Talak Ba’in Bainunah Kubra.
Talak ba’in bainunah kubra adalah talak yang dengannya suami tidak lagi memiliki hak untuk merujuk istri yang telah ditalaknya, baik pada masa iddah atau pun sesudah berakhirnya masa itu, kecuali dengan akad dan mahar yang baru, dan setelah istri menikah lagi dengan laki-laki lain dan bersetubuh dengannya lalu bercerai dengannya, baik karena ditinggal mati atau pun karena ditalak, dan setelah melalui masa iddah dari suami keduanya tersebut.
Dalam pernikahan istri dengan laki-laki lain tersebut yang dengan itu suami pertama kembali halal menikahinya disyaratkan hal-hal berikut.
1. Hendaknya Pernikahan Tersebut Adalah Pernikahan Yang Sah Baik Secara Lahir Atau Pun Batin.
Makna Sah secara lahir berarti terpenuhinya syarat-syarat sah penyelenggaraan akad nikah dan syarat-syarat sah akad nikah itu sendiri. Jika akadnya fasid, maka menurut jumhur ulama, maka penghalalan untuk suami pertama tidak tercapai. [Al-Mughni (VII/275)] Sedangkan sah secara batin mengandung arti bahwa maksud yang ingin dicapai dari pernikahan tersebut adalah mewujudkan tujuan-tujuan pernikahan, seperti terbentuknya suatu keluarga, terjaganya kehormatan suami dan istri, dan lahirnya keturunan. Jika maksud yang diinginkan dari pernikahan tersebut hanya agar suami pertama kembali halal menikahi bekas istrinya, maka penghalalan yang dimaksud tersebut tidak tercapai sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan Pernikahan yang Fasid.
2. Hendaknya Istri Sudah Disetubuhi Oleh Suami Keduanya.
Jadi, tidak cukup hanya sekadar akad yang sah tanpa terjadinya hubungan badan suami istri. Ini yang menjadi kesepakatan jumhur ulama salaf dan khalaf, kecuali Ibnu al-Musayyab. Dan ini pula yang disebutkan di dalam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rifa‘ah al-Qurazhi menikahi seorang perempuan lalu mentalaknya. Kemudian perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Kemudian perempuan itu menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan bahwa suami keduanya itu tidak pernah menggaulinya dan bahwa alat vitalnya lemas seperti ujung kain (impoten). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ حَتَّى وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
“Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa‘ah. Tidak boleh hingga kamu merasakan ‘madu’-nya dan suami keduamu itu merasakan ‘madu’-mu .”[Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (2639) dan Muslim (1433)]
“Usailah” (manis madu) dalam hadits ini menurut jumhur ulama adalah kenikmatan persetubuhan yang dirasakan saat masuknya batang penis ke dalam vagina meskipun tanpa keluarnya mani (ejakulasi).
Jumhur ulama kalangan Hanabilah mensyaratkan agar persetubuhan tersebut adalah persetubuhan yang halal. Jika suami menyetubuhinya saat mengalami haid atau nifas atau saat berihram, maka belum cukup untuk halalnya perempuan tersebut bagi suami pertamanya. Dan yang benar –yang dipilih oleh Ibnu Qudamah– adalah bahwa persetubuhan seperti itu sudah cukup karena dengan itu “usailah” sudah didapatkan dan telah masuk dalam cakupan keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala:
حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“… hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah:230]
Di samping bagaimanapun juga persetubuhan tersebut tetaplah suatu persetubuhan yang terjadi dalam pernikahan yang sah melalui organ persenggamaan yang sah (bukan melalui dubur) dengan cara yang sempurna, maka menjadi halal sebagaimana halalnya persetubuhan yang halal. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Malik. [Al-Mughni (VII/276)]
Hukum Dan Pengaruh Talak Ba’in Bainunah Kubra
1. Pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh talak ba’in bainunah kubra sama dengan yang diakibatkan oleh talak ba’in bainunah sughra.
2. Istri yang ditalak tidak halal bagi suami pertama kecuali jika dia sudah menikah lagi dengan laki-laki lain secara sah sesuai dengan cara yang telah dijelaskan di atas, kemudian berpisah dengan laki-laki itu karena ditinggal mati atau ditalak dan selesai menjalani masa iddah darinya.
Catatan tambahan: Pernikahan kedua menghapus ketiga talak yang telah dijatuhkan suami pertama. Jika seorang perempuan dinikahi kembali oleh mantan suami pertamanya, setelah perempuan tersebut bercerai dengan suami keduanya dan selesai menjalani iddah darinya, maka suami pertama memiliki hak tiga talak baru kepadanya menurut ijma’ ulama. [Al-Mughni (VII/261)]
Kapan Talak Ba’in Bainunah Kubra Jatuh?
