Fatwapedia.com – Ini adalah kursi Fir’aun atau lebih tepatnya singgasana kerajaan milik Tutanakhamen; salah seorang raja Mesir yang mati dalam usia sangat muda disebabkan penyakit malaria yang dia derita.
Meskipun masa berkuasanya tidak lama dan ia meninggal pada usia 19 tahun, namun sosoknya dikenal sebagai pewaris tahta ke dinasti ke-18 dari ayahnya Tutakhanaten.
Fir’aun muda ini dikenal sebagai Fir’aun terkaya, disebabkan harta peninggalan yang terkubur bersama muminya dari harta yang tak ternilai harganya, salah satunya kursi berlapis emas. Kebetulan saya pernah beberapa kali menyaksikan langsung kursi tersebut di Museum Egypt Cairo.
Nah, jika sosok Ramses II seringkali dikaitkan dengan perseteruannya dengan Nabi Musa seperti yang dimuat dalam al-Qur’an maupun dalam perjanjian lama, berbeda dengan sosok Tutanakhamen ini memang tidak ada hubungan langsung dengan para nabi atau rasul di masanya.
Meski demikian, al-Qur’an pun tidak pernah secara terang dan detail menyebutkan siapakah sosok penguasa Fir’aun yang berkuasa dan menjadi rivalitas penentang Nabi Musa itu, apakah sosok Ramses II, Ramses I, Manepthah, Tutakhanaten, Tutakhamen, atau nama penguasa Mesir lainnya?
Manakala al-Qur’an menyebut kezhaliman penguasa Mesir terhadap Bani Israel, al-Qur’an hanya menyebut kata yang sangat umum, yakni Fir’aun yang merupakan gelar umum bagi para penguasa Mesir dari dinasti ke dinasti.
Meski demikian, memang tidak ada identifikasi khusus siapa sesungguhnya sosok penguasa Fir’aun yang dimaksudkan oleh al-Qur’an, akan tetapi juga bukan berarti pula sosok Fir’aun-Fir’aun yang tidak berhadapan langsung menjadi rivalitas penentang Nabi Musa atau pembunuh bangsa Bani Israel itu tidak masuk dalam kategori makna hakiki Qur’an dalam mendefinisikan Fir’aunisme secara simbolik.
Salah satu pesan simbolik dalam pengisahan dinasti Fir’aun adalah terkait singgasana kerajaannya. Singgasana dipahami sebagai tempat duduk atau berkuasa bagi seorang pemimpin.
Jika sosok Fir’aun disimbolkan sebagai pusat kekuatan, pemimpin yang lalim, zalim serta otoriter, menolak kebenaran. Maka, kursi disimbolkan sebagai kekuasaan atau jabatan. Dua hal yang lazim terjadi di dunia ini.
Sejak ratusan abad yang lalu, “Kursi Fir’aun” selalu saja diperebutkan hingga kini. Tidak sedikit orang-orang di dunia ini yang berlomba mengejar dan menggapai jabatan dan kekuasaan, tanpa perlu peduli bagaimana cara meraihnya, menghalalkan segala cara asal mendapatkannya.
Mulai ada yang berambisi mulai dari jabatan Ketua RT sampai Menteri hingga Presiden, ada yang haus jabatan dari kepala Kantor sampai ketua Rektor, semuanya diupayakan agar diperoleh meski harus dengan cara-cara yang tidak elegan, bahkan dengan cara memalukan.
Tapi itulah pesona dan godaan “Kursi Fir’aun” yang seringkali membuat kalap mata bagi orang yang tidak mampu membaca pesan-pesan isyarat ayat-ayat al-Qur’an:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ، وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami }. (QS. Yunus: 92)
Bukan sekedar jasad Fir’aun yang diabadikan, bahkan harta peninggalannya, sejarahnya, bahkan namanya. Keabadian macam apa?
Keabadian dalam kehinaan!!
Cukuplah kisah “Fir’aun” dan “Kursi Singgasananya” sebagai itibar dan pengingat bagi kita orang mukmin yang tidak menjadikan pesona dunia sebagai tujuan. Betapa singkatnya perjalanan hidup ini. Betapa hinanya bagi pemuja dunia, jika hidup kita hanya sekedar untuk sebuah kursi.
Hidup tidak sehina itu, kawan!!
Oleh: Tg. Dr. Miftah el-Banjary