Pengertian Nadzar dan Hukumnya dalam Islam

Pengertian Nadzar dan Hukumnya dalam Islam

Fatwapedia.comMungkin kita pernah berkata kalau saya mendapat rizki akan bersedekah menyantuni anak yatim. Contoh diatas adalah sebuah nadzar yang jika orang tersebut mendapat rizki maka harus memenuhi janjinya tersebut. Lalu apa itu nazar? Bagaimana cara menunaikan nadzar menurut islam? Berikut ini penjelasan selengkapnya.

Definisi Nadzar

Secara bahasa kalimat النذور adalah plural dari kata nadzar artinya: janji. Yaitu yang diwajibkan oleh manusia sebagai janji yang wajib bagi dirinya sendiri.

Secara syariat adalah: Suatu pengharusan dari seseorang bagi dirinya sendiri dengan sesuatu dari suatu ketaatan yang bukan merupakan kewajiban baginya, lalu menjadikannya wajib baginya, dengan lafazh yang menunjukkan kepadanya.

Hukum Mendahulukan Nadzar

Hadits-hadits shahih yang disebutkan di dalam nadzar menunjukkan bahwa nadzar tidak dianjurkan dan bahkan dilarang. Karena itu kebanyakan para ulama berpendapat atas kemakruhannya. [Al Muhallaa (8/2), Subulus Salam (4/1446), Nailul Awthar (8/277)] Tetapi jika telah dinadzarkan maka harus dipenuhi.

Dari Ibnu `Umar -radhiyallahu `anhu- berkata: nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari nadzar dan bersabda:

إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَلَكِنَّهُ يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ البَخِيلِ

“Sebenarnya itu tidak mencegah apapun, akan tetapi itu keluar dari orang bakhil.” [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (6693), dan Muslim (1639)]

2. Dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu- bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَا تَنْذِرُوا، فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يُغْنِي مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“Janganlah kalian bernadzar, maka sebenarnya nadzar tidak menambah apapun dari takdir, dan adapun itu keluar dari orang bakhil. [Shahih, Hadits riwayat: Muslim (1640), dan At-Tirmidziy (1538), dan Nasaai (7/16), dan Ahmad (2/412)]

3. Dan darinya bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إن انذر لاَ يقرب من ابْنَ آدَمَ بِشَيْءٍ لَمْ يَكُنْ الله قُدِّرَ لَهُ، وَلَكِنْ يُلْقِيهِ النَّذْرُ إِلَى القَدَرِ قَدْ قُدِّرَ لَهُ، فَيَسْتَخْرِجُ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنْ الْبَخِيلِ

“Sesungguhnya nadzar tidak mendekatkan anak adam kepada apapun yang tidak merupakan takdir dari Allah, tetapi nadzar mengikuti takdir. Maka dikeluarkan hal itu dari orang bakhil yang tidak diinginkan untuk dikeluarkannya”. [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (6694), dan Muslim (1640) dan lafazh darinya]

Al-Qur’an dan as-Sunnah menunjukkan kewajiban menunaikan nadzar -dalam ketaatan- dan pujian atas orang-orang yang menunaikan nadzar-nadzar mereka:

a. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

(ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ)

“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnkan nadzar-nadzar mereka.”[Surat al Hajj, 29]

b. Dari `A’isyah -radhiyallahu `anha- dari nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

“Bagi siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka taatilah, bagi siapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah bermaksiat kepada-Nya. [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (6696), dan Abu Daud (3289), dan At-Tirmidziy (1526), dan Nasaai (7/17), dan Ibnu Majah (2126)]

c. Dari ‘Imran bin Hushain -radhiyallahu `anhu- dari nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، – قَالَ عِمْرَانُ: لاَ أَدْرِي أَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً – إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَنْذِرُونَ وَلاَ يَفُونَ يَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ، وَيَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ

“Yang paling baik dari kalian adalah kurunku, kemudian yang setelahnya -`Imran berkata: aku tidak tahu lagi pengucapan dua atau tiga kurun setelah kurunnya- kemudian akan datang suatu kaum yang bernadzar dan tidak memenuhi, berkhianat dan tidak dapat dipercaya, bersaksi namun tidak diminta bersaksi, dan terlihat pada mereka kegemukan”. [Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (2651), dan Muslim (2535)]

