Memoar Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman

Memoar Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman

Fatwapedia.com – Untaian kalimat ta’ziyah itu beredar di medsos, mengenang wafatnya Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman, di usia 63 tahun, pada Senin malam Selasa 25 Januari 2021, pk. 23.05 WIB. Ia meninggal dunia dalam keadaan tenang, husnul khatimah insya Allah, di samping istri dan anak-anaknya, setelah tiga tahun lamanya mengalami stroke hingga kehilangan penglihatannya. 

FIHIRUDDIN MUQTHI, atau lebih dikenal dengan nama panggilan Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman, karena putra pertamanya bernama Muhammad Jibriel Abdul Rahman, adalah seorang aktivis Muslim yang aktif dan penuh semangat. 

Lahir di sebuah kampung kecil, Desa Tirpas, Lombok Timur, 17 Agustus 1957. Ia merupakan anak kedua dari 10 orang bersaudara dari pasangan Ibu Wilis (Inaq Masyfi’i) dan Bapak Awwas (Amaq Naserah). 

Pada masa kecilnya, Fihiruddin mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Dasan Tereng, Korleko, Lombok Timur. Dia kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Tanjung, Selong. Usai menamatkan pendidikan pada sekolah menengah pertama, atas arahan guru SMP-nya, Fihiruddin melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga kelas dua. Kemudian pindah ke Yogyakarta, dan kelas tiga diselesaikan di SPMA Argomulyo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Hal yang sering ia tuturkan pada teman dan adik-adiknya, adalah pesan dan nasehat ayahnya, ketika hendak merantau ke Jawa. “Ayah hanya memberi bekal, sekadar ongkos perjalanan dan nasehat,” kenangnya. 

Ayah menasehatkan: “Anakku, bapak ijinkan kamu merantau ke Jawa untuk menuntut ilmu. Mungkin bapak tidak bisa mengirim biaya tiap bulan, hasil tani tidak menentu, maka hendaknya hemat dan bersabar. Kamu harus selalu jujur, berani karena benar, dan jangan pernah tinggalkan shalat lima waktu”.

Perjalanan hidupmu adalah dakwah dan jihad, waktu luangmu adalah tadarus Al-Qur’an. Engkau meraup dan menyemai ilmu di setiap bumi yang dipijak, berbagi terangnya cahaya hikmah. Tapak langkahmu mungkin terhapus, namun jalan yang kau tempuh takkan pernah hilang. Dunia adalah tempatnya beramal dan letih, karena kita ingin beristirahat di Jannah. Nasehatmu akan selalu terngiang, menjadi pengingat dikala lupa. Selamat jalan Abah…

Nasehat ayahnya membekas dan membentuk keperibadian Fihiruddin muda. Seperti terbukti kelak, selama kuliah di Yogyakarta, ia selalu tinggal di masjid, menjadi marbot dan sebagai muadzin. Setiap aktivitasnya tak pernah jauh dari kegiatan memakmurkan masjid.

Pada tahun 1977, Fihiruddin melanjutkan pendidikannya, kuliah di STIPER (Sekolah Tinggi Perkebunan) Yogyakarta. Sebagai aktivis mahasiswa muslim, ia aktif dalam kegiatan da’wah Islam. Sebelumnya, Fihiruddin tercatat sebagai anggota PII (Pelajar Islam Indonesia) di Yogyakarta. Semangat perjuangan Islam, mula-mula diperoleh melalui training LMD (Latihan Mujahid Dakwah) dengan mentor Dr. Ir. Imaduddin Abdurrahim di Bandung. Fihiruddin, selanjutnya aktif dalam kegiatan Usrah, metode pembinaan umat yang diadopsi dari Ikhwanul Muslimin. Selain itu, dia juga intensif mengikuti kegiatan dakwah Darul Islam (DI), yang bercita-cita mendirikan Negara Islam dan melaksanakan Syariat Islam di lembaga negara. 

Bersama teman-teman mahasiswa di Yogyakarta, di era tahun 1980-an, ia mendirikan organisasi pemuda masjid, HIMAMUMAS (Himpunan Angkatan Muda Masjid) namanya. Sebuah organisasi Islam yang mengarahkan aktifitasnya kepada peningkatan dan pembangunan moral generasi muda, membangkitkan semangat generasi muda untuk beribadah di masjid, dengan seruan _back to mosque_, kembali ke masjid. Dan hingga akhir hayatnya, Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman adalah Wakil Amir Majelis Mujahidin, bersama Al-Ustadz Muhammad Thalib sebagai Amir dan Ketua Ahwa (Ahlul Halli wal Aqdi) Majelis Mujahidin.

Sebagai aktivis muslim, Fihiruddin terbiasa berfikir cerdas, bertindak cepat dan terukur. Ia pemberani, dan tidak takut mengeritik penguasa. Tahun-tahun 80-an ke depan, Rezim Soeharto yang korup dan zalim, sedang gencar mempropagandakan ideologi Asas Tunggal Pancasila. Seluruh partai maupun ormas dipaksa menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas berorganisasi. Dalam bernegara, Soeharto memosisikan Pancasila lebih tinggi dari agama. Siapa saja yang menolak diancam masuk bui, dengan tuduhan subversi, anti pancasila dan anti pemerintah.

