Mengenal Hakikat Hawa Nafsu, Pengertian, Pembagian, Bahaya dan Solusinya

Mengenal Hakikat Hawa Nafsu, Pengertian, Pembagian, Bahaya dan Solusinya

Fatwapedia.com – Dalam diri manusia senantiasa ada nafsu. Nafsu merupakan hal yang terpenting dalam diri manusia. Pasalnya, jika manusia itu tidak memiliki nafsu, maka manusia itu akan loyo alias tidak semangat. Jadi, manusia bisa bergerak dan melakukan aktivitasnya itu karena gerak dari nafsu. Namun nafsu bisa menjadikan pada  unsur yang positif dan negatif dalam tubuh setiap manusia. Oleh karena itu perlu mengkaji lebih dalam mengenai hawa nafsu.

Dalam bahasa keseharian kita mengenal istilah “hawa nafsu”. Yang dirangkai dari dua kata yakni “Hawa” dan “Nafsu”. Istilah ini telah lumrah kita sebut dalam percakapan sehari-hari. Namun demikian, jika dirujuk ke dalam  kaidah bahasa Arab, ternyata padanan istilah ini kurang tepat. Antara hawa dan dan nafsu adalah dua kata yang sama sekali berbeda. Secara sederhana “hawa” pegertiannya adalah keinginan, kehendak atau hasrat. Istilah “hawa” ini lebih identik dengan istilah “syahwat”. Sedangkan nafsu secara sederhana artinya adalah “jiwa” atau “diri” manusia.

NAFSU= diri-sendiri-secara-mutlaq

HAWA= keinginan-keinginan

HAWA NAFSU = keinginan diri

Pengertian Hawa Nafsu

Menurut bahasa (lughawiy) “al-hawâ” pengertiannya antara lainnya adalah “Saqatha min ‘ulwin” (terjatuh dari atas ke bawah); “al-Mailu” (keinginan dan kesenangan); dan “al-Hubb” (cinta).

Hawa menurut terminologi maknanya adalah condong kepada sesuatu baik itu suatu kebaikan ataupun keburukan, condongnya jiwa untuk mengikuti sebuah keinginan. Hawa juga bisa dimaknai dengan hawa nafsu, yaitu kemauannya.

Firman Allah:

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya Telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (QS. An-Najm: 23)

Nafsu secara etimologi berarti jiwa. Adapun nafsu secara terminologis adalah dorongan-dorongan alamiah manusia yang mendorong pemenuhan kebutuhan hidupnya. 

Sedangkan dalam bahasa arab digunakan Istilah nafs, kamus al-Munjid nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri). Sedangkan dalam kamus al- Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh).

Adapun pengertian hawa nafsu adalah sesuatu yang disenangi oleh jiwa kita yang cenderung negatif baik bersifat jasmani maupun nafsu yang bersifat maknawi.

Nafsu yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang berkaitan dengan tubuh kita seperti makanan, minum, dan kebutuhan biologis lainnya,

Nafsu yang bersifat maknawi yaitu, nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan rohani seperti, nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, paling pinter, paling berperan, paling hebat, nafsu ingin disanjung dan lain-lain. Hawa nafsu inilah yang mengakibatkan pengaruh buruk / negatif bagi manusia.

Penyebutan Nafsu Dalam Al-qur’an

Di dalam al-Qur’an terdapat 140 ayat yang menyebutkan nafs, dalam bentuk jama’nya nufus terdapat 2 ayat, dan dalam bentuk jama’ lainnya anfus terdapat 153 ayat. Berarti dalam al-Qur’an kata nafs disebutkan sebanyak 295 kali. Kata ini terdapat dalam 63 surat atau 55,26% dari seluruh jumlah surat yang terdapat dalam al-Qur’an, yang terbanyak dimuat dalam surat al-Baqarah (35 kali), Ali Imran (21 kali), al-Nisa’ (19 kali), al-An’am dan al-Taubah (masing-masing 17 kali, serta al-A’raf dan Yusuf (masing-masing 13 kali) yang semuanya mencakup 48 % dari frekuensinya penyebutan total.

