Gambar hanya ilustrasi |
Oleh: Nur Shadiq Sandimula
Fatwapedia.com – Pada zaman para Shahabat dan Tabi’in dahulu mereka ketika ada permasalahan hukum mereka segera merujuk kepada seseorang yang terpercaya dalam memutuskan suatu hukum, mereka mengunggulkan fatwa orang tersebut dari orang lainnya. Pada zaman tersebut pula ada orang yang tidak membatasi dalam meminta fatwa hanya dari satu orang saja, karena madzhab-madzhab pada saat itu belum terkodifikasi, mereka tidak melihat adanya larangan dalam meminta fatwa kepada setiap orang yang mudah (dijangkau) bagi mereka, meskipun bukan orang yang biasanya mereka mintakan fatwanya.
Pada masa itu belum terdapat kekhawatiran dari orang yang memilih pendapat diantara madzhab-madzhab (pendapat-pendapat) yang berbeda-beda yang sesuai dengan hawa nafsunya, hal tersebut karena masih sulit bagi seseorang yang meminta fatwa untuk mengetahui pendapat orang yang dimintai fatwanya sebelum dia bertanya kepadanya, hal tersebut karena belum adanya kodifikasi madzhab.
Adapun setelah terkodifikasinya madzhab yang empat dengan karakteristik yang khusus, telah dituliskan kitab-kitab tentangnya, dan telah ada baginya madrasah-madrasah yang khusus kepada pengajarannya, maka pendapat-pendapat madzhab-madzhab ini menjadi terkenal di kalangan manusia. Maka apabila dipersilahkan setiap orang untuk memilih dari pendapat-pendapat tersebut sekehendaknya apa dan kapan yang disukainya, hal tersebut akan membuatnya mengikuti hawa nafsunya, tanpa mengikuti syariat.
Dan tidak ada keraguan sama sekali bahwa setiap Fuqaha’ hanya memilih suatu pendapat berdasarkan kuatnya dalil baginya, bukan atas dasar apa yang diinginkan hatinya, maka bagi Mujtahid lainnya boleh memilih atau menolak apa yang dikatakan oleh Mujtahid lain dengan sebab dalil yang lebih kuat baginya dari sumber-sumber penetapan hukum Syariat Islam, akan tetapi orang awwam yang tidak mampu melakukan komparasi atau perbandingan antara pendapat-pendapat ini atas dasar dalil-dalil syariat, sekiranya dipersilahkan baginya untuk mengambil dan menolak apa yang dia kehendaki, maka akan ditakutkan ke atasnya mengambil pendapat-pendapat tersebut apa yang sesuai dengan hawa nafsunya, dan bukan dalil syariat yang menjadi landasan (dalam mengambil) pendapat tersebut.
Selanjutnya, sesungguhnya setiap madzhab ini memiliki struktur susunan yang khusus pada bagiannya, yakni kebanyakan dari masailnya saling terikat dan tersusun satu sama lainnya, maka kalau sekiranya diambil suatu hukum dan meninggalkan hukum lain yang terikat dengannya, akan rusaklah susunan tersebut dan yang terjadi adalah Talfiq tercela yang tidak ada seorangpun yang berpendapat tentang bolehnya model Talfiq tersebut Kesulitan bagi orang awwam yaitu mengetahui perincian-perincian tersebut, kalau sekiranya dibukakan pintu boleh memilih (pendapat) bagi orang awwam, maka akan menghantarkan kepada bentuk anarkisme terhadap hukum-hukum syariat.
Dari sana hajat menuntut untuk bermadzhab dengan satu madzhab tertentu, bukan karena pengikut madzhab tertentu tersebut meyakini imamnya untuk di taati secara prinsipil, melainkan karena ia percaya dengan ilmunya tentang syariat dan dalil-dalilnya jauh lebih banyak dari orang selainnya, atau karena untuk mengenal atau mengetahui madzhab imam tersebut lebih mudah baginya dibandingkan orang selain imam tersebut dari kalangan ashhab madzhab-madzhab.
Dan dengan bermadzhab seperti itu terbentuklah kesepakatan antar manusia dalam mengikut Syariat, tidak mengikuti hawa nafsu dan kegelapan buta pada hal tersebut, karena memilih pendapat para Fuqaha’ dengan berdasarkan keinginan pribadi bukan atas dasar dalil merupakan perkara yang dicela oleh para ulama terdahulu maupun sekarang.
