Kota Asqalan, juga dikenal sebagai Ashkelon, adalah salah satu dari lima kota yang disebut dalam Alkitab dan memiliki sejarah yang panjang yang mencerminkan keberagaman budaya dan kekayaan warisan.
Sejarah Kota Asqalan
Asqalan memiliki sejarah yang sangat kuno. Kota ini telah menjadi pusat kebudayaan dan perdagangan sejak zaman prasejarah, dengan bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan penempatan manusia sejak lebih dari 5.000 tahun yang lalu.
Sebagai kota pelabuhan, Asqalan menjadi pusat penting bagi berbagai kekaisaran kuno seperti Kekaisaran Persia, Yunani, Romawi, dan Bizantium. Penaklukan oleh bangsa Arab, serta masa kekuasaan Saladin dalam Perang Salib, menjadi bagian penting dari sejarah kota ini.
Gaza dan ‘Asqalan adalah dua kota Kan’an yang dengan hasil penggalian menunjukkan bahwa keduanya telah menjadi kota yang berpenduduk sejak masa batu.
Awal penyebutan ‘Asqalan dalam sejarah kembali kepada teks sejak masa Fir’aun pada abad ke-19 sebelum masehi. Sedangkan Gaza adalah kota tua juga, dan namanya berubah dengan perubahan penduduk yang silih berganti menempatinya. Masyarakat Kan’aniyun menamakan “Huzati”, sedangkan penduduk Mesir Kuno (Fara’inah) menamakannya “Gazatu”, dan “Gadatu”, dan bangsa Ibrani menamakannya “Gaza”, sedangkan Asyuriyun menamakannya “ ‘Azati”. Sedangkan orang Arab menyebutnya dengan “Hamra’ Yaman”, Gaza, atau “Gaza Hasyim”.
Kedua kota Gaza dan ‘Asqalan terletak pada sebelah selatan Palestina, sedangkan Gaza terletak pada barat daya ‘Asqalan. Kota Gaza semenjak dibebaskan dan menjadi kota Islam sampai terjadinya perang salib adalah bagian dari ‘Asqalan, dan dikenal dengan “Gaza ‘Asqalan”, dan jarak antara ‘Asqalan dan Gaza adalah 12 mil sekitar 21 km, dan jarak antara Gaza dan Yafa sekitar 80 km, dan jarak antara Yafa dan ‘Asqalan sekitar 56 km, dan pemisah antara Gaza, ‘Asqalan dan Baitul Maqdis adalah kota “Baitu Jibrin” yang berjarak sekitar perjalanan dua hari dengan Gaza, dan antara Baitu Jibrin dan ‘Asqalan sekitar 32 km. (Baca: al Hayatul ‘Ilmiyah fi Gaza dan ‘Asqalan Mundzu Bidayatil Ashril Abbasi ilal Ghazwi ash Shalibi/hal: 2-5/DR. Zuhair Abdullah Sa’id Abu Rahmah)
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Gaza sangat dekat dengan ‘Asqalan, dan pernah menjadi bagian dari ‘Asqalan sejak awal pembebasan masa Islam sampai masa perang salib; oleh karenanya para ulama menyebutkan bahwa Imam Syafi’i –rahimahullah- dilahirkan di Gaza, dan sebagian mereka mengatakan, beliau dilahirkan di ‘Asqalan. Imam Nawawi –rahimahullah- berkata dalam “al Majmu’ “ 1/8:
“Yang lebih dominan dan merupakan pendapat jumhur, bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di Gaza, namun dikatakan ia dilahirkan di ‘Asqalan, keduanya termasuk tempat-tempat suci yang diberkahi oleh Allah, keduanya berjarak sekitar (perjalanan) dua hari dari Baitul Maqdis”
Imam Thabrani –rahimahullah- berkata dalam “al Mu’jamul Kabir” (11138) :
“Ahmad bin an Nadhr al ‘Askari meriwayatkan kepada kami, dari Sa’id bin Hafshin an Nufaili, dari Musa bin A’yan, dari Ibnu Syihab, dari Fitri bin Kholifah, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( أَوَّلُ هَذَا الْأَمْرِ نُبُوَّةٌ وَرَحْمَةٌ ، ثُمَّ يَكُونُ خِلَافَةً وَرَحْمَةً ، ثُمَّ يَكُونُ مُلْكًا وَرَحْمَةً ، ثُمَّ يَكُونُ إِمَارَةً وَرَحْمَةً ، ثُمَّ يَتَكادَمُونَ عَلَيْهِ تَكادُمَ الْحُمُرِ فَعَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ ، وَإِنَّ أَفْضَلَ جهادِكُمُ الرِّبَاطُ ، وَإِنَّ أَفْضَلَ رباطِكُمْ عَسْقَلَانُ )
“Awal urusan ini adalah kenabian dan rahmat, kemudian berikutnya kekhilafahan dan rahmat, kemudian berikutnya kerajaan dan rahmat, kemudian berikutnya pemerintahan dan rahmat, kemudian mereka saling merebutnya sebagaimana gigitan keledai, maka wajib bagi kalian untuk berjihad, dan sesungguhnya sebaik-baik jihad kalian adalah ribath (terikat dengannya), dan sebaik-baik ribath adalah di ‘Asqalan”.
