Fatwapedia.com – Memahami definisi puasa dan segala hal yang berkaitan dengan puasa sangat penting. Oleh sebab itu tulisan ini akan memuat fatwa dan penjelasan terkait definisi puasa, hukum, rukun puasa, dalil tentang puasa, kedudukan dan hikmah puasa. Berikut uraian selengkapnya.
Pertama, Defenisi Shiyam (Puasa)
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang defenisi shiyam (puasa)?
Maka beliau menjawab, “Shiyam secara bahasa artinya “menahan diri”, di antaranya (yang menunjukkan makna ini) adalah firman Allah Ta’ala,
“Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Rabb yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (QS. Maryam:26)
Yakni “aku bernadzar untuk menahan diri dari berbicara.”
Dan di antaranya pula ucapan seorang penyair,
“Ada kuda yang berpuasa (tidak bekerja) dan ada pula kuda yang tidak berpuasa”
“Di bawah debu ia meringik dan yang lainnya mengunyah tali kekangnya.”
Adapun (makna shiyam) secara syari’at adalah, “Beribadah kepada Allah dengan cara menahan diri dari pembatal-pembatal (puasa) dimulai terbitnya fajar dan berakhir hingga terbenamnya matahari.”
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/11)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
Kedua, Hukum Puasa Ramadhan
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum berpuasa pada bulan ramadhan?
Maka beliau menjawab, “Berpuasa di bulan ramadhan hukumnya wajib dengan ketetapan Al-Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan kaum muslimin.
Allah ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183)
Sampai firman Allah, “bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah:185)
Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda,
“Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak diibadahi selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakan sholat, menunaikan zakat, shaum di bulan ramadhan dan haji ke baitullah al harom.”
Beliau Shalallahu alaihi wa Sallam juga bersabda, “Jika kalian melihat (hilal ramadhan) maka berpuasalah.”
Dan kaum muslimin bersepakat bahwasanya puasa ramadhan hukumnya wajib, dan merupakan salah satu dari rukun Islam.
Maka barangsiapa mengingkari kewajiban puasa ramadhan, dia kafir. Kecuali jika dia hidup di negeri terpencil, sehingga tidak mengenal hukum-hukum Islam, maka ia harus dikenalkan terlebih dahulu, tapi bila ia terus (mengingkarinya) setelah ditegakkan hujah atasnya maka ia kafir.
Dan barangsiapa meninggalkan puasa ramadhan karena meremehkan kewajibannya maka dia di atas sesuatu yang membahayakan, karena sebagian ulama menganggapnya telah kafir keluar dari Islam. Tetapi pendapat yang kuat dia tidak kafir keluar dari Islam, hanyasaja digolongkan sebagai orang-orang yang fasik. Akan tetapi dia berada dalam bahaya yang sangat besar
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/11)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz Abdulloh Majalengka hafizhahullahu Ta’ala
Ketiga, Kedudukan Puasa Dalam Islam
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang kedudukan puasa dalam Islam?
Maka beliau menjawab: “Kedudukan puasa di dalam Islam ialah puasa termasuk salah satu rukunnya yang agung, yang mana Islam tidak akan tegak kecuali dengannya dan tidak akan sempurna kecuali dengannya.
Adapun keutamaannya dalam Islam, maka telah shahih bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
من صام رمضان إيماناً واحتساباً غفر الله له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa berpuasa ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.”
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/12)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf
Keempat, Rukun-rukun Puasa
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang rukun-rukun puasa?
Maka beliau menjawab: “Puasa memiliki satu rukun, yaitu beribadah kepada Allah dengan cara menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, dimulai sejak terbitnya fajar dan berakhir hingga terbenamnya matahari.
Fajar yang dimaksud adalah fajar yang kedua, bukan pertama.
Ada 3 ciri pembeda antara fajar pertama dan kedua, yaitu;
Pertama: Fajar kedua bentuknya melebar di ufuk, terbentang dari arah utara hingga ke selatan. Sedangkan fajar pertama mencuat vertikal dari arah timur hingga ke barat.
