Fatwapedia.com – Nafsu itu laksana kuda binal yang harus dikendalikan, sehingga kuda itu dapat berlari dan melompat dengan cepat melompati penghalang dan jurang-jurang maksiat yang berada di depannya.
Mengapa Allah memerintahkan berpuasa di Bulan Romadhon? Secara global Allah SWT menjelaskan agar orang yang beriman menjadi orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa itu seperti apa? Allah SWT menjelaskan secara global dalam Surat Al Baqarah ayat 2-4, yaitu beriman kepada yang ghaib,mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki (berbagi), beriman kepada kitab yang diturunkan kepadanya dan kitab yg telah diturunkan sebelumnya, menyakini adanya kehidupan akhirat.
Dalam Surat Ali Imran ayat 134-135 disebutkan bahwa ciri-ciri orang yang bertaqwa sbb;
1. Mampu menafkahkan sebagian hartanya baik di waktu lapang maupun sempit. (dermawan)
2. Mampu menahan amarah (Sabar).
3. Mampu memaafkan kesalahan orang lain.
4. Jika melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri ingat kepada Allah SWT, lalu (segera) memohon ampun terhadap dosa-dosa yang telah ia lakukan.
5. (Dan) tidak mengulang perbuatan keji, yang telah ia ketahui.
Bila kita telisik dalam perincian sikap orang bertaqwa dalam Surat Al Imran ayat 134-135 tersebut tergambar bahwa inti dari perintah puasa itu sebenarnya sebagai latihan pengendalian sesuatu yang ada dalam diri kita. Begitu pentingnya esensi pengendalian itu sehingga Dia mewajibkan setiap tahun sekali selama satu bulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan.
Saya hendak mengatakan bahwa esensi perintah puasa itu adalah perintah untuk mengendalikan sesuatu yang mana sesuatu itulah yang menyebabkan kita berbuat, berkeinginan bahkan sesuatu itu mengajak kita berbuat baik dan melampaui batas. Bila demikian seharusnya kita sadar bahwa sebenarnya dalam diri ini terdiri dari diri kita dan sesuatu. Ulama mengatakan bahwa sesuatu itu disebut nafsu. Jadi dalam bungkus raga, manusia selalu bersekutu antara dirinya dengan nafsu. Kesadaran inilah sebenarnya yang harus kita pegang terlebih dahulu sebagai seorang hamba di hadapan Robnya. Dari persekutuan ini kita temukan 2 (dua) kondisi amal perbuatan,
1. Amal perbuatan dalam dominasi diri.
2. Amal perbuatan dalam dominasi nafsu.
Bila hari ini kita diperintah berpuasa padahal badan terasa haus maka ketika bertemu minuman segar nafsu meronta mengajak minum, bila kita meminum air tersebut menunjukkan bahwa nafsu lebih mendominasi, namun ketika kita tidak meminumnya dan meneruskan berpuasa maka diri kita yang mendominasi, artinya kita mampu mengendalikan nafsu.
Nafsu itu Laksana Kuda Binal yang Harus Dikendalikan
Nafsu itu laksana kuda binal yang harus dikendalikan, sehingga kuda itu dapat berlari dan melompat dengan cepat melompati penghalang dan jurang-jurang maksiat yang berada di depannya. Dalam perumpamaan ini kita adalah penunggang kuda sedang kuda adalah nafsu. Nafsu yang tidak terkendali laksana kuda binal yang meronta susah dikendalikan. Kebinalan ini dapat tergambar secara ekstrim tatkala dua remaja putra putri yang dimadu cinta hendak melakukan maksiat sebelum terjadi ikatan yang syah, atau pria dan wanita yang telah berumah tangga saat hendak melakukan perselingkuhan. Rasul bersabda;
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barang siapa tidak mempunyai kemampuan (untuk menikah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa akan menjadi peredam baginya.”(HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad)
Meskipun hadist tersebut ditujukan kepada remaja sebelum menikah, namun terkandung makna bahwa pada intinya perintah puasa itu sebenarnya untuk menundukkan kebinalan nafsu yang melekat pada manusia.
Pada kondisi lain ketika manusia telah mampu mengendalikan nafsu ketika datang perintah Allah SWT dia segera melaksanakannya dengan antusias. Inilah sebenarnya tujuan yang hendak dicapai di balik perintah puasa. Jadi perintah puasa pada hakekatnya untuk membentuk manusia cerdik dalam mengendalikan ‘kebinalan’ nafsu menuju keridhaan Allah SWT. Rasul bersabda bahwa,
لا يُؤمِنُ أحَدُكُمْ حَتَى يَكُونُ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِه
“Masih belum sempurna iman seseorang di antara kalian sebelum keinginannya (hawa nafsunya) mengikuti petunjuk yang kusampaikan (HR. Al Baghawi, Tabrizi, Ibn Abu ‘Ashim, Muttaqi Al-Hindiy, Ibnu Hajar dan Al Khatib).2
Demikian sedikit pegangan menjawab pertanyaan mengapa Allah SWT memerintahkan orang yang beriman untuk berpuasa di Bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat. Amiin.
وصلّ الله على سيّدنامحمّدٍ وعلى آله و صحبه وسلّم
Wallahu ‘alamu bishabi.