Talak jenis ini jatuh atau berlaku jika jumlah talak yang dijatuhkan telah sempurna tiga. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ … فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah:229-230]
Ini telah menjadi ijma’ ulama. (Tafsir al-Qurthubi tentang surat al-Baqarah: 230)
Apakah Jatuh Talak Ba’in Bainunah Kubra Dengan Kata Tiga atau dengan Mengatakan Talak Tiga Kali dalam Satu Majelis?
Misalnya, seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak tiga kali.” Atau mengatakan, “Engkau tertalak, tertalak, tertalak.” Ini merupakan permasalahan yang masyhur dan menjadi perdebatan di antara ulama menjadi tiga pendapat yang masyhur. Penulis akan menyebutkan ketiganya dengan dalil-dalil yang dikemukakan setiap kelompok disertai bantahannya jika ada. Ini mengingat permasalahan ini sangat penting dan telah menyebar di tengah masyarakat.[1]
Pendapat Pertama: Talak Seperti Ini Mubah, Dan Jatuh Sebagai Talak Tiga. Ini adalah pendapat asy-Syafi‘i dan riwayat yang awal dari Ahmad dan Ibnu Hazm.
Pendapat Kedua: Talak Seperti Ini Haram, Namun Tetap Jatuh Sebagai Talak Tiga. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan riwayat yang belakangan dari Ahmad. Pendapat ini juga dinukilkan dari banyak ulama salaf dari kalangan Sahabat dan Tabiin.
Kedua kelompok ini sepakat akan jatuhnya talak seperti ini sebagai talak tiga, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama baik salaf maupun khalaf. Mereka berdalil sebagai berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ
“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” [Surat al-Baqarah: 230]
Mereka mengatakan bahwa talak yang disebutkan di sini berlaku pada tiga talak yang diucapkan sekaligus dan tidak terpisah. [Al-Muhalla (X/107).]
Bantahan: Ayat yang mulia ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan perihal bolehnya mengucapkan tiga talak baik sekaligus atau terpisah. Sebab, tema ayat ini hanyalah menjelaskan keharaman perempuan yang ditalak atas laki-laki yang mentalaknya pada pentalakannya yang ketiga hingga dia menikah dengan laki-laki yang lain.
2. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” [Surat al-Baqarah:230]
Mereka mengatakan telah diketahui bahwa pada salah satu dari dua kesempatan mentalak tersebut bisa digabungkan dua pentalakan, maka tentu boleh juga menggabungkan tiga pentalakan.
Bantahan: Yang diinginkan dalam ayat ini bukanlah membatasi keseluruhan talak pada dua kesempatan tersebut sehingga mengharuskan penggabungan dua ke dalam salah satu dari dua pentalakan sebagaimana mereka katakan. Akan tetapi, yang diinginkan adalah talak yang setelahnya suami masih memiliki kesempatan rujuk sebagaimana penafsiran jumhur ahli tafsir. [Adhwa’ al-Bayan (I/221-222)]
3. Hadits Sahl bin Sa‘ad tentang kisah ‘Uwaimir dan istrinya yang saling me-li’an di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa Sahl berkata, “Maka kedua orang suami-istri itu pun saling me-li‘an, sementara aku bersama sahabat-sahabat yang lain berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah keduanya selesai, maka ‘Uwaimir berkata, ‘Saya berdusta kepadanya, wahai Rasulullah, jika saya tetap mempertahankannya (sebagai istri). Maka dia pun mentalaknya tiga sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sempat menyuruhnya.” Ibnu Syihab berkata, “Maka itulah kebiasaan yang berlaku bagi dua orang yang saling me-li‘an.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5259) dan Muslim (1492)]
Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perbuatan ‘Uwaimir yang menjatuhkan tiga talak sekaligus. Seandainya perbuatan itu terlarang, pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkarinya, walaupun perceraian mereka terjadi sebenarnya karena li‘an itu sendiri.
Bantahan: Hadits ini tidak bisa dijadikan argumen untuk masalah ini. Sebab, setelah proses li‘an berlangsung, istri menjadi haram bagi suami selama-lamanya. Jadi, ketiga talak yang dijatuhkan ‘Uwaimir itu tidak lain hanya sebagai penegas dan penguat keharaman tersebut. Selain itu, talak tersebut jatuh pada perempuan yang sudah berstatus asing akibat perceraian yang terjadi di antara dia dan suaminya karena li‘an.
