Fatwapedia.com – Dapat dikatakan, bahwa puncak ibadah dan sempurnanya ketaatan kepada Allah akan diraih oleh seorang hamba saat ia benar-benar telah memiliki sifat muraqabatullah; merasa senantiasa diawasi oleh Allah. Keyakinan dan kesadaran yang kontinyu terhadap sifat-sifat Allah yang Mahatinggi seperti sifat ilmu, pendengaran, pengawasan, penjagaan dan penglihatan-Nya akan membawa seorang hamba kepada sikap dan sifat ini.
Itulah sebabnya mengapa Allah dalam Al Qur`an begitu sering mengabarkan dan menetapkan bagi diri-Nya sifat-sifat diatas dan kemahasempurnaannya. Allah al ‘Aliim, al Hafiidz, ar Raqiib, al Khabiir, al Lathiif, al Bashiir, as Samii’, ‘Aalimul ghaibi wasy syahaadah.
Ilmu Allah sangat luas, meliputi langit dan bumi, yang nampak dan tersembunyi, lahir dan batin, besar dan kecil. Tidak ada yang satu pun dari makhluk Allah yang tersembunyi dari-Nya. Tidak ada tempat dan saat dimana Allah tidak mengetahui apa yang terjadi di dalamnya. Jika demikian sempurna sifat-sifat Allah, maka seharusnya seorang hamba benar-benar senantiasa merasa diawasi dan diketahui oleh Allah azza wa jalla kapan pun, dimana pun ia berada.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Muraqabah adalah ilmu dan keyakinan seorang hamba yang kontinyu terhadap pengawasan ilmu Allah, baik kepada kondisi lahir dan batinnya. Ilmu dan keyakinan yang kontinyu inilah yang disebut dengan muraqabah, ia adalah buah dari ilmu yang dimilikinya bahwa Allah senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengar segala yang dikatakannya, menyaksikan yang diperbuatnya setiap waktu dan setiap saat, setiap desah nafas dan kedipan mata.” (Madarijus Salikiin: 2/264)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Muraqabatullah dalam lintasan-lintasan pikiran (batin) akan memberi dampak pada perilaku lahiriah. Siapa saja yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah dalam kondisi rahasianya, Allah akan menjaga perbuatannya, baik kala ia sendiri atau tidak. Muraqabah merupakan bentuk peribadatan kepada Allah melalui nama-nama-Nya al Raqiib, al Hafiidz, al ‘Aliim, as Samii’ dan al Bashiir. Siapa saja yang memahami makna nama-nama ini dan berbuat sesuai tuntutannya, ia mencapai muraqabah.” (dinukil dari kitab “Hayatul Quluub, hal. 25)
Allah berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
“dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya,” (QS. Al Baqarah [2]: 235)
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَلِيمًا
“dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Ahzab [33]: 51)
وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا
“dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab [33]: 52)
إِنْ تُبْدُوا شَيْئًا أَوْ تُخْفُوهُ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Ahzab [33]: 54)
يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan. dan Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (QS. Ath Thaghabun [64]: 4)
أَلَا إِنَّهُمْ يَثْنُونَ صُدُورَهُمْ لِيَسْتَخْفُوا مِنْهُ أَلَا حِينَ يَسْتَغْشُونَ ثِيَابَهُمْ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Ingatlah, Sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk Menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (QS. Hud [11]: 5)
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithi (w 1393 H) rahimahullah ketika menjelaskan ayat diatas dan yang semakna dengannya berkata,
Catatan Penting: Ketahuilah, tidak ada nasehat yang lebih besar dan pencegah (dari kemaksiatan) yang lebih efektif yang Allah turunkan dari langit ke bumi dari yang dikandung dalam ayat-ayat mulia ini dan yang semisal dengannya dalam Al Qur`an, yaitu kabar bahwa Allah mengetahui segala yang dilakukan makhluknya, selalu mengawasi mereka dan tidak alpa sekejap pun dari apa pun yang mereka kerjakan.” (Adhwaa`u al Bayaan: 3/13, cet. Daar ‘Aalam al Fawaa`id th)
Syaikh juga menjelaskan, ada kolerasi yang erat antara tujuan Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya sebagai sebuah ujian atas manusia, siapa diantara mereka yang paling baik dalam beramal (ayyukum ahsanu amalan) dengan pengertian Ihsan yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan ketika beliau ditanya tentangnya.
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Hud [11]: 7)
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67]: 2)
Dalam kedua ayat ini dijelaskan bahwa Allah menciptakan seluruh makhluknya untuk menguji manusia, siapa yang paling ihsan dalam beramal, dalam beribadah kepada Allah dengan mentaati-Nya. Jika demikian tujuan manusia dan alam semesta ini diciptakan, tentu sangat logis jika setiap hamba mencari cara bagaimana ia dapat mencapai tujuan itu, melewati ujian demi ujian untuk meraihnya.
Dari sinilah kemudian, ketika Jibil mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tengah bercengkrama bersama para sahabatnya bertanya tentang makna Ihsan, yang tidak lain adalah tujuan setiap hamba yang sedang diuji di dunia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan jalan untuk mencapainya dengan muraqabatullah, keyakinan dan kesadaran tentang Allah yang mengetahui setiap perbuatan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya sesuatu apa pun. Beliau bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya, jika tidak, yakinlah bahwa Allah senantiasa melihatmu.” (HR Muslim) (Lihat Adhwaa`u al Bayaan: 3/14)
Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam agama setelah islam dan iman. Dan tingkatan ihsan hanya dapat dicapai dengan muraqabah. Ini juga berarti, derajat ibadah seorang hamba sangat ditentukan oleh sebesar apa kehadiran muraqabah yang ada dalam hatinya. Semakin tinggi muraqabahnya, semakin baik ia dalam beramal, semakin kuat ia dalam beribadah, kian mampu ia meninggalkan segala yang dibenci dan dimurkai oleh Allah. Wallahu a’lam.
Oleh: Abu Khalid