Perkataan Salaf Tentang Nafsu

‘Abdullooh bin ‘Abbas (Ibnu ‘Abbas) رضي الله عنه,  seorang shohabat. Beliau adalah sepupu dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.  Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه  mengatakan: “Hawa (Hawa Nafsu) adalah ‘tuhan’ yang diibadahi (disembah) selain Allooh سبحانه وتعالى.”  Beliau mengambil dasar dari Surat Al Jaasiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allooh membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya*, dan Allooh telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allooh (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Perkataan Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه,  menjelaskan tentang bahayanya Hawa Nafsu. Dalam kitab ‘Aadaabud Dunya wad Diin karya Imam Al Mawardi, disampaikan bahwa Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه berkata: “Aku takut kalian ditimpa dua perkara, yaitu mengikuti hawa nafsu dan panjang harapan (panjang angan-angan, ingin hidup selamanya). Sesungguhnya orang yang mengikuti hawa nafsu akan menghalangi sampainya kebenaran.”

Yusuf bin Asath Rahimahullah berkata :

“Diciptakannya hati itu sebagai tempat berdzikir, kemudian jadilah sebagai tempat syahwat. Tak ada yang mampu menghilangkan syahwat kecuali ketakutan yang menimpa atau kerinduan yang mengguncang.” (Tahdzib Siyar A’lam An-Nubala, II/702)

Sufyan bin Uyainah Rahimahullah berkata :

“Barangsiapa yang bermaksiat karena memenuhi hawa nafsunya, maka suruhlah ia untuk bertaubat. Sesungguhnya Nabi Adam bermaksiat dikarenakan mengikuti hawa nafsunya, maka diampuni oleh Allah dosanya. Namun barangsiapa yang bermaksiat karena sombong, maka ancamlah pelakunya dengan laknat Allah kepadanya. Karena sesungguhnya iblis bermaksiat karena kesombongannya, maka iapun dilaknat oleh Allah.” (Shifatu Ash-Shafwah, II/232)

Asy-Sya’bi Rahimahullah berkata :

“Sesungguhnya dinamakan hawa nafsu dengan ahwa (terjerumus) dikarenakan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.” (Tanbihu Al-Ghafilin, 261)

As-Suffah Rahimahullah berkata :

“Jika kemampuan seseorang (dalam menahan syahwatnya) besar, maka akan melemahlah syahwat tersebut, kecuali dalam hal-hal yang sudah menjadi haknya. Sabar adalah sebuah kebaikan terhadap sesuatu yang menghancurkan agama dan menghinakan penguasa (yang shalih).” (Tahdzibu Siyaru Al-A’lam An-Nubala, II/520)

Tafsiran Ulama Tentang Hawa Nafsu

Pertama, Imaam Aal Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat, beliau mengartikan bahwa “Hawa Nafsu” adalah kecenderungan jiwa kepada kelezatan yang dirasakan oleh syahwat tanpa seruan / ajakan / landasan ajaran Syar’ie. Maka kalau kita terkondisikan oleh sesuatu yang bukan Syar’ie, yang dibuktikan secara ilmiah bahwa itu tidak ada argumentasi syar’ie-nya tetapi terus saja memaksakan untuk dikatakan / dikerjakan, maka itu berarti Hawa Nafsu.

Kedua, secara bahasa, Ibnu Mandzuur dalam Kamusnya (Ensiklopedi Bahasa Arab terluas), beliau berkata: “Hawa nafsu adalah cinta manusia terhadap sesuatu dan mampu mengalahkan qolbu (hatinya). Hatinya kalah dengan kecintaannya terhadap sesuatu. Kalau seseorang mencintai atau menggandrungi sesuatu dan tidak bisa terkalahkan serta cintanya itu mendominasi, sehingga ia tidak bisa diingatkan atau diberitahu, berarti itu adalah Hawa Nafsu.”

Ketiga, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaani dalam kitab Fathul Baari menjelaskan bahwa “Hawa Nafsu” adalah apa-apa yang dicintai oleh jiwa, dan syahwat sangat merasakan lezatnya, meskipun itu menyelisihi kebenaran dan keadilan. Sampai-sampai ia buta dan tidak peduli apakah perbuatannya itu benar atau salah. Meskipun itu perbuatan dzolim, tetap dilakukannya. Orang yang demikian itu adalah pengikut Hawa Nafsu.

Keempat, Imaam Al Maawardi dalam kitab ‘Adaabud Dunyaa wad Diin, beliau mengatakan dalam bentuk kalimat yang puitis: “Hawa Nafsu adalah sesuatu yang menghalangi kebaikan, terhadap akal ia bertolak belakang. Hawa adalah menghasilkan akhlaq yang buruk. Hawa menampakkan keburukan. Hawa membuat tabir kebaikan seseorang terobek. Hawa merupakan pintu masuk kejahatan.