Pemaksaan Asas Tunggal Pancasila diwujudkan melalui UU Nomor 3/1985 yang disahkan pada 19 Februari 1985, yang mengharuskan Pancasila menjadi asas tunggal dalam setiap organisasi. 

“Dalam rangka ini dan demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Pancasila yang dimaksud dalam Undang-undang ini ialah yang rumusannya tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” begitu bunyi penjelasan UU Nomor 3/1985 tersebut. 

Fihiruddin, salah seorang mahasiswa Islam yang diburu oleh rezim penguasa orde baru. Penyebabnya, karena penolakannya terhadap asas tunggal tersebut. Ia lantang bersuara, “Pancasila bukan agama, dan tidak bisa menggantikan peran agama dalam berbangsa dan bernegara”. Akibatnya, pada 1981 Fihiruddin ditangkap dan ditahan di Denpom, Semarang, Jateng, selama 2 tahun tanpa proses pengadilan. Usianya ketika itu baru 24 tahun. 

Selain menentang asas tunggal, ia juga dituduh terlibat dalam gerakan Komando Jihad. Dalam kasus yang sama, sudah ada yang ditangkap lebih dahulu, antara lain Abdullah Umar, Abdul Qadir Baraja, Abdullah Sungkar, Hasan Basri, Nuri Suharsono dan masih banyak aktivis senior lainnya.

Penangkapan terhadap mereka yang dicurigai terlibat gerakan Komando Jihad hanyalah satu di antara puluhan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan penguasa militer orba, dan korbannya umat Islam. Ribuan aktifis Islam ditangkap secara sewenang-wenang, disiksa, dipenjara tanpa prosedur, divonis bersalah tanpa landasan hukum. 

Menurut Dr. Busyro Muqoddas, SH: “Ada unsur rekayasa politik dalam kasus Komando Jihad di era Orde Baru yang ditandai operasi intelijen melalui sebuah Operasi Khusus. Selain itu, juga tampak jelas penyalahgunaan aparat militer yang bernaung di bawah Komando Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) di tingkat pusat dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) di tingkat daerah”. 

Kontroversi kisah Komando Jihad di Indonesia dibukukan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas itu, dengan judul Hegemoni Rezim Intelijen: *Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad*. Busyro pernah terlibat langsung mendampingi sejumlah terdakwa yang dituduh melakukan aksi terorisme di era 1970 hingga 1980-an. 

Stigma anti pancasila dan anti pemerintah, memang jualan penguasa dari masa ke masa untuk mengintimidasi lawan politiknya. Dalam perjalanan sejarah, di setiap rezim akan selalu muncul tokoh-tokoh idealis dan kelompok kritis. Mereka lahir untuk meluruskan arah kebijakan penguasa yang salah. Ini terjadi dari zaman Belanda, orde lama, orde baru hingga orde reformasi. 

Sayangnya, kritik rakyat seringkali dituding sebagai upaya menjatuhkan penguasa. Tudingan inilah yang meresahkan masyarakat dan potensial memecah belah persatuan bangsa. Jika kritik itu datang bukan dari kelompok loyalis, dituduh anti pancasila dan anti pemerintah. Sebaliknya, jika kritik berasal dari pendukung, dianggap sakit hati karena tak mendapat posisi. Slogan bela Pancasila dan NKRI, pada gilirannya hanyalah mainan narasi dan provokasi. 

Tindakan represif rezim Orde Baru terhadap para penentang asas tunggal Pancasila mendorong para aktivis Islam, termasuk Jamaah DI/NII hijrah ke Malaysia. 

Pada April 1984, bersama Abdullah Sungkar, dan Abu Bakar Ba’asyir, Abu Jibriel dan rombongan merantau ke negeri jiran, Malaysia. Di Malaysia, Abu Jibriel memilih tinggal di Banting, Selangor Darul Ehsan, bersama istrinya Herlina/Hj Fatimah Zahrah, dan putra pertamanya Muhammad Jibriel Abdul Rahman yang berusia balita. Adik-adik Muhammad Jibriel, kelak juga lahir disini.

Fihiruddin (Abu Jibriel) menikah tahun 1982 dengan seorang gadis asal Banjarmasin bernama Herlina/Hj Fatimah Zahrah. Ia dikaruniai 16 orang putra-putri: Muhammad Jibriel Abdul Rahman, Ahmad Isrofiel Mardlatillah, Zahrotul Ulya, Mikaiel Abdul Rahman, Wardatul Latiefah, Ridwan Abdul Hayyie, Muhammad Raqieb Abdul Qayyum, Ahmad Atied Abdul Quddus, Muhammad Shalahuddin Al-Ayyubi I (meninggal di usia 2th), Muhammad Shalahuddin Al-Ayyubi II dan yang terakhir mengalami keguguran di usia kehamilan 6 bulan. Putra-putri berikutnya adalah Imam Syafi’i, Raudhatul Jannah, Imam Ahmad, Aina Almardhiyah dan Aisyah Ulinnuha.

