Panduan Lengkap Shalat Istisqa Sesuai Sunnah

Panduan Lengkap Shalat Istisqa Sesuai Sunnah

Fatwapedia.com – Diantara kesempurnaan islam adalah menggabungkan antara ikhtiar manusia dan doa secara beriringan. Saat terjadi kemarau misalnya, islam mensyariatkan pada ummatnya untuk ikhtiar dan berdoa. Diantara bentuk usaha yang dilakukan saat minta hujan adalah dengan shalat istisqa’. Seperti apa tata cara shalat istisqa? Berikut penjelasan selengkapnya.

Definisi Istisqa’

Istisqa’ adalah: Memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala pada masa kemarau untuk menurunkan hujan. Ulama sepakat bahwa istisqa’ adalah sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun mereka berbeda pendapat dalam hukum shalat istisqa’ sebagaimana yang akan kita bahas selanjutnya.

Hukum Shalat Istisqa

Jika terjadi kemarau, tanah menjadi kering, paceklik, hujan pun tak kunjung turun, maka menurut mayoritas ulama disunnahkan kepada seorang Imam (pemimpin) untuk keluar bersama rakyatnya menuju tempat shalat dan mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat, Inilah ketetapan yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sebagaimana hadits riwayat Abbad bin Tamim dari pamannya:

خَرَجَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِلَى الْمُصَلَّى يَسْتَسْقِي ، وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، وَقَلَبَ رِدَاءَهُ ، وَجَعَلَ الْيَمِينَ عَلَى الشِّمَالِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju mushala untuk memohon hujan, kemudian beliau menghadap kiblat, dan mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri.” [1]

Namun Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur[2], menurutnya: Tidak disunnahkan shalat istisqa’ atau pun keluar rumah untuk mengerjakan istisqa’. Dengan landasan dalil bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan istisqa’ (memohon agar turun hujan) tanpa mengerjakan shalat, sebagaimana yang nanti akan dibahas.

Tetapi hadist di atas –hadist Abbad bin Tamim– cukup untuk membantah pendapat Abu Hanifah. Begitu juga bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan istisqa’ tanpa shalat tidak menutup kemungkinan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengerjakan dua-duanya yaitu istisqa’ tanpa shalat dan juga istisqa’ dengan mengerjakan shalat. Maka diantara keduanya tidak ada pertentangan.

Sunnah-Sunnah Istisqa’

Orang-orang keluar bersama Imam ke tempat shalat dengan berpakaian keseharian, tawadhu’, dan merendahkan diri.

Diriwayatkan dari ibnu abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:

خَرجَ رسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مبتذلاً مُتَوَاضِعاً مُتَضَرعاً حتى أتَى المصلى- فَرَقِي المِنْبَرَ، فلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذَهِ، وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ في الدُعَاءِ وَالتضَرُّعِ وَالتكْبِيرِ، ثم صَلىَّ رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصلِّي فِي العِيدِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dengan pakaian biasa, tawadhu’ dan merendahkan diri hingga sampai ke lapangan tempat shalat, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke atas mimbar, dan beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini, melainkan terus berdoa, khusyu’ dan bertakbir, kemudian shalat dua rakaat seperti shalat dua hari raya” [1]

Imam berkhutbah di atas mimbar –yang disediakan untuknya–, baik itu sebelum shalat atau sesudahnya.

Para ulama yang mengatakan sunnahnya shalat istisqa’ sepakat bahwa di dalamnyadisertai khutbah. Kecuali satu riwayat dari madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa shalat’ istisqa tanpa khutbah.

Apakah Khutbahnya Dilakukan Sebelum Atau Setelah Shalat?