Perkataan Thabrani dari “Ibnu Syihab” adalah tidak benar, yang benar adalah dari “Abi Syihab”, sebagaimana yang disebutkan oleh Suyuthi –rahimahullah- dalam “al La’ali’ al Mashnu’ah” (1/422) ia adalah Abu Syihab Musa bin Nafi’ al Hanath, ia adalah seorang yang jujur, dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Mu’in dan lainnya, Abu Hatim berkata: Haditsnya boleh dibukukan. (at Tahdzib: 10/375)
Yang menunjukkan pernyataan di atas adalah bahwa Musa bin A’yun mereka tidak menyebutkan Ibnu Syihab termasuk dalam daftar syeikhnya, seakan ia tidak bertemu dengannya, dan masa antara wafat keduanya adalah 53 tahun. al Haitsami –rahimahullah- berkata tentang hadits di atas dalam “al Majma’ “ 5/190: “Diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad yang tsiqah (kuat)”.
Al Baani –rahimahullah- berkata:
“Ini adalah sanad yang bagus, semua sanadnya tsiqah, kecuali Sa’id bin Hafsh an Nufaili ada sedikit catatan. Namun telah dikuatkan oleh Ibnu Hibban 8/268, dan telah meriwayatkan darinya dalam “Shahihnya” tiga hadits, juga Dzahabi dan ‘Asqalani dan berkata: “Ia adalah seorang yang jujur dan berubah pada akhir hayatnya”. (Silsilah Ahadits Shahihah: 7/83)
Sa’id bin Hafsh an Nufaili, Ibnu Hibban menyebutkan beliau termasuk dalam daftar rawi yang tsiqat (dapat dipercaya). Ali bin Utsman an Nufaili: “ia meningal dunia pada hari Jum’at pada bulan Ramadhan 237 H. Maslamah bin Qasim berkata: “ia tsiqah (dapat dipercaya)”. Abu ‘Arubah al Harani berkata: “Semasa tuanya ia selalu berada di rumah, dan berubah pada akhir hayatnya”. (Tahdzibutd Tahdzib: 4/17)
Al ‘Aini berkata dalam “Maghanil Akhyar” 3/558: “ia jujur, dan berubah pada akhir hayatnya”.
Adz Dzahabi berkata dalam “al Kasyif” 1/433: “ia tsiqah (dapat dipercaya)”.
Dan Ahmad bin Nadhr tsiqah, meninggal dunia pada tahun 290 H. sebagaimana tertera dalam “Tarikh Baghdad” 6/413. An Nufaili meninggal dunia pada tahun 237 sebagaimana yang tadi disebutkan. Dan jeda waktu antara wafat keduanya adalah 53 tahun. Maka dikhawatirkan bahwa Ibnu Nadhr mendengar hadits ini dari Sa’id bin Hafsh pada masa tuanya dan mulai agak berubah pemikirannya.