Kedua: (Cahaya yang muncul) pada fajar kedua tidak akan kembali gelap, namun cahaya tersebut akan terus bertambah terang hingga terbit matahari. Adapun fajar pertama, cahaya yang muncul akan kembali gelap.
Ketiga: cahaya putih yang muncul pada fajar kedua menyatu dengan ufuk. Sementara pada fajar pertama, antara cahaya dan ufuk terpisah oleh warna gelap langit.
Pada fajar pertama, tidak ada hukum syariat (yang wajib dilakukan),
👉 belum dibolehkan melaksanakan shalat subuh,
👉 dan tidak dilarang bagi seorang yang hendak berpuasa untuk makan, berbeda dengan fajar kedua.
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/13)
Diterjemahkan Oleh: al-ustadz Abdul Wahid bin Faiz at-Tamimi
Kelima, Hikmah Diwajibkannya Puasa
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya tentang hikmah diwajibkannya puasa?
Maka beliau menjawab: Apabila kita membaca firman Allah Azza wa Jalla,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183)
Kita akan mengetahui apa hikmah diwajibkannya puasa, yaitu takwa dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, istilah itu secara mutlak mengandung makna melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan mengerjakan kedustaan itu, maka Allah tidak butuh pada upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya.”
Berdasarkan dalil ini, akan lebih menegaskan bagi orang yang berpuasa agar mengerjakan kewajiban-kewajiban, dan juga menjauhi hal-hal yang haram baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Hendaknya dia tidak menggunjing orang lain, tidak berdusta, tidak mengadu domba antara mereka, tidak menjual barang jualan yang haram, dan menjauhi segala bentuk keharaman.
Apabila seseorang mengerjakan itu semua selama satu bulan penuh maka itu akan memudahkannya kelak untuk berprilaku baik (istiqomah) di bulan-bulan yg tersisa dalam setahun.
Akan tetapi sangat disayangkan, banyak orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasa dengan hari biasa,
🚫 mereka tetap menjalani kebiasaan yang biasa dijalaninya yakni meninggalkan kewajiban,
📛 mengerjakan pebuatan haram,
📛 dan tidak merasakan keagungan puasa;
💢 perbuatan ini tidak membatalkan puasa tetapi mengurangi pahalanya,
❌ seringkali kesalahan yang seperti itu merusak pahala puasa sehingga menjadi sia-sialah pahalanya.
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/14)
Diterjemahkan Oleh: al-Ustadz Muhammad Nur (Jember) Hafizhahullah
Keenam, Tiga Tahapan Kewajiban Puasa
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya,
“Apakah ada tahapan-tahapan pada (kewajiban) puasa ramadhan sebagaimana terjadi (tahapan) pada pengharaman khamr?
Maka beliau menjawab,
“Ya, terdapat beberapa tahapan.
1. Awal kali turunnya (syari’at) puasa, (ada kebebasan) siapa yang mau boleh berpuasa dan siapa yang mau boleh memberi makan (orang miskin).
2. Kemudian setelah itu puasa (ramadhan) menjadi wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah:185)
2. Bentuk tahapan lainnya adalah, mereka dahulu apabila tertidur di waktu berbuka atau (terbangun ketika) shalat isya’, maka tidak boleh lagi makan, minum, dan jima’ kecuali setelah matahari terbenam di hari berikutnya. Kemudian diringankan bagi mereka, Allah Ta’ala berfirman,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:187)
Dahulu (makan, minum, dan jima’) termasuk perkara yang dilarang bagi orang yang berpuasa bila ia tidur (saat berbuka) atau (terbangun saat) shalat isya’, kemudian hukum itu dihapus sehingga boleh (makan, minum, dan jima’) hingga munculnya waktu fajr.
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin (19/16)
Diterjemahkan Oleh: Tim Warisan Salaf