Macam-macam Nafsu Dalam Diri Manusia

1. Nafsu Amarah

Nafsu manusia yang terendah tingkatannya, dimana orang termasuk di dalam golongan ini adalah orang yang sangat jelek sifat dan wataknya.

Ciri-ciri : Gampang tersinggung, Selalu marah-marah, tidak mau kalah,dendam, ringan tangan, nafsu biologis yang tidak terkendali, tdk ada rem dalam dirinya (norma /etika). (Qs: Yusuf, 10, ayat: 53)

2. Nafsu Lawwamah

Setingkat lebih baik daripada nafsu amarah, namun dia belum stabil betul, karena terkadang dia kembali kepada tingkat nafsu amarah.

Ciri-ciri : Tidak stabil, setelah menjadi baikbahkan mengajak orang untuk baik pula, setelah ada ujian /godaan sedikit saja masih kembali ke asal (maksiat)/ tdk sabar. (Qs: Al-Qiyamah,75, ayat:2)

3. Nafsu Mulhimah

Telah cukup mengetahui tentang kebenaran (haq) dan Kesalahan(Bathil), namun belum mampu untuk melaksanakannya denganbaik, dikarenakan kelemahannya.

Ciri-cirinya : telah mengetahui kebathilan/kemaksiatan tapi tetap saja melakukannya dengankesadaran, telah mengetahui kebenaran tapi tidak ada kemauan utk melaksanakannya. (Qs: Asy-Syam,91, ayat: 8)

4. Nafsu Muthmainah

Tingkatan ini adalah orang yang telah dijanjikan Allah SWT untuk masuk ke dalam syurga-Nya (Al-Jannah).

Ciri-cirinya : Jiwa tenang, kembali kpd Rabbnya dgn hati yang puas,kepribadian yang mantap mengerjakan perintah Allah,meninggalkan larangan, tidak mudah terpengaruh, Istiqamah.(Qs: Al-Fajr,89, Ayat: 27-30)

5. Nafsu Radhiah

Tingkatan ini berada setingkat diatas nafsu Muthmainah, ditambah dengan rasa ikhlas dan penyerahan total kepada AllahSWT, kesusahan/musibah/tantangan menjadi sangat  nikmat baginya.

Ciri-ciri : penuh dengan ketaqwaan, menerima segala ujian, musibah,tantangan dgn keikhlasan danpenuh kesabaran (tidak lemah, tidak lesu dan tidak menyerah). (Qs:Al-Baqarah 2/45 & AliImran, 3/146).

6. Nafsu Mardhiah

Tingkatan ini beradan setingkatlagi di atas Nafsu Radhiah,Sesuatu yang sunnah menjadi wajib dan yang subhat menjadi haram.

Ciri-cirinya : Semua yang dimiliki padatingkatan nafsu Radhiah ditambah mempunyai daya Amalma’ruf nahi munkar sejati, menjadi pemberi peringatan danberita gembira. (Qs: Ali Imran,3/104 & 19/97).

7. Nafsu Kamilah

Tingkatan nafsu yang sempurna,ini hanya dimiliki oleh setingkatNabi-nabi dan Rasul-rasul.(penyerahan diri secara totalitaspengabdian kepada Allah)

Ciri-ciri : Sifat Nabi / Rasul : Siddiq (jujur/­benar), amanah (dipercaya) Fathonah (cerdas), Tabliq (menyampaikan). (Qs: AliImran,3/110, 33/21)

SEBAB-SEBAB ITTIBAUL HAWA (MENGIKUTI HAWA NAFSU)

Tidak biasa mengendalikan diri sejak kecil.

Bergaul dan berteman dekat dengan orang yang suka  mengikuti hawa nafsu.

Lemahnya makrifah (pemahaman) kepada Allah dan hari akhir.

Allah Berfirman: katakanlah: “ Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang–orang yang tidak berpengetahuan?” Dan sesungguhnya telah di wahyukan kepadamu dan kepada (nabi–nabi) yang sebelummu: “jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang–orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang–orang yang bersyukur”. Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggamannya. maha suci Tuhan dan Maha tinggi dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. 39: 64-67).

Kelengahan orang lain dalam menjalankan kewajibannya. Allah berfirman: Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang má’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang – orang yang beruntung. (QS.  3:104).