Oleh karenanya Syeikh Abdur Rahman al Yamani –rahimahullah- dalam catatannya ketika membahas hadits ini: “Sa’id bin Hafsh an Nufaili, berubah pada akhir hayatnya”. (Baca: Catatan kaki dalam “al Fawaid al Majmu’ah: 431)
Imam Ahmad telah meriwayatkan 18406, dari Hudzaifah: Rasulullah –shallallau ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ ) ثُمَّ سَكَتَ “. وحسنه الألباني في “الصحيحة” (5).
“Masa kenabian akan terjadi di antara kalian sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Dia (Allah) mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya, lalu tibalah masa Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah (Kepemimpinan Yang Sesuai Dengan Metode Kenabian) selama Allah menghendakinya, lalu Allah mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu datanglah masa Mulkan ‘Adhan (Kerajaan Yang Menggigit) selama Allah menghendakinya, lalu Allah mengangkatnya juga sesuai dengan kehendaknya. Kemudian akan datang era Mulkan Jabariyah (Kepemimpinan yang Diktator) selama Allah menghendakinya, lalu Allah mengangkatnya juga sesuai dengan kehendaknya. Kemudian era Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah (Kepemimpinan Yang Sesuai Dengan Metode Kenabian) kemudian beliau terdiam”. (Hadits ini dihasankan oleh Al Baani dalam “ash Shahihah” 5)
Imam Ahmad (20445) meriwayatkan dari Abi Bakrah dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( خِلَافَةُ نُبُوَّةٍ ، ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ الْمُلْكَ مَنْ يَشَاءُ ) وهو حديث حسن .
“Khilafah kenabian, kemudian Allah mendatangkan (masa) kerajaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”.
Sepertinya penyebutan ‘Asqalan dalam hadits biografi tidak disebutkan.
Beberapa hadits yang meriwayatkan tentang keutamaan ‘Asqalan semuanya tidak shahih. (Baca: al Fawaid al Majmu’ah: 429-432, dengan catatan kaki dari Syeikh al Yamani)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Secara umum apa yang telah disampaikan oleh para ulama terdahulu dan orang-orang shalih tentang keutamaan ‘Asqalan, Iskandariyah, ‘Aka, Qazwain dan lain-lain, adalah bahwa beberapa tempat tersebut merupakan wilayah perbatasan, bukan karena memiliki keistimewaan tertentu. Sebuah daerah baik menjadi wilayah perbatasan kaum muslimin atau tidak adalah merupakan sifat yang bersifat baru dan sementara bukan bersifat tetap selamanya, sama halnya dengan Daarul Islam (wilayah Islam), wilayah kafir, wilayah perang atau wilayah damai, wilayah penuh ilmu dan iman atau wilayah penuh kebodohan dan kemunafikan. Dan karenanya berbeda satu sama lain desebabkan perbedaan penduduk dan sifat mereka”. (Majmu’ Fatawa: 27/53)
Beliau juga mengatakan:
“Sedangkan “ ‘Asqalan” adalah termasuk wilayah perbatasan kaum muslimin, karena banyak orang-orang sholeh dari umat Islam yang bertempat tinggal di sana dalam rangka untuk menjaga (perbatasan wilayah) di jalan Allah, demikian juga semua wilayah yang serupa dengan kondisi ‘Asqalan tersebut, misalnya: Gunung Libanon, Iskandariyah, ‘Ubadan, dan lain-lain di tanah Irak, seperti kota Qazwain dan yang serupa yang merupakan wilayah perbatasan. Di wilayah perbatasan tersebut menjadi tujuan banyak orang-orang shaleh dari umat Islam; untuk menjaganya di jalan Allah”. (Majmu’ Fatawa: 27/141)
Kalau hadits di atas dianggap shahih, maka hadits tersebut menunjukkan keutamaan menjaga (wilayah perbatasan) di ‘Asqalan secara umum, demikian juga kota Gaza; karena ia merupakan bagian dari ‘Asqalan sebagaimana penjelasan sebelumnya, seakan memberikan isyarat kepada kita bahwa kota tersebut tetap menjadi wilayah perbatasan kaum muslimin pada masa yang sangat lama. Wallahu Ta’ala A’lam.