Imam Malik, Imam Syafi’i dan salah satu pendapat masyhur dari Imam Ahmad,begitu juga dengan mayoritas ulama berpendapat bahwa khutbah shalat istisqa’dilakukan setelah shalat.[2] Dengan dalil sebagai berikut:

Hadist riwayat Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِلَى الْمُصَلَّى فَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَ دَعَا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ke tempat shalat (lapangan) dan memohon agar diturunkan hujan, Rasulullah membalikkan selendang beliau ketika menghadap kiblat, kemudian Rasulullah memulai shalat sebelum khutbah lalu beliau menghadap kiblat dan berdoa.”[3]

Hadist Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :

خَرَجَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلا أَذَانٍ وَلاَ إقَامَةٍ , ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ, وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ , فَجَعَلَ الأَيْمَنَ عَلَى الأَيْسَرِ , وَالأَيْسَرَ عَلَى الأَيْمَنِ

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk memohon hujan, kemudian beliau shalat bersama kami tanpa adzan dan iqamah, setelah itu beliau khutbah dan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala , lalu Rasulullah membalikkan selendang beliau menjadikan bagian kanan pada bagian kiri, dan bagian kiri pada bagian kanan.”[1]

Namun ada pendapat lain yaitu riwayat kedua dari Imam Malik dan Imam Ahmad yang mengatakan bahwa khutbah shalat istisqa’ dilakukan sebelum shalat. Dengan dalil sebagai berikut:

Hadist riwayat Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma :

خَرَج النبيُّ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِي، فَتَوَجَّهَ إلى القِبلَةِ يَدْعُو، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى رَكعَتَين جَهَرَ فِيهِمَا بالقِرَاءَةِ

“Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk shalat istisqa’, kemudian beliau menghadap kiblat berdoa, lalu membalikkan selendang beliau, setelah itu shalat dua rakaat dengan bacaan nyaring.” [2]

Penulis Berkata: Sesungguhnya permasalahan ini sangatlah luas, maka dibolehkan khutbah pada shalat istisqa sebelum shalat atau sesudahnya. Pilihan ini juga termasuk riwayat ketiga dari Imam Ahmad, serta pendapat Imam Syaukani dan ulama lainnya.

Disunnahkan juga dalam khutbah shalat istisqa’ agar sesuai dengan ajaran hadist yaitu dilakukan dengan merendahkan diri kepada Allah, penyesalan atas segala dosa, serta bertaubat kepada-Nya. Sebagaimana yang dikatakan ibnu Abbas ketika Umar bin Khattab mengerjakan istisqa’:

“Inilah tangan-tangan kami yang penuh dosa datang kepada-Mu, dan jambul kami memohon taubat dari-Mu, maka turunkanlah hujan bagi kami”[3]

Imam hendaklah memperbanyak doa dan permohonan sambil berdiri dan menghadap kiblat dengan mengangkat tinggi kedua tangannya ke langit, begitu jugamakmumnya mengangkat kedua tangan mereka, kemudian Imam membalikkan selendangnya.

Sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma :

أن النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ بِالنَّاسِ يَسْتَسْقِي بهمْ فَقَامَ فَدَعَا اللَّهَ قَائِمًا ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَ الْقِبْلَةِ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ فأُسْقُوا

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar bersama orang-orang untuk melakukan istisqa’, beliau berdiri dan berdoa kepada Allah dalam keadaan berdiri, kemudian menghadap kiblat dan membalikkan selendang beliau, maka air pun diturunkan untuk mereka.”[4]

Dan juga diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma :

كَانَ النَّبِي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَع يَدَيْهِ فِي شَيْء مِنْ دُعَائِه إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاء وأَنَّهُ يَرْفَع حَتَّى يُرَى بَيَاض إِبْطَيْهِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengangkat kedua tangan beliau ketika berdoa kecuali saat shalat istisqa’, maka Rasulullah mengangkat kedua tangan beliau sampai kelihatan putihnya kedua ketiak beliau.” [1]

Dan juga riwayat lain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma :

أنَّ رَسُوْلَ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- اِسْتَسْقَى فأشَارَ بظهْرِ كَفَّيْهِ إلى السَّمَاءِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan seraya menadahkan kedua telapak tangan beliau ke langit.” [2]

Dalam riwayat Abu Daud dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma dengan lafadz:

كَانَ يَسْتَسْقِي هَكَذَا وَمَدَّ يَدَيْهِ وَجَعَلَ بُطُونَهُمَا مِمَّا يَلِي الْأَرْضَ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat shalat istisqa’ –beliau berdoa– seperti ini; sambil membentangkan kedua tangannya –dan menjadikan bagian dalam kedua tangannya menghadap ke bawah– sampai aku melihat putih ketiaknya.”