Ini diperkuat lagi dengan perkataan Sahl di dalam riwayat lain: “Dia pun mentalaknya talak tiga, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberlakukannya.” [Hadits Riwayat: Abu ‘Uwanah (III/200) dan ath-Thabarani di dalam al-Kabir (VI/117), dan di dalam sanadnya ada rawi yang lemah.] Ini menunjukkan bahwa ‘Uwaimir tetap membutuhkan keputusan pemberlakuan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menunjukkan hal itu khusus untuk orang yang melakukan li‘an.
4. Hadits Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha bahwa suaminya, Abu Hafsh bin al-Mughirah al-Makhzumi, mentalak tiga dirinya lalu berangkat ke Yaman. Kemudian Khalid bin al-Walid bersama sejumlah orang berangkat mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah Maimunah radhiallahu ‘anha, Ummul Mukminin. Mereka berkata, “Sesungguhnya Abu Hafsh telah mentalak tiga istrinya, maka apakah istrinya masih berhak mendapat nafkah darinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab,
لَيْسَ لَهَا نَفَقَةٌ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ
“Dia tidak berhak lagi menerima nafkah (darinya), dan dia wajib menjalani masa iddahnya.” [Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1480) dan selainnya]
5. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang mentalak tiga istrinya, kemudian si istri menikah lagi dengan laki-laki lain lalu ditalak lagi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya apakah si istri halal dinikahi kembali oleh suami pertama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
لَا، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا كَمَا ذَاقَ الْأَوَّلُ
“Tidak halal hingga laki-laki kedua itu merasakan madunya sebagaimana laki-laki pertama telah merasakannya.” [Shahih. Hadits Riwayat: al-Bukhari (5261), Muslim (1433), an-Nasa’i (VI/148), dan Abu Dawud (2309)]
Mereka mengatakan bahwa di dalam kedua hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perbuatan kedua suami tersebut yang masing-masing mentalak tiga istrinya.
Bantahan: Penjatuhan talak tiga yang disebutkan di dalam kedua hadits tersebut tidak terjadi sekaligus (dalam satu waktu) karena sebelumnya sang suami telah menjatuhkan dua talak kepada istri lalu mentalaknya kembali untuk yang ketiga kali. Ini sebagaimana disebutkan di dalam sejumlah riwayat dari hadits ini yang diriwayatkan oleh Muslim: “Kemudian dia (Abu Hafsh) mengirim surat kepada istrinya, Fathimah binti Qais, yang mengabarkan pentalakannya dengan talak yang tersisa (yaitu talak ketiga).”
Dan karena telah dimaklumi di kalangan mereka bahwa perkataan perawi “tiga” (dalam konteks ini) adalah berupa satu per satu (hingga genap tiga), dan inilah yang sesuai dengan makna bahasa dan syariat.
6. Diriwayatkan bahwa Rukanah bin Abdu Yazid mentalak istrinya sekaligus, lalu dia memberitahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu dan berkata, “Demi Allah, aku hanya bermaksud mentalak satu kali.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, (benarkah) engkau hanya bermaksud mentalak satu kali?” Rukanah menjawab, “Demi Allah, aku hanya bermaksud mentalak satu kali.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengembalikan istrinya kepadanya. Kemudian pada zaman Umar bin al-Khathtab, dia mentalaknya yang kedua kali, lalu yang ketiga pada zaman Utsman. (Dha‘if mudhtharrib. Hadits ini memiliki sejumlah jalan dalam riwayat Abu Dawud (2196-2206), at-Tirmidzi (1177), Ahmad (I/265), Abdurrazzaq (11334-11335), al-Hakim (II/491), al-Baihaqi (II/491), dan selain mereka. Lihat: Irwa’ al-Ghalil (VII/139)
Menurut mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah meminta Rukanah untuk bersumpah bahwa yang dia maksudkan dengan mentalak sekaligus itu adalah satu talak, maka ini menunjukkan bahwa seandainya Rukanah memaksudkan dengannya lebih dari satu talak, maka talak yang dia inginkan itu benar-benar jatuh. Jika kondisinya tidak berbeda, tentulah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan mengambil sumpahnya.
Bantahan: Hadits ini mudhtarib, tidak shahih. Para imam Ahli Hadits, seperti Ahmad, al-Bukhari dan selainnya, telah menjelaskan ‘illah-nya. Kemudian, dalam sebagian jalannya disebutkan bahwa Rukanah mentalak istrinya sekaligus tiga di dalam satu majelis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya kepadanya, “(Kamu mentalaknya sekaligus tiga) dalam satu majelis?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesunggunya itu hanya satu talak saja. Maka rujukilah dia jika kamu mau.” Riwayat ini juga lemah meskipun jalannya adalah yang paling baik!. (Al-Kamil karya Ibnu ‘Adi (V/208), adh-Dhu‘afa karya al-‘Uqaili (II/90), al-Mizan (III/161), al-‘Ilal al-Mutanahiyah (II/639), at-Tamhid (XV/79). Dinukil dari Jami‘ Ahkam an-Nisa’ (IV/66-67).
