Fatwapedia.com – Surga dengan berbagai kenikmatannya akan disediakan untuk hamba-hamba Allah yang terpilih. Meskipun kenikmatan surga tak bisa diserupakan dengan kenikmatan dunia, Allah tidak mensyaratkan untuk mendapatkannya diluar kesanggupan manusia. Berikut ini bukti betapa Allah maha Pengasih pada Hamba-Nya sehingga dengan amalan sederhana saja bisa masuk surga.
Masuk Surga Karena Sebutir Kurma
عن عائشةَ رضي اللَّهُ عنها قَالَتْ: جَاءَتني مِسْكِينَةٌ تَحْمِل ابْنَتَيْن لَهَا، فَأَطعمتُهَا ثَلاثَ تَمْرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً، وَرَفَعَتْ إِلى فِيها تَمْرةً لتَأكُلهَا، فَاسْتَطعَمَتهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّت التَّمْرَةَ الَّتي كَانَتْ تُريدُ أَنْ تأْكُلهَا بيْنهُمَا، فأَعْجبني شَأْنها، فَذَكرْتُ الَّذي صنعَتْ لرسولِ اللَّه ﷺ فَقَالَ: إنَّ اللَّه قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الجنَّةَ، أَو أَعْتقَها بِهَا من النَّارِ
Aisyah mengisahkan, ”Suatu kali seorang perempuan miskin mendatangiku dan ia membawa dua anak perempuannya yang masih kecil.
Aku memberinya tiga buah kurma. Ia memberikan dua butir kepada dua anaknya. Niatnya, ia akan memakan sisanya. Tetapi, kedua anaknya berebut sisa kurma yang masih di tangannya, sehingga kurma itu jatuh. Perempuan itu, akhirnya, tidak makan sebutir pun. Aku melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah, dan beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang mendapat cobaan dan menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari jilatan api neraka’.” (HR Bukhari, Muslim, dan Turmudzi).
Masuk Surga Karena Seekor Anjing
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ
“Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah” (HR. Al Bukhari no.3321, Muslim no.2245).
Di dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya lalu keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya” (HR. Al Bukhari no.6009, Muslim no.2244).
Masuk Surga Karena Sebuah Roti
Ketika Rasulullah masih hidup, Abu Musa diangkat bersama Mu’adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawab dalam jihad besar yang sedang dijalani oleh tentara Islam melawan Persia dan Romawi.
Pada pemerintahan Umar bin Khattab, Abu Musa diangkat sebagai gubernur di Bashrah. Sedangkan Khalifah Utsman bin Affan menunjuknya sebagai gubernur di Kufah.
Semasa hidupnya, Abu Musa mengenal seorang laki-laki yang sangat tekun beribadah. Selama tujuh puluh tahun laki-laki itu selalu beribadah di jalan Allah. Tak pernah pula ia meninggalkan tempat ibadah. Hari-harinya dihabiskan untuk mengabdi kepada Allah di tempat ibadah itu karena ia memang tinggal dan menjaganya.
Hingga suatu hari datanglah godaan pada laki-laki tersebut. Ia digoda seorang wanita. Ia masuk dalam jebakan dosa dari wanita tersebut. Selama tujuh hari ia bergelimang dalam dosa melakukan perzinahan. Ia tak punya hubungan apa-apa dengan wanita penggoda tersebut, tetapi melakukan hubungan suami-istri dengan wanita itu.
Tak lama kemudian ia pun tersadar akan dosa-dosanya. Ia pergi meninggalkan sang wanita, dan kembali bertaubat. Namun, untuk kembali pada rumah ibadah yang selama ini dijaganya, ia tak sanggup. Ia bertaubat, kembali beribadah di jalan Allah, tetapi ia merasa tak pantas lagi berada di tempat tersebut.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengembara. Ke mana pun kakinya melangkah, sholat, sujud, zikir, dan ibadah lainnya tak pernah ditinggalkannya. Dalam pengembaraannya tersebut, akhirnya sampailah ia ke sebuah pondok reyot yang di dalamnya telah tinggal dua belas fakir miskin. Ia bermaksud bermalam di sana karena badannya telah letih karena melakukan perjalanan yang sangat jauh. Ia pun jatuh tertidur bersama penghuni lainnya di tempat tersebut.
Rupanya, di dekat pondok tinggallah seorang dermawan yang setiap malamnya selalu membagi makanan bagi fakir miskin yang tinggal di lingkungan sekitarnya. Biasanya ia membagi-bagikan roti. Ia pun selalu adil membagikan satu potong roti untuk masing-masing orang yang tinggal di pondok tersebut.
Malam itu, laki-laki pengembara yang sedang bertaubat tersebut juga mendapatakan jatah pembagian roti dari sang dermawan karena dianggap penghuni tetap pondok tersebut.
Namun, ternyata salah seorang dari fakir miskin penghuni pondok tidak mendapat pembagian jatah roti. “Mengapa saya tidak mendapatkan roti,” ujar sang penghuni pondok pada sang dermawan.
Pertanyaan tersebut dijawab oleh sang dermawan. “Kamu lihat sendiri, roti yang aku bagikan telah habis, padahal aku telah membaginya secara adil, masing-masing satu potong roti untuk setiap orang yang tinggal di sini, seperti hari-hari sebelumnya aku membawa dua belas potong roti,” ujarnya.
Mendengar ungkapan dari orang yang membagikan roti tersebut, maka lelaki yang sedang bertaubat itu lalu mengambil roti yang telah diberikan kepadanya dan memberikannya kepada orang yang tidak mendapat bagian tadi. Padahal, perjalanan jauh sebenarnya telah menguras energinya.
Apalagi, ia menjalaninya dengan perut kosong. Di tangannya telah ada satu makanan yang bisa mengisi perutnya. Namun, karena ia merasa itu bukan haknya, ia rela kembali merasakan lapar dan memberikan sepotong roti tersebut pada yang berhak.
Keesokan harinya, laki-laki pengembara yang sedang bertaubat itu meninggal dunia. Di hadapan Allah, ditimbanglah amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang yang bertaubat itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun dengan dosa yang dilakukannya selama tujuh malam. Ternyata hasil dari timbangan tersebut, amal ibadah yang dilakukan selama tujuh puluh tahun itu dikalahkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya selama tujuh malam.
Akan tetapi, timbangan kebaikannya ditambahkan dengan perbuatan baiknya menjelang ajalnya, yaitu memberikan sepotong roti pada fakir miskin yang sangat memerlukannya. Ternyata amal tersebut dapat mengalahkan perbuatan dosanya selama tujuh malam itu. Kepada anaknya Abu Musa berkata, “Wahai anakku, ingatlah olehmu akan orang yang memiliki sepotong roti itu!”
Amal sedekah bisa menyelamatkan umat manusia dari api neraka. Apalagi, yang bersedekah tersebut merupakan orang yang juga sebenarnya sangat membutuhkan harta tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham bisa mengalahkan 100 ribu dirham.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana bisa demikian?” “Ada orang yang memiliki dua dirham, kemudian dia sedekahkan satu dirham. Sementara itu ada orang yang memiliki banyak harta, kemudian dia mengambil seratus ribu dirham untuk sedekah.” (HR an-Nasai).
Abu Hurairah Radiyallahu Anhu berkata, “Wahai Rasulullah, sedekah yang bagaimana yang paling utama?” Rasulullah pun bersabda, “Kesungguhan seorang muqil, dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu.” Muqil adalah orang yang sedikit hartanya, tetapi dia bersedekah sesuai dengan kemampuannya..
Akhukum Abdusshobur Al-Bimawy