Fatwapedia.com – Kehadiran Al-Ghazali di abad kelima Hijriah diterima oleh sebagian Muslim, memberikan kontribusi besar untuk mengembalikan tasawuf kepada pendekatan yang sesuai dengan syariah. Kemurnian pemikiran dan idenya meletakkan dasar-dasar epistemologi dan jalan spiritual mendorong komunitas Muslim untuk mendekati syariah dan menjauh dari mistisisme filosofis.
Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam, ahli fiqih mazhab Syafi’i, pemikir kalam As’ariyah dan sufi.(1)
Ia lahir di kota Iran pada tahun 450 H. Kota ini penuh dengan konflik dimensi agama, karena banyaknya pemeluk Kristen dan pendukung Syiah. Al-Ghazali lahir dari keluarga pemintal wol. Orang tuanya sering mendoakan Ghazali kecil – dengan air mata berlinang – untuk menjadi seorang yang faqih. Di bawah bimbingan seorang guru sufi yang menerima wasiat dari ayahnya, Al-Ghazali mengenyam pendidikan dan masuk ke sekolah tinggi Madrasah Nizamiyyah.(2) Madrasah yang terletak di Naisabur ini juga tercatat menjadi tempat Shalahuddin al-Ayyubi menimba ilmu.
Pernah ada peristiwa bersejarah yang menjadi momentum bagi Al-Ghazali memujahadah dirinya dalam belajar. Seperti yang ditulis al-Subki, dalam perjalanan dari Gorgia ke Thus, Al-Ghazali dicegat oleh perampok dan semua miliknya termasuk catatannya dicuri. Sejak itu, Al-Ghazali mendisiplinkan diri menghafal semua ilmu yang dia catat.(3)
Diantara guru yang berpengaruh kepadanya adalah Imamul Haramain Dhiyauddin al-Juwaini, Guru Besar Pimpinan Madrasah Nizamiyah pada masa itu. Di madrasah ini pula Ia menemukan banyak guru yang mumpuni di bidangnya; fiqih, ushul fiqih, manthiq, ilmu kalam, dan lain-lain. Di Naisabur, Al-Ghazali mencapai masa paling produktif dalam menulis buku dan berbagai kehidupan ilmiahnya.
Sepeninggal Imam Al-Juwayni pada 478 H, Al-Ghazali pergi ke markas militer untuk bertemu dengan menteri Nizam al-Muluk. Saat itu, usia Al-Ghazali belum genap 18 tahun. Istana Menteri Nizam al-Muluk saat itu menjadi tempat berkumpulnya para ulama untuk berdiskusi dan berdebat di bidang fiqih dan Kalam. Dalam berbagai diskusi ilmiah Al-Ghazali menunjukkan kecerdasan dan membuatnya terkenal. Al-Ghazali kemudian ditugaskan untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah cabang Baghdad. Madrasah ini adalah sekolah elit yang menjadi acuan para ilmuan masa itu untuk dapat mengajar disana.
Kegemilangan al-Ghazali mencapai puncaknya, para pencari ilmu dari berbagai belahan dunia datang kepadanya. Namun setelah masa-masa itu pula hidupnya diliputi kegelisahan, sehingga kemudian ia mundur dari jabatannya dan menjalani hidup sederhana dan banyak melakukan uzlah. Al-Ghazali meninggalkan Baghdad menuju Mekah, Madinah dan kemudian menetap di Syam beberapa tahun dengan beri’tikaf di menara Masjid. Pada tahun 429 H ia kembali ke Baghdad dan akhirnya pulang ke tanah kelahirannya Thus. Ia banyak melakukan muhasabah dan kembali mengajar hingga wafatnya pada tahun 505 H.
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya ilmiah yang berharga, diantara karyanya adalah; dalam bidang tasawuf, Ihya Ulumiddin, Asnaful Maghrurin, al-Munqid minad dholal, Bidayatul Hidayah, kimiya as-sa’adah, Misykatul Anwar, dll. Karyanya Dalam bidang aqidah adalah; al-Iqtishad fil I’tiqad, al-Maqsudul Asna, Fadhaihul Bathiniyah, Qawa’idul ‘Aqa’id, dll. Karyanya dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh; al-Mustasyfa, al-Mankhul min Ta’liqatil Ushul, dan al-Wasith fil Mazhab. Dan masih banyak lagi karyanya yang meliputi berbagai bidang termasuk dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an hingga siyasah syar’iyah.