7. Diriwayatkan dari Ibrahim bin ‘Ubaidullah bin ‘Ubadah bin ash-Shamit dari Dawud bin ‘Ubadah dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, “Kakekku mentalak salah seorang istrinya seribu talak. Kemudian ayahku datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kejadian itu. Mendengar itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kakekmu itu tidak bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Adapun tiga talaknya, maka itu berlaku. Sedangkan yang 997 talak lainnya, maka itu merupakan tindak permusuhan dan kezaliman (kepada istrinya). Jika Allah Subhanahu wata’ala berkehendak mengazabnya, maka pasti Dia mengazabnya, tetapi jika Allah Subhanahu wata’ala menghendaki mengampuninya, maka pasti Dia mengampuninya.” [Bathil. Hadits Riwayat: Abdurrazzaq (11339) dan ad-Daruquthni (IV/12)]
Bantahan: Riwayat ini batil, tidak bisa dijadikan argumen.
8. Diriwayatkan dari al-Hasan, dia berkata, “Abdullah bin Umar bercerita kepada kami bahwa dia pernah mentalak istrinya yang sedang haid, kemudian ingin menyusulkannya dengan dua talak lagi saat istrinya itu mengalami dua quru’ yang tersisa. Kemudian berita itu terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun bersabda, “Wahai Ibnu Umar, bukan begitu yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan kepadamu. Kamu telah menyelisihi sunnah.”… Maka aku (Ibnu Umar) berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya aku mentalaknya tiga, maka bolehkah aku menyetubuhinya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak boleh karena dia telah tertalak ba’in, dan persetubuhan itu akan menjadi maksiat.” [Munkar. Hadits Riwayat: ad-Daruquthni (IV/31) dan al-Baihaqi (VII/330). Lihat: al-Irwa’ (2054)]
Bantahan: Hadits ini hadits munkar, tidak shahih.
9. Diriwayatkan dari Mu‘adz radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai Mu‘adz, siapa yang mentalak dengan talak bid‘ah satu atau dua atau tiga kali, maka akan diharuskan dia menjalankan talak bid‘ahnya itu.” [Bathil. Hadits Riwayat: ad-Daruquthni (IV/20)]
Bantahan: Hadits ini hadits bathil.
10. Dari Mujahid bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mentalak istrinya seratus talak, maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Engkau telah mendurhakai tuhanmu, dan engkau telah menceraikan istrimu.” [Shahih. Hadits Riwayat: ad-Daruquthni (IV/13-60), ath-Thahawi (II/33), dan al-Baihaqi (VII/337). Lihat: al-Irwa’ (2056)] Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa laki-laki itu mentalak istrinya seribu talak, maka Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Cukup bagimu dengan tiga talak saja.”
Mereka berkata, “Fatwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ini menunjukkan bahwa siapa yang mentalak istrinya tiga talak sekaligus, maka jatuh talak ba’in darinya.”
Bantahan: Fatwa ini adalah fatwa dan pendapat pribadi Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Akan tetapi, dia pernah meriwayatkan bahwa tiga talak sekaligus pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dianggap satu talak –sebagaimana akan disebutkan nanti–. Maka sebagaimana ditetapkan dalam kaidah ushul bahwa yang harus dijadikan argumen adalah hadits yang diriwayatkan secara marfu‘ (disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dan bukan yang berasal dari fatwa dan pendapat pribadi.
11. Telah menjadi ijma’ pada masa Umar bahwa tiga talak sekaligus jatuh sebagai talak tiga, dan tidak pernah diriwayatkan bahwa ada orang pada masa Umar yang menyelisihi ijma’ tersebut!
Bantahan: Tidak ada satu ijma’ pun dalam masalah ini. Perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, pendapat bahwa tiga talak sekaligus itu jatuhnya cuma satu talak sudah menjadi pendapat yang dikenal pada masa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan permulaan pemerintahan Umar radhiallahu ‘anhu. Dan pendapat ini pun diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, az-Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, dan selain mereka.
