Fatwapedia.com – Ibnu Taimiyah atau sering disebut sebagai bapak tajdid atau reformasi, mempunyai andil besar dalam meletakkan dasar-dasar pembaruan Islam. Pintu Ijtihad yang seolah-olah sudah ditutup pada waktu itu didobrak Ibnu Taimiyah sambil menegaskan bahwa rekontruksi Islam hanya dapat dilakukan dengan menghidupkan semangat ijtihad. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa manusia harus memahami kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Ajaran Ibnu Taimiyah ialah mengembalikan pangkalan tempat bertolak fikiran dan pandangan muslimin tauhid yang bersih.
Sebagai seorang tokoh pembaruan, dia selalu berorientasi kepada kemajuan umat manusia, dengan penuh kesungguhan dan keberanian untuk menegakkan kesalehan. Ibnu Taimiyah menginginkan zaman keemasan dan perdamaian itu bangkit kembali seperti diajarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sebagai cermin Islam yang berfungsi rahmatan lil alamin. Dengan demikian Islam memiliki watak dinamis. Artinya bahwa Islam harus difahami sebagai proses yang notabene membutuhkan terbukanya pintu ijtihad dengan lebar dan tumbuhnya semangat keterbukaan yang berimplikasi pada wujud Islam yang universal.
Yang menarik dari rangkaian pemikiran Ibnu Taimiyah adalah benang merah keadilan sosial dan penekanan tugas manusia sebagai makhluk sosial yang mengemban kewajiban kolektif untuk menciptakan kesejahteraan bersama, bukan sekedar makhluk individu dengan tugas-tugas individualnya. Gagasan-gagasan pembaruan Ibnu Taimiyah adalah jelas sekali menembus dan melampaui Islam sejarah (historial Islam) dalam arti Islam sebagaimana dipratekkan oleh umat Islam yang disana-sini telah mengalami distorsi, deviasi dan bahkan degenerasi, dan kembali pada ajaran-ajaran Islam yang orisinal (Ideal Islam) seperti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Ibnu Taimiyah menyadari benar bahwa Islam adalah akidah dan amal, yaitu beri’tikad dan beriman, dengan tulus tanpa ragu-ragu kepada Allah, wahid dan ahad, pemilik segala perkara, langit, bumi dan seisinya. Bersama itu juga mengamalkan perintah wajib untuk sampai kepada i’tikad tersebut, melaksanakan syari’ah, ajaran agama bermoral dan beradab.
Ibnu Taimiyah menimba berbagai ilmu. Dalam usia muda ia sudah hafal Al-Qur’an, suatu kelebihan yang di berikan oleh Allah ialah bahwa dia mudah hafal dan sukar lupa. Sebagaimana ulama dan para sahabatnya mengatakan bahwa tak satu huruf pun dari Al-Qur’an dan Hadits atau sesuatu ilmu yang dihafal lalu lupa.
Ibnu Taimiyah terus belajar dan mengadakan studi dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama, antara lain : Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, dan lain-lain. Bahkan ia katakan sebagai sosok yang lebih mengetahui ilmu Fiqih daripada yang hidup pada zamannya. Selain menulis, aktifitas ilmiah yang ditekuni kurang lebih 20 tahun, adalah mengajar dan memberi fatwa-fatwa. Ibnu Taimiyah juga berguru pada ayahnya dan pamannya sendiri, dan masih banyak lagi guru tempat dia menimba ilmu, bahkan ada yang mengatakan bahwa guru Ibnu Taimiyah lebih dari 200 orang.
Perhatian Ibnu Taimiyah tentang Pendidikan Islam sejalan dengan filsafat relegius, yaitu harus ditanamkan terlebih dahulu rasa keimanan atau keyakinan terhadap anak didik. Dia juga telah meletakkan dasar Pendidikan Islam yang searah dengan isi Al-Qur’an dan Hadits, dan juga telah membuat metode-metode Pendidikan Islam dan bentuknya. Di dalam memberikan harus mengetahui tingkat kemampuan anak didik, dan diantara guru dan murid harus ada hubungan timbal balik yang harmonis. Seorang anak didik haruslah secara tulus dan ikhlas menuntut ilmu, karena yang demikian itu wajib bagi seorang Muslim. Ibnu Taimiah juga menerangkan bahwa pendidikan itu tiada lain adalah suatu proses kerja yang melibatkan tabiat fitrah manusia dengan berbagai lingkungan yang mempengaruhi. Menurutnya, ilmu pengetahuan haruslah direalisasikan, artinya bahwa ilmu pengetahuan itu harus merupakan sintesis antara teori dan praktek, supaya antara keduanya terjadi keselarasan, sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
Spesifikasi Pendidikan Islam, adalah sifat moral relegiusnya yang jelas dalam tujuan, yaitu tujuan yang ingin dicapai dengan mengabaikan persoalan yang bersifat duniawi. Secara umum, pendapat Ibnu Taimiyah sesuai dengan orientasi pendidikan islam, yakni pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat.
