Fatwapedia.com – Apa pengertian Ulil Amri? Secara bahasa, kata ulil amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata uli yang bermakna memiliki dan al-amr yang bermakna memerintah. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata uIi adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, masih menurut Ibnu Mandzur, ia adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan dengan kata yang lain (idhafah). Sedangkan definisi al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat; Lisanu Arab: 4/31)
Jadi, menurut istilah, kata ulil amri dapat didefinisikan yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat: Al-Mufradat, 25)
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya waliy kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maidah: 55)
Maka, dapat dipahami bahwa ulil amri yang sah secara syar’i adalah bilamana kekuasaannya bersandarkan kepada syariat Allah. Dan menjadi tidak sah bila disandarkan kepada selain hukum Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
وَأُولُو الْأَمْرِ أَصْحَابُ الْأَمْرِ وَذَوُوه ؛ وَهُمْ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ ؛ وَذَلِكَ يَشْتَرِكُ فِيهِ أَهْلُ الْيَدِ وَالْقُدْرَةِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ وَالْكَلَامِ ؛ فَلِهَذَا كَانَ أُولُوا الْأَمْرِ صِنْفَيْنِ : الْعُلَمَاءُ ؛ وَالْأُمَرَاءُ . فَإِذَا صَلَحُوا صَلَحَ النَّاسُ وَإِذَا فَسَدُوا فَسَدَ النَّاسُ
Artinya, “Ulil Amri adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan berhak atasnya. Mereka yang berhak memerintah manusia. Kondisi ini dimiliki oleh pemilik kekuatan dan kekuasaan dan ahlul ilmi. Oleh karena itu ulil amri terdiri dari dua komponen. Ulama dan umara. Jika kedunya baik maka rakyat akan baik, namun jika mereka rusak maka rakyatnya ikut rusak.” (Majmu Fatawa 28/170)
Imam Asy-Syaukani berkata :
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
Artinya, “Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’i dan bukan kekuasaan yang bersifatkan thoghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)
Al Mawardi berkata, “Imamah (sebutan lain untuk ulil amri) adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama (حفظ الدين) dan mengatur dunia dengan agama (سياسة الدنيا به) dan Imamah tersebut diberikan kepada orang yang melakukan tugas tersebut terhadap umat.” (Al Ahkam As Sulthoniyah, hal 3)
Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
Ibnu Khaldun berkata, “Pada dasarnya Imamah itu adalah mandat dari pemilik syariat untuk menjaga agama dan mengurus urusan duniawi dengan agama.” (Al-Muqoddimah, hal 195. Dinukil dari Al-Imamah Al-Udzma inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jamaah, hal. 29)
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah Beliau berkata, “Sesungguhnya kepemimpinan (Imarah) (yang wajib ditaati-pent) adalah selama mereka menegakkan agama. kemudian, ada imam yang baik dan ada imam yang jahat. Ali bin Abi Thalib berkata, “Manusia (umat Islam-pener) wajib memiliki pemimpin. Bisa yang baik maupun yang buruk. Ditanyakan kepadanya, “kami paham maksud pemimpin yang baik, tapi pemimpin yang buruk?” Ali menjawab, “Pemimpin yang buruk adalah yang memberikan keamanan di jalan, menegakkan hudud, berjihad melawan musuh dan mendistribusikan fai’.” (Minhajus Sunnah An Nabawiyah 1/143)
Di dalam nukilan di atas Ibnu Taimiyah ingin menyatakan bahwa syarat seorang pemimpin wajib ditaati adalah menegakkan agama (iqamatuddin), setelah terpenuhi syarat itu maka barulah ketaatan menjadi wajib bagi kaum muslimin. Hal ini senada dengan hadits :
إن أمر عليكم عبد مجدع حسبتها قالت أسود يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا
Artinya, “Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya yang buruk rupa – saya kira perawi menambahkan kata hitam- yang memimpin kalian dengan kitab Allah, maka dengarkanlah dan taatilah.” (HR Muslim)
Imam An Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim berkata
فأمر صلى الله عليه وسلم بطاعة ولي الأمر ولو كان بهذه الخساسة ما دام يقودنا بكتاب الله تعالى ، قال العلماء : معناه ما داموا متمسكين بالإسلام والدعاء إلى كتاب الله تعالى على أي حال كانوا في أنفسهم وأديانهم وأخلاقهم
Artinya, “Rasulullah Rasulullah صلى الله علية وسلم memerintahkan untuk mentaati ulil amri, walaupun memiliki kondisi yang tidak baik seperti di atas. Ketaatan itu diperintahkan selama mereka (para ulil amri) memimpin dengan Kitab Allah. Para ulama berkata, “Selama para ulil amri berpegang dengan Islam dan menyeru kepada Kitab Allah, apapun keadaan mereka, kondisi fisik, keagamaan dan akhlak.” (Syarh An Nawawi Ala Shohih Muslim 9/47, terbitan Dar Ihya’ At Turats Al Arabi, Bairut, cetakan kedua, 1392. Versi Maktabah Syamilah)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kewajiban seorang imam adalah menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan itu maka wajiblah bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya serta bersedia bila diperintahkan sesuatu.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata; “Wajib atas pemimpin untuk memerintah dengan hukum Allah dan menunaikan amanah. Dan apabila telah dijalaninya, maka wajib bagi rakyat mendengarnya dan mematuhinya.” (Tafsir al-Baghawi, 2/240).