12. Bahwa Allah Subhanahu wata’ala memberikan kepada suami hak menjatuhkan tiga talak dan menyerahkan penjatuhan ketiganya kepadanya. Jika dia menjatuhkan ketiganya sekaligus, maka berdasarkan pendapat yang membolehkan hal itu, dia telah melakukan apa yang diperbolehkan baginya dan itu sah. Jika kita katakan bahwa itu haram, maka Allah Subhanahu wata’ala telah memberikan kepada suami hak untuk memecah penjatuhan talak itu sebagai satu keluasan baginya. Jika dia menggabungkannya sekaligus, maka dia telah menggabungkan sesuatu yang dia diberikan keluasan untuk memecahnya. Maka hukumnya saat dia menggabungkannya berlaku pada dirinya sebagaimana jika dia memecah penjatuhannya.
Pendapat Ketiga: Talak Seperti Ini Haram, Dan Jatuh Sebagai Satu Talak Raj‘I.
Pendapat ini dinukil dari sejumlah orang Sahabat, antara lain: az-Zubair bin al-‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Ali, Ibnu Mas‘ud, dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum (dan diriwayatkan pula dari ketiga Sahabat yang disebutkan terakhir pendapat yang menyelisihinya). Pendapat ini juga merupakan pendapat kebanyakan Tabiin dan generasi setelahnya, seperti Thawus dan Muhammad bin Ishaq, dan dikemukakan pula oleh Dawud azh-Zhahiri dan kebanyakan muridnya, serta sejumlah murid Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, serta dibela oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu al-Qayyim. Mereka berargumen sebagai berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” [Surat al-Baqarah: 229]
Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa talak yang Dia sebutkan dan talak raj‘iyang dengannya suami menjadi orang yang paling berhak merujuk istrinya adalah dua kali, yang dijatuhkan satu demi satu. Ini sama seperti jika seseorang diminta untuk bertasbih dua kali atau tiga kali atau seratus kali, maka tentulah dia harus mengucapkan, “Subhanallahu, subhanallahu, …” hingga mencapai bilangan yang disebutkan. Jika dia hanya mengucapkan: “Subhanallahu sekian kali” (sekaligus), maka tentulah dia dihitung bertasbih cuma satu kali.
Maka, demikian pula halnya jika seseorang mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak dua kali atau tiga kali atau sepuluh kali atau seratus kali.” Dia tetap tidak dianggap dan talaknya hanya satu kali talak. (Majmu ‘ al-Fatawa (XXXIII/11)
Adapun mengenai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ummul Mukminin Juwairiyah radhiallahu ‘anha, “Setelah engkau keluar tadi, aku telah mengucapkan empat rangkai kata-kata yang jika kata-kata tersebut dibandingkan dengan apa yang engkau baca hari ini tentulah akan sebanding, yaitu:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
“Mahasuci Allah dengan segala puji untuk-Nya sebanyak hitungan makhluk-Nya, menurut keridhaan-Nya, seberat arsy-Nya, dan sebanyak kalimat-Nya”.” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (2726) dan selainnya)
Arti doa beliau ini adalah bahwa Allah Subhanahu wata’ala berhak mendapatkan tasbih hamba-hamba-Nya sebanyak bilangan tersebut, bukan maksudnya bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan tasbih sebanyak itu.
Jika seorang suami ingin mengubah sifat talak yang sesuai syariat dengan menjadikannya sebab terjadinya perceraian yang tidak memungkinkan rujuk lagi, yaitu dengan cara menggabungkan ketiga talak sekaligus, maka dia tidak akan mendapatkannya karena itu termasuk perbuatan mengubah dan menghapus syariat Allah Subhanahu wata’ala sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan itu perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dengan demikian, talak yang digabungkan tiga sekaligus tetap jatuh sebagai satu talak raj‘i, dan ketiga talak yang dijatuhkan sekaligus itu dibatalkan.
Bantahan: Bahwa mentalak dengan menggabungkan tiga talak sekaligus, meskipun dilarang, namun larangan itu tidak mencegah jatuhnya talak tersebut seperti halnyazihar. Meskipun Allah Subhanahu wata’ala menamai zihar sebagai perkataan yang mungkar dan dusta, namun itu tidak mencegah pengharaman istri yang di-zihar atas suami hingga suami melakukan apa yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan (sebagai kafaratnya).