Memang pendidikan haruslah bertujuan menimbulkan pertumbuhan seimbang dari seluruh kepribadian menusia melalui pelatihan spiritual, rasional, intelektual dan tekanan emosional. Oleh karena itu pendidikan, mesti menyediakan jalan bagi pertumbuhan menusia bagi segala aspeknya yang memotivasi semuanya untuk mencapai dalam kesempurnaan. Menurut Ali Ashraf, tujuan akhir pendidikan Islam adalah realisi penyerahan diri secara mutlak pada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan manusia pada umumnya.
Itulah sebetulnya makna pendidikan yang sesungguhnya, yaitu terbentuknya manusia yang berilmu guna, yang oleh Ibnu Taimiyah dianggap sebagai dasar hidup yang tangguh dan benar tanpa berbekal dengan ilmu guna tersebut, manusia akan terperosok dalam kesesatan, karena ia akan mengerjakan sesuatu yang senantiasa dibimbing oleh nafsu tanpa didasari ilmu.
Oleh sebab itu, mencari ilmu adalah ibadah mengetahuinya adalah taqwa mengkajinya adalah jihad dan mengajarkannya adalah sedekah. Karena dengan itu semua manusi dapat mengerti Allah, mengagungkan-Nya, lalu meng-Esakan-Nya dan kemudian mengabdikan diri kepada-Nya.
Melalui ilmulah Allah menciptakan peradaban manusia-manusia. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berkomentar oleh sebab itu mencari ilmu manfaat, setelah melaksanakan kewajiban pokok agama, itu lebih utama daripada dzikir. Ibnu Taimiyah memilki banyak pengagum tetapi juga banyak yang memusuhi dan membencinya, bahkan di fitnah sampai beberapa kali keluar masuk penjara, karena fatwa fatwanya dan ijtihadnya yang sangat berani melawan arus cukup banyak pendapatnya yang berlawanan dengan ulama’ pada masanya.
Upaya Ibnu Taimiyah menghidupkan kembali sinar ijtihad yang pada masanya secara umum dapat dikatakan berhasil dan berpengaruh bagi proses kebangkitan kejayaan islam pada masa berikutnya, sungguhpun tidak seluas yang dicapai oleh para Mujtahid yang lain.
Gerakan reformasi Islam pada masa pasca Ibnu Taimiyah, yakni pada abad 17,18, dan 19, menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah yakni kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits serta membuka kembali ijtihad, termasuk didalamnya adakah masa pendidikan. Sebagai proses/aktivitas yang berlandaskan universalitas Islam, maka tentunya Pendidikan Islam mengandung pesan dan pemikiran yang masih relevan dengan kondisi sekarang dan sesuai dengan universalitas Islam itu sendiri.
Ada beberapa dominan yang terpenting dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam. Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa dalam pendidikan Islam perlu ada metode pendidikan, bahasa pengajaran dan kedudukan murid dan guru serta hubungannya, yang kesemuanya berakar pada nilai-nilai Islam. Pentingnya ini diharapkan bahwa hasil dari sebuah proses pendidikan sampai pada kesempurnaan ilmu pengetahuan, yaitu keterpaduan antara teori dan praktek. Disamping keterpaduan antara teori dan praktek, pendidikan Islam membentuk manusia yang bisa akan menyatukan antara kebutuhan dunia akhirat.
Metode itu hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam mencapai pendidikan yang diinginkan, maka diperlukan metode yang benar-benar tepat. Sebagaimana firman Allah :
”Hai orang-orang yang beriman kepada Allah takutlah kepada Allah dan carilah jalan atau metode kepada-Nya, mudah-mudahan kamu mendapat kemenangan”. (Q.S. Al-Maidah: 35)
Implikasi ayat tersebut dalam pendidikan Islam adalah dalam proses pelaksanaan pendidikan Islam dibutuhkan adanya metode yang tepat, guna menghantarkan tercapainya tujuan yang dicita-citakan. Fungsi dari pemahaman metode pendidikan Islam oleh seorang pendidik dapat memahami hakekat metode dan relevansi dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu terbentuknya pribadi beriman yang senantiasa siap mengabdi kepada Allah SWT. Disamping itu, Pendidikan juga perlu juga memahami metode intruksional yang aktual dan yang tercantum dalam Al-Qur’an, yang bertujuan sebagai motivasi dalam disiplin ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qur’an disebut pemberian ganjaran atau tsawab dan hukuman atau ’iqab. Oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah, metode pendidikan itu terbagi menjadi dua, yaitu: metode ilmiah dan metode iradah.