Berkata al-Imam Ma’mar bin Rasyid rahimahullah:
لو أن رجلا أخذ بقول أهل المدينة في استماع الغناء، إتيان النساء في أدبارهن، و بقول أهل مكة في المتعة و الصرف، و بقول أهل الكوفة في المسكر، كان شرّ عباد الله.
Artinya: “Kalau sekiranya seseorang mengambil pendapat penduduk Madinah pada permasalahan mendengar musik, dan menyetubuhi wanita pada duburnya, dan dengan pendapat penduduk Makkah pada permasalahan Mut’ah dan Sharf, dan dengan pendapat penduduk Kufah pada permasalahan sesuatu yang memabukkan, jadilah ia seburuk-buruk hamba Allah”.
Berkata al-Hafizh Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
و نظير هذا أن يعتقد الرجل ثبوت شفعة الجوار إذا كان طالبا لها، و عدم ثبوتها إذا كان مشتريا، فإن هذا لا يجوز بالإجماع، و كذا من بنى على صحة ولاية الفاسق في حال نكاحه، و بنى على فساد ولايته في حال طلاقه، لم يجز ذلك بإجماع المسلمين. و لو قال المستفتي المعين: أنا لم أكن أعرف ذلك، و أنا من اليوم ألتزم ذلك، لم يكن من ذلك، لأنّ ذلك يفتح باب التلاعب بالدين، و فتح الذريعة إلى أن يكون التحليل و التحريم بحسب الأهواء.
Artinya: “Yang serupa hal tersebut yakni seseorang berkeyakinan tentang adanya hak Syuf’ah untuk tetangga apabila dia memintanya, dan mengatakan tidak ada apabila dia sebagai pembelinya, maka hal tersebut tidak boleh secara Ijma’, demikian halnya dengan seseorang yang menganggap sah perwalian fasik pada pernikahannya, dan menganggap fasid pada perceraiannya, hal tersebut tidak boleh menurut Ijma’ kaum Muslimin. Sekiranya seseorang peminta fatwa berkata: “Aku tidak mengetahui hal itu dan pada hari ini aku berpegang dengan pendapat itu, dan tidak lagi dengan fatwa sebelumnya”, maka hal tersebut dapat membuka pintu mempermainkan agama, serta membuka sarana untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu berdasarkan hawa nafsu.”
Menurut al-Imam Syah Waliyullah al-Dihlawi rahimahullah bahwa manusia pada tahun ke 100 dan 200 Hijriyyah belum ada kesepakatan atas melakukan Taqlid kepada salah satu madzhab saja, setelah 200 tahun tersebut muncul pada zaman mereka bermadzhab dengan salah satu Mujtahidnya, dan sedikit saja yang tidak bergantung kepada salah satu madzhab, dan hal tersebut merupakan kewajiban pada zaman tersebut.
Kemudian beliau ditanya, bagaimana bisa sesuatu yang sama dahulunya tidak wajib pada suatu zaman, menjadi wajib pada zaman yang lain, sedangkan syariat itu tunggal? Beliau menjawab bahwa yang wajib pada asalnya adalah ada pada ummat ini orang yang dapat memahami hukum-hukum yang bersifat Furu’ dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Para ahli Haqq telah bersepakat akan hal itu, dan mendahulukan yang wajib merupakan suatu kewajiban, maka apabila dari yang wajib tersebut memiliki jalan yang berbeda-beda, wajib untuk turut pada satu jalan dari jalan-jalan yang ada tanpa mengkhususkannya, dan apabila ia menetapkan satu jalan tertentu baginya, jalan tersebut berjalan sebagaimana kekhususannya, dan berdasarkan hal tersebut yang semestinya analogi tersebut adalah wajibnya bertaqlid kepada salah satu imam yang tertentu, sebab hal tersebut kadang berupa kewajiban dan kadang tidak.
Disebutkan oleh al-Imam al-Muhaddith Waliyullah al-Dihlawi rahimahullah dalam Hujjatullah al-Balighah:
إن هذه المذاهب الأربعة المدونة المحررة قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح ما لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم جدا وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه.