Bantahan atas bantahan: Tidak tepat menganalogikan talak dengan zihar karenazihar perbuatan yang diharamkan dari asalnya, suatu kejahatan yang Allah Subhanahu wata’ala telah tetapkan suatu hukuman untuknya, yaitu kafarat zihar. Berbeda halnya dengan talak. (Al-Mufashshal karya Abdulkari Zaidan (VIII/74))
2. Dari Thawus dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pada masa pemerintahan Abu Bakar, dan dua tahun pertama pemerintahan Umar, tiga talak yang diucapkan sekaligus masih dianggap sebagai satu talak. Setelah itu Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Tampaknya manusia telah bertindak tergesa-gesa dalam urusan yang sebenarnya mereka diberi keleluasaan. Kalau sekiranya kami berlakukan hal itu kepada mereka.’ Maka Umar pun memberlakukan itu kepada mereka (yaitu dengan menganggap tiga talak sekaligus sebagai talak tiga).” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1472), Abu Dawud (2200), dan an-Nasa’i (VI/145))
Dalam salah satu riwayat dari Thawus bahwa Abu Shahba’ berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Beritahukanlah berita-berita yang Anda tahu. Bukankah tiga talak yang digabungkan sekaligus pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tetap dianggap satu talak?” Ibnu Abbas berkata, “Begitulah yang terjadi. Namun, tatkala orang-orang mulai bersikap mudah dan tergesa-gesa menjatuhkan talak pada masa Umar, maka Umar pun memberlakukan talak tiga itu pada mereka.” (Shahih. Hadits Riwayat: Muslim (1472)
Hadits Di Atas Disanggah Dengan Poin-Poin Berikut Ini.
Pertama: Celaan Keras Terhadap Kevalidan Hadits Tersebut. Sebagian orang menuduh riwayat Thawus tersebut sebagai riwayat yang syadz dengan mengingat banyaknya riwayat –yang sebenarnya mauquf– atas nama Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan keharusan memberlakukan tiga talak yang digabungkan. Mereka berkata, “Tidak mungkin kita menyangka bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu dia mengeluarkan fatwa yang menyelisihinya. Karena kalau begitu, harus ditempuh metode tarjih (memilih satu yang terkuat), dan memegang pendapat mayoritas lebih utama daripada memegang pendapat satu orang yang menyelisihi pendapat mayoritas.”
Bantahan: Para imam yang mumpuni –seperti Ma‘mar dan Ibnu Juraij– meriwayatkan hadits itu dari Ibnu Thawus –seorang imam juga– dari Thawus dari Ibnu Abbas. Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibrahim bin Maisarah –seorang rawi yang tsiqah lagi hafizh– dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Kesendirian seorang Sahabat dalam meriwayatkan suatu hadits bukanlah masalah sekalipun hanya satu orang yang meriwayatkan darinya. Selain itu, yang jadi ukuran adalah riwayat Sahabat tersebut, bukan pendapatnya.
Sebagian dari para penyanggah tadi memperkeruh keadaan dengan mengatakan bahwa motif dibalik penukilan tentang kebiasaan yang dahulu dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi sesudahnya sangatlah banyak, terlebih lagi Umar radhiallahu ‘anhu telah mengubahnya dan tidak ada seorang pun Sahabat yang mengingkarinya. Maka fakta bahwa tidak satu huruf pun hal itu dinukil dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Sahabat selain Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan sangat jelas menunjuk kepada salah satu dari dua makna berikut.
Pertama, riwayat yang disampaikan Thawus dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma itu maknanya bukan tiga talak diucapkan dengan satu lafazh, tetapi tiga lafazh dalam satu waktu –dan inilah yang ditegaskan oleh an-Nasa’i dan dishahihkan oleh an-Nawawi dan al-Qurthubi–. Dengan begitu, sebenarnya tidak ada masalah dengan pengubahan yang dilakukan Umar radhiallahu ‘anhu.
