Fatwapedia.com – Miqdad bin Aswad adalah tokoh yang sedang kita bicarakan; Miqdad bin ‘Amr. Di masa Jahiliah, ia diambil anak oleh Aswad bin ‘Abdi Yaghuts. Karena itu, ia dipanggil Miqdad bin Aswad. Tetapi setelah turunnya firman Allah yang melarang penisbatan nama seseorang ke ayah angkatnya, nama Miqdad dinisbatkan ke nama ayah kandungnya; Amr bin Sa’d.
Miqdad termasuk deretan orang yang pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terang-terangan, hingga menanggung penderitaan dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Semua kekejaman itu ia hadapi secara kesatria.
Kiprah Miqdad di Perang Badar akan senantiasa, terukir indah dan tidak akan terlupakan. Bahkan, setiap orang yang melihatnya berharap dia-lah yang melakukan kiprah itu.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Aku telah menyaksikan kiprah Miqdad. Seandainya aku yang melakukan kiprah itu, tentu lebih aku sukai daripada semua yang ada di muka bumi ini.”
Hari itu, kaum muslimin sedikit tegang, karena orang-orang kafir Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat; dengan semangat dan tekad yang bergelora; dengan kesombongan dan keangkuhan mereka. Hari itu, jumlah kaum muslimin masih sedikit, dan belum teruji dalam peperangan untuk membela Islam. Inilah peperangan pertama yang mereka terjuni.
Saat inilah Rasulullah akan mengetahui keimanan para pengikutnya dan kesiapan mereka untuk menghadapi pasukan musuh yang terdiri dari pasukan pejalan kaki dan pasukan berkuda. Rasulullah meminta pendapat mereka. Para sahabat paham bahwa beliau benar-benar meminta pendapat mereka. Meskipun nantinya ada pendapat yang berlainan dengan pendapat kebanyakan, Rasulullah tidak akan memarahi orang tersebut.
Miqdad khawatir kalau ada di antara kaum muslimin yang masih berpikir seribu kali untuk melakukan peperangan. Karena itu, sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kata-katanya yang tegas dapat mengobarkan semangat juang dan bisa menjadi pendapat umum. Tetapi, sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar ash- Shiddiq sudah mulai bicara. Apa yang dikemukakan Abu Bakar sangat baik, Miqdad pun tenang. Kemudian Umar bin Khaththab menyusul bicara. Pendapatnya juga baik.
Setelah itu, barulah Miqdad angkat bicara, “Ya Rasulullah, jangan ragu! Laksanakan apa yang dititahkan Allah. Kami akan bersamamu. Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan bani Israel kepada Musa, ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah! Kami akan duduk menunggu di sini.’ Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, “Pergilah bersama Tuhanmu dan berperanglah! Kami akan berperang.di samping mu.” Demi yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami menerjuni lautan lumpur, kami akan patuh. Kami akan berjuang bersamamu dengan gagah berani hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kirimu, di bagian depan dan di bagian belakangmu, sampai Allah memberimu kemenangan.’
Kata-kata ini mengalir deras dari bibir Miqdad. Mendengar perkataan ini, wajah Rasulullah terlihat berseri-seri, lalu beliau berdoa untuk Miqdad. Pasukan Islam pun menjadi bersemangat mengikuti semangat Miqdad. Bahkan, cara bicara Miqdad patut dicontoh oleh yang lain.
Kata-kata Miqdad benar-benar berdampak positif kepada segenap pasukan Islam. Sa’d bin Muadz, pemuka kaum Anshar berkata, “Ya Rasulullah, sungguh, kami telah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan kami telah saksikan bahwa apa yang engkau bawa adalah benar. Kami juga sudah bersumpah setia kepadamu. Karena itu, majulah wahai utusan Allah, kami akan bersamamu. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke lautan, lalu engkau mengarungi lautan itu, tentu kami juga akan mengarunginya. Tidak seorang pun akan berpaling. Kami akan bersamamu berperang melawan musuh. Kami adalah orang-orang yang gagah berani dalam peperangan, tidak gentar menghadapi musuh. Allah akan memperlihatkan kepadamu kiprah kami dalam peperangan yang akan berkenan di hatimu. Karena itu, maju terus, kami akan bersamamu. Berkah Allah akan bersama kita.”
Rasulullah sangat senang. Beliau bersabda kepada para pengikutnya, “Berangkatlah, dan bergembiralah.” Dan kedua pasukan pun berhadapan. Jumlah anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr, Martsad bin Abi Martsad, dan Zubair bin Awwam; sementara yang lain berjalan kaki atau menunggang unta.
Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja menggambarkan keberaniannya, tetapi juga melukiskan sikap bijaknya, dan pola pikirnya yang mendalam.
Dan memang demikianlah sifat Miqdad. Ia orang yang bijak, dan cara pandangnya sangat tajam. Itu tidak hanya terlihat pada ucapannya, tetapi terlihat juga pada prinsip hidup dan perilakunya yang lurus. Semua pengalamannya adalah sumber bagi sikap bijak dan pola pikirnya.
Ia pernah diangkat oleh Rasulullah sebagai gubernur di suatu wilayah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, “Bagaimana dengan jabatanmu?”. Ia jawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang.”
Jika ini bukan sikap bijak, lantas apa? Jika dia bukan seorang yang bijak, lantas siapa? Ia adalah seorang laki-laki yang tidak tertipu oleh dirinya dan kelemahannya. la menjadi gubernur, lalu dirinya dikuasai kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi gubernur lagi setelah pengalaman pahit itu.
Dan ia menepati janjinya itu. Sejak saat itu, ia tak pernah menerima jabatan pemimpin. Ia sering mengucapkan sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Orang yang berbahagia ialah orang yang dijauhkan dari kehancuran.” Jika jabatan kepemimpinan dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan kehancuran bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya ialah menjauhinya.
Di antara sikap bijaknya adalah kehati-hatiannya dalam menilai orang. Sikap ini juga ia pelajari dari Rasulullah saw. yang telah menyampaikan kepada umatnya, “Berubahnya hati manusia lebih dari periuk yang sedang mendidih.” Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak mengalami hal baru lagi. Adakah perubahan setelah cepat kematian?
Sikap bijaknya terlihat sangat jelas dalam dialog berikut. Seorang temannya menceritakan, “Suatu hari, kami duduk dekat Migdad. Tiba- tiba seorang laki-laki lewat dan berkata kepada Miqdad, ‘Sungguh berbahagialah kedua mata yang telah melihat Rasulullah saw. ini. Demi Allah, kami sangat senang jika dapat melihat apa yang kau lihat, dan menyaksikan apa yang kau saksikan.”
Miqdad menghampirinya dan berkata, “Apa yang mendorong kalian ingin menyaksikan peristiwa yang tidak dipertontonkan oleh Allah, padahal kalian tidak tahu bagaimana kondisi kalian jika menyaksikannya? Demi Allah, ada orang-orang yang hidup di masa Rasulullah saw. tapi mereka dijerumuskan Allah ke neraka Jahannam. Sebaiknya kalian bersyukur kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang- orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Sungguh satu sikap bijak yang luar biasa. Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang kalian temui, kecuali ia menginginkan hidup di masa Rasulullah dan dapat melihatnya. Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dapat menembus sesuatu yang tidak terjangkau oleh keinginan itu. Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa- masa tersebut akan menjadi salah seorang penghuni neraka? Bukankah tidak mustahil ia berada di barisan orang-orang kafir? Tidakkah lebih baik jika ia bersyukur kepada Allah yang telah menghidupkannya di masa di mana Islam telah tersebar luas, sehingga ia bisa melaksanakan ajaran Islam dengan mudah.
Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan sikap bijak dan kecerdasan. Dan setiap tindakan dan ucapannya membuktikan bahwa ia adalah orang yang bijak dan memiliki pola pikir yang mendalam. Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya. Selain itu, ia orang yang bijak dan memahami permasalahan dengan benar.
Cinta yang mendalam dan tertata menjadikan pemiliknya sebagai orang yang istimewa. Ia tidak berhenti pada rasa cinta tapi tahu akan semua konsekuensinya. Inilah tipe Miqdad bin ‘Amr.
Cintanya kepada Rasulullah menumbuhkan rasa tanggung jawab atas keselamatan Rasulullah. Setiap didengar ada kehebohan di Madinah, maka dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasulullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau tombaknya.
Cintanya kepada Islam menyebabkannya bertanggung jawab untuk membela ajaran Islam. Tidak saja dari tipudaya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan rekan-rekannya sendiri.
Suatu ketika, ia berada dalam pasukan kecil yang berhasil di kepung oleh pasukan musuh. Komandan pasukan memerintahkan agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya. Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan itu, dan melanggarnya. Sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar dari yang seharusnya, atau bahkan ia semestinya tidak layak menerima hukuman.
Miqdad lewat di depan orang yang kena hukuman itu. Orang itu sedang menangis dan berteriak-teriak. Ketika ditanya, ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad menggandeng tangan orang itu, lalu diajak pergi menghadap komandan. Terjadi dialog antara Miqdad dengan komandan.
Dan akhirnya, terbukti bahwa komandanlah yang bersalah. Miqdad berkata kepada komandan, “Sekarang berilah kesempatan kepadanya untuk melakukan qishash.’ Komandan itu patuh pada saran Miqdad. Namun tentara itu memaafkan. Miqdad melihat pemandangan ini dengan takjub. Ia mencium kebesaran Islam yang telah memberikan keluhuran. Ia berkata, “Saat aku mati, Islam sudah dihormati.”
Itulah cita-citanya, yaitu kejayaan Islam saat ia meninggal dunia. Ia perjuangkan cita-cita ini dengan penuh kesabaran dan pengorbanan, bersama rekan-rekannya yang lain. Hingga ia layak menyandang sabda Nabi saw., “Sesungguhnya Allah menyuruhku menyayangimu, dan memberitahuku bahwa Dia menyayangimu.”
Referensi : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW