Fatwapedia.com – Pada masa jahiliyyah, orang Arab mendiami jazirah Arab tanpa tercampur dengan bangsa di luar Arab, kalau pun ada kalangan non Arab, jumlahnya sangat minim. Kondisi tersebut membuat mereka tetap terjaga kemurnian dan kekuatan bahasanya, serta terhindar dari kesalahan dan penyimpangan berbahasa.
Ketika cahaya Islam menyinari seluruh jazirah Arab, banyak orang memeluk ajaran Islam, sehingga mendorong orang Arab tersebar ke seluruh penjuru bumi, berinteraksi dan bercampur dengan banyak orang asing di berbagai kota yang ditaklukan. Sebab mereka adalah para mujahid yang menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Dengan berlalunya masa, timbulah interaksi baru yang sangat erat dengan para penduduk kota tadi; saling bertukar perdagangan dan pernikahan dengan penduduk setempat. Selanjutnya lahirlah generasi baru yang kurang mampu menjaga kemurnian bahasa, disinilah karakter dan bahasa Arab mulai terdegradasi, lalu munculah kesalahan berbahasa, yang membuat geram hingga menggelisahkan dan mencemaskan penutur fasih bahasa Arab.
Secara umum kesalahan berbahasa ini menimpa para muslim non Arab dan Arab keturunan, tetapi di masa Khulafa’ Rasyidun intensitasnya masih sangat minim. Diriwayatkan mengenai hal ini, seorang juru tulis Abu Musa al-Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, di dalam surat tertulis: “Min Abu Musa al-Asy’ari” (seharusnya min Abi Musa), lalu ketika Khalifah ‘Umar telah membaca surat tersebut, dikirimlah balasan: “Cambuklah juru tulismu!”.
Dalam riwayat lain, suatu hari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mendapati sekelompok orang belajar memanah, tapi kemampuannya kurang memuaskan beliau, lalu semuanya dinasehati ‘Umar. Maka berkatalah sekelompok orang tadi: “Inna Qaum Muta’allimin (kami orang yang belajar; seharusnya muta’allimun). ‘Umar langsung kaget, sembari berkata: “Demi Allah, kesalahan bahasa kalian lebih parah dari kesalahan memanah kalian!”.
Pasca Khulafa’ Rasyidun, kesalahan berbahasa semakin banyak terjadi dan meluas, akan tetapi meski begitu kesalahan berbahasa masih dianggap tabu hingga akhir masa Khilafah Umayyah, maka siapapun yang keliru berbahasa secara otomatis akan turun derajatnya di mata masyarakat. Para sejarawan menyebut ada empat orang pada masa itu dari kalangan Arab yang tidak pernah melakukan kesalahan berbahasa selama hidupnya, baik saat berbicara serius maupun saat bersenda gurau, mereka adalah: Asy-Sya’bi, Abdul Malik bin Marwan, al-Hajjaj dan Ibnu Qiriyah.
Adapula riwayat yang menyebutkan, kesalahan berbahasa diawali kalangan Arab pedalaman, saat mereka berucap “hadzihi ‘ashati” yang seharusnya “hadzihi ‘ashaya (ini tongkat saya)”.
Ibnu al-Atsir dalam al-Matsal as-Sa’ir fi Adab al-Katib wa asy-Sya’ir menyebut kisah yang mendorong lahirnya ilmu nahwu, suatu ketika Abu al-Aswad ad-Du’ali mendatangi putrinya di Bashrah. Singkat cerita, putrinya berucap: “Ya Abati Ma Asyaddu al-Harri (Wahai ayah, mengapa sangat panas?)”, dijawab Abu al-Aswad: “Ini bulan kemarau musim panas”. Putrinya meralat, “saya bukan bertanya, tapi memberi tahukan betapa panasnya bulan ini” [Jadi maksud ucapan putrinya adalah “Ma Asyadda al-Harra (betapa panasnya bulan ini!)”].