Kedua, hadits tersebut tidak bisa dihukumi shahih karena hanya dinukil dari satu orang ke satu orang padahal motif penukilannya sangat banyak. Al-‘Allamah asy-Syinqithi rahimahullahu berkata, “Makna yang pertama yang lebih utama dan lebih ringan daripada yang kedua.” [Adhwa’ al-Bayan karya asy-Syinqithi (I/254-255)]
Penulis berkata: Adapun tentang makna yang kedua, maka tidak sepatutnya hadits tersebut dinyatakan dha‘if dengannya, terlebih-lebih bahwa hadits itu diriwayatkan oleh para imam yang tsiqah, serta tidak gamblangnya riwayat yang menyelisihinya. Adapun makna yang pertama, maka dimungkinkan. Al-‘Allamah Abu al-Asybal rahimahullahu berkata, “Menurut hemat kami, ucapan seseorang “anti thaliq tsalatsan” (kamu tertalak tiga) tidak keluar dari pengertian bahwa dia mengucapkan talak sekali saja, dan bahwa hal itu tidak mungkin menjadi titik perbedaan pendapat di kalangan Sahabat atau orang selain mereka. Adapun yang mereka perselisihkan dan yang diberlakukan oleh Umar radhiallahu ‘anhu adalah kasus seseorang yang berkata kepada istrinya dengan tiga kali pengulangan, “Engkau tertalak.” Baik itu diucapkan dalam satu majelis atau di banyak majelis tetapi masih dalam masa iddah. Inilah yang dijadikan Umar radhiallahu ‘anhu sebagai tiga kali talak dengan pertimbangan bahwa talak tersebut diarahkan kepada istri yang sedang menjalani iddah, padahal dia sudah dalam kondisi iddah akibat lafazh talak yang pertama dari tiga lafazh talak yang diulang pentalak sebanyak tiga kali. Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu serta permulaan kekhalifahan Umar radhiallahu ‘anhu, talak yang dianggap adalah kali yang pertama, sedangkan kali yang kedua dan ketiga tidak diikutkan sesudahnya karena istri sudah berstatus perempuan yang beriddah. Tatkala berulang-ulangnya dalam lafazh para Sahabat dan Tabiin perkataan tentang jatuh atau tidaknya tiga talak sekaligus, maka dari situ para ahli fiqih memahami bahwa yang dimaksud dengannya adalah lafazh ‘anti thaliq tsalatsan’(engkau tertalak tiga kali). Ini termasuk perkara-perkara yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan logika.” (Ar-Raudhah an-Nadiyyah (II/52-53) bagian al-Hasyiyah)
Penulis berkata: Dengan penelitian ini, lafazh “anti thaliq tsalatsan” (engkau ditalak tiga) keluar dari lingkar perdebatan para Sahabat. Akan tetapi, perbedaan pendapat tetap ada dalam masalah ini sebagaimana yang terdapat dalam perbuatan yang dilakukan Umar radhiallahu ‘anhu terhadap pengulangan ketiga talak dalam satu majelis yang menyelisihi apa yang biasa berlaku pada masa-masa awal. Dan inilah yang akan kita bahas di sini.
Kedua: Klaim Bahwa Hadits Ibnu Abbas Tersebut Telah Mansukh (Dihapuskan) Dan Bahwa Ibnu Abbas Mengetahui Nasakhnya (Yang Menghapus). Al-Baihaqi menukil dari asy-Syafi‘i bahwa dia berkata, “Ada syubhat bahwa Ibnu Abbas tahu sesuatu yang menasakh riwayat darinya bahwa tiga talak yang diucapkan sekaligus jatuh sebagai satu talak.” Al-Baihaqi berkata, “Apa yang dikatakan Imam asy-Syafi‘i ini dikuatkan oleh riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Dahulu, jika seorang suami mentalak istrinya, maka dia yang paling berhak merujuknya. Namun, jika dia mentalaknya tiga kali, maka itu menghapus hak tersebut.’ Hanya saja, berita penasakhan tersebut tidak masyhur sehingga hukum yang dimansukh tetap berlaku dan diamalkan sampai akhirnya Umar mengingkarinya. Hasan. (Hadits Riwayat: Abu Dawud (2195) dan an-Nasa’i (VI/212)
Bantahan: Riwayat tersebut datang dalam konteks permasalahan rujuk yang berlaku saat itu di mana dahulu seorang suami yang mentalak istrinya bisa merujuknya tanpa dibatasi bilangan tertentu, maka kebiasaan itu dimansukh dan dibatasi hanya tiga kali yang jika tercapai, hak rujuk terputus. Lantas bagaimana bisa pengamalan ketentuan yang telah mansukh tersebut terus berlaku pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, hingga awal masa pemerintahan Umar radhiallahu ‘anhu, sementara umat Islam tidak mengetahui adanya nasakh tersebut, padahal itu termasuk perkara penting yang berkaitan dengan penghalalan kemaluan perempuan? Kemudian, bagaimana bisa Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya manusia telah bersikap tergesa-gesa dalam masalah yang sebenarnya mereka diberi keleluasaan.” Apakah umat Islam diberi keleluasaan dalam permasalahan yang telah dimansukh? Selain itu, Umar radhiallahu ‘anhu tidak menyebutkan bahwa dia mengetahui adanya nasakh tersebut. Dia hanya menyebutkan pendapat yang dipeganginya dan alasan di baliknya. Kalau memang benar ada nasakh, tentulah beliau akan menyebutkan dan menjelaskannya. Sebab, dengan penjelasannya tersebut kita tidak perlu lagi membedah pendapatnya.