Cinta dunia dan lupa akhirat.

Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan ( tidak percaya akan ) pertemuan dengan Kami , dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan itu dan orang – orang yang melalaikan ayat – ayat kami, mereka itu ialah tempatnya neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. ( QS.  10: 7-8 ) dalam sebuah hadist Rasullullah bersabda: Orang yang cerdik adalah orang yang merendahkan diri dan bekerja untuk hari setelah mati. Orang lemah adalah yang senantiasa mengikuti hawa nafsu dan selalu berharap pada selain Allah.

Tidak tahu akan akibat mengikuti hawa nafsu.

DAMPAK MENGIKUTI HAWA NAFSU

1. Berkurang dan terkikisnya ketaatan.

2. Hati berpenyakit, mengeras dan kemudian mati. Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya seorang mukmin jika berbuat dosa, akan terjadi titik hitam dalam berkalbunya, jika beristigfar dan bertobat, hatinya kembali cemerlang, jika dosanya bertambah, bertambah pula titik hitam tersebut sehingga menutupi hatinya, itulah Ar-Ron”  yang disebut oleh Allah dalam firmanNya (Akan tetapi hati mereka telah menjadi karatan disebabkan perbuatan yang mereka lakukan) ( HR. Ibnu Majah ).

Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda:  Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan pada harta kalian akan tetapi Allah melihat pada hati dan perbuatan kalian (HR. Muslim).

3. Menganggap remeh akan dosa – dosa.

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seorang mukmin dalam melihat dosanya, bagaikan seorang yang duduk di bawah gunung yang takut akan kejatuhan sesuatu, dan seorang pendosa dalam melihat dosanya, bagaikan lalat yang hinggap dimukanya, kemudian di usir begitu saja”.( HR. Bukhori).

4. Tidak bisa menerima nasehat.

Allah berfirman: Maka jika mereka tidak menjawab  (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka ( belaka ). Dan siapakaya  yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk  kepada orang – orang yang Zalim. ( QS. 28:50 )

5.  Bumi, langit dan isinya akan menjadi rusak.

Allah  berfirman “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasa lah langit dan bumi ini dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur’an), akan tetapi mereka berpaling darinya.” – QS Al Mu’minuun ayat 71

6. Kesesatan akan menyelimuti mereka 

Allah berfirman: “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan (hawa nafsu) mereka belaka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginan (hawa nafsu)-nya tanpa mendapat petunjuk dari Allooh sedikit pun? Sungguh, Allooh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.” Al Qoshos ayat 50:

TERAPI HAWA NAFSU

Pertama: Tekad membara yang membakar kecemburuannya terhadap dirinya sendiri.

Kedua: Seteguk kesabaran untuk memotivasi dirinya agar bersabar atas kepahitan yang dirasakan saat mengekang hawa nafsu.

Ketiga: Kekuatan jiwa untuk menumbuhkan keberaniannya meminum seteguk kesabaran itu. Karena hakikatnya keberanian itu adalah sabar barang sesaat! Sebaik-baik bekal dalam hidup seorang hamba adalah sabar.

Keempat: Selalu memperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang didapat dari seteguk kesabaran.

Kelima: Selalu mengingat pahitnya kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa nafsu.

Keenam: Kedudukan dan martabatnya di sisi Allah dan di hati para hamba-Nya lebih baik dan lebih berguna daripada kelezatan mengikuti tuntutan hawa nafsu.

Ketujuh: Hendaklah lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan kemuliaannya daripada kelezatan maksiat.

Kedelapan: Hendaklah bergembira dapat mengalahkan musuhnya, membuat musuhnya merana dengan membawa kemarahan, kedukaan dan kesedihan! Karena gagal meraih apa yang diinginkannya. Allah ta’ala suka kepada hamba yang dapat memperdaya musuhnya dan membuatnya marah (kesal).

Kesembilan: Senantiasa berpikir bahwa ia diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu. Namun ia diciptakan untuk sebuah perkara yang besar. Perkara yang tidak dapat diraihnya kecuali dengan menyelisihi hawa nafsu.

Kesepuluh: Janganlah sampai hewan ternak lebih baik keadaannya daripada dirimu! Sebab dengan tabiat yang dimilikinya hewan ternah tahu mana yang berguna bagi dirinya dan mana yang berbahaya. Hewan ternak lebih mendahulukan hal-hal yang berguna daripada hal-hal yang berbahaya. Manusia telah diberi akal untuk membedakannya. Jika ia tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang berbahaya atau ia mengetahui namun lebih mendahulukan yang membahayakan dirinya maka jelas hewan ternak lebih baik daripada dirinya.