Sosok Abu Jibriel, yang biasa dipanggil Abah, adalah seorang muballigh yang rajin menyambung silaturahim, sehingga memiliki banyak sahabat dari berbagai kalangan. Dalam perjalanan da’wahnya, ia dikenal sebagai da’i yang konsisten menyerukan kembali kepada hukum Allah, melaksanakan Islam secara kaffah, dan berjihad fi sabilillah untuk membela Islam. Dia orang yang teguh dalam membela dan mempertahankan kebenaran Islam.

Dalam berdakwah, Abu Jibriel dikenal tegas, lugas, dan berani. Dia tidak segan-segan menegur orang-orang yang, misalnya tidak segera menjalankan shalat jika waktu shalat sudah tiba. 

Suatu ketika Abu Jibriel menghampiri sekumpulan tukang ojek yang sedang mangkal di dekat rumahnya. Lalu Abu Jibriel menyuruh mereka segera beranjak ke masjid untuk menjalankan shalat jamaah. Tidak semua mau mematuhi ajakannya, ada juga yang menentangnya. 

Ia juga pribadi yang terbuka, suka berterus terang dalam mengemukakan pikiran-pikirannya. Dalam kuliah umum Majelis Ilmu Ar Royyan, di Masjid Muhammad Ramadhan, Bekasi, Ahad (9/9/2012), Abu Jibriel pernah meluruskan teori konspirasi Jerry D. Gray tentang perstiwa pemboman WTC di Amerika, 11 September 2001.

Menurut Jerry D. Gray tidak ada hijack (pembajakan) terhadap pesawat United Airlines dan gedung WTC mustahil runtuh karena ditabrak pesawat United Airlines.

“1.200 engineer sama architect bawa barang bukti ke Obama, WTC jatuh dari control demolishing, bukan dari kecelakaan pesawat,” kata pria yang pernah menulis buku “The Real Truth 911” ini. 

Namun, Wakil Amir Majelis Mujahidin itu membantahnya dan menjelaskan bahwa Syaikh Usamah bin Ladin telah memberikan perintah kepada Syaikh Abu Hafsh Al-Misri untuk melatih 19 orang pemuda yang kelak menjadi eksekutor dalam aksi istisyhad pada 11 September 2001.

“Data dan fakta yang ditulis oleh pimpinan Al-Qaidah yang sampai kepada kita di sini ditulis Syaikh Usamah bin Ladin memerintahkan kepada Syaikh Abu Hafsh untuk mentraining 19 pemuda untuk menghancurkan WTC dan beliau terus mengikuti pelatihan itu sampai siap untuk diterjunkan ke medan perang dan beliau meminta kepada kaum muslimin agar berdo’a kepada Allah supaya mereka sukses, sasaran mereka tepat, langkah mereka kuat dan memperkuat jiwa mereka. Saudara-saudara kalian telah menjalankan tugas suci menyambut kematian untuk mencari ridha-Nya,” paparnya di hadapan ratusan hadirin.

Dalam pandangan sohib karibnya, Tengku Zulkarnain, Abu Jibriel merupakan sosok yang penuh perhatian semasa hidupnya. Tengku mengenang kejadian pada Musim Haji 2017, ketika Abu Jibriel menyuapi Tengku saat dirinya mengejar khatam Al-Quran di padang Arafah, Arab Saudi.

“Sejak pagi saya sudah tancap gas. Beliau membujuk saya untuk makan siang. Saya katakan saya tidak lapar dan ingin khatam sebelum Magrib. Lalu beliau mengambilkan makanan dan menyuapi saya, ‘Nanti ustaz sakit’,” tulis mantan Wasekjen MUI Pusat itu di akun Instagram miliknya @tengkuzulkarnain.id.

Tengku punya kenangan sendiri dengan Abu Jibriel. “Kenangan paling indah adalah saat kami bersama dalam barisan bela Islam 411 dan 212 bersama Habib Rizieq Shihab, ananda Arifin Ilham, Syekh Ali Jaber dan lain-lain. Saat itu, beliau sempat pingsan tidak sadarkan diri,” kenang Tengku Zulkarnain.

Aksi 411 dan 212 merupakan rentetan unjuk rasa damai jutaan umat Islam yang berkumpul di Monas, Jakarta, memprotes pernyataan eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menghina Islam. Kata Ahok kala itu, “Jangan mau dibohongi ayat Qur’an Almaidah 51”.

Betapapun kita menghias kata, menggambarkan diri seseorang, namun kata-kata bijak dari Ali bin Abi Thalib patut direnungkan, khususnya bagi kita yang masih hidup. “Dirimu yang sebenarnya adalah apa yang kamu lakukan di saat tiada orang yang melihatmu.” 

