Mengqadha Shalat Yang Belum Sempat Dikerjakan saat Haid

Mengqadha Shalat Yang Belum Sempat Dikerjakan saat Haid
Fatwapedia.com – Apakah wanita haid wajib mengqadha shalat yang belum sempat dikerjakan saat datang haid? Bagaimana caranya? 
Jawaban:
Hukum asal wanita yang haid tidak boleh shalat dan tidak diperintahkan untuk mengqadha/mengganti shalat yang ditinggalkan selama haid itu, sesuai hadits berikut :
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah ﷺ bersabda : “Bukankah apabila wanita itu haid tidak shalat dan tidak shaum?” (HR. Bukhari, no. 304).
قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : كَانَ يُصِيْبَنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Ketika (haid) menimpa kami, kami diperintahkan untuk mengqadha shaum dan tidak diperintahkan untu mengqadha shalat.” (HR. Bukhari, no. 231, Muslim, no. 335, redaksi ini ada pada riwayat Muslim).
Namun, jika kasusnya misalnya seorang perempuan telah masuk pada waktu ashar dan berkewajiban shalat ashar, belum sempat ia mengerjakannya, tiba-tiba datang haid yang menghalanginya untuk shalat. Maka apakah ia wajib mengqadha shalat tersebut saat ia telah suci ataukah tidak?
Masalah ini disebut dengan thuru’ul mani’ (munculnya penghalang). Para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan tidak perlu mengqadhanya dan ada yang mengatakan harus mengqadhanya. 
Ulama madzhab Hanafi berpendapat tidak perlu mengqadhanya secara mutlak karena haid itu adalah penghalang yang tidak mewajibkan qadha, sedangkan mengakhirkan shalat itu boleh dan tidak berdosa, seseorang diberi pilihan apakah mau melaksanakan shalat di awal, di tengah atau di akhir waktu. (Al-Mabsuth, 2/14-15). Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu Hazm (Al-Muhalla, 2/175). 
Sedangkan ulama Syafi’i dan Hanbali mewajibkan qadha selama ia telah masuk waktu dan terkena kewajiban shalat. Hanya ukuran masuknya di antara mereka berbeda, kalau madzhab Syafi’i seukuran dapat melaksanakan shalat tersebut, sedangkan Hanbali meskipun hanya cukup untuk takbirotul ihram. (Al-Majmu, 3/71, Kasyyaful Qina’, 1/259).
Mereka beralasan masuk pada waktu shalat itu sudah mewajibkan shalat, jika kemudian terhalang maka mesti diqadha ketika halangannya telah selesai. 
Sedangkan para ulama Malikiyyah tidak mewajibkan qadha selama masih memungkinkan untuk melaksanakan shalat, yaitu ukurannya dapat melakukan satu rakaat sebelum habis waktunya, artinya penundaannya masih dapat ditolerir, kecuali jika ia mengakhirkannya sampai tersisa waktu yang tidak cukup untuk melaksanakan satu rakaat maka ia wajib mengqadhanya. (Syarh Al-Kharsyi, 1/221). 
Zufar dari madzhab Hanafi berpendapat mirip dengan Malikiyyah, hanya ukurannya memungkinkan untuk melaksanakan shalat secara lengkap, jika kurang dari itu maka wajib mengqadhanya. Pendapat Zufar ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah. (Al-Mabsuth, 2/14-15, Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 3/64). 
Pendapat ulama Malikiyyah -insya Allah- lebih kuat, karena berdasarkan hadits,
“Siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat, sungguh ia telah mendapatkan shalat.” (HR. Bukhari, no. 580, Muslim, no. 607). 
Artinya, selama ia masih berada pada waktu yang memungkinkan shalat yang minimalnya dapat melakukan satu rakaat, ia masih ditolerir, tapi karena datang haid yang menjadi penghalang, maka gugurlah kewajibannya dan tidak ada kewajibkan mengqadhanya. Wallahu A’lam.
Oleh: Muhammad Atim

Leave a Comment