Oleh: Muhammad Rivaldy
Fatwapedia.com – Telah kami sampaikan bahwa memperingati maulid merupakan salah satu ekspresi kecintaan ummat Islam terhadap Nabi mereka. Para sahabat [murid Nabi] dan tabi’in, telah mengajarkan kepada kita bahwa mencintai Baginda Nabi bisa ditunjukkan dengan berbagai ekspresi.
Tidak boleh kita katakan: ‘’mencintai Nabi hanya dengan mengamalkan sunnah’’. Betul, mengamalkan sunnah adalah bagian dari wujud kecintaan kita terhadap Nabi. Namun, ungkapan/ekspresi cinta para sahabat justeru tidak sebatas mengamalkan sunnah beliau.
Dan kami mengingatkan kepada saudara seiman kami, untuk tidak melarang sesuatu YANG TIDAK DILARANG OLEH SYARI’AT.
Melarang sesuatu yang boleh, sama buruknya seperti membolehkan sesuatu yang terlarang. Bukan kah Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ
‘’Dan janganlah kalian mengatakan sesuatu yang disebutkan oleh lisan dusta kalian bahwa ‘Ini halal, dan ini haram’ (QS. An-Nahl [16] : 116)
Bukankah tidak terlarang, jika seseorang atau sekumpulan manusia menjadikan moment bulan Rabi’ul Awwal untuk kajian sirah Nabi? Sebagaimana orang-orang biasa menjadikan bulan Ramadhan moment untuk kajian shaum, dan bulan dzulhijjah moment untuk kajian qurban/haji.
Jika menjadikan bulan Rabi’ul Awwal sebagai moment untuk mengkaji sirah terlarang, maka harus dilarang pula adanya kajian shaum di bulan Ramadhan, dan kajian qurban/haji di bulan dzulhijjah.
Padahal, bulan Rabi’ul Awwal adalah moment yang tepat untuk mengkaji sirah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Karena bulan itu adalah bulan dimana Rasulullaah dilahirkan, bulan dimana Rasulullaah hijrah, dan bulan dimana Rasulullaah wafat. Bukan kah itu seperti rekam sejarah perjalanan beliau, dari kelahiran hingga wafat, dan itu tepat di bulan yang sama, yang oleh karena nya cocok untuk mengkaji sirah beliau dari awal hingga akhir?
Dan sebagai wujud kecintaan kita terhadap Nabi, semestinya kita bersemangat dalam mengkaji sirah beliau shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Berbicara tentang kecintaan terhadap Nabi, berikut adalah sebagian gambaran ekspresi kecintaan para sahabat dan tabi’in [murid para sahabat Nabi] terhadap Baginda Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
*Ekspresi-ekspresi kecintaan para sahabat terhadap Nabi*
وَقد وَردت أَحَادِيث كَثِيرَة أَن جمَاعَة شربوا دم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، مِنْهُم أَبُو طيبَة الْحجام، وَغُلَام من قُرَيْش حجم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، وَعبد الله بن الزبير شرب دم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، رَوَاهُ الْبَزَّار وَالطَّبَرَانِيّ وَالْحَاكِم وَالْبَيْهَقِيّ وَأَبُو نعيم فِي (الْحِلْية) . ويروى عَن عَليّ، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ، أَنه شرب دم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، وَرُوِيَ أَيْضا أَن أم أَيمن شربت بَوْل النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، رَوَاهُ الْحَاكِم وَالدَّارَقُطْنِيّ وَالطَّبَرَانِيّ وَأَبُو نعيم، وَأخرج الطَّبَرَانِيّ فِي (الْأَوْسَط) فِي رِوَايَة سلمى امْرَأَة ابي رَافع أَنَّهَا شربت بعض مَاء غسل بِهِ رَسُول الله، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، فَقَالَ لَهَا حرم الله بدنك على النَّار
‘’Dan terdapat riwayat yang banyak bahwasanya sekalangan sahabat telah meminum darah Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. Di antara mereka adalah Abu Thibah Al-Hajjam. Dan seorang budak yang membekam Nabi juga.
Begitu pula Abdullah Ibn Zubair meminum darah Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar, At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Abu Nu’aim di dalam [Al-Hilyah]. Dan diriwayatkan dari ‘Ali bahwasanya ia meminum darah Nabi. Begitu pula diriwayatkan dari Ummu Ayman bahwa ia meminum air kencing Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ad-Daraquthni, dan At-Thabrani, dan Abu Nu’aim. Dan telah mengeluarkan pula At-Thabrani di dalam [Al-Awsath] dalam riwayat Salma, istri Abu Rafi, bahwasanya ia telah meminum air bekas mandi Nabi. Dikatakan kepada Salma : ‘’Semoga Allaah mengharamkan badan mu dari Neraka.’’ (Al-‘Aini, Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 3/35)
Berkata Ibn Sirin :
لَأَنْ تَكُونَ عِنْدِي شَعَرَةٌ مِنْهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
‘’Aku memiliki rambut Nabi lebih aku sukai ketimbang dunia dan seisinya.’’ (Shahih Bukhari, 1/45)
Ingat, ekspresi-ekspresi kecintaan para sahabat dan tabi’in ini bukan perintah dari Nabi secara khusus. Tapi atas dasar inisiatif mereka sendiri.
Mencintai Nabi memang diperintahkan, akan tetapi para sahabat dan tabi’in mengungkapkan kecintaan mereka dengan cara mereka sendiri. Tentu saja ekspresi kecintaan itu maknanya bukan penyembahan kepada Nabi Muhammad.
Pertanyaannya: Bagaimana cara kita mengungkapkan ekspresi kecintaan kita terhadap Nabi? Sedangkan para sahabat dan tabi’in sudah sedemikian luar biasa dalam mengekspresikan kecintaan mereka terhadap Nabi.
