Mendahulukan Lutut Sebelum Tangan Saat Sujud adalah Pendapat Mayoritas Ulama

Mendahulukan Lutut Sebelum Tangan Saat Sujud adalah Pendapat Mayoritas Ulama


Fatwapedia.com – Pembahasan terkait turun saat sujud, bagian manakah yang pertama kali menyentuh lantai, lutut atau kedua tangan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat dari dua imam madzhab, yaitu madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki. Adapun menurut imam Asy-Syafi’I, apabila turun sujud, maka hendaknya kedua lutut diletakkan terlebih dahulu, baru kemudian diikuti kedua tangan. 

Penjelasan ini bisa kita lihat dalam kitab “Al-Umm” (1/136) beliau -rahimahullah- berkata :

الأم للشافعي (1/ 136)

أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَبْتَدِئَ التَّكْبِيرَ قَائِمًا وَيَنْحَطَّ مَكَانَهُ سَاجِدًا ثُمَّ يَكُونَ أَوَّلُ مَا يَضَعُ عَلَى الْأَرْضِ مِنْهُ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَدَيْهِ ثُمَّ وَجْهَهُ وَإِنْ وَضَعَ وَجْهَهُ قَبْلَ يَدَيْهِ، أَوْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ كَرِهْت ذَلِكَ وَلَا إعَادَةَ وَلَا سُجُودَ سَهْوٍ عَلَيْهِ.

“Ar-Rabi’ telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata : Aku senang untuk seorang mengawali dengan membaca takbir saat berdiri dan turun sujud pada tempatnya. lalu  sesuatu yang dia letakkan pertama kali di atas tanah adalah kedua lututnya, kemudian kedua tangannya, kemudian wajahnya. Jika dia meletakkan wajahnya sebelum dua tangannya atau kedua tangannya sebelum dua lututnya, maka aku membenci hal itu, akan tetapi tanpa ada pengulangan dan sujud sahwi atasnya.”

Dan pendapat ini, merupakan pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama’), yaitu Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata dalam “Majmu’ Syarhul Muhadzdzab” (3/421) berkata :

المجموع شرح المهذب (3/ 421)

مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقَدِّمَ فِي السُّجُودِ الرُّكْبَتَيْنِ ثُمَّ الْيَدَيْنِ ثُمَّ الْجَبْهَةَ وَالْأَنْفَ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالْخَطَّابِيُّ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ أَيْضًا الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ عَنْ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَالنَّخَعِيُّ وَمُسْلِمُ بْنُ بشار وسفيان الثوري واحمد واسحق…

“Madzhab kami (Syafi’iyyah) sesungguhnya dianjurkan untuk mendahulukan kedua lutut di dalam sujud, kemudian kedua tangan, kemudian kening dan hidung. Imam At-Tirmidzi, Al-Khathabi dan mayoritas ulama’ berpendapat dengan pendapat ini. Al-Qadhi Abu Thayyib telah menghikayatkan hal ini dari mayoritas ahli fiqh. Ibnul Mundzir telah menghikayatkan pendapat ini dari Umar bin Al-Khathab –radhiallahu ‘anhu-, An-Nakha’i, Muslim bin Basyar, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq…”

Mereka berdalil dengan sebuah hadits dari sahabat Wail bin Hujr –radhiallahu ‘anhu– beliau berkata :

سنن أبي داود (1/ 222)

838 – حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، وَحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى، قَالَا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: «رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ»

“Aku melihat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum dua tangannya. Dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum dua lutunya.” [H.R. Abu Dawud : 838].

Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (268), Ad-Darimi (1/347) dan selain mereka. Hadits ini kedudukannya diperselisihkan. Sebagian ulama’ menshahihkannya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Sikkin, Ibnu Mulaqqin, dan Ibnul Qayyim. Sedangkan yang lain melemahkannya, seperti At-Tirmidzi, Al-Bukhari, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Hadits ini di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Syarik bin Abdillah An-Nakha’i. Dan beliau seorang rawi yang dhaif (lemah). 

Kesimpulan : hadits ini dhaif (lemah). Dan kami lebih cenderung kepada pendapat yang melemahkannya.

Walaupun sanadnya dhaif, namun maknanya memiliki beberapa murajjih (penguat), diantaranya :

Pertama: Meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan ketika turun sujud, merupakan amaliah para salaf, bahkan diamalkan sejak generasi sahabat. Telah diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab –radhiallahu ‘anhu- :

مصنف عبد الرزاق الصنعاني (2/ 176)

2955 – عَنِ الثَّوْرِيِّ، وَمَعْمَرٍ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، «أَنَّ عُمَرَ كَانَ إِذَا رَكَعَ يَقَعُ كَمَا يَقَعُ الْبَعِيرُ رُكْبَتَاهُ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَيُكَبِّرُ وَيَهْوِي»

“Sesungguhnya Umar (bin Al-Khathab) apabila telah selesai ruku’, beliau jatuh (turun sujud) sebagaimana jatuhnya (menderumnya) onta, dua lututnya (dijatuhkan) sebelum dua tangannya, beliau bertakbir dan turun.” [H.R. Abdurrazaq dalam “Mushannaf” : 2955 – sanadnya shahih].

Apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khathab yang meletakkan kedua lutut beliau sebelum kedua tangan beliau, tentu memiliki sandaran dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Karena sangat tidak mungkin, sahabat sekelas beliau melakukan suatu amalan dalam masalah masalah ibadah, dalam kondisi tidak memiliki sandaran. Walaupun perbuatan ini statusnya mauquf (dari perbuatan Umar), akan tetapi memilki status hukum marfur’ (disandarakan kepada nabi).

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Yasar –radhiallahu ‘anhu– beliau berkata :

مصنف عبد الرزاق الصنعاني (2/ 177)

2958 – عَنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ كَهْمَسٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ، «إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَدَيْهِ ثُمَّ وَجْهَهُ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ رَفَعَ وَجْهَهُ، ثُمَّ يَدَيْهِ، ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ» قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: وَمَا أَحْسَنَهُ مِنْ حَدِيثٍ وَأَعْجِبْ بِهِ

“Beliau, apabila sujud, meletakkan kedua lututnya, kemudian kedua tangannya, kemudian wajahnya. Dan apabila ingin bangkit, beliau mengangkat wajahnya, kemudian kedua tangannya, kemudian kedua lututnya.” Imam Abdurrazaq berkata : “Alangkah bagus dan menakjubkannya hadits ini !”. [H.R. Abdurrazaq dalam “Al-Mushannaf” : 2958- sanadnya shahih].

Bahkan Ibrahim An-Nakha’i –rahimahullah- sampai mengatakan, bahwa seorang yang meletakkan tangannya sebelum lututnya ketika turun sujud, sebagai orang gila. Beliau –rahimahullah– berkata :

مصنف عبد الرزاق الصنعاني (2/ 176)

2956 – عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، فِي الرَّجُلِ يَقَعُ يَدَاهُ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ، قَالَ إِبْرَاهِيمُ: «أَوَيَفْعَلُ ذَلَكَ إِلَّا الْمَجْنُونُ»

“Tidaklah melakukan itu kecuali orang gila.” [H.R. Abdurrazaq dalam “Al-Mushannaf” : 2956].

Kedua: Hadits di atas telah menjadi pendapat dan amalan jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dari masa ke masa. Sebagaimana dinyatakan oleh At-Tirmidzi –rahimahullah- setelah beliau membawakan hadits di atas dalam “Sunan-nya” :

سنن الترمذي ت شاكر (2/ 56)

وَالعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ: يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

“Dan amalan di sisi mayoritas ulama’ di atas hadits ini: mereka berpendapat hendaknya seorang meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan apabila bangkit, mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” [Sunan At-Tirmidzi : 2/56].

Secara umum, pendapat jumhur di atas kebenaran atau minimal lebih dekat kepada kebenaran. Demikian dinyatakan oleh syakhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah-. Mukhalaftul Jumhur (menyelisihi mayoritas ulama’) merupakan perkara yang sangat berbahaya. Karena kebenaran itu lebih dekat bersama mayoritas daripada minoritas. Mengikuti pendapat jumhur ulama’, merupakan perkara yang telah diwasiatkan oleh para ulama’ salaf.

Imam Malik bin Anas –rahimahullah- berkata :

إن حقّا على من طلب العلم أن يكون له وقار وسكينة وخشية، وأن يكون متبعًا لأكثر مَنْ مضى قبله

“Sungguh wajib bagi penuntut ilmu untuk tenang dan punya rasa khosyyah (takut kepada Alloh) serta hendaknya dia mengikuti MAYORITAS (ULAMA’) dari orang-orang yang telah berlalu sebelumnya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari beliau. Simak muqoddimah Al-Mudawwanah].

Merajihkan (menguatkan suatu pendapat) dengan menggunakan indikasi penguat dengan pendapat jumhur, juga merupakan amaliah para ulama’ salaf. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :

قال الشافعي -رحمه الله-: وأحتج بمرسل كبار التابعي إذا أسند من جهةٍ أخرى، أو أرسله من أَخَذَ عن غير رجال الأول ممن يقبل عنه العلم، أو وافق قول بعض الصحابة، أو أفتى أكثر العلماء بمقتضاه.

“Asy-Syifi’i –rahimahullah- berkata : Aku berhujjah/berdalil dengan mursal tabi’in senior apabila diisnadkan (diriwayatkan) dari jalur lain, atau dimursalkan oleh seorang rawi dari selain jalur yang pertama dari orang-orang yang diambil ilmunya, atau mencocoki pendapat sebagian sahabat, atau isinya telah DIFATWAKAN OLEH MAYORITAS ULAMA’”. [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 1/103 dan Ar-Risalah: 462-463].

Hadits mursal sebenarnya termasuk hadits dhoif. Akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya terkadang bisa diterima atau diamalkan jika ada beberapa penguat dari sisi-sisi yang lain, salah satunya bahwa isi hadits tersebut telah menjadi fatwa atau pendapat dari mayoritas ulama’. Ini salah satu metode istidlal (berdalil) di sisi imam Asy-Syafi’i.