Makna Taubat
Taubat menurut bahasa adalah (الرّجوع) yaitu kembali. Dalam kamus ash-shohah disebutkan bahwa taubat adalah (الرّجوع من الذّنب) kembali dari sesuatu yang tercela.(4) Hal ini dimaksudkan seseorang yang menyesali perbuatannya yang tercela dan kembali kepada perbuatan yang terpuji.
Menurut mayoritas ulama, taubat adalah anak tangga pertama yang harus dilalui oleh para salik.(5) Imam Al-Ghazali berkata, “Taubat dari dosa dengan meletakkan penghalang yang menutupi dosa serta kembali kepada Zat yang Mengetahui alam gaib adalah prinsip pertama jalan seorang salik. Taubat adalah modal utama orang yang beruntung; Iangkah pertama seorang murid; dan kunci keistiqamahan seorang yang hatinya cenderung kepada Allah”.(6)
Imam Al-Ghazali mengatakan “Ketahuilah, taubat adalah sebuah ungkapan tentang makna yang disusun secara berurutan di atas tiga pilar: ilmu, hal, dan perbuatan. Ilmu mewujudkan keberadaan hal, dan hal meniscayakan keberadaan perbuatan.”(7)
Menurut al-Ghazali taubat bisa dilakukan jika syaratnya telah dipenuhi, yaitu pengetahuan tentang taubat. Jika pengetahuan tersebut telah dimiliki, maka dibutuhkan hal. Jika hal telah ada, maka diperlukan tindakan nyata sebagai wujud pelaksanaan taubat.
Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak bertaubat adalah memiliki pengetahuan. Menurut al-Ghazali pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang bahaya yang ditimbulkan dosa secara umum. Dan secara khusus bahaya atas perbuatan tercela yang dilakukannya. Dosa adalah penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya dan segala sesuatu yang dicintainya. Kesadaran akan bahaya dosa bagi dunia dan akhiratnya akan menimbulkan penyesalan (الندم). Penyesalan sejati ditandai dengan hati yang merasa sedih karena merasa jauh dan ditinggalkan Allah.
Selanjutnya adalah niat. Jika penyesalan itu telah begitu mendalam dalam hatinya, maka penyesalan itu akan membangkitkan sebuah hal (keadaan) yang disebut dengan iradah dan niat (القصد) untuk melakukan sesuatu yang mempunyai keterikatan dengan masa kini, masa lalu, dan masa mendatang. ]ika seorang hamba telah mencapai maqam penyesalan ini, ia harus meninggalkan dosa dan tidak akan kembali melakukannya lagi. Hamba itu harus bertekad menjauhi dosanya di masa mendatang hingga akhir hayatnya. Jika ia menilai dosa-dosanya pada masa lalu bisa ditebus, maka ia harus menebusnya. Misalnya, jika ia berdosa karena meninggalkan shalat, maka ia harus mengganti sejumlah shalat yang ditinggalkannya. ]ika ia telah merampas hak orang lain, maka ia harus mengembalikan hak itu.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Penyesalan pasti didahului oleh pengetahuan tentang akibat dari apa yang telah diperbuat. Lalu penyesalan ini diikuti oleh tekad-kuat untuk meninggalkan perbuatan yang membawa akibat buruk. Adapun batasan taubat adalah “melepaskan busana kesombongan dan merentangkan permadani kesetiaan”.(8)
Dapat disimpulkan bahwa makna taubat menurut al-Ghazali adalah kembalinya seorang pendosa kepada Allah ta’ala. Setelah ia menjauh dari Allah akibat perbuatan tercela yang dikerjakannya, kemudian ia kembali mendekatkan dirinya kepada Allah dengan menyesali dan mengganti perbuatan tercelanya dengan perbuatan terpuji. Pemaknaan al-Ghazali tentang taubat ini melingkupi proses pertaubatan seorang hamba.
Ungkapan al-Ghazali tentang batasan taubat adalah melepaskan busana kesombongan dan merentangkan permadani kesetiaan mendefinisikan kondisi jiwa orang-orang yang bertaubat yang senantiasa merendahkan nafs dihadapan Allah dan berupaya keras untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya. Inilah wujud kesetiaan kepada Allah.