Memuliakan kelahiran Nabi ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
Nabi memperingati hari kelahirannya :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ؟ قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ – أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Dan Rasulullaah ditanya tentang shaum hari senin, jawaban beliau : ‘’Itu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari aku diutus sebagai Nabi.’’ (HR. Muslim No. 1162, dari Abu Qatadah Al-Anshari)
Inilah dalil yang sharih [terang benderang] berkenaan dengan peringatan kelahiran Nabi. Meski dengan bentuk yang berbeda, namun esensi nya sama, yaitu dalam rangka memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Perintah memuliakan hari kelahiran Nabi juga menjadi alasan dimuliakannya hari Jum’at.
إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ
”Sesungguhnya diantara hari kalian yang paling afdhal adalah hari jum’at. Di hari itu Adam diciptakan..’’ (HR. Abu Dawud No. 1047. Hadits Shahih)
Sebagaimana hari jum’at dimuliakan sebab diciptakannya Adam, maka hari kelahiran Nabi Muhammad juga merupakan kemuliaan dan wajib dimuliakan.
Bukan kah Rasulullaah adalah Sayyid Bani Adam [tuan mulia di atas seluruh ummat manusia]?
Selain memuliakan waktu kelahiran, terdapat atsar yang menunjukkan bahwa tempat kelahiran Nabi juga dimuliakan.
Lihat bagaimana Makkah [kota kelahiran Nabi] dimuliakan di dalam Islam.
Tatkala Jibril ‘Alayhissalam menyertai Rasulullaah dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, Jibril berkata :
انْزِلْ فَصَلِّ فَنَزَلْتُ فَصَلَّيْتُ. فَقَالَ: أَتَدْرِي أَيْنَ صَلَّيْتَ؟ صَلَّيْتَ بِبَيْتِ لَحْمٍ حَيْثُ وُلِدَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ
”Turunlah. Dan laksanakan shalat!’’ Maka aku [Nabi Muhammad] turun dari bighal kemudian aku menunaikan shalat. Jibril berkata kembali, ‘’Tahukah engkau dimana engkau shalat? Engkau shalat di Betlehem, tempat dimana Isa dilahirkan.’’ (HR. An-Nasa’i No. 450; Al-Bazzar dalam Musnad-nya No. 3484; dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir No. 7142)
Tentu saja kelahiran para Nabi –terlebih kelahiran Nabi Muhammad– merupakan rahmat dan anugerah bagi semesta alam.
Tiada lain itu karena mereka membawa misi mulia mentauhidkan ummat manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
‘’Dan katakanlah : bahwa dengan karunia Allaah serta rahmatnya hendaknya mereka bergembira. Hal itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’’ (QS. Yunus : 58)
Berkata Al-Imam Al-Alusi rahimahullaah :
‘’[fa bi dzalika fal yafrahuu…] ayat tersebut menunjukkan penegasan dan penetapan. Dan telah jelas bahwa ‘’rahmat’’ yang dimaksud di dalam ayat adalah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wasallam.” (Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani, 10/141).
Perkara-perkara baru setelah masa Nabi
Ada banyak perkara baru yang tidak dicontohkan Nabi tapi merupakan perkara yang bermanfaat. Tentu saja yang sesuai dengan syari’at. Bukan dengan melanggar syari’at.
Bukan kah mendirikan pesantren juga tidak memiliki contoh dari Nabi, tapi perbuatan itu bermanfaat bagi ummat dan jelas tidak melanggar syari’at?
Syaikhul Islam Imam Ibn Hajar Al-Asqalani rahimahullaah berkata :
فَمِمَّا حَدَثَ تَدْوِينُ الْحَدِيثِ ثُمَّ تَفْسِيرُ الْقُرْآنِ ثُمَّ تَدْوِينُ الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ الْمُوَلَّدَةِ عَنِ الرَّأْيِ الْمَحْضِ ثُمَّ تَدْوِينُ مَا يَتَعَلَّقُ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَأَنْكَرَهُ عُمَرُ وَأَبُو مُوسَى وَطَائِفَةٌ وَرَخَّصَ فِيهِ الْأَكْثَرُونَ وَأَمَّا الثَّانِي فَأَنْكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ كَالشَّعْبِيِّ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَنْكَرَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَطَائِفَةٌ يَسِيرَةٌ وَكَذَا اشْتَدَّ إِنْكَارُ أَحْمَدَ لِلَّذِي بَعْدَهُ
”Termasuk di antara perkara-perkara yang baru muncul adalah:
1. Kodifikasi [pembukuan] hadits.
2. Kodifikasi tafsir Al-Quran.
3. Kodifikasi masalah-masalah fiqih yang lahir dari pemikiran semata.
4. Kodifikasi perkara-perkara yang berkaitan dengan hati [tazkiyah an-nafs].
Poin no. 1 dulu ditolak oleh Umar (bin Khaththab), Abu Musa dan sejumlah sahabat lainnya. Tapi sebagian besar membolehkan.
Sedangkan poin no. 2 dulu ditolak oleh sejumlah ulama Tabi’in seperti As-Sya’bi.
Sedangkan poin no. 3 dulu ditolak oleh Imam Ahmad dan sejumlah kecil ulama lainnya.
Begitu juga poin-poin setelahnya sangat ditolak oleh Imam Ahmad. (Fathul Bari, 13/253)
Perkara-perkara baru ini diterima sebagian kalangan, ditolak oleh sebagian kalangan yang lain. Semestinya kita menempatkan masalah peringatan maulid ini sebagai masalah khilafiyyah furu’iyyah semata. Tidak boleh membuat kita saling benci dan saling serang.