Kesebelas: Hendaklah ia selalu mengajak hatinya berdiskusi tentang akibat memperturutkan hawa nafsu. Mengajaknya untuk memperhatikan berapa banyak nilai keutamaan yang terluput akibat perbuatan maksiat. Betapa sering ia tergelincir ke dalam jurang kehinaan akibat perbuatan maksiat. Barapa banyak kelezatan terlarang yang menyebabkan dirinya tidak dapat merasakan berbagai jenis kelezatan lainnya. Berapa banyak tuntutan syahwat yang merusak kehormatan, menjatuhkan wibawa, merusak nama, dan aib yang tidak dapat dicuci dengan air sekalipun, sebabnya tidak lain mata hati pengikut hawa nafsu itu telah buta.

Keduabelas: Hendaklah akal sehat kita membayangkan akibat yang ditimbulkan setelah memperturutkan hawa nafsu. Kemudian hendaklah dibayangkan pula untung rugi yang diterimanya setelah memuaskan tuntutan hawa nafsunya.

Ketigabelas: Hendaklah ia benar-benar membayangkan hal itu terjadi pada orang lain, kemudian mencoba ia bayangkan bila hal itu menimpa dirinya. Karena dua hal yang sama pasti akan merasakan akibat yang sama pula.

Keempatbelas: Hendaklah ia mencermati apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya itu. Tanyakanlah kepada akal sehat dan ajaran agama, keduanya pasti mengatakan: “Tinggalkanlah! Hal itu tidak membawa manfaat.”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:إِذَا أَعْجَبَ أَحَدُكُمْ امرأةٌ فليذكر مَنَاتنها

“Jika kalian takjub (terpesona) melihat seorang wanita maka ingatlah keburukannya.”

Kelimabelas: Hendaknya selalu menamakan dalam dirinya kehinaan mengikuti hawa nafsu. Karena setiap orang yang mengikuti hawa nafsu pasti hina. Janganlah terpedaya dengan keangkuhan dan kseombongan para pengikut hawa nafsu, sebab secara batin mereka adalah manusia yang paling hina. Mereka telah mengumpulkan dua hal; (1) Kesombongan dan (2) Kehinaan.

Keenambelas: Hendaklah ia membandingkan antara kesucian agama, harga diri, harta dan kehormatan dengan kenikmatan sesaat yang dirasakannya. Ia pasti melihat perbedaan yang amat mencolok antara keduanya. Maka hendaklah ia ketahui bahwa manusia yang paling bodoh adalah yang mau menjual agama, harga diri dan kehormatan dengan kenikmatan sesaat.

Ketujuhbelas: Hendaklah ia selalu menanamkan dalam dirinya agar jangan berada di bawah kendali musuhnya. Sebab jika setan melihat lemahnya azam(tekad kuat) seorang hamba, lemah motivasinya, condong kepada hawa nafsu, maka setan berusaha mengalahkan dan menguasainya lalu setan mengekangnya dengan tali kekang hawa nafsu dan menggiringnya ke arah mana saja yang dikehendakinya.

Kesimpulan

Hawa nafsu adalah kecenderungan alamiah terhadap sesuatu yang sesuai dengannya seperti ada kecenderungan untuk makan, minum, menikah dll. Hawa nafsu merupakan keperluan bagi manusia karena sesuai dengan apa yang diinginkannya, sebagaimana amarah yang merupakan wujud penolakan terhadap sesuatu yang menyakitkan. Oleh karena itu hawa nafsu tidak layak untuk dicela dan dipuja secara mutlak, sebagaimana halnya amarah. Yang dicela adalah yang berlebih-lebihan pada keduanya demi memperoleh manfaat dan demi mencegah mudarat. Memposisikan kekuatan hawa nafsu secara bijak dari segala sisi jarang sekali mampu dilakukan orang-orang kecuali hanya segelintir saja dari mereka yang merupakan orang-orang yang berilmu. Dalam sunah Nabi, hawa nafsu dicela kecuali yang bisa dikendalikan. Rasulullah bersabda.”Tidak  sempurna iman salah seorang diantara kalian, sehingga nafsunya.

Leave a Comment