Lalu Abu al-Aswad mendatangi ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sembari berkata: “Wahai Amirul Mukminin Bahasa Arab mulai ditinggalkan, bisa-bisa lambat laun akan lenyap”. Khalifah ‘Ali heran: “Ada kejadian apa?”. Abu al-Aswad kemudian menceritakan peristiwa kesalahan ucap putrinya. Lalu Imam ‘Ali memberi petunjuk membuat sebagian kaidah ilmu nahwu.
Dari kisah ini dan kisah serupa lainnya bisa diambil kesimpulan, penggagas awal ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad ad-Du’ali (w. 67 H), baik karena petunjuk imam ‘Ali ataupun karena dorongan pribadi.
Berdasarkan riwayat terpercaya, Abu al-Aswad pun memberi harakat huruf mushaf, serta membuat titik dan tanda yang menunjukkan ragam harakat yang berbeda-beda. Pasca itu, dimulailah estafet gerakan penulisan yang dipengaruhi sebagian masalah nahwu berkenaan ayat-ayat al-Qur’an dan bait-bait sya’ir. Hingga akhirnya muncul tokoh Arab dan kaum muslimin yang jenius, Khalil bin Ahmad (w. 175 H) yang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu nahwu, serta penguasaan terhadap berbagai nash dan dalil kaidah nahwu melebihi generasi sebelumnya.
Khalil bin Ahmad banyak menyusun prinsip-prinsip nahwu yang mendekati sistematika pembahasan nahwu dewasa ini, namun karya tertulisnya tidak sampai pada kita. Akan tetapi intisari pemikirannya tersampaikan melalui muridnya yang juga jenius yakni Sibawaih, yang mampu mengkolaborasikan pemikiran nahwu guru dan ulama semasanya, yang terdokumentasi secara sistematis dalam “al-Kitab”, karya ini mendapat kepercayaan luas para ulama dan tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam.
Dahulu pijakan dasar studi nahwu ini adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang mulia, sya’ir dengan riwayat terpercaya yang layak dijadikan hujjah (sya’ir-sya’ir pertengahan abad ke-II hijriyah), ucapan fasih dan pengalaman berbahasa orang Arab murni, serta perhatian serius yang sangat melelahkan para ulama mengumpulkan semua itu.
Mengenal Penulis Alfiyyah
Salah satu ulama yang menawarkan cara mempelajari nahwu melalui bait-bait syair adalah Ibnu Malik, pada masanya orientasi penulisan karya pengajaran gramatika Arab semakin populer, disamping penulisan karya ensiklopedi gramatika Arab yang sudah lebih dulu menjadi perhatian ulama.
Ibnu Malik rahimahullah bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad Jamaluddin Ibnu Malik ath-Tha’i, lahir di kota Jayyan Andalusia tahun 600 H, keterangan lain menyebut 601 H, 597 H atau 598 H. Mengenyam pendidikan pertama di Andalusia, lalu mengelana saat masih muda ke Timur, tinggal beberapa waktu di Mesir, setelah itu menuju Damaskus. Perpindahan ini wajar, mengingat situasi Andalusia yang kurang kondusif akibat serangan Castillia Nasrani. Pasca di Damaskus beliau berpindah mazhab dari mazhab maliki menjadi mazhab syafi’i.
Ibnu Malik belajar qira’at dan nahwu kepada Abu Muzhaffar Tsabit bin Muhammad bin Yusuf al-Kala’i, seorang guru yang sangat fasih lisannya di Andalusia. Berguru qira’at pula hingga dewasa kepada Abu al-‘Abbas Ahmad bin Nawwar. Di Damaskus beliau berguru kepada Abu al-Fadhl Nazmuddin Mukrim bin Muhammad al-Qurasyi, Abu Shadiq al-Hasan bin Shabbah, dan Abu al-Hasan as-Sakhawi. Mengkaji karya Sibawaih dibawah bimbingan Abu Abdullah bin Malik al-Marsyani, mengikuti halqah Ibnu Ya’isy an-Nahwi dan Ibnu ‘Amrun di Aleppo.