Ini jelas merupakan dosa atas orang-orang yang tidak memenuhi nadzar.

d. Allah -subhanahu wa ta`ala- berfirman -dalam pujian terhadap orang-orang yang memenuhi sumpahnya-:

إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِن كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (yang berisi) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air (di dalam) surga yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata dimana-mana. [Surat al Insan, 5-7]

e. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

(وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ)

“Apa saja yang engkau nafkahkan atau apa saja yang engkau nadzarkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [Surat al Baqarah, 270]

Berdasarkan dalil ini kebanyakan Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah- seperti Nawawi dan Ghazali- berpendapat bolehnya nadzar.

Permasalahan Dan Penyelesaiannya Terkait Nadzar

Pendapat yang mengatakan makruhnya nadzar dan yang membolehkan nadzar keduanya bermasalah dengan dalil-dalil yang lain. Pendapat mayoritas ulama -dengan makruhnya nadzar- terdapat masalah di dalamnya seperti itu juga atas kaidah-kaidahnya, dan suatu kaidah menetapkan bahwa suatu jalan ketaatan adalah ketaatan, dan suatu jalan kemaksiatan adalah maksiat. Jika nadzar merupakan suatu jalan kepada pendekatan diri maka menjadi pendekatan diri. Tetapi dalil yang pertama menunjukkan sebaliknya. Lalu bagaimana menyikapi dalil-dalil tersebut? [Tafsir Qurthubi, Ihkamul Ahkam karya Ibnu Daqiq ‘ied (2/266), Nailul Awthar (8/277), karya Imam Syanqithi (5/677) dan terdapat di dalamnya penjelasan yang rinci di dalam hukum-hukum nadzar (5/659) dan yang setelahnya]

Jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengatakan bahwa nadzar pendekatan diri ada dua jenis:

Berkaitan dengan manfaat: seperti perkataan (jika Allah menyembuhkan penyakitku maka wajib bagiku karena Allah nadzar ini) dan seperti lainnya.

Nadzar mutlak, tidak dikaitkan dengan suatu manfaat bagi orang yang bernadzar. Seperti untuk mendekatkan diri kepada Allah sepenuhnya dengan nadzar, ia berkata diawalnya: karena Allah wajib bagiku bersedekah dengan ini dan seperti lainnya.

Dikatakan: bahwa pelarangan di dalam hadits-hadits yang menunjukkan kepada jenis yang pertama, karena nadzar di dalamnya tidak jatuh kepada ketulusan untuk pendekatan diri kepada Allah, tetapi dengan syarat mendapat manfaat bagi yang bernadzar, manfaat tersebut yang diusahakan oleh orang yang bernadzar. Itulah yang ditunjukan oleh hadits-hadits pada puncak takdir yang di dalamnya menguasai nadzar.

Dijelaskan, bahwa jika penyakitnya tidak disembuhkan, maka tidak bersedekah dengan hal yang dikaitkan atas kesmbuhannya, ini adalah keadaan orang bakhil. Maka sesungguhnya tidak dikeluarkan apapun dari hartanya kecuali dengan ganti yang mendesak lebih dari apa yang biasanya dikeluarkan. Makna inilah yang diisayaratkan dengan perkataan: adapun nadzar dikeluarkan dari orang bakhil.

Kadang diyakini oleh orang bodoh yang mengira bahwa nadzar mengharuskan mendapatkan maksud tersebut, atau bahwa Allah -subhanahu wa ta`ala- melakukan maksud tersebut bersamanya karena nadzarnya. Atas keduanya terdapat isyarat dalam hadits dengan sabdanya: “Maka sesungguhnya dia tidak mengembalikan apapun”.

Penulis berkata: Perincian ini terarah dan kuat, yaitu menggabungkan, yang lebih di dahulukan dari tarjih. Allah Maha Tahu.

Demikian artikel penjelasan definisi nazar, hukum dan dalil-dalilnya berdasarkan Al-Quran dan as Sunnah. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Leave a Comment