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i rahimahullah:
ومن بديع الجواب قول بعض التابعين لبعض الأمراء من بني أمية لما قال له: أليس الله أمركم أن تطيعونا في قوله: {وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ} فقال له: أليس قد نزعت عنكم ـ يعني الطاعة ـ إذا خالفتم الحق بقوله : {فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
“Alangkah bagusnya jawaban sebagian para Tabi’in kepada para umara Bani Umayyah ketika mereka berkata kepadanya (sebagian Tabi’in): Bukankah Allah memerintahkan kalian untuk mentaati kami sebagaimana firman-Nya: {Dan (taatilah) Ulil amri diantara kalian}. Maka sebagian Tabi’in berkata kepada para umara: Bukankah telah dicabut dari kalian ketaatan apabila kalian menyelisihi al-haq sebagaimana firman-Nya: {Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dab Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir}”. (Fathul Bari juz 13 hal 111)
Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwasanya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ
“Urusan kepemimpinan ini akan tetap berada di tangan kaum Quraisy, tidak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah seret mukanya ke neraka, asalkan mereka (kaum Quraisy itu) menegakkan agama (hukum syariah).” (HR. Al-Bukhari, no. 3500).
Dalam hadits riwayat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
دَعَانَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami membaiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk mendengar dan menaati baik kami dalam keadaan semangat maupun terpaksa, kami dalam keadaan sulit maupun lapang, bahkan atas para pemimpin yang mementingkan diri mereka atas diri kami, serta kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang memegangnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata dan kalian memiliki buktinya dari Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath 13/7: “Bila terjadi kekafiran yang nyata dari penguasa maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu bahkan wajib memeranginya bagi yang mampu akan hal itu.”
Imam Qadhy ’Iyadh menjelaskan, ”Seandainya seorang penguasa jatuh dalam kekufuran atau mengubah syariat, serta melakukan bid’ah maka tidak perlu ditaati. Dan wajib atas kaum Muslim untuk melengserkannya.” (Syarah Shahih Muslim, 8/35-36)
Abu Abbas Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, (4/39) juga menegaskan, “Kalau pemimpin itu tidak mau menegakkan salah satu pondasi agama seperti penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan hukum hudud, bahkan melarang pelaksanaan itu, atau dia malah membolehkan minum khamer, zina serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus dilengserkan.”
Allah Ta’ala berfirman:
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Fitnah (syirik & kekafiran) itu lebih dahsyat dari pembunuhan” (Al Baqarah: 191)
ﻭَﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﺘْﻞِ
“Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan.” (Al-Baqarah: 217).
Abul Aliyah, Mujahid, Qatadah, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah: 191) Artinya, musyrik itu bahayanya lebih besar daripada pembunuhan. [Tafsir Ibnu Katsir]
jelaslah bahwa fitnah kekafiran dan syirik lebih dahsyat dan lebih besar bahaya/kerusakannya dari pada pembunuhan dan peperangan, kehancuran kota-kota serta kepedihan-kepedihan dan berbagai luka yang timbul karenanya.