Fatwapedia.com – Dalam tradisi kita khitbah biasa disebut lamaran. Untuk memulai pembahasan pada tulisan ini kita mulai dari definisi atau pengertian khitbah menurut syara’
Definisi Khitbah
Khitbah adalah meminta perempuan untuk dinikahi (melamar). Jika permintaan tersebut dikabulkan, maka pengabulan permintaan tersebut tidak lebih dari sekadar janji untuk menikah, dan pernikahan belum lagi terlaksana dengan pengabulan itu. Dengan begitu, pihak perempuan statusnya masih tetap sebagai orang asing (ajnabiyah) bagi pelamar hingga akad nikah dilaksanakan.
Jadi, khitbah hanyalah tahap pendahuluan menuju pernikahan. Segala hal yang menjadi konsekuensi pernikahan tidak otomatis menjadi konsekuensi khitbah, sebagaimana akan disampaikan rinciannya nanti.
Hukum Khitbah
Khitbah bukan syarat sah pernikahan. Seandainya pun pernikahan terlaksana tanpa didahului khitbah, maka pernikahan itu tetap sah. Akan tetapi, khitbah biasanya adalah pengantar kepada pernikahan, sehingga menurut jumhur ulama, hukum khitbah adalah boleh berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ
“Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran.” [Surat al-Baqarah: 235]
Sedang pendapat yang diakui oleh ulama Syafi‘iyah adalah yang menyatakan bahwa hukumnya mustahab (dianjurkan) berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melamar Aisyah binti Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma dan melamar Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anhuma. (Ibnu ‘Abidin (II/262), al-Mawahib (III/407), Nihayah al-Muhtaj (VI/198)
Itu jika tidak ada pada diri pihak perempuan faktor-faktor penghalang pernikahan –atau faktor lainnya sebagaimana akan disebutkan nanti–. Jika ada, maka hukum khitbahmenjadi tidak boleh.
Kepada Siapa Khitbah Disampaikan?
1. Pada asalnya, khitbah atau permintaan untuk menikahi seorang wanita diajukan kepada wali wanita tersebut. Diriwayatkan dari ‘Urwah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminang Aisyah radhiallahu ‘anha kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku ini saudara laki-lakimu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَخِي فِي دِينِ اللَّهِ وَكِتَابِهِ وَهِيَ لِي حَلَالٌ
“Saudara laki-lakiku dalam agama dan kitab Allah. Dia halal untukku.” (Hadits Riwayat: al-Bukhari (5081)
2. Untuk wanita yang telah dewasa, khitbah boleh langsung disampaikan kepadanya.
Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dia berkata, “Beberapa waktu setelah Abu Salamah meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Hathib bin Abu Balta‘ah kepadaku untuk menyampaikan pinangan beliau kepadaku. Aku menjawab, ‘Aku ini sudah punya satu anak perempuan, dan aku perempuan yang pencemburu.” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim, dan an-Nasa’i (VI/81)
Disyariatkan Kepada Wali Wanita Untuk Menawarkan Wanita Yang Menjadi Tanggung Jawabnya Kepada Orang-Orang Shalih
1. Dalam kisah Nabi Musa ‘alaihissalam, orang tua yang saleh berkata kepada beliau,
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” (Surat al-Qashash: 27)
2. Di dalam kitab ash-Shahih disebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika putrinya, Hafshah radhiallahu ‘anha, menjadi janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, dia menawarkannya kepada Utsman radhiallahu ‘anhu, lalu kepada Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, sebelum akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melamarnya. (Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5122)
3. Dari Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku putri Abu Sufyan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Memangnya kamu rela?’ Aku menjawab, Ya. Aku bukanlah perempuan yang ingin menguasaimu sendirian, tetapi aku lebih suka jika yang menemaniku dalam kebaikan (sebagai istrimu) adalah saudara perempuanku sendiri.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya itu tidak halal bagiku.” (Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5107)
Dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mengapa Anda lebih condong memilih (menikahi perempuan-perempuan) Quraisy
1. (selain Bani Hasyim) dan meninggalkan (perempuan-perempuan) kami (Bani Hasyim)?’ Maka beliau pun bertanya,
وَعِنْدَكُمْ شَيْءٌ
‘Apakah kalian punya orang (yang pantas bagiku)?’
Aku menjawab, ‘Ya, putri Hamzah.’ (Mendengar itu), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِي إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ
“Sesungguhnya dia tidak halal bagiku karena dia adalah putri saudara laki-lakiku sesusuan.” (Hadits Riwayat: Muslim (1446) dan an-Nasa’i (VI/99)
Disyariatkan Kepada Perempuan Agar Menawarkan Diri Kepada Laki-Laki Yang Shalih Untuk Dinikahi
1. Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang perempuan datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menawarkan dirinya kepada beliau (agar dinikahi). Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda berhasrat kepadaku?” (Mendengar cerita itu), anak perempuan Anas (yang saat itu bersamanya) berkata, “Alangkah tidak tahu malunya dia. Jelek sekali kelakuannya. Jelek sekali.” Maka Anas berkata, ‘Dia lebih baik daripada kamu. Dia begitu menyukai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai-sampai dia mau menawarkan dirinya kepada beliau.” (Hadits Riwayat: al-Bukhari (5120), an-Nasa’i (VI/78))
2. Dari Sahl bin Sa‘ad radhiallahu ‘anhu bahwa seorang perempuan menawarkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk beliau nikahi, lalu seorang laki-laki berkata kepada beliau, “Nikahkan aku dengannya.” (Hadits Riwayat: al-Bukhari (5126) dan Muslim (1425)
Tentunya, ini hanya boleh dilakukan apabila aman dari fitnah. Jika timbul fitnah akibat dia menyampaikan keinginannya diperistri oleh laki-laki tersebut, maka dia tidak boleh melakukannya karena akan menyebabkan kerusakan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (Surat al-Baqarah: 205)
Demikian penjelasan ringkas seputar hukum khitbah dalam pandangan islam. Semoga tulisan ini bermanfaat.