Ketiga: Hadits Wail bin Hujr –radhiallahu ‘anhu- memang lemah. Akan tetapi kelemahanannya ringan. Dengan kelemahan yang ringan, telah dikuatkan oleh beberapa perkara yang telah disebutkan di atas.

Adapun Imam Malik bin Anas – rahimahullah- berpendapat bahwa turun sujud dengan mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut. Beliau berdalil sebuah riwayat dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

سنن أبي داود (1/ 222)

840 – حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ»

“Apabila salah seorang dari kalian sujud, janganlah menderum dengan menderumnya onta. Hendaknya dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” [H.R. Abu Dawud : 840].

Jika dilihat sekilas, hadits ini sanadnya shahih. Akan tetapi jika diteliti secara seksama, ternyata hadits ini ma’lul (berpenyakit). Dan hadits yang berpenyakit sanadnya, termasuk kelompok hadits dhaif (lemah). Imam Al-Bukhari –rahimahullah- berkata :

فيه محمد بن الحسن بن زياد, لا أدري أسمع من أبي الزناد أم لا و لا يتابع عليه

“Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang yang bernama Muhammad bin Al-Hasan bin Ziyad. Aku tidak tahu, apakah dia mendengar dari Abu Zinad atau tidak. Dan tidak ada mutaba’ah atasnya.” [At-Tarikh : 1/139].

Imam At-Tirmidzi –rahimahullah- berkata : “Ini hadits aneh. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Abu Zinad kecuali dari jalur ini.” Imam Ad-Daruquthni –rahimahullah- berkata : “Ad-Darawardi telah bersendiri dari Muhammad bin Abdillah.”Hamzah Al-Kinani –rahimahullah- berkata :“Hadits ini munkar.” [sebagaimana dalam “Fathul Bari” karya Ibnu Rajab –rahimahullah– : 7/218].

Selain hadits ini dhaif, tidak ada murajjih (penguat) yang bisa digunakan untuk menguatkannya sebagaimana dalam hadits Wail bin Hujr.

Seandainya kita tetapkan hadits ini shahih, maka bisa dijawab dari dua sisi :

Pertama : Yang dimaksud kalimat “Hendaknya dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”, ini untuk orang yang memiliki udzur (halangan seperti sakit dan yang sejenisnya), janganlah dia menderum seperti menderumnya onta, yaitu dia merendahkan separuh tubuhnya bagian atas dan mengangkat separuh tubuhnya bagian bawah. (membentuk seperti huruf V dibalik). Kesimpulan maknanya, orang yang memiliki halangan (karena sakit atau yang lain) mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya, dan tidak mengangkat bagian belakang tubuhnya dari separuh yang atas. Tapi keduanya direndahkan bersamaan.

Kedua : Yang dimaksud kalimat “Hendaknya dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”, adalah meletakkan kedua tangannya di lututnya, sebelum meletakan lututnya di lantai. Demikian dijelaskan oleh Imam Muhammad Anwar Syah Al-Hindi –rahimahullah- dalam “Al-‘Urfu Asy-Syadzi” (1/274).

Bagaimana pendapat para ulama’ besar salafy? mereka juga mengikuti pendapat Jumhur dalam masalah ini. Diantara mereka, asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz dan asy-syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahumahullah-.

Asy-syaikh bin Baz –rahimahullah- berkata :

مجموع فتاوى ابن باز (11/ 33)

والأفضل أن يقدم ركبتيه قبل يديه عند انحطاطه للسجود هذا هو الأفضل… وهذا هو الصواب

“Yang paling utama, hendaknya seorang mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya ketika akan turun sujud. Ini yang paling utama…. dan ini yang benar.” [Majmu’ Fatawa : 11/33].

Asy-syaikh Ibnu ‘Utsamimin –rahimahullah- berkata :

مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (13/ 171)

وعلى هذا يكون المشروع: أن يبدأ بركبتيه قبل يديه…

“Di atas penjelasan ini, maka yang disyari’atkan hendaknya seorang mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika turun sujud)….” [Majmu’ Fatawa : 13/171].

Kesimpulan:

Ketika turun sujud, yang paling utama adalah mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan, dengan dasar hadits Wail bin Hujr beserta murajjihat (berbagai penguat) yang telah disebutkan di atas. Ini merupakan madzhab Jumhur ulama’ dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sehingga amaliah muslimin di Indonesia sejak dulu dan telah berlangsung selama puluhan tahun yang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika sujud, itu sudah benar. Bahkan mereka telah mengikuti pendapat Jumhur.

Demikian pembahasan tentang bagian mana yang terlebih dahulu diturunkan saat hendak sujud, tangan atau lutut. Semoga dari uraian diatas dapat kita fahami pendapat mana yang dinilai lebih rajih (kuat). Semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum.

Oleh: Ust. Abdullah Al-Jirani

Leave a Comment