Metode ilmiah adalah kebenaran pemikiran atas dalil-dalil dan sebab-sebab yang meyakinkan adanya ilmu pengetahuan, penglihatan. Metode ilmiah terdiri dari atas tiga hal, yaitu: pembenahan media pengajaran, pemahaman yang sempurna terhadap obyek pengajaran dan memperbaiki kesempatan praktek.
Sesungguhnya alat ilmu itu adalah hati, dan kerjanya bisa disempurnakan melalui pendengaran dan penglihatan.
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al isro’; 36)
Dasar dari metode ilmiah adalah adanya kesempatan untuk praktek bekerja bagai pelajar, maka tidak boleh hanya mencukupkan dan mendahulukan pengetahuan dan pemikiran saja tanpa memberikan kesempatan untuk berlatih dan bekerja, karena seorang pelajar yang hanya diberi oleh guru yang berupa teori tanpa praktek ataupun sebaliknya akan mneghasilkan kesimpulan kesimpulan yang negative. Yaitu kesimpulan yang terhimpun dari asumsi para pelajar dan jauh dari maksud yang diinginkan oleh para ahli. Jadi jelasnya antara teori dan praktek dari ilmu pengetahuan harus dipadukan dan diselaraskan agar ada keseimbangan diantara keduanya.
Ada metode iradah, Ibnu Taimiyah mendefinisikan dengan kehendak yang mengharuskan upaya keras yang dilakukan oleh pelajar atau murid. Pangkal utama dari pembahasan kali ini adalah mendidik kemauan pelajar sehingga ia mampu meningkatkan daya kreasinya. Dengan metode iradah diharapkan memotivasi para pendidik untuk selalu tanpa ragu untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Ibnu Taimiyah lebih menekankan bahwa dalam metode iradah dengan memotivasi anak didik agar tetap bertindak sesuai dengan perintah Allah. Sehingga murid-murid selalu bercita cita dan berkeinginan pada sebuah harapan yang selalu di ridlai oleh Allah.
Dalam metode iradah, pendidik dalam memberikan arahan atau motivasi kepada para peserta didik dengan menumbuhkan motivasi untuk membangun dirinya sesuai dengan bakat akan daya kreasinya. Motivasi merupakan salah satu unsur kekuatan yang mendorang pelajar untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan. Kekuatan untuk melakukan sesuatu tersebut pada dasarnya didorong oleh berbagai macam kebutuhan dan keinginannya yang hendak dipenuhi.
Motivasi merupakan faktor yang sangat penting dalam proses belajar mengajar hal ini disebabkan oleh karena motivasi memberi semangat terhadap pelajar dalam kegiatan belajar dan motivasi memberi petunjuk pada tingkah laku serta motivasi memberikan keyakinan dalam memilih sebuah tindakan.
Pengertian iradah menurut Ibnu Timiyah adalah kuatnya keinginan dan ikhtiar manusia akan berkreasi untuk mencari arah cita cita yang pasti dan mantap. Kehendak itu juga merupakan hasil dari tiga kekuatan sumber daya yaitu: kekuatan akal, amarah, dan syahwat. Barang siapa yang syahwatnya lebih kuat daripada akalnya menurut Ibnu Taimiyah maka lebih hina dari binatang.
Pendidikan iradah mempunyai tujuan yang sesuai dengan kedudukan manusia, dipandang dari segi-segi makhluk yang lain. Manusia itu seharusnya mengetahui asal mula diciptakan dan tujuan apa pula ia hidup di dunia, agar metode iradah itu dapat terwujud dengan baik, maka lembaga pendidikan harus saling tolong menolong, bahu membahu, dan bangun-membangun. Yang pokok dan mendasar dalam metode ini ialah, bahwa setiap manusia termasuk di dalamnya pelajar, haruslah tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama yang telah digariskan oleh Allah dan menghindari sejauh mungkin kemaksiatan. Bentuk bentuk metode ilmiah yang lain adalah sebagai berikut : Hikmah, Nasihat yang baik, dan Perdebatan yang baik.
Penerapan metode ilmiah yang berbentuk hikmah, nasehat yang baik dan perdebatan yang baik dapat dilaksanakan dengan berbagai cara:
Metode hiwar (percakapan) Qur’ani dan nabawi.
Mendidik dengan kisah-kisah Al Qur’ani dan nabawi.
Mendidik dengan perumpamaan Al Qur’ani dan nabawi.
Mendidik dengan berbagai landasan.
Mendidik dengan pembiasaan diri.
Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mu’idah (peringatan).
Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).
Dengan cara-cara tersebut diatas dapat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat. Metode-metode tersebut mampu menggugah dan mengubah hati manusia untuk dapat menerima pelajaran dan pengetahuan yang di sampaikan oleh pendidik.