Fatwapedia.com – Tawakkal adalah buahnya yakin. Semakin kuat yakinnya, semakin kuat tawakkalnya. Sehingga orang yang kuat tawakkalnya akan berani dalam menegakkan kebenaran dan dalam menanggung resikonya serta dalam menghadapi gangguan-gangguan manusia. Karena dia yakin akan firman Allah Ta’ala:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Ruum:47)
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (Muhammad:7)
إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
“Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (Aali ‘Imraan:194)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan kita dalam hal ini, di mana mereka telah menunjukkan kepada kita betapa kuat dan tingginya tawakkal mereka kepada Allah, hal ini dikisahkan dalam hadits berikut:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: (kalimat)
“حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ”
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” telah diucapkan oleh Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dilemparkan ke dalam api dan telah diucapkan (pula) oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika orang-orang berkata: “Sesungguhnya manusia (Abu Sufyan dan rombongannya) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, oleh karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya), dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Aali ‘Imraan:173) (HR. Al-Bukhariy no.4563)
Dan dalam riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Akhir ucapan Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dilemparkan ke dalam api adalah: “Cukuplah Allah menjadi Penolongku dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (HR. Al-Bukhariy no.4564)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam & Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khaliilullaah.
Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah khaliilullaah (kekasih tercinta /kesayangan Allah ‘Azza wa Jalla), berdasarkan firman Allah:
وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisaa`:125)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِيْ خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai kesayangan-Nya sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya.” (HR. Muslim no.532 dari Jundab radhiyallahu ‘anhu)
Sedangkan khaliil maknanya adalah kekasih yang mencapai puncak kecintaannya. Dan kita tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang disifati dengan sifat ini kecuali Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka keduanya adalah khaliil.
Tetapi, kadang-kadang kita mendengar sebagian manusia mengatakan: “Ibrahim Khaliilullaah, Muhammad Habiibullaah (kekasih /orang yang dicintai Allah) dan Musa Kaliimullaah (orang yang diajak bicara langsung oleh Allah tanpa melalui perantara).”
Orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad adalah Habiibullaah”, ucapannya ini perlu ditinjau lagi, karena sesungguhnya al-khullah (yang dimiliki Khaliil) lebih tinggi daripada al-mahabbah (yang dimiliki Habiib), maka apabila dia mengatakan: “Muhammad adalah Habiibullaah” maka ucapan ini mengandung pengurangan terhadap hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu banyak, maka orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah, demikian juga orang-orang yang berbuat ihsan/baik dan orang-orang yang adil, semuanya dicintai oleh Allah, maka orang-orang yang dicintai Allah itu banyak.
Akan tetapi kita tidak mengetahui bahwa sifat al-khullah itu dimiliki seseorang kecuali dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka atas dasar inilah, kita katakan: “Yang benar adalah: “Ibrahim Khaliilullaah, Muhammad Khaliilullaah dan Musa Kaliimullaah.”
Walaupun sebenarnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah diajak bicara oleh Allah Ta’ala tanpa perantara ketika beliau dinaikkan ke langit yang ketujuh (pada waktu isra` mi’raj).
Tawakkalnya Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Dilempar ke dalam Api.
Kalimat: “حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ” telah diucapkan Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dilemparkan ke dalam api, dikarenakan beliau menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi kaumnya enggan dan menolak serta terus-menerus di atas kekufuran dan kesyirikan.
Maka pada suatu hari Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi patung-patung yang disembah oleh kaumnya lalu merusaknya dan menjadikannya hancur berkeping-keping kecuali yang paling besarnya.
Maka ketika kaumnya kembali dan mendapati tuhan-tuhan mereka telah hancur, mereka pun marah dan mencari siapa orangnya yang telah melakukan hal ini. Dikatakan kepada mereka bahwa yang menghancurkan patung-patung tersebut adalah Ibrahim, maka mereka pun mencarinya lalu mendapatkannya dan bertekad untuk menyiksanya.
Lalu mereka bertanya: “Apa yang akan kita lakukan kepada Ibrahim?”
قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْا ءَالِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kalian, jika kalian benar-benar hendak bertindak.” (Al-Anbiyaa`:68)
Maka mereka pun menyalakan api yang besar sekali kemudian melemparkan Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam api tersebut. Sampai-sampai dikatakan bahwasanya karena sangat besarnya api tersebut, mereka tidak mampu berada dekat-dekat dengan api dan mereka pun melemparkan Nabi Ibrahim ke api tersebut dengan manjaniq (alat pelempar yang besar) dari tempat yang jauh.
Ketika mereka melemparkan Nabi Ibrahim, beliau mengucapkan: “حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ”, maka apa yang terjadi?