Berkhidmat di medan jihad Afghanistan

Akhir Desember 1979, tentara merah Uni Soviet mulai menginvasi dan menjajah Afganistan dengan mengirim 75.000 pasukan perang. Untuk mendukung rezim Kabul pimpinan Babrak Karmal yang berhaluan komunis, yang saat itu merasa terancam dengan kekuatan oposisi rakyat Afghanistan. 

Rezim boneka Uni Soviet ini ingin mendirikan rezim komunis dan menghapuskan konstitusi Afghanistan. “Mereka memaksa kami menyanyikan lagu kebangsaan Rusia, mereka memaksa anak-anak muda menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan untuk mendukung Uni Soviet, dan mengikuti pawai nasional. Bahkan, mereka mencoba melarang orang-orang untuk melakukan ibadah, dan melarang kami menghadiri acara-acara keagamaan,” demikian ungkapan rakyat Afghanistan yang dipublikasikan media massa.

Rezim Babrak Karmal yang didukung Uni Soviet ini membantai rakyat muslim, para wanita diperkosa, anak-anak, dan orang tua dibunuh. Mereka menyiksa dan mengkriminalisasi para ulama. Mayoritas rakyat Afghanistan menolak intervensi Rusia yang datang menjajah Afghanistan. Para ulama Afghanistan membentuk front perlawanan mujahidin. 

Dunia Islam bergolak dan menunjukkan solidaritas sesama muslim. Dukungan negeri-negeri muslim nyata, siap mengirim pemuda mujahid untuk berjihad melawan rezim komunis. “Negara manapun yang ingin membantu dalam upaya menjamin keamanan dan perdamaian di Afghanistan, maka kami menyambut baik dan mendukungnya,” kata para tokoh mujahidin.

Para pemuda Islam Indonesia termasuk yang menunjukkan solidaritas yang tinggi untuk memobilisasi kekuatan perlawanan membantu pasukan mujahidin menghalau penjajah Uni Soviet. Salah seorang ulama kharismatik yang berperan besar dalam memobilisasi dana dan massa muslim adalah Ustadz Abdullah Sungkar. Bahkan tak ketinggalan, tokoh Masyumi Mohamad Roem, turut mendukung pejuang Afghanistan dan menyerukan dukungannya lewat Media Dakwah.

“Kami mendukung dengan segala jiwa kami kekuatan-kekuatan di Afghanistan yang melawan agresi Uni Soviet, dan mengulangi bahwa ‘untuk seorang pejuang di jalan Allah, tidak ada akhirnya.” (Mohamad Roem, Intervensi Militer Rusia di Afghanistan, Majalah Media Dakwah Rabiul Akhir 1400 H/ Februari 1980 No. 68, hlm. 27)

Di perbatasan antara Pakistan-Afghanistan didirikan kamp-kamp untuk tempat pelatihan militer para calon Mujahidin. Setelah siap mereka diterjunkan ke medan perang Afghanistan lewat jalur darat. Pakistan juga menyediakan wilayahnya sebagai tempat transit para calon Mujahidin yang datang dari seluruh dunia. Pintu masuk utama yang sangat terkenal karena menjadi tempat lalu lalangnya para mujahidin, bernama Khyber Pass yang berlokasi dekat kota Peshawar.

Awal tahun 1986, Abu Jibriel dan rombongan mujahid melawat ke medan jihad Afghanistan. Dia berangkat dari Malaysia. Di Afghanistan para relawan jihad tak sekadar latihan bertempur melawan tentara mulhid Uni Soviet, ia juga mengikuti “Tarbiyyah Jihadiyyah”, pendidikan jihad di Al-Jamiah Al-Harbiyyah Al-Ittihad Al-Islamiyah. Atau dikenal juga dengan Universitas Jihad, yang diselenggarakan oleh para ulama tsugur, diperbatasan Pakistan dan Afghanistan. Di Akademi inilah Abu Jibriel menimba ilmu dari para ulama mujahidin dan amilin yang berkhidmat mengobarkan Jihad Afghanistan. 

Pergaulannya yang luas dengan para mujahid yang datang dari berbagai negara, selama berada di Afghanistan memberinya lebih banyak kesempatan untuk mendalami seluk-beluk perjuangan menghadapi musuh-musuh Islam. Sehingga memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas menyangkut dakwah dan jihad, khususnya konspirasi musuh-musuh Islam yang hendak menghancurkan Islam dan melemahkan kaum muslimin. Di medan jihad, ia berinteraksi langsung dengan para ulama mujahid seperti Dr. Abdullah Azzam, Syaikh Abdur Rabbi Rasul Sayyaf, Syaikh Musthafa Masyhur, Syaikh Umar Saif dan tokoh-tokoh mujahidin lainnya. 

Pengalaman di medan jihad Afghanistan, dengan menyaksikan langsung pembantaian rakyat muslim yang dilakukan oleh tentara komunis Soviet, menumbuhkan kesadaran baru pada diri Abu Jibriel. Mengapa penindasan terhadap umat Islam di berbagai negara di dunia, selalu dilakukan atas nama kekuasaan negara? Jarang terjadi konflik yang disebabkan perbedaan etnis, suku, atau agama. Itu yang menimpa umat Islam di Palestina, Rohingya, Uighur, Khasmir, dll. Sehingga umat Islam tidak bisa berbuat banyak, hatta untuk membela diri menghadapi ganasnya tentara penguasa.

Abu Jibriel sangat sensitif setiapkali mendengar umat Islam dizalimi. Semangat pembelaannya membara. Serasa tak bisa tidur nyenyak manakala mendengar umat Islam tersakiti. 

Ketika terjadi konflik berdarah di Ambon dan Poso, yang menewaskan ribuan orang. Umat Islam ketika itu sedang melaksanakan Shalat Idul Fitri 1419 H, tanggal 19 dan 20 Januari 1999 M. Tiba-tiba datang orang-orang Kristen menyerang umat Islam, maka banyak jatuh korban tewas, dan banyak pula yang luka-luka. Orang-orang Kristen itu menyerang dalam keadaan mabuk habis minum-minum. 

Akan tetapi pemerintahan Abdurrahman Wahid, kala itu, menganggap remeh peristiwa ini, sehingga tidak segera meredakan situasi. Bahkan Gus Dur berkomentar, korbannya hanya lima orang. Begitu umat Islam menggalang kekuatan untuk membela diri kemudian menyerang kelompok Kristen, justru umat Islam yang dituduh radikal dan intoleran.

Dari Malaysia Abu Jibriel menggalang dana kemanusiaan dan terjun langsung mengobarkan semangat Jihad di Ambon menghadapi kaum intoleran Kristen.

Allah Swt berfirman: 

فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيلًا

“Wahai kaum mukmin, perangilah orang-orang kafir demi membela Islam. Seseorang tidak diberi beban kecuali sesuai kemampuannya. Wahai Muhammad, bangkitkanlah semangat kaum mukmin untuk berperang. Semoga Allah menghilangkan beban penderitaan yang ditimpakan orang-orang kafir kepada orang-orang mukmin. Allah jauh lebih kuat dan lebih kuasa dalam memberikan hukuman kepada orang-orang kafir.” (Qs. An-Nisa’ [4]:84)

Hampir tiga tahun berjuang di medan jihad Afghanistan, Abu Jibriel melanjutkan lawatannya ke India, Pakistan dan Arab Saudi. Di India, ia menemui seorang alim, Allamah Ali An-Nadwi. Sedangkan lawatannya ke Arab Saudi, selama setahun ia mengikuti kuliah mulazamah di Ummul Qura, Makkah Al-Mukarramah, di bawah bimbingan antara lain Syaikh Muhammad Quthb dan Syeikh Sayyid Sabiq, pengarang kitab Fiqih Sunnah yang masyhur itu. 

Pada akhir 1990-an, Abu Jibriel kembali ke Malaysia membersamai keluarga yang sudah cukup lama ditinggal. Selama berada di Malaysia, Abu Muhammad Jibriel aktif sebagai penda’wah bebas dan mendapatkan tauliah dari pihak kerajaan Malaysia. Untuk membiayai hidup keluarganya, ia jualan buku-buku Islam, dan sering dipercaya membawa jamaah haji dan umrah dari Singapura dan Malaysia. 

Setelah dikenal luas sebagai pendakwah bebas selama lebih dari 15 tahun, konspirasi musuh Islam global mulai mencurigai para muballigh yang mengajak berpegang teguh kepada syari’ah Islam, lalu menstigma mereka dengan label radikal, ekstimis, dan teroris. Kegiatan dakwah Abu Jibriel pun tak luput dari stigma negatif ini.

Abu Jibriel, tentu saja menyesalkan penilaian yang selama ini berkembang bahwa jihad itu identik dengan terorisme. “Ini adalah cara untuk memojokkan mujahid Islam yang konsisten membela agamanya,” kata Abu Jibriel dalam diskusi yang diselenggarakan Klub Buku SCTV di Gedung SCTV, Jakarta.

Menurutnya, isu terorisme yang dihembuskan pihak-pihak Islamophobia justru adalah gerakan yang menghalang-halangi perkembangan agama Islam. Islam, kata Abu Jibriel, tak pernah menakut-nakuti. Orang anti-Islam lah yang sebenarnya melakukan teror. Gerakan Jihad mereka sebut amalan yang menakutkan. Syariat Islam dianggap memecah belah bangsa. Gerakan Islam yang hendak membangkitkan supremasi Islam melalui penegakan syariat, diidentikkan sebagai gerakan teroris.

Padahal faktanya, sejumlah syariat Islam sudah menjadi UU dalam konstitusi negara kita. Seperti UU perkawinan, UU peradilan agama dan perbankan syariah. Selain itu, masih ada UU Waris, Wakaf, Zakat dan Hibah yang disahkan oleh pemerintah RI menjadi hukum positif di Indonesia. Tidak ada orang non Islam yang protes, juga tidak ada yang menyatakan keluar dari NKRI karena adanya UU tersebut.