Ketiga: Hadits Ibnu Abbas Tersebut, Hukumnya Diterapkan Kepada Istri Yang Belum Pernah Disetubuhi (Saat Talak Jatuh), dan tidak ada kaitannya dengan istri yang sudah pernah disetubuhi. Ini berdasarkan atsar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa si penanya berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Tahukah Anda bahwa dahulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan awal masa pemerintahan Umar jika seorang suami mentalak istrinya tiga kali [sebelum dia sempat menyetubuhinya], maka dianggap satu talak?” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Ya, tahu.” (Munkar. Lihat as-Silsilah adh-Dha‘ifah karya al-‘Allamah al-Albani rahimahullahu (1133))
Mereka menguatkan pendapat itu dengan menyatakan bahwa istri yang belum pernah disetubuhi suami, jika suaminya berkata kepadanya, “Kamu tertalak,” maka dia pun terkena talak ba’in. Kemudian, jika dia menambahkan kata “tiga”, maka angka tersebut jadi tidak berguna karena disebutkan setelah jatuhnya talak ba’in.
Bantahan: Kalimat tambahan “sebelum dia sempat menyetubuhinya” dalam atsar di atas adalah riwayat yang munkar, tidak shahih. Andai pun tambahan itu shahih, maka tetap tidak bisa menolak kebenaran hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Muslim tentang perempuan yang ditalak setelah disetubuhi suaminya, karena paling jauh riwayat Abu Dawud –jika shahih– hanya mengandung penentuan atas beberapa individu umum di dalam riwayat Muslim, dan ini tidak mengharuskan pengkhususan riwayat Muslim dengan riwayat Abu Dawud sebagaimana yang ditetapkan dalam kaidah Ushul.
Penulis berkata: Hanya saja terkadang dikatakan bahwa ini bukan permasalahan umum (al-‘am) dan khusus (al-khushush), tetapi permasalahan mutlak dan muqayyad. Kaidah yang ditetapkan dalam Ushul menyatakan bahwa lafazh yang mutlak dibawa kepada makna lafazh yang muqayyad terlebih lagi jika hukum dan sebabnya sama, sebagaimana yang terjadi di sini. Namun, bagaimanpun juga, tambahan tersebut tidak valid. Wallahu a‘lam.
Kemudian, Bantahan mereka itu dibantah dengan menyatakan bahwa perkataan seorang suami kepada istri yang belum disetubuhinya “engkau tertalak tiga” adalah perkataan yang bersambung, bukan terpisah, maka bagaimana bisa menjadikannya dua kata dan memberikan hukum untuk masing-masing kata?
Keempat: Membawa Hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma Kepada Bentuk Yang Khusus, yaitu ucapan penalak: “Engkau tertalak. Engkau tertalak. Engkau tertalak.” Dan bahwa pengucap lafazh ini pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan awal masa pemerintahan Umar, memaksudkan pengulangan lafazh “engkau tertalak” sebagai penegas, bukan untuk makna memulai kembali talak dan memperbanyaknya. Jadi mereka (para Sahabat) bukan bermaksudta‘sis (pembentukan) talak kedua dan ketiga. Pada masa itu, karena kebersihan hati yang mereka miliki, pengakuan mereka selalu dibenarkan. Namun, saat umat Islam bertambah pada masa Umar radhiallahu ‘anhu dan banyak terjadi tindak penipuan dan sejenisnya yang menjadi faktor tertolaknya pengakuan bahwa pengulangan itu sebagai penguat, maka Umar pun menganggap lafazh tersebut adalah benar-benar pengulangan sehingga beliau pun memberlakukannya pada mereka.
Bantahan: Seandainya hadits tersebut dimaknai seperti yang mereka sebutkan itu, tentu hukumnya tidak akan mengalami pengubahan. Karena jika pengulangan tersebut berporos pada keinginan menguatkan, maka tiga talak tersebut jatuh sebagai satu talak. Sebaliknya, jika berporos pada keinginan men-ta’sis, maka jatuh sebagai tiga talak. Jadi, hukumnya ditentukan oleh niat yang mentalak, dan itu seharusnya dibenarkan, baik si pentalak orang baik atau pun orang jahat. Sebab, talak adalah hak pentalak, sementara lafazh talak mengandung kemungkinan ta’kid dan ta’sis, dan cara membawa maknanya kepada salah satu kemungkinan tersebut bergantung pada niat yang mentalak, dan niat pentalak dapat diketahui dari gaya dan pengakuannya. Jika pengakuan penegasan tidak diterima dalam hukum-hukum keduniaan, maka pengakuan itu tentulah tidak akan diterima dari siapapun, baik dari orang baik maupun dari orang jahat.
Di samping itu, pernyataan bahwa banyak terjadi tindak penipuan di tengah masyarakat pada zaman Umar radhiallahu ‘anhu adalah pernyataan yang tidak bisa diterima karena masyarakat pada zaman beliau mayoritasnya adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara Tabiin yang ada di tengah mereka adalah murid-murid