Fatwapedia.com – Apa pengaruh dan dampak hukum talak ba’in bainunah sughra bagi suami? Talak ba’in adalah talak yang dengannya suami tidak lagi memiliki hak rujuk dengan istri yang ditalaknya. Talak ini ada dua macam: Ba’in Bainunah Sughra dan Ba’in Bainunah Kubra.
Talak Ba’in Bainunah Sughra adalah talak yang dengannya suami tidak lagi memiliki hak rujuk dengan istri yang ditalaknya kecuali dengan akad dan mahar yang baru. Talak ini memiliki dampak-dampak hukum sebagai berikut.
Pengaruh Dan Dampak Hukum Talak Ba’in Bainunah Sughra
1. Menghilangkan Hak Kepemilikan, Bukan Kehalalan.
Artinya, dengan jatuhnya talak ini tali pernikahan menjadi putus sehingga status istri berubah menjadi wanita asing bagi suami. Hak-hak suami istri satu sama lain pun berakhir, kecuali kewajiban memberi nafkah kepada istri selama masa iddah jika dia dalam keadaan hamil tanpa ada perbedaan pendapat ulama mengenai hal itu. (Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah karya Dr. Abdulkarim Zaidan (VIII/59-60) dengan sedikit penyesuaian).
Adapun tentang kewajiban memberi nafkah kepada istri yang tidak hamil, maka terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut sebagaimana akan dijelaskan nanti. Agar istri yang ditalak tersebut menjadi halal bagi suami yang mentalaknya, tidak disyaratkan pernikahan istri dengan laki-laki lain, tetapi cukup suami rujuk dengannya, mengembalikannya ke dalam tanggung jawabnya dengan menikahinya dengan akad dan mahar yang baru. (Al-Mughni (VII/274) dan al-Badai‘ (III/187))
2. Suami Yang Mentalak Tidak Memiliki Hak Rujuk Dalam Masa Iddah,
Suami tidak memiliki hak rujuk, namun dia berhak menikahi istri yang ditalaknya itu -asalkan sang istri rela- selama rentang masa iddah dan sesudahnya dengan akad dan mahar yang baru sebagaiman telah dijelaskan. (Waktu untuk ini menurut ulama yang berpendapat bahwa talak ba’in bainunah sughra terjadi tanpa talak adalah sebelum dukhul (persetubuhan) dan dalam hal ini tidak ada iddah. Akan datang penjelasannya nanti)
3. Pembayaran Mahar Muajjal (Tunda)
Yaitu pembayaran mahar yang tidak ditentukan waktu pembayarannya saat akad, karena talak adalah batas waktu terdekat dari dua batas waktu, yaitu kematian dan talak. Ini sudah dijelaskan di dalam pembahasan Hukum-Hukum Mahar.
4. Tidak ada zihar, ila’, dan li‘an, serta waris-mewarisi di antara keduanyakarena telah jatuhnya bainunah (pemisahan total) semata-mata dengan jatuhnya talak ini. (Al-Badai‘ (III/187))
5. Berkurangnya Bilangan Talak.
Talak ba’in bainunah shugra mengurangi jatah talak yang dimiliki suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya. Jika dia kembali menikahi istrinya itu dengan akad baru sebelum si istri menikah dengan laki-laki lain, sementara dia sudah pernah mentalaknya satu kali dengan talak ba’in, maka dia tinggal memiliki dua kali talak kepada istri tersebut. Demikian pula hukumnya jika dia menikahi kembali istrinya itu dengan akad baru, setelah sebelumnya si istri sudah menikah dengan laki-laki lain dan sudah bercerai atau ditinggal mati sebelum sempat bersebadan dengannya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini. (Fath al-Qadir (III/178) dan al-Mughni (VII/261))
Adapun selain kondisi-kondisi tersebut, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang cara menghitung bilangan talak padanya. Pembahasannya akan dijelaskan setelah ini di dalam masalah penghapusan Talak. Insya Allah.
Masalah Penghapusan Talak
Maksudnya adalah jika seorang suami mentalak istrinya satu atau dua kali, kemudian istri tersebut menikah dengan laki-laki lain lalu laki-laki itu mentalaknya juga, kemudian dia kembali ke suami pertama, maka apakah talak yang telah dijatuhkan suami pertama tetap dihitung sehingga nantinya hitungan talaknya dilanjutkan dari yang tersisa? Ataukah pernikahannya dengan suami kedua menghapuskan bilangan talak yang telah dijatuhkan suami pertama sehingga bilangan talak yang masih dimiliki suami pertama kembali tiga?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat.
Pertama: Hitungan Talak Yang Pernah Dijatuhkan Suami Pertama Tetap Dihitung Sehingga Ketika Si Istri Kembali Kepadanya, Jumlah Talak Yang Masih Dimilikinya Adalah Yang Tersisa.