Jadi, penerapan UU yang berpijak pada syariah Islam sama sekali tidak menyebabkan perpecahan. Ini fakta, dan inilah di antara bukti barakahnya syariat Islam. Tidak ada bahaya dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan bahaya pada orang lain. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah Saw:

« لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ »

“La dharara wala dhirara, tidak ada bahaya dalam syariat Islam dan tidak menimbulkan bahaya.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Malik dan Hakim, Shahih)

Ujian di jalan Dakwah

Menjalani kehidupan dunia tak selalu mulus, terkadang harus melewati sejumlah ujian ataupun rintangan. Kuat dan sabar bertahan dalam menghadapi cobaan menjadi salah satu cara efektif untuk istiqamah.

Semasa hidupnya, Abu Jibriel pernah berikrar hendak mewakafkan dirinya untuk dakwah, dan berjuang di jalan Allah. Untuk itu ia berpesan pada keluarga dan ikhwannya: 

“Sebelum melangkah ke medan dakwah dan jihad, kuatkan hatimu dengan ilmu dan amal. Jadikan qiyamullail dan tadarus Al-Qur’an sebagai asupan hati, agar bisa tegar dan istiqamah di medan dakwah dan jihad,” pesannya.

Dalam aktivitas dakwahnya, banyak ujian dan penderitaan yang dialami Ustadz Abu Jibriel dan keluarganya. 

Pada 21 Juni 2001, Abu Jibriel ditangkap aparat keamanan Malaysia ketika memberikan ceramah di Masjid Shah Alam, Selangor. Ia ditangkap berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri, ISA (Internal Security Act), yang mengijinkan penahanan seseorang yang dianggap tersangka tanpa melalui proses pengadialan dan tanpa mengenal batas waktu penahanan. Alasan penangkapan, karena memberikan ceramah agama tentang mati syahid yang dikhawatirkan bisa membuat orang-orang menjadi militan. Ia juga dituduh melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan dalam negeri Malaysia karena aktif dalam Kelompok Mujahidin Malaysia. 

Tuduhan itu ternyata hoax, sehingga akhirnya ia dibebaskan pada 18 Agustus 2003. Namun, tiga hari kemudian, 27 September 2003, ia kembali ditahan di Depo Tahanan Aji, Terengganu oleh pihak imigrasi Damansara, yang langsung mencabut statusnya sebagai ‘penduduk tetap’. Itu artinya, Abu Jibriel hendak dideportasi ke Indonesia. 

Deportasi ke Indonesia dilakukan tergesa-gesa, hanya beberapa jam sebelum Pengadilan Tinggi Malaysia menyidangkan permohonan agar ia dibebaskan. Pengadilan setempat seharusnya mengeluarkan keputusan atas gugatan Abu Jibriel terhadap pihak pengadilan menyangkut dirinya. Tapi sebelum keputusan pengadilan keluar, Abu Jibriel dideportasi duluan ke Indonesia.

Belakangan, melalui peradilan in absentia (pemeriksaan suatu perkara tanpa kehadiran terdakwa) pemerintah Malaysia merehabilitasi nama baik Abu Muhammad Jibriel karena tidak terbukti terlibat dalam kasus terorisme seperti yang dituduhkan.

Hari Jum’at, 14 Mei 2004, pukul 10 pagi, Abu Jibriel diterbangkan ke Indonesia menggunakan pesawat Malaysian Airline System (MAS) bernomor 0711 dengan pengawalan ketat Polis Diraja Malaysia. 

Mengetahui suaminya dideportasi, yang paling kebingungan, tentu saja istrinya Hj Fatimah Zahrah. Bahagia bercampur sedih menggelayuti hatinya. Bahagia karena suaminya akan bebas dan dipulangkan ke tanah air tercinta. Tapi hatinya galau, berfikir akan tinggal dimana di Jakarta. Sementara dia harus memboyong semua putra-putrinya kembali ke Indonesia. Semua proses kepulangannya dilakukan sendiri. 

Sampai di Indonesia, wanita asal Banjarmasin, Kalsel, yang selalu setia mendampingi suaminya dalam suka dan duka selama 37 tahun, masih harus bersabar menunggu putusan pengadilan di Indonesia. Sebab baru saja mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, begitu turun dari pesawat yang membawanya dari Malaysia, Abu Jibriel langsung ditahan oleh aparat kepolisian Indonesia.

Dia dianggap bersalah melanggar Pasal 55 huruf c UU No. 9/1992 tentang keimigrasian, karena memberikan identitas palsu saat membuat paspor di Kantor Imigrasi KBRI Kuala Lumpur pada November 1999. Tanggal 19 Oktober 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman lima bulan lima belas hari penjara, dipotong masa tahanan. Abu Jibriel sendiri tetap beranggapan dirinya tidak bersalah, semua tuduhan itu hanya rekayasa, dan melalui kuasa hukumnya menolak penetapan hukuman tersebut.