Artinya: “Sesungguhnya madzhab yang empat yang telah terjaga telah sepakat ummat atas kebolehan Taqlid hingga pada zaman kita ini, dalam hal tersebut terdapat mashlahah yang nyata dan jelas terutama pada zaman dimana keinginan (mempelajari ilmu secara mendalam) semakin sedikit sekali, jiwa-jiwa tenggelam dengan hawa nafsu, serta setiap orang merasa bangga dengan pendapatnya sendiri”.
Berkata al-Imam Hakim al-Ummah Asyraf Ali al-Tahanwi rahimahullah:
يجوز في وقت واحد اتباع عدد من العلماء ممن اتفق عليهم، مثلا سأل أحدا مسألة فعمل بها سأل الآخر أخرى و عمل بها، و السلف عموما هكذا كانوا يعملون، فمرة يسألون الإمام أبا حنيفة، و أخرى كانوا يسألون الإمام الأوزعي، و نظراً إلى هذا المنهاج للسلف بعض الناس يقولون: إنه يصح العمل على هذه الطريقة في هذا الزمان أيضاً، و لكن لما أنه قد تغيرت الأحوال و فسدت الإتجاهات و انحرفت العادات و ضيعت الأمانات و اختفى العلم و تعود الناس السهولة و غلب عليهم الجهل و اسنولى عليهم الكسل و انسل منهم الدين و أصبحوا بحيث يرغبون أن يختاروا أيسر الأحكام من سائر هذه المذاهب منعت هذه الحرية المطلقة في التقليد، و حصرت في مذاهب معدودة محدودة في هذه الأربعة، أما الحرية المطلقة التي كانت قد أبيحت للصحابة و التابعين في هذا الزمان فلأنهم كانوا لا يسألون مختلفا من العلماء في مختلف الأوقات إلا ليعملوا بقول هو أقرب الأقوال إلى الدين و الشريعة، و لا يمكن أن نساء فيهم الظنون و ينسب إليهم شيء من الكسل و إتباع الهوى و التساهل و الضعف و اللين في الدين، لأنهم كانوا في القرون المشهود لها بالخير، فقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم)، لهذا الأسباب و الوجوه من الورع و التقى و التخشع لله و لرسوله كانت قد منحت لهم الحرية المطلقة في التقليد، أما الآن فقد بعد الزمان و فشا في الناس الكذب و الفسق و الفجور و مالوا إلى الهوى و اتباع الشهوات، لا يسألون مختلفا من العلماء إلا ليعملوا بما هو أسهل الأقوال و أقربها إلى أغراضهم و اتباع شهواتهم، و أكثر حرية في الدين.
Artinya: “Diperbolehkan pada satu waktu untuk mengikuti beberapa pendapat para imam yang disepakati, seperti dia bertanya kepada salah seorang ulama pada satu masalah kemudian dia beramal dengannya dan bertanya kepada ulama yang lain dan beramal dengannya. Para Salaf secara umum melakukan demikian, saat tertentu mereka bertanya kepada al-Imam Abu Hanifah, pada lain kesempatan mereka bertanya kepada al-Imam al-Awza’i. Melihat cara para Salaf, sebagian orang berkata: “Sesungguhnya sah untuk beramal dengan cara seperti ini juga pada zaman sekarang”.
Namun sejak kondisi telah berubah, orientasi telah menyimpang, kebiasaan telah rusak, amanah telah ditelantarkan, ilmu telah sirna, adanya kemudahan bagi manusia, kejahilan merajalela, kemalasan menguasai, agama telah hilang dari mereka jadilah mereka orang-orang yang lebih menginginkan untuk memilih hukum yang termudah dari madzhab-madzhab ini mencegah mereka dari memperoleh kebebasan mutlak dalam melakukan taqlid, dan madzhab-madzhab ini terhimpun dan terbatas pada empat madzhab.
Adapun kebebasan mutlak dalam bertaqlid yang diperbolehkan bagi para Shahabat dan Tabi’in pada zaman itu, disebabkan mereka bertanya perbedaan di kalangan ulama pada waktu yang berbeda-beda untuk mengamalkan pendapat yang paling sesuai dengan agama dan Syariat. Tidak mungkin kita akan beranggapan buruk kepada mereka, menisbatkan kepada mereka kemalasan atau mengikuti hawa nafsu, bermudah-mudah, lemah, dan lunak dalam beragama, karena mereka termasuk generasi yang dipersaksikan dengan kebaikkan. Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam telah bersabda: “Sebaik-baik generasi adalah zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.”