Imam Nawawi berkata: “Para ulama berpendapat; dalam setiap doa yang dipanjatkan untuk mengusir bencana disunnahkan untuk mengangkat kedua tangannya ke langit, begitu juga saat memanjatkan doa untuk memohon sesuatu”

Ulama yang lain berkata; Hikmah berdoa dengan mengisyaratkan kedua telapak tangan saat shalat istisqa’ saja tanpa shalat sunnah lainnya, sebagai bentuk optimisme dengan menjadikan perkara luar menjadi perkara batin. Demikian juga halnya hikmah dalam mengganti posisi selendang. Atau bisa juga bahwa hikmah dari hal tersebut adalah sebagai isyarat tentang sifat sesuatu yang diminta itu, yaitu turunnya awan ke bumi.[3]

Adapun disunnahkannya bagi setiap orang yang hadir bersama Imam untuk ikut mengangkat ke dua tangannya; hal tersebut berdasarkan dari hadis Anas radhiallahu ‘anhu. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memohon hujan pada hari jumat di atas mimbar.

فَرَفَعَ رَسُول ُاللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَدَيْهِ يَدْعُو وَرَفَعَ النَّاسَ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُوْنَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa mengangkat kedua tangannya, begitu juga dengan orang-orang bersama beliau ikut berdoa mengangkat tangan.[4] Hadits ini akan dibahas nanti.

Hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha pada saat orang-orang tertimpa paceklik, lalu Rasulullah menjanjikan mereka keluar:

فَقَعَدَ عَلَى اَلْمِنْبَرِ, فَكَبَّرَ وَحَمِدَ اَللَّهَ عزوجل, ثُمَّ قَالَ: “إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدَبَ دِيَارِكُمْ, واستئخار المطر عن إبان زمانه عليكم وَقَدْ أَمَرَكُمْ اَللَّهُ أَنْ تَدْعُوَهُ, وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ, ثُمَّ قَالَ: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اَلْعَالَمِينَ, اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ, مَالِكِ يَوْمِ اَلدِّينِ, لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ, اَللَّهُمَّ أَنْتَ اَللَّهُ, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ, أَنْتَ اَلْغَنِيُّ وَنَحْنُ اَلْفُقَرَاءُ, أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ, وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas mimbar. Beliau kemudian bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan mengabulkan doa kalian” Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan. (Al-Fatihah: 2-4). Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Rabb, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha Kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan” [1]

5. Shalat berjamaah dua rakaat sebagaimana shalat Id, dan bacaannya dilantunkandengan suara nyaring. Sebagaimana dalam hadist Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :

وَصَلىَّ رَكْعَتَينِ كَمَا يُصلِّي العِيدَ

“Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat sebagaimana shalat Id” [2]

Juga hadist Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma :

ثُمَّ صَلَّى رَكعَتَين جَهَرَ فِيهِمَا بالقِرَاءَةِ

“Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya pada kedua rakaat tersebut.” [3]

Istisqa’ Tanpa Keluar (Ke Tanah Lapang) Untuk Melakukan Shalat Istisqa’

Terdapat beberapa riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang beragam cara Istisqa’ yang dilakukan tanpa mengerjakan shalat. Diantaranya:

Istisqa’ (memohon hujan) saat khutbah Jumat.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma :

أنَّ رَجُلا دَخَلَ المَسْجِدَ يَوْمَ الجُمُعَةِ ، وَرَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم قَاِئمٌ يَخطبُ. فاستقْبَلَ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَاِئماَ ثمَّ قَال: يَا رسُولَ الله، هَلَكَتِ الأموَالُ وَانقَطعتِ السُّبُلُ فادع الله يُغِثْنَا. فَرَفَعَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يَدَيْهِ ثمَّ قَالَ: ” اللهُمَّ أًغِثنا، الّلهُمَّ أغِثنا، اللهُم أغثنا “. قال أنس: وَلاَ وَالله مَا نَرَى في السمَاءِ مِنْ سَحَابة وَلاَ قزَعةٍ وَلاَ بيننَا وَبَين سَلع مِنْ بَبْتِ وَلاَ دَارٍ. قال: فَطَلَعَت مِنْ وَرَاَئِهِ سَحَابَة مِثلُ التُّرس، فَلمَّا تَوَسطَتِ السمَاءَ، انتشرَتْ ثُمَّ أمطَرَتْ. فَلا والله مَا رأينا الشمسَ ستاَ. ثم دَخَلَ رَجل مِنْ ذلِكَ البَابِ في الجُمُعَةِ ، وَرَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم قائم يخطبُ فَاستقْبَلَهُ قَاِئما فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله هَلَكتِ الأموَالُ وَانقَطَعَتِ السبلُ، فَادعُ الله يُمسِكْهَا عَنَّا. قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يَدَيْهِ ثم قَالَ: ” الَلهُم حوَالينا وَلا عَلَينا، الّلهُم عَلى الآكام وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأوْدِية وَمَنَابِتِ الشجَرِ ” قال: فاقلعَتْ وَخَرَجْنَا نَمْشى في الشَّمس

“Bahwa Seorang lelaki memasuki masjid pada hari Jumat, ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berdiri berkhutbah. Lelaki tadi berkata: “Wahai Rasulullah, harta-harta telah binasa dan jalan-jalan terputus (banyak orang kelaparan dan kehausan). Mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengangkat kedua tangan beliau seraya mengucapkan, “Ya Allah, Tololonglah kami, Ya Allah, Tololonglah kami, Ya Allah, Tololonglah kami” Anas berkata: “Demi Allah, sebelum itu kami tidak melihat sedikitpun awan tebal maupun tipis. Awan-awan juga tidak ada di antara tempat kami, di bukit, rumah-rumah atau satu bangunan pun”. Anas berkata, “Tapi tiba-tiba dari bukit tampaklah awan bagaikan perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan pun menyebar dan hujan pun turun”. Anas melanjutkan, “Demi Allah, sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari.” Kemudian berikutnya seorang lelaki memasuki masjid pada hari Jumat dari arah pintu itu, ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah. Lelaki tadi berkata: “Wahai Rasulullah, harta-harta telah binasa dan jalan-jalan terputus (banyak orang kelaparan dan kehausan). Mintalah kepada Allah agar menghentikan hujan”. Anas berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengangkat kedua tangan beliau seraya berdoa, “Ya Allah, Hujanilah di sekitar kami jangan kepada kami. Ya Allah, Berilah hujan ke dataran tinggi beberapa anak bukit dasar lembah dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan. Anas berkata: Maka berhentilah hujan dan kami keluar di panas matahari” [1]

Faedah Dari Hadits Ini:

Bolehnya menyisipkan doa istisqa’ dalam khutbah Jumat di atas mimbar tanpa harus memindahkannya atau menghadap ke arah kiblat, begitu juga cukup dengan shalat Jumat tanpa harus shalat istisqa’, serta bolehnya memohon hujan tanpa harus mengerjakan shalat Istisqa.

Meminta hujan di masjid diluar khutbah jumat dan tanpa mengerjakan shalat.