Ibnu Malik adalah seorang pemuka di bidang qira’at dan ilalnya; di bidang bahasa sangat menguasai banyak kosa-kata gharib dan penelaahan deviasinya. Dalam bidang nahwu dan sharaf kepakarannya laksana laut tak bertepi dan tinta yang tidak ada habisnya, demikian pujian as-Suyuthi rahimahullah. Urusan sya’ir Arab yang digunakannya sebagai dalil nahwu dan sharaf, sampai membuat para ulama pada masanya heran dan kagum “darimana datangnya sya’ir ini!”. Membuat sya’ir dengan beragam bahar atau pola sya’ir seperti rajaz, basith, thawil dll, sangat mudah baginya. Disamping itu, beliau adalah seorang yang kuat agamanya, benar ucapannya, gemar beribadah, dikenal kebaikannya, hati yang lembut, akal yang sempurna, berwibawa dan seorang yang tenang.
Banyak ulama berguru padanya, semisal putranya sendiri Badruddin Muhammad salah seorang pensyarah alfiyyah, ada imam an-Nawawi, Syamduddin bin Ja’wan, al-‘Ala’ bin al-‘Aththar, Syaikh Abu al-Husain al-Yunini, Baha’uddin bin An-Nahhas seorang syaikh bidang linguistik ad-Diyar al-Mishriyyah, Qadhi Qudhat Badruddin Ibnu Jama’ah, Ibnu Khallikan, Syihabuddin bin Nafi’ dan lain-lain.
Karya Ibnu Malik, baik yang sudah tercetak, masih manuskrip, ataupun yang masih dalam pencarian peneliti, kurang lebih ada lima puluh judul. Ulama penulis alfiyyah ini wafat tanggal 12 Sya’ban tahun 672 H, disholatkan di al-Jami’ al-Umawi atau Masjid Agung Damaskus dan dimakamkan di kaki bukit Qasiyun Damaskus.
Metode Penulisan Alfiyyah
Pada mulanya Ibnu Malik rahimahullah menulis kumpulan sya’ir dengan pola rajaz yang panjang, mencapai tiga ribu bait berupa rajaz ganda, yang di dalamnya mencakup ilmu nahwu dan sharaf sekaligus, lalu kumpulan syair ini dijelaskan dengan natsr atau prosa yang diberi judul al-Wafiyyah, selanjutnya al-Wafiyyah ini diringkas dan diberi judul al-Khulashah yang akhirnya populer dikenal Alfiyyah, karena hanya mencapai seribu bait saja.
Bait-bait Alfiyyah menggunakan pola rajaz sempurna, bait sya’irnya dikenal halus, cermat dan ringkas penjelasan hukumnya, sehingga mudah dihapal. Dalam perkara ini, Ibnu Malik sangat serius, karena tujuan penulisan Alfiyyah ini demi pengajaran tata bahasa Arab, dan Alfiyyah secara global terbagi dua, ada bagian yang mengandung bab-bab ilmu nahwu, dan bagian lain mengandung bab-bab ilmu sharaf.
Alfiyyah Ibnu Malik sangat populer melebihi karya Alfiyyah atau kitab nahwu lainnya, meskipun sebelumnya sudah ada Alfiyyah Ibnu Mu’thi, juga pasca Alfiyyah Ibnu Malik ada Alfiyyah as-Suyuthi dan Alfiyyah al-Ahjuri. Karena itu wajar, jika Alfiyyah Ibnu Malik banyak ditulis syarh alias penjelasannya, serta penjelasan bagi syarh tadi, serta catatan dan komentar atas penjelasan syarh tersebut, yang semuanya mencapai puluhan karya ulama. Tidak cukup sampai disitu, Alfiyyah pun telah diterjemahkan ke banyak bahasa Asing.
Syarh Ibnu ‘Aqil ‘ala Alfiyyah
Dari sekian banyak kitab penjelasan Alfiyyah, Syarh Ibnu ‘Aqil bisa disebut karya yang paling mendapat perhatian para ulama. Syarh ini ditulis oleh Ibnu ‘Aqil atau Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah al-‘Aqili, Baha’uddin Abu Muhammad, masih keturunan ‘Aqil bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Leluhurnya berasal dari Hamadzan, lahir di Aleppo 9 Muharram 698 H, pendapat lain 694 H atau 700 H.
Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkelana, belajar dengan para ulama dan syaikh Mesir. Berguru qira’at sab’ah pada syaikh Taqiyyuddin ash-Sha’igh dan bahasa Arab pada syaikh ‘Alauddin al-Qunawi; berhasil menguasai kedua ilmu itu melalui kitab al-Kafiyah asy-Syafiyyah dan al-Muqarrab. Belajar selama empat tahun kitab at-Tashil karya Ibnu Malik bersama syaikh Atsiruddin. Masih bersama syaikh yang sama mengkaji karya Sibawaih namun tidak sampai selesai, lalu disempurnakan bersama syaikh Jamaluddin Yusuf bin ‘Umar bin ‘Ausajah al-‘Abbasi, semua ditempuh selama empat tahun juga. Di masa yang lain, belajar Syarh at-Tahsil melalui at-Takmil wa at-Tadzyil bersama syaikh Atsiruddin dan syaikh yang lain, namun kajian yang lengkap hanya dengan syaikh Atsiruddin.
Di bidang fikih, Ibnu ‘Aqil mempelajari kitab al-Hawi bersama syaikh ‘Alauddin yang dilanjutkan Syarh al-Hawi dari bab pertama hingga wakalah, sangat lama sekali. Beliau lulus, menguasai dan memperoleh ilmu ushul, ragam perbedaan pendapat fikih, manthiq, ‘arudh, ma’ani, bayan dan tafsir, dari syaikh ‘Alauddin tersebut.
Sempat belajar pula al-Hawi bersama syaikh Zainuddin al-Kattani, meski tidak selesai, termasuk mengkaji at-Tahshil juga. Dan pernah mengkaji kitab al-Idhah bersama Qadhi Qudhat Jalalluddin, dari awal hingga tamat, termasuk kitab at-Talkhis meski hanya menyimak. Pada masanya, Ibnu ‘Aqil banyak menyimak kajian syaikh lainnya, seperti: syaikh Syarafuddin ash-Shabuni, Qadhi Qudhat Badruddin Ibnu Jama’ah, al-Hajjar, Sitt al-Wujara’ dan masih banyak lagi.
Ibnu ‘Aqil sendiri memiliki beberapa murid, di antaranya: Shalahuddin ash-Shafadi yang memperoleh ijazahnya, Sirajuddin al-Bulqini menantunya, Jamaluddin bin Zhahirah dan Waliyuddin al-‘Iraqi.
Beliau memiliki karya di bidang nahwu, tafsir, fikih dan ilmu rijal. Di antaranya: di bidang fikih ada at-Taliq al-Wajiz ‘ala al-Kitab al-‘Aziz, at-Ta’sis li Madzhab Ibnu Idris atau Taisir al-Isti’dad li Rutbah al-Ijtihad, dan al-Jami’ an-Nafis fi Madzhab al-Imam Muhammad bin Idris. Di bidang rijal atau biografi, ada Dzail ‘ala al-Jami’ an-Nafis fi Madzhab al-Imam Muhammad bin Idris, di dalamnya diulas biografi para ulama yang dikutip dalam kitab al-Jami’ an-Nafis. Di bidang tafsir, menulis kitab ad-Dakhirah.
Dan di bidang nahwu menulis, Syarh Alfiyyah Ibnu Malik dan Syarh at-Tashil li Ibni Malik atau al-Masa’id ‘ala Tashil al-Fawa’id wa Takmil al-Maqashid. “Tidak ada yang paling menguasai nahwu di bawah langit ini melebihi Ibnu ‘Aqil” begitu pujian Abu Hayyan, gurunya. Selain itu menulis pula Mukhtashar asy-Syarh al-Kabir dan al-Mukhtashar min ar-Rafi’i. Dari semuanya, yang paling populer adalah Syarh Alfiyyah Ibnu Malik.