Disebabkan hal ini, dan berbagai bentuk wara’, ketakwaan, khasyyah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka diizinkan bagi mereka kebebasan mutlak untuk bertaqlid. Adapun zaman ini setelah zaman itu, tersebar dimana-mana dusta, kefasikan, kejelekkan, condong kepada hawa nafsu dan mengikuti syahwat, tidaklah mereka bertanya tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama melainkan mereka akan mengikuti dan beramal dengan pendapat yang paling mudah, paling dekat dengan tujuan mereka, mengikuti syahwat mereka, serta kebebasan pada agama.”
Sekiranya Taqlid tunggal tidak menjadi kewajiban dan keharusan pada zaman ini, maka orang-orang akan mempermainkan agama dan beramal semua darinya sesuai dengan hawa nafsu dan syahwatnya, maka sebagai contoh, apabila salah seorang keluar darah setelah melakukan wudhu’, dia mengambil pendapat madzhab Syafi’i karena bagi madzhab al-Imam al-Syafi’i rahimahullah hal tersebut tidak membatalkan wudhu’ (yakni dengan keluarnya darah), dan meninggalkan beramal dengan madzhab al-Imam Abu Hanifah rahimahullah tentang hal tersebut, karena dalam kondisi tersebut wudhu’ telah batal dengan keluarnya darah menurut pendapatnya, kemudian apabila dia menyentuh istrinya setelah berwudhu’, batal wudhu’ menurut al-Imam al-Syafi’i, dan tidak menurut al-Imam Abu Hanifah, maka dia memilih madzhab al-Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut dan mengesampingkan pendapat al-Imam al-Syafi’i, dan dia tidak perduli apakah dia beramal dengan syariat atau bermain dengannya, hal tersebut merupakan pembeda antara (penyikapan) ikhtilaf orang-orang zaman sekarang dan ikhtilaf orang-orang pada zaman Shahabat dan Tabi’in yang dimana mereka belum butuh kepada Taqlid Syakhshi, karena hasrat dan kecenderungan mereka adalah agama, adapun kita, maka tidaklah kita merasa cukup dengan hal tersebut, karena kecenderungan kebanyakan kita adalah dunia dan harta duniawi yang rendah dan hina, kita telah menjadi hamba daripada kesenangan, kemudahan, hasrat kepentingan, dan hawa nafsu.
Melakukan Taqlid kepada salah satu imam saja bukan merupakan suatu kewajiban pada asalnya, akan tetapi dengannya dimudahkan bagi orang awwam untuk mengamalkan agamanya, kontinyu dalam mengamalkan syariat, serta menjaga dirinya dari mengikuti hawa nafsu dan syahwat, maka ulama mewajibkan hal tersebut (bagi orang awwam) pada zaman ini.
Oleh karena itu, bermadzhab dengan salah satu madzhab tertentu tidak menafikan seorang yang sangat alim (alim mutabahhir yang sangat ketat syarat-syaratnya) mengambil suatu pendapat dengan melihat dalil-dalil hukum dari suatu permasalahan dari madzhab yang lain, bukan atas dasar keinginan nafsu pribadi, melainkan atas dasar dalil yang kuat yang tampak baginya.
Para ulama kami telah menerangkan bahwa Taqlid kepada salah satu madzhab tertentu bukan merupakan hukum syariat secara esensial, hal tersebut hanya berupa fatwa yang dikeluarkan dalam rangka mengorganisir urusan-urusan agama dengannya, dan untuk menghindari dari apa yang ditakutkan berupa mafsadat atau kerusakan mempermainkan agama dan mengikuti hawa nafsu.
Al-Imam Syaikh al-Hind Mahmud al-Hasan rahimahullah berkata:
إن تقليد مذهب معين ليس حكما شرعيا في نفسه، و لكنه فتوى أصدرت لتنظيم به أمور الدين.
Artinya: “Sesungguhnya Taqlid kepada satu madzhab tertentu bukan merupakan hukum syariat pada esensinya, akan tetapi merupakan fatwa yang dikeluarkan dalam rangka mengorganisir urusan agama dengannya”.