Sebagaimana hadist Jabir radhiallahu ‘anhu :

أتَت النبيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَوَاك فقال النَّبِي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ: ” اللهم اسْقنَا غَيْثاً مُغيثاً مَريئاً نَافعاً غيرَ ضار، عاجلاً غير آجلٍ” فأطبقت عَلَيْهِم السَّمَاء

“Sejumlah wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis (karena sedikit hujan), maka beliau berdoa, “Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang memberikan bantuan, menyenangkan, tidak membahayakan, tidak menimbulkan kerugian, segera dan tidak ditunda”.Maka langit pun menurunkan hujan pada mereka.” [1]

Shalat Istisqa’ di luar masjid.

Diriwayatkan dari ‘Umair Maula (mantan budak) Abu al-Lahm

أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِي عِنْدَ أَحْجَارِ الزَّيْتِ قَرِيبًا مِنْ الزَّوْرَاءِ قَائِمًا يَدْعُو رَافِعًا يديه قبل وجهه لَا يُجَاوِزُ بِهِمَا رَأْسَهُ

“Bahwa ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memohon hujan di sisi ahjaruz zait dekat dengan az-Zaura’ dalam keadaan berdiri beliau berdoa dan mengangkat kedua telapak tangan serta menghadapkan telapak tangannya ke wajah tidak melampaui tinggi kepala beliau.” [2]

Apa Yang Diucapkan Dan Dilakukan Ketika Turun Hujan?

Ketika turun hujan disunnahkan untuk berdoa dengan doa yang ma’tsur:

Hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :

أَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَأَى اَلْمَطَرَ قَالَ: ” اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا “

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hujan beliau berdoa: “Ya Allah, –jadikan hujan ini– hujan yang membawa manfaat.” [3]

Hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :

أَنَّه صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَأَى اَلْمَطَرَ قَالَ: رَحمَة

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hujan beliau berkata: “Rahmah” (Karunia).[4]

Harus percaya bahwa turunnya hujan itu atas izin Allah dan rahmat-Nya, bukan karenaperedaran bintang maupun angin.

Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid, bahwa ia berkata:

صَلَّى بنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ في إِثْرِ سَمَاءٍ[1] كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ صلى الله عليه وسلم ، أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، قَالَ : “هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ؟” ، قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : “أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ : مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ : مُطِرْنَا بِنَوْءِ[2] كَذَا ، وَكَذَا ، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوَاكَبِ”

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami dalam shalat shubuh di Hudaibiyah setelah semalamnya turun hujan. Ketika selesai shalat beliau menghadap kepada kami lantas bersabda, tahukah kamu apa yang difirmankan Rabb kalian? Mereka menjawab, Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahui. Kemudian beliau bersabda: “Allah berfirman, pagi ini di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan, telah turun hujan kepada kami berkat karunia dan rahmat Allah, dia beriman kepadaku dan kafir kepada bintang, sedang orang yang mengatakan, telah turun hujan kepada kami karena bintang ini dan bintang itu maka dia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang” [3]

Siapa yang percaya bahwa turunnya hujan karena angin maka ia telah kafir, karena ia telah menyekutukan Allah Subhanahu wata’ala dalam sifat Rububiyyah. Sedangkan bagi yang tidak mempercayai itu tetapi mengatakannya dalam bentuk kiasan dan tetap percaya bahwa hujan turun karena Allah Subhanahu wata’ala serta mengikuti adat kebiasaan bahwa turunnya hujan dikarenakan adanya bintang jatuh maka itu termasuk syirik kecil sebab ia telah menisbahkan nikmat Allah kepada selain-Nya. Karena Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan angin sebagai sebab turunnya hujan, akan tetapi semuanya terjadi karena karunia dan rahmat Allah Subhanahu wata’ala. Allah menghentikan dan menurunkannya sesuai kehendak-Nya.[4]

Ketika turun hujan disunnahkan untuk berdoa, karena termasuk waktu mustajab (jika haditsnya adalah shahih)

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

“Carilah doa yang mustajab pada tiga keadaan; Bertemunya dua pasukan (saat perang), Menjelang shalat dilaksanakan, dan Saat hujan turun.” [5]