Setelah selesai menjalani hukuman penjara, Abu Jibriel bersama keluarganya menetap di Pamulang, Komplek Perumahan Witana Harja Blok C-137, Pamulang, Tangerang Selatan. Sekitar 200 meter dari rumahnya terdapat sebuah masjid Al-Munawwarah. Di masjid ini dia ditunjuk menjadi Imam shalat sekaligus Pembina Masjid Al-Munawwarah. 

Secara berkala, diluar jadual ceramahnya yang padat, Abu Jibriel diberi jadual rutin untuk kajian dan tausiyah kepada jamaah masjid Al-Munawwarah. Dakwah yang disampaikan, rupanya menarik perhatian masyarakat sekitar sehingga jamaah masjid kian bertambah ramai. Kajian dan ceramah Abu Jibriel memiliki ciri khas. Fokus membicarakan tentang jihad dan mati syahid, ilmu dan amal shalih. Ia mahir berbicara hal tersebut secara detail. Semua itu ia tuangkan dalam bukunya yang fenomenal bertajuk, “Karateristik Lelaki Shalih”.

Membaca buku ini, seakan menonton gambar hidup tentang perjuangan para _Lelaki Shalih_ di zaman awal Islam. Kemampuan menghidupkan suasana dunia lama, kemudian menghadirkannya ke dalam situasi modern, dengan maksud menjadikannya sebagai suatu ibrah serta suri tauladan bagi generasi kini dan nanti, agaknya tidak terlepas dari pengalaman hidupnya sendiri. Ia menimba ilmu dari ulama mujahid, dan mengamalkannya di medan jihad. Allah Swt menganugerahkan kepadanya kecerdasan, kuat hafalan, rajin beribadah dan tekun menuntut ilmu.

Akan tetapi, rupanya ada pihak diluar jamaah masjid, yang kurang berkenan dengan tema kajian dan ceramahnya, lalu mereka protes. Suatu saat, sekelompok massa dipimpin Habib Abdurrahman Assegaf mendatangi pengajian rutin, malam Jum’at 20 Agustus 2009, yang digelar Abu Jibriel. 

Massa yang menamakan diri Barisan Muda Betawi ini berniat membubarkan pengajian tersebut karena dianggap menyebarkan paham wahabiyah. Namun, rencana tersebut batal dilaksanakan karena Masjid Al-Munawwarah dan rumah Abu Jibriel dijaga ketat oleh polisi. 

Menurut Habib Abdurrahman Assegaf, yang tinggal tidak jauh dari kediaman Abu Jibriel, mengatakan Abu Jibriel menggeser posisi Ketua DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) Al-Munawwarah. “Sejak saat itu Abu Jibriel menguasai masjid tersebut. Di masjid itu Abu Jibriel kerap memberikan pengajian berisi jihad, pengharaman tahlil serta yasin dan sebagainya,” katanya.

Muhammad Jibriel, anak sulung Abu Jibriel, juga kerap memberi pengajian di Masjid Al-Munawwarah. “Sama dengan bapaknya, ceramah Muhammad Jibriel tidak jauh dari jihad, bid’ah, dan sebagainya,” tambahnya lagi.

Namun pengurus Masjid Al-Munawwarah membantah ucapan sang habib. Dikatakan, sudah lama Abdurrahman ingin menguasai Masjid Al-Munawwarah, tetapi ditolak pengurus masjid. Jadi, apa yang dilakukan itu adalah satu bentuk rekayasa untuk menyingkirkan imam masjid lantaran cemburu”. 

Menyikapi penolakan terhadap dakwahnya, Abu Jibriel tidak marah. Ibarat kata, “jangan menasehati orang bodoh karena dia akan membencimu. Tapi nasehatilah orang yang berakal, niscaya dia akan menurutimu.”

Tidak lama setelah kejadian ribut-ribut di Masjid Al-Munawwarah, kompleks perumahan Witana Harja, Pamulang itu, Selasa 25 Agustus 2009, Muhammad Jibriel, putra sulung Abu Jibriel, ditangkap Densus 88. 

“Saat itu, Jibriel sedang dalam perjalanan ke rumah ayahnya di Pamulang, Tangerang. Di dekat rumah saya lihat kakak saya ditangkap tiga orang berbadan besar. Saya lihat dia diborgol. Kemudian Jibriel dimasukkan ke dalam mobil Honda CR-V silver bernopol B 8190 CX. Mobil itu langsung melesat ke arah Pondok Cabe, Jakarta Selatan,” kata Mikael, adik Muhammad Jibriel usai bertemu Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Nanan Sukarna di kantornya, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa 25/8/2009.

Jibriel diduga menjadi penyandang dana bagi pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarata Selatan, Selasa 11 Mei 2010, terdakwa Muhammad Jibriel mengaku disiksa, bahkan sampai ditelanjangi. 

Penyiksaan yang dilakukan tim Densus 88 itu meninggalkan bekas luka. Selain itu, lanjut Jibriel, tim Densus 88 juga mengancam akan menyebarluaskan gambar telanjang Jibriel jika dia tidak mengaku pernah bertemu dengan Noordin M Top, tersangka teroris pengeboman JW Marriott dan Ritz-Carlton. 