Artinya, jika talak yang sudah dia jatuhkan sebelum kembali menjadi istrinya adalah satu, maka talak yang tersisa saat kembali jadi istrinya adalah dua. Jika jumlah talak yang sudah dia jatuhkan adalah dua, maka talak yang tersisa saat kembali jadi istrinya adalah satu. (Al-Badai‘ (III/127), Fath al-Qadir (III/178 dengan Syarh al-Hidayah), al-Umm (V/250), Mughni al-Muhtaj (III/293), asy-Syarh ash-Shagir (I/467 cetakan al-Halabi), al-Mughni (VII/261), dan Jami‘ Ahkam an-Nisa’ karya syaikh kami hafizhahullahu (IV/239-242))
Ini adalah pendapat Umar bin al-Khaththab, Ali, ‘Imran bin Hushain, Abu Hurairah, dan sahabat selain mereka. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu al-Musayyab, al-Hasan, ats-Tsauri, Muhammad bin al-Hasan, Malik, asy-Syafi‘i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, salah satu dari dua riwayat Ahmad, dan pendapat Ibnu al-Mundzir. Argumen mereka adalah sebagai berikut.
1. Suami kedualah yang mengakhiri keharaman istri tertalak tiga bagi suami pertamanya dengan dalil firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (Surat al-Baqarah: 230)
Tidak ada penghentian keharaman sebelum keharaman itu sendiri ada, dan tidak ada keharaman kecuali sesudah jatuhnya talak tiga. (Mereka mengatakan demikian karena jika suami mentalak istri talak tiga kemudian istri menikah dengan laki-laki lain sebelum kembali kepadanya dengan akad yang baru, maka suami memiliki tiga talak baru menurut kesepakatan ulama. Lihat referensi sebelumnya ditambah Ibnu ‘Abidin (III/418))
2. Fatwa Umar radhiallahu ‘anhu tentang hal itu. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Umar bin al-Khaththab tentang seorang laki-laki dari penduduk Bahrain yang menjatuhkan talak satu atau dua kepada istrinya. Setelah berakhir masa iddahnya, si istri menikah lagi dengan laki-laki lain. Tetapi tidak berapa lama, dia berpisah dengan laki-laki itu karena laki-laki itu mentalaknya atau meninggal dunia. Kemudian si istri menikah kembali dengan laki-laki pertama. Umar menjawab, ‘Dia sebagai istrinya dengan sisa talak yang tersisa.” (Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: asy-Syafi‘i sebagaimana terdapat dalam musnadnya (II/nomor 125 – Syifa’ al-‘Iy) dan dari jalannya al-Baihaqi meriwayatkan (VII/364))
Kedua: Pernikahan Istri Dengan Suami Kedua Menghapus Semua Talak Yang Telah Dijatuhkan Suami Pertama Kepadanya Sehingga Ketika Dia Kembali Ke Suami Pertama, Jumlah Talak Yang Dimiliki Suami Pertama Kembali Tiga.
Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Ini juga pendapat ‘Atha’, an-Nakha‘i, Syuraih, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan riwayat yang lain dari Ahmad. Mereka mengajukan argumen sebagai berikut.
1. Terjadinya persetubuhan dengan suami kedua telah menetapkan kehalalan istri untuk dinikahi suami pertama dengan akad baru sehingga memiliki tiga talak sebagaimana jika istri adalah tertalak tiga olehnya (sebelum menikah dengan suami keduanya).
2. Terjadinya persetubuhan dengan suami kedua menghapuskan ketiga talak yang dijatuhkan suami pertama –dan ini perkara yang disepakati para ulama– seandainya ketiganya dijatuhkan suami (sebelum istri menikah dengan suami keduanya). Maka tentunya jauh lebih pantas jika persetubuhan itu menghapuskan talak satu atau talak dua yang dijatuhkan suami pertama.
Kapan Talak Ba’in Bainunah Sughra Berlaku?
Talak jenis ini dianggap jatuh dalam keadaan-keadaan berikut.
1. Talak Yang Jatuh Sebelum Terjadinya Hubungan Badan Suami Istri
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu mentalak mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta mereka menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Al Ahzab 49).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa istri yang tertalak sebelum sempat digauli oleh suami yang mentalaknya tidak wajib menjalani iddah dan yang mentalaknya tidak punya hak untuk rujuk dengannya karena talak yang dia jatuhkan bukan talakraj‘i tetapi talak ba’in. Ini telah menjadi ijma’ ulama. (Hanya saja, ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal jika suami mentalaknya dengan talak tiga baik dalam satu lafazh sekaligus atau pun terpisah-pisah. Bagi mereka yang mengatakan jatuh sebagai talak tiga, berarti menjadikannya bainunah kubra, sedangkan mereka yang mengatakan jatuh sebagai talak satu, berarti menjadikannya bainunah sughra. Akan datang pembahasan masalah ini nanti tentang mana yang lebih benar. Lihat al-Mughni (VII/264))
Catatan tambahan: Talak yang dijatuhkan setelah suami-istri berkhalwat tetapi belum sempat melakukan persetubuhan secara hakiki adalah talakba’in menurut jumhur ulama.