Metode Ibnu ‘Aqil rahimahullah dalam menjelaskan bait-bait Alfiyyah, bisa dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, menjelaskan sesuai kebutuhan, tidak terlalu singkat dan tidak pula terlalu panjang. “Penjelasan Alfiyyah ini pertengahan dan baik” begitu kata al-‘Imad al-Hanbali.
Kedua, menyampaikan dan meresume masalah-masalah nahwu dengan baik; memang tujuan syarh ini adalah orientasi pengajaran, agar berbagai kaidah nahwu mudah dipahami orang yang belajar, serta penjelasannya ringkas dan memadai.
Ketiga, penjelasan dan pendetilan terhadap topik nahwu lebih banyak diperhatikan ketimbang permasalahan sharaf, sehingga bagian kedua syarh Alfiyyah ini lebih ringkas dari bagian yang pertama. Pasalnya, sang penulis lebih concern di bidang nahwu daripada bidang sharaf, dan tentunya topik serta syawahid alias dalil-dalil masalah nahwu lebih luas dari syawahid permasalahan sharaf.
Keempat, lebih banyak berdalil dengan bait sya’ir dan ayat al-Qur’an; untuk syair sendiri total mencapai 359 bait syair.
Kelima, berdalil pula dengan hadits nabawi meski dalam jumlah yang terbatas, hal ini menunjukkan Ibnu ‘Aqil berbeda pendapat dengan Abu Hayyan gurunya.
Keenam, secara umum mengikuti arus madzhab Bashrah, kecenderungan ini terlihat dari metode beliau: 1) banyak bersandar pada pendapat Sibawaih dan ahli nahwu Bashrah; 2) mendeskripsikan madzhab Bashrah dengan pendapat yang benar atau pendapat paling adil di beberapa kesempatan penjelasannya; 3) mengikuti madzhab ulama Bashrah dalam masalah perbedaan pendapat meskipun beliau tidak menyebut nama mereka.
Akan tetapi, Ibnu ‘Aqil tidak mengikuti secara total madzhab Basrah tersebut, ada sebagian penjelasan dalam topik tertentu yang berbeda pendapat, misalnya: masalah kebolehan perpindahan harakat huruf akhir ke huruf sebelumnya apapun jenis harakatnya, “Madzhab ulama Kufah lebih utama, karena mereka meriwayatkan dari orang Arab fasih” demikian alasannya. Beliau pun kadang menyampaikan beragam pendapat dalam satu masalah, tanpa memilih salah satu pendapat pun diantara ulama Bashrah dan Kufah.
Ketujuh, tidak sekedar menjelaskan bait-bait sya’ir saja; karena kadang beliau mengoreksi pendapat Ibnu Malik, di kesempatan lain membela pendapat Ibnu Malik, kadang pula memperkaya ulasan dengan menyampaikan ragam pendapat, atau di kesempatan tertentu menjelaskan masalah yang terlewat dalam Alfiyyah.
Singkat cerita, melalui metode yang ditempuh Ibnu ‘Aqil ini, menunjukkan pada kita beliau adalah seorang pakar yang menguasai semua masalah nahwu beserta beragam madzhabnya, juga memperlihatkan kemampuan penulisan yang baik, sistematis dan deduktif. Wallahu a’lam.
Semoga Allah memberikan pahala berlimpah pada guru-guru kita yang telah menghubungkan sanad ilmu yang penuh barakah kepada penulis dan pensyarah Alfiyyah.
Oleh: Yan S. Prasetiadi
20 Sya’ban 1442 H
Referensi:
- ‘Abdul ‘Aziz bin M. al-Fantukh dll, Tahdzib Syarh Ibn ‘Aqil li Alfiyyah Ibn Malik, Jami’ah al-Imam M. bin Su’ud al-Islamiyyah, 1425 H.
- Abdullah bin Abdurrahman al-‘Aqili, Syarh Ibn ‘Aqil ‘ala Alfiyyah Ibn Malik, ed: Emil Badi’ Ya’qub, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019 M.
- Anwar Mahmud Zannati, Dirasat Tahliliyyah fi Mashadir at-Turats al-‘Arabi, Dar Zahran, 2011 M.