Pajak Kontemporer, Dalam Tinjauan Syar'i

Pajak Kontemporer, Dalam Tinjauan Syar'i


Fatwapedia.com – Pajak kontemporer adalah iuran wajib setiap warga negara (muslim/non muslim) kepada negara berdasarkan undang-undang untuk membiayai belanja negara. Dalam bentuk; pajak penghasilan, pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, pajak barang masuk dan lainnya.

Pajak jenis ini telah dihapuskan islam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, akan tetapi kenyataan yang dihadapi saat ini hampir seluruh negara islam menerapkan pajak jenis ini untuk membiayai kebutuhan negara yang semakin komplit. Maka dibutuhkan ijtihad baru para ulama.

Hukum Pajak Kontemporer Menurut Fikih

Para ulama fikih telah membahas tentang hukum menarik pajak selain yang telah ditetapkan sebelumnya, diantara mereka ada yang mengharamkan mutlak dan diantara mereka ada yang membolehkan bersyarat. Dan tidak ada yang membolehkan mutlak tanpa syarat karena diriwayatkan oleh Muslim bahwa nabi bersabda,

«مَهْلًا يَا خَالِدُ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ»

“Sabar wahai khalid! Demi Allah, sungguh wanita itu telah bertaubat , kalau penarik mukus bertaubat seperti dia, niscaya diampuni dosanya”.

Pendapat Yang Mengharamkan (Pajak, Red)

Diantara ulama yang mengharamkan pajak Al Mawardi, Abu Ya’la.

Dalil pendapat yang mengharamkan;

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} [النساء: 29]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil”. (An Nisaa: 29).

«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ»

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain”. (HR. Bukhari Muslim).

Pada dasarnya harta setiap muslim haram untuk diambil tanpa hak.

Hadis-hadis yang mengharamkan mukus.

Kewajiban seorang muslim pada hartanya telah dijelaskan syariat dan pajak tidak termasuk bagian yang dibolehkan. Bahkan nabi dalam keadaan genting saat akan perang tidak menarik pajak, beliau lebih memilih cara berhutang kepada shahabat yang kaya dan menarik zakat sebelum jatuh tempo serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan untuk menghadang musuh.

Sadd zariah Andai hal ini dibuka maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang zalim untuk mengambil harta umat islam. Dan juga tidak pernah diterapkan para shahabat nabi.

Tanggapan Dalil yang Mengharamkan

Ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengharamkan mengambil harta orang lain dengan tanpa hak tidak menafikan adanya kewajiban dalam harta terhadap kerabat dan fakir miskin. Dan pajak yang ditarik atas kebutuhan pokok sebuah negara lebih penting daripada kebutuhan individu.

Hadis-hadis yang mengharamkan mukus itu bermakna mukus yang zalim. Adapun pajak yang ditarik berdasarkan kebutuhan pokok sebuah negara bukanlah suatu kezaliman.

Adapun dalil bahwa nabi hanya berhutang dan tidak menarik pajak, itu dimungkinkan jika diharapkan akan ada pemasukan kas negara untuk menutupi utang negara. Adapun jika tidak ada harapan untuk menutup utang tentu menarik pajak dengan ketentuan syari merupakan satu-satunya jalan.

Adapun dalil bahwa sadd zariah bisa diatasi dengan membuat ketentuan untuk penarikan pajak yang dibolehkan.

Adapun hal ini tidak pernah dilakukan di masa shahabat telah ditanggapi oleh Syatibi “karena tidak ada kebutuhan di waktu itu, dimana keuangan bait mal cukup membiayai belanja negara”. Itisham 2/121.

Pendapat Yang Membolehkan Dengan Syarat

Para ulama yang membolehkan menarik pajak dalam kondisi dan syarat tertentu, diantaranya; Al Juwaini, Syatibi, para ulama andalus dan ulama mazhab hanafi dan Ibnu Taimiyah. Dengan syarat;

1. Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara yang mendesak, seperti menghadapi musuh yang hendak menyerang. Ibnu Abidin berkata,” Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya”.

2. Pemasukan negara dari jizyah, kharaj dll tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan pokok negara. Dengan kata lain kas baitul maal kosong. Ibnu al Arabi berkata, “Kas negara habis dan kosong”.

3. Bermusyarah dengan ahlul hilli walaqdi. Ibnu Al Arabi berkata,”tidak halal mengambil harta warga negaranya kecuali untuk kebutuhan mendesak dengan cara adil dan dengan musyawarah kepada para ulama”.

4. Ditarik dengan cara yang adil dengan hanya mewajibkan pada harta orang yang kaya dan mampu. Al Haitami berkata, “Menolak mudharat umat merupakan tanggung jawab yang mampu, yaitu orang yang memilliki kelebihan harta setelah dikelaurkan kebutuhan pokoknya”. Tuhfah  9/220.

5. Pendistribusian pajak yang ditarik untuk kepentingan yang telah ditujukan. Tidak boleh didistribusikan untuk hal yang bersifat mewah.

6. Masih adanya kebutuhan yang mendesak. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Dengan kata lain penerapan pajak bersifat sementara dan bukan menjadi pemasukan tetap sebuah negara. Syatibi berkata,” Pajak ditarik atas dasar darurat dan diukur seperlunya. Jika darurat telah hilang maka pajakpun dihapuskan”. (Itisham 2/122.)

Sebagaimana yang pernah diterapkan oleh kerajaan Arab Saudi sebelum ditemukan minyak.

Dalil Yang Memperbolehkan

Ayat-ayat tentang kewajiban berjihad difa’ dan thalab. Diantaranya firman Allah,

{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ} [الأنفال: 60]

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.

Almaslahat, yaitu:

( جلب المصالح ودرء المفاسد)

“Mendatangkan kemaslahatan dan menolak mudharat”.

Andai tidak ditarik pajak maka negara tidak bisa berjalan dan mudharat yang terjadi tanpa keberadaan suatu negara yang mengatur sangat besar. Maka mudharat tersebut ditolak dengan menerapkan mudharat yang lebih kecil yaitu penarikan pajak.

Qiyas. Dengan menganalogikan kepada kasus dimana seorang wali anak kecil boleh mengambil harta mereka untuk kepentingan mereka.

Dalil Hajah. Dimana meningkatnya kebutuhan negara dari masa ke masa sebagaimna yang diungkapkan oleh Al Juwaini dan Al Ghazali. Juga dijelaskan dalam kaidah,

الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة

“Suatu kebutuhan bisa saja disamakan dengan darurat jika dibutuhkan oleh masyarakat umum”.

Kesimpulan

Pada dasarnya pajak tidak dibolehkan dalam Islam karena terdapat ayat dan hadis yang melarang. Namun dalam kondisi tertentu dan dengan syarat tertentu pajak dibolehkan atas dasar pengecualian hukum.

Yang perlu didiskusikan dan dicari penyelesaiannya bersama oleh para ulama dan ulil amri adalah Apakah pajak yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia saat ini telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh syariat?

Leave a Comment