Disunnahkan membasahi sebagian tubuhnya dengan air hujan.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma ia berkata:

أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَطَرٌ قَالَ : فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثَوْبَهُ حَتَّى أَصَابَهُ مِنَ الْمَطَرِ. فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا؟ قَالَ :”لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ”

“Kami pernah diguyur hujan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyingkap pakaian beliau hingga terkena hujan. Kami pun bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan itu?” Beliau menjawab, “Karena hujan baru saja diturunkan oleh Allah”[1]

Apabila hujan deras dan takut berbahaya, maka disunnahkan untuk berdoa mengangkat kedua tangannya sebagaimana hadist Anas di atas saat Istisqa’ pada hari jumat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas mimbar:

الَلهُم حوَالينا وَلا عَلَينا، الّلهُم عَلى الآكام وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأوْدِية وَمَنَابِتِ الشجَرِ

“Ya Allah, Hujanilah di sekitar kami jangan kepada kami. Ya Allah, Berilah hujan ke daratan tinggi beberapa anak bukit dasar lembah dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan. [2]

Al-Akam: adalah dataran yang lebih rendah dari gunung namun lebih tinggi dari bukit kecil,

Azh-zharab: Gunung yang tidak terlalu tinggi namun luas.

Footnote:

[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1027), dan Muslim (894) dan lafadz hadits milik Al-Bukhari

[2] Ibnu Abidin (2/184), Fathuul-Qadir (2/57)

[1] Hadits Riwayat: Abu Daud (1165), At-Tirmidzi (555), An-Nasa`i (1/226), Irwa’ al-Ghalil (665). Dinyatakan Hasan oleh al-Albani

[2] Ad-Dasuqi (1/406), Al-Umm (1/221), Al-Majmu’ (5/77), Al-Mughni (2/433), Kasyaf Al-Qanna’ (2/69)

[3] Hadits Riwayat: Ahmad (4/41), Asalnya dari Al-Bukhari (1027). Sanadnya shahih. namun di dalamnya tidak ada kejelasan letak Syahid darinya

[1] Hadits Riwayat: Ahmad (2/326), dan Ibnu Majah (1268). Sanadnya layyin (lemah)

[2] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1024), dan Muslim (894)

[3] Disebutkan oleh Al-Hafidz dalam kitabnya Fathul-Bari (2/497), dan dikuatkannya kepada Zubair bin Bakkar dalam kitab Al-Ansab

[4] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1023), dan Ad-Darimi (1534)

[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1031), dan Muslim (895)

[2] Hadits Riwayat: Muslim (896), Abu Daud (1171), dan Ahmad (3/153)

[3] Fathul-Bari (3/601)

[4] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1029)

[1] Hadits Riwayat: Abu Daud (1173), Hakim (1/328), Lih: Irwa’ al-Ghalil (668). Dinyatakan Hasan oleh al-Albani

[2] Dinyatakan Hasan oleh al-Albani, dan baru saja dibahas

[3] Shahih, Baru saja dibahas

[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1014), dan Muslim (897)

[2] Fathul-Bari (2/589)

[1] Shahih, baru saja dibahas

[2] Hadits Riwayat: Abu Daud (1168), At-Tirmidzi (557), An-Nasa`i (3/159), dan Ahmad (5/223). Shahih

[3] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1032), dan Ibnu Majah (3889).

[4] Hadits Riwayat: Muslim (899)

[1] Setelah turun hujan

[2] Turunnya bintang dari rumah-rumah, Konon bangsa Arab percaya bahwa terjadinya hujan dan angin karena ada bintang jatuh.

[3] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (846), Muslim (71)

[4] Fathul-Majid (hal. 455-459) dikutip secara ringkas.

[5] Dinyatakan Shahih oleh al-Albani, Silsilah As-Shahihah (1469), dan Sahihul-Jami’ (1026)

Leave a Comment