Alasannya karena hubungan badan hakiki tadi tidak terjadi sehingga tidak ada kewajiban bagi istri untuk beriddah dan suami tidak berhak untuk rujuk. Adapun tentang tetap adanya kewajiban iddah setelah terjadinya khalwat secara hakiki menurut ulama Hanafiyah, maka itu sebagai bentuk kehati-hatian dan bukan karena tetapnya hak rujuk bagi suami. (Badai‘ ash-Shanai‘ (III/109))
2. Talak Yang Dijatuhkan Sebagai Ganti Harta (Khulu‘)
Menurut Jumhur Ulama:
Talak yang dijatuhkan sebagai ganti harta adalah talak ba’in menurut jumhur ulama karena istri tidak akan begitu saja menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya dalam kasus khulu‘ agar ditalak melainkan dengan maksud agar dia bisa memiliki kembali dirinya sendiri dan terlepas dari ikatan pernikahan. Tujuan tersebut tentu tidak akan didapatkan olehnya dengan talak raj‘i, melainkan dengan talak ba’in. (Badai‘ ash-Shanai‘ (III/109), Ibnu ‘Abidin (III/400), al-Khurasyi (IV/16), Mughni al-Muhtaj (III/337),al-Mughni (halaman 7), dan al-Mubdi‘ (VII/390))
Penulis berkata: Menggolongkan khulu‘ sebagai talak ba’in dengan pengertian bahwa suami akan menikahi kembali si istri dengan kerelaannya -sesudah khulu‘ tersebut jika suami menginginkan– dengan akad dan mahar yang baru, maka ini jelas penggolongan yang benar. Akan tetapi jika pengertiannya adalah bahwa ia adalah satu talak dari tiga talak yang dimiliki suami, maka tidak benar. Sebab, pendapat yang benar adalah khulu‘ itu fasakh dan bukan talak, sehingga tidak boleh dihitung sebagai salah satu dari talak yang tiga berdasarkan pendapat jumhur ulama sebagaimana akan dijelaskan nanti. Wallahu a‘lam.
3. Sejumlah Kasus Pemisahan Suami Istri (Tafriq) jatuh sebagai talak ba’in bainunah sughra, seperti dalam kasus pemisahan suami istri karena adanya cacat, bahaya, atau ila’ sebagaimana akan dijelaskan nanti. Insya Allahu Ta‘ala.
Catatan Penting: Talak Yang Dijatuhkan Dengan Lafazh Sharih Yang Dibatasi Dengan Suatu Sifat Atau Dengan Lafazh Kinayah Kepada Istri Yang Telah Digauli Adalah TalakRaj‘I Dan Bukan Ba’in Menurut Pendapat Yang Rajih. (Kecuali jika talak tersebut telah sempurna tiga, maka menjadi ba’in bainunah kubra.)
Jika suami mengatakan kepada istrinya ucapan “anti thaliq al-battah” atau “anti thaliq ba’in” (kamu tertalak ba’in), maka ucapan itu jatuh sebagai talak raj‘i. Sebab, saat dia mengucapkan “anti thaliq”, maka dia telah mengucapkan lafazh talak yang sharih, dan itu menunjukkan bahwa dia masih ada keinginan rujuk. Sedangkan saat dia mengucapkan lafazh “ba’in”, maka dia ingin membedakan perkara yang disyariatkan, yaitu rujuk, maka keinginannya itu ditolak. Sebab, yang menjadi asal dalam talak adalah talak raj ‘i, dan berpegang pada yang asal ini lebih utama daripada mengabaikannya hanya karena suatu sifat yang dilekatkan oleh yang mentalak ke lafazh talak. Inilah yang sesuai dengan hikmah disyariatkannya talak. Ini merupakan pendapat asy-Syafi‘i dan suatu riwayat dari Ahmad, serta yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. (Al-Umm (V/241), al-Muharrir (II/55), dan Majmu‘ al-Fatawa (XXIII/155))
Jika talak dengan lafazh sharih tidak lain adalah talak raj ‘i, maka talak dengan lafazhkinayah –yang lebih daripada lafazh sharih karena selain mengandung arti talak juga mengandung arti yang lain– tentulah lebih utama menjadi talak raj‘i.
Di samping itu, talak merupakan ketetapan syariat yang tidak terpengaruh dengan niat, maka menggunakan kinayah untuk talak ba’in merupakan tindakan merubah ketetapan syariat. (Lihat pendapat-pendapat ulama mengenai talak kina’i (talak dengan lafazh kinayah) di dalam: al-Badai‘ (III/111), al-Qawanin al-Fiqhiyyah (halaman 253), Kasyf al-Qana‘ (III/151), dan al-Mughni(VII/133).