Holder of the Prestigious Chair of Ibni Khaldun in the Faculty of Revealed Knowledge and Human Science of IIUM, Malaysia
(Reference: IIUM)