“Saya dibawa ke sebuah ruangan, disuruh buka celana, dan diambil gambar kemaluan saya. Laporan itu dibawa ke penyidik. Kalau tidak mengaku bertemu dengan Noordin, dia bilang, saya akan diekspos ke semua media.” 

“Saya akan disebarkan pernah melakukan hubungan homoseksual. Lalu saya bilang silakan. Demi Allah, saya tidak pernah melakukan. Lalu kepala saya didempetkan ke tembok. Saya pikir itu untuk tekanan. Kalau Anda ingin kebenaran, silakan, jangan saya disiksa-siksa,” tambah Jibriel. 

Seusai mendengarkan pernyataan Jibriel, Ketua Hakim Haryanto, mempertanyakan sikap Jibriel terhadap jihad yang kemudian dijawabnya. “Jihad untuk bom di Indonesia, saya tidak menyetujui karena di Indonesia belum masuk negara konflik. Masih aman. Tapi kalau pengeboman di negara konflik Afganistan saya setuju,” ujarnya.

Muhammad Jibriel Abdul Rahman, pengelola situs arrahmah.com, situs yang menghadirkan berbagai berita internasional, termasuk rubrik khusus terkait jihad di berbagai belahan dunia. Akhirnya divonis lima tahun penjara setelah dia dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus terorisme oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan.

Dalam situasi penuh ujian, Abu Jibriel kerap disudutkan dengan isu terorisme, sekalipun tidak pernah terbukti. Upaya pembunuhan karakter, kadang dilakukan dengan cara-cara tidak manusiawi.

Pernah terjadi, halaman rumahnya dipasangi bom oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tiga ledakan beruntun terjadi di halaman rumahnya pada hari Rabu 8 Juni 2005. Menurut warga, ledakan pertama terdengar sekitar pukul 04.00 WIB. Disusul ledakan kedua beberapa menit kemudian. Ledakan terakhir dengan suara paling keras terjadi sekitar pukul 04.30 WIB. Ledakan terdengar hingga radius dua kilometer. Anehnya, sampai sekarang polisi “belum menemukan” siapa pelakunya.

Pengalaman hidup Abu Jibriel dan keluarganya, penuh suka dan duka. Tapi ia tak pernah mengeluh apalagi menyesalinya. Sebab dia memahami makna firman Allah:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

“Apa saja yang terjadi di bumi dan pada diri kalian, semuanya telah ditetapkan dalam catatan nasib seseorang di Lauhil Mahfuzh sebelum Kami menciptakan makhluk. Sungguh bagi Allah sangat mudah untuk mengetahui setiap kejadian di dunia ini.” (Qs. Al-Hadid [57]: 22-23)

Ia justru bersyukur mendapatkan limpahan rahmat berupa ujian di jalan Allah. Hingga di suatu hari Abu Jibriel dapat kabar melalui SMS. Bahwa puteranya Ridwan Abdul Hayyie, santri Tahfizhul Qur’an ‘Isy Karima, Karanganyar-Surakarta, gugur sebagai syahid di medan jihad. Ridwan terkena serpihan peluru akibat tembakan tank saat bertempur melawan tentara Basyar Asad di kota Idlib, bumi Syam yang diberkahi, pada hari Kamis Jumadil Akhir 1436 H bertepatan dengan 26 Maret 2015 M, ba’da Fajr waktu setempat. 

Hari itu juga, Abu Jibriel mengumpulkan keluarganya dan menyampaikan kabar SMS dari Suriah. “Bergembiralah wahai istriku, dan anak-anakku tersayang. Kabar gembira, ananda tersayang Ridwan Abdul Hayyie telah syahid dalam perang di Idlib,” katanya haru. Alhamdulillah, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!

Lalu, ia pun berkata dengan tegar, “Aku rela serahkan nyawa putraku di jalan Allah, dan aku akan melakukannya hingga putra yang terakhir, insya Allah.”

Sesungguhnya segala musibah yang menimpa, tak lain adalah sarana penggugur dosa seorang hamba. Rasulullah Saw bersabda, yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: 

« ما مِن مُؤمِنٍ و لا مُؤمِنةٍ ، ولا مُسلِمٍ و لا مُسلِمةٍ ، يمرَضُ مرضًا ، إلَّا قصَّ اللهُ بهِ عنهُ مِن خطاياهُ »

“Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Ahmad, hasan shahih)

Akhirnya Allah Swt menyempurnakan takdir-Nya, Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman diwafatkan pada hari Senin (malam Selasa 12 Jumadil Akhir 1442 H/25 Januari 2021 M) di kediaman, Pamulang, Tangerang Selatan, sekitar pukul 23.05 WIB. Dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Babakan, Tangsel.

Oleh : Ustadz Irfan S Awwas

Yogyakarta – Jum’at, 5 Februari 2021

Leave a Comment