Dan dari konsekuensi-konsekuensi pendapat tersebut, yang dimana apabila aman daripada mengikuti hawa nafsu, maka tidak mengapa mengambil pendapat yang merupakan pendapat yang lebih rajih secara dalil bagi seorang alim yang ahli untuk menganalisa dalil-dalilnya.
Al-Imam al-Faqih Abu Syammah al-Maqdisi rahimahullah menyebutkan:
ينبغي لمن اشتغل بالفقه ألا يقتصر على مذهب إمام معين، بل يرفع نفسه عن هذا المقام، و ينظر في مذهب كل إمام، و يعتقد في كل مسألة صحة ما كان أقرب إلى دلالة الكتاب و السنة المحكمة، و ذلك سهل عليه، و إذا كان قد أتقن معظم العلوم المتقدمة (اي علوم الإجتهاد)، و ليتجنب التعصب و النظر في طرائق الخلاف المتأخرة، فإنها مضيعة للزمان و لصفوه مكدرة.
Artinya: “Sepatutnya bagi siapa yang berkecimpung dalam Fiqh untuk tidak membatasi kepada satu madzhab imam tertentu, bahkan dia harus meningkatkan dirinya dari posisi tersebut, dan melihat pada madzhab setiap imam, dan berkeyakinan dalam setiap hukum sebagai hukum yang sah yang lebih dekat kepada dalil al-Kitab dan al-Sunnah, hal tersebut dapat mudah baginya, dan apabila dia telah menjadi mampan pada kebanyakkan ilmu mutaqaddimah (yakni ilmu-ilmu ijtihad), hendaklah dia menjauhi fanatik dan melihat poin-poin perselisihan lama, karena hal tersebut menghabiskan waktu dan menyusahkannya.”
Berkata al-Imam al-Faqih al-Syaikh Rasyid Ahmad al-Gangohi rahimahullah:
إن الفقهاء منعوا العامة من التقليد غير الشخصي بسبب هذه. و لكن العالم الذي يأمن من هذه المفاسد، فإنه يجوز له التقليد غير الشخصي اليوم أيضاً، بشرط أن لا يُحْدِثَ ذلك بلبلة و اضطرابا في العامة.
Artinya: “Sesungguhnya para Fuqaha’ telah melarang orang-orang awwam dari Taqlid ghayr Syakhshi (yaitu bertaqlid kepada suatu madzhab pada suatu permasalahan dan taqlid kepada madzhab lain pada permasalahan yang lain/taqlid muthlaq) dengan sebab tersebut (yaitu mafsadat/kerusakan). Akan tetapi orang alim yang aman dari kerusakan-kerusakan ini, maka boleh baginya bertaqlid ghayr syakhshi pada saat ini, dengan syarat tidak membicarakannya yang dengannya terjadi kegelisahan, dan kebingungan bagi orang-orang awwam.
Maka telah jelas bahwa tidaklah seseorang bermadzhab dengan suatu madzhab tertentu atau Taqlid kepada salah satu Mujtahid melainkan agar dapat sampai kepada apa yang ditetapkan berdasarkan hukum-hukum syariat dari al-Kitab dan al-Sunnah bagi siapa yang tidak mampu untuk menyelaraskan dalil-dalil yang bertentangan tersebut. Oleh karena itu para ulama telah menjelaskan bahwa tidak diperlukan Taqlid pada perkara Aqidah, hukum-hukum nash yang sifatnya Qath’i, seperti wajibnya shalat, puasa, zakat, dan haji, haramnya khamr, babi, riba, berdusta, dan khianat, dari hukum-hukum yang bukan ranah ijtihad, dan teks-teksnya tidak mengandung lebih dari satu makna.
Walhasil, kita dapat menggabungkan kedua pendapat para ulama yang mengatakan wajib untuk mengikuti salah satu madzhab dan pendapat yang mengatakan tidak wajib, bahwa secara asal memang tidak wajib untuk bertaqlid kepada salah satu madzhab tertentu, akan tetapi melihat hajat pada kondisi zaman yang telah berubah kearah yang semakin buruk, maka para ulama menetapkan kewajiban bagi orang awwam untuk bertaqlid hanya kepada salah satu madzhab saja, dengan demikian keburukan bisa terhalang dengannya.
Wallahu a’lam bi al-shawwab.