Hukum Taubat
Menurut Imam Al-Ghazali, taubat hukumnya wajib dan harus segera dilaksanakan. Taubat wajib bagi semua orang tanpa membedakan tingkatan keadaan-nya. Al-Ghazali mengatakan “Ketahuilah, bahwa hukum wajibnya taubat didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”(9)
Al-Ghazali melihat bahwa taubat wajib dilaksanakan secepat mungkin. Dan hukum wajib ini berlaku bagi semua orang tanpa pengecualian. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Qur’an. Allah berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur: 31)
Perintah taubat dalam ayat ini ditujukan kepada semua orang beriman tanpa terkecuali. Dalam surat lain, Allah mengatakan,
غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya lah kembali (semua makhluk).” (Al-Mukmin: 3)
Dapat disimpulkan bahwa hukum taubat adalah wajib bagi setiap Muslim tanpa terkecuali, bagaimanapun keadaan mereka dalam keimanan, serta besar maupun kecil dosa yang diperbuat.
Berdasarkan dalil ayat yang dikemukakan secara berurutan, menunjukkan taubat tidak hanya berupa anjuran agar mendapatkan keberuntungan dalam hidup. Taubat juga merupakan kewajiban, karena Allah mensifati diri-Nya sebagai Maha Mengampuni dosa dan Menerima Taubat.
Persyaratan Taubat
Al-Ghazali telah menetapkan syarat-syarat taubat sebagaimana terdapat dalam pembahasan makna. Ia mengatakan, taubat adalah rasa penyesalan yang diikuti dengan tekad dan maksud untuk meninggal-kan dosa. Kemudian Al-Ghazali menjelaskan tanda-tanda sahnya penyesalan. Ia mengatakan, “Tanda-tanda sahnya penyesalan adalah: lembutnya hati, derasnya air mata, dosa yang semula dirasa manis berubah menjadi pahit. sikapnya yang semula menyenangi perbuatan dosa itu berubah menjadi membenci.”(10)
Syarat sah taubat ada yang berkaitan dengan masa lalu, yaitu introspeksi diri. Ia harus mengingat apa yang diperbuatnya tahun demi tahun bulan demi bulan hari demi hari. Ia harus memeriksa kembali amal ketaatan mana yang pernah dilalaikannya, dan juga perbuatan maksiat mana yang pernah dilakukannya.”(11)
Adapun syarat taubat yang berkaitan dengan masa mendatang adalah tekad untuk meninggalkan dosa. Ia harus mengikat janji setia dengan Allah untuk tidak mengulangi dosanya dan dosa yang sejenis. Al-Ghazali menegaskan bahwa tekad untuk meninggalkan dosa harus muncul segera setelah seseorang berniat taubat. Karena ia tidak disebut sebagai orang yang taubat jika tidak menguatkan tekadnya pada waktu itu juga. Agar taubatnya diterima Allah, seseorang harus: (1) menghentikan perbuatan dosa pada waktu itu juga, (2). menyesali dosanya, (3) bertekad untuk tidak mengulangi dosanya, (4) mencari kebaikan yang hilang akibat dosa itu, (5) memperbaiki perbuatan di masa datang, (6) mengganti kewajiban yang pernah dilalaikannya, dan (7) mengembalikan hak orang lain yang pernah dirampasnya. |ika semua syarat ini telah dipenuhi, maka taubatnya diterima Allah Ta’ala.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
Catatan Kaki:
- Farid Wajdi, Da’irah Ma’arif Qarni al-‘Isyrin, (Beirut: Dar al-Fikr), vol 7, hlm 65.
- Abdul Wahab as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), vol 6, hlm 193-194.
- Ibid, hlm 195.
- Abu Nashr al-Jauhari, Ash-Shohah, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1987), vol 1, hlm 92.
- Salik adalah orang-orang yang meniti jalan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
- Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-din, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth) vol 4, hlm 2.
- Ibid, vol 4, hlm 3
- Ibid. vol 4, hlm 4.
- Ibid.
- Ibid, vol 4, hlm 34.
- Ibid, vol 4, hlm 34-35