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْنَا يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (Al-Anbiyaa`:69)
Yakni api tersebut menjadi dingin lawan dari panas dan menjadi keselamatan lawan dari kebinasaan. Karena sesungguhnya api itu panas, membakar dan membinasakan, maka Allah memerintahkan api tersebut agar menjadi dingin dan keselamatan baginya, maka jadilah api tersebut dingin dan menjadi keselamatan (bagi Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Sebagian ahli tafsir menukilkan dari Bani Isra`il dalam kisah ini bahwasanya ketika Allah berfirman:
قُلْنَا يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.”
Maka jadilah seluruh api dunia menjadi dingin.
Akan tetapi ini tidak benar, karena sesungguhnya Allah mengarahkan pembicaraan kepada api tertentu (dalam ayat): “يَانَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا” “Hai api menjadi dinginlah.”
Sedangkan ‘ulama nahwu mengatakan: “Sesungguhnya apabila susunan suatu kalimat datang dengan bentuk seperti ini (seperti dalam ayat di atas) maka jadilah nakirah (kata yang masih umum maknanya) menjadi sesuatu yang tertentu maknanya.” yakni tidak mencakup seluruh api, bahkan khusus untuk api yang Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dilemparkan kepadanya saja, dan inilah yang benar sedangkan api dunia yang lainnya tetap seperti semula.
Para ‘ulama berkata: “Dan ketika Allah berfirman: “Jadilah dingin”, Allah iringi perintah ini dengan firman-Nya: “Jadilah keselamatan”, karena seandainya Allah mencukupkan dengan firman-Nya: “بَرْدًا” “(jadilah) dingin” niscaya jadilah api itu dingin hingga membinasakan Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya segala sesuatu akan mengikuti perintah Allah ‘Azza wa Jalla.
Lihatlah kepada firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِيْنَ
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati.” (Fushshilat:11)
Keduanya pun tunduk terhadap perintah Allah.
Tawakkalnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Adapun khaliil kedua yang berkata: “حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ” adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga para shahabatnya (mengucapkan kalimat tersebut) ketika orang-orang berkata: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Aali ‘Imraan:173)
Kisah selengkapnya adalah ketika Abu Sufyan (ketika itu dia masih kafir) kembali dari Uhud dan ingin mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya untuk menumpas mereka menurut persangkaannya, dia bertemu dengan satu kafilah, maka dia bertanya kepadanya: “Hendak pergi ke mana kalian?” Mereka menjawab: “Kami ingin pergi ke Madinah.” Maka Abu Sufyan berkata: “Sampaikan kepada Muhammad dan para shahabatnya bahwasanya kami akan kembali kepada mereka dan akan menumpas mereka.” Lalu sampailah kafilah tadi ke Madinah kemudian menyampaikan pesan tersebut kepada Rasulullah dan para shahabatnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya menjawab: “حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ”.
Rasulullah dan para shahabatnya pun keluar berjumlah sekitar 70 orang dengan berkendaraan, sampai ke suatu tempat yang disebut Hamraa`ul Asad, ketika mendengar hal ini Abu Sufyan pun kemudian mengurungkan niatnya dan kembali ke Makkah.
Inilah di antara pencukupan dan penjagaan Allah terhadap Rasul-Nya dan orang-orang beriman, ketika mereka bersandar dan bertawakkal kepada-Nya.
Allah berfirman:
فَانْقَلَبُوْا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوْءٌ وَاتَّبَعُوْا رِضْوَانَ اللهِ وَاللهُ ذُوْ فَضْلٍ عَظِيْمٍ
“Maka mereka kembali dengan ni`mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Aali ‘Imraan:174)
Disunnahkan Membaca: حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
Maka selayaknya bagi setiap orang yang melihat manusia berkumpul untuk berbuat jahat kepadanya atau mengadakan permusuhan dengannya, agar mengatakan:
“حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ”.
Apabila dia mengucapkan kalimat ini maka Allah akan mencukupi dan menjaganya dari kejelekan mereka sebagaimana Dia telah menjaga Nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka jadikanlah kalimat ini senantiasa ada dalam hati kita apabila kita melihat manusia mengadakan permusuhan kepada kita.
Kita juga disunnahkan membaca do’a apabila takut dari kejahatan suatu kaum/seseorang, dengan mengucapkan:
اللَّهُمَّ اكْفِنِيْهِمْ بِمَا شِئْتَ
“Ya Allah, lindungilah aku dari kejahatan mereka, menurut sekehendak-Mu.” (HR. Muslim no.3005 dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu)
Allahlah yang memberi taufiq. Wallaahu A’lam. (Diringkas dari Syarh Riyaadhush Shaalihiin 1/290-292 penerbit Maktabah Ash-Shafaa dan Al-Qaulul Mufiid 2/32-33 tahqiiq Hani Al-Hajj, dengan beberapa perubahan dan tambahan)
Sumber: Buletin Jumat Al-Wala` Wal-Bara` edisi ke-3 Tahun ke-3 / 10 Desember 2004 M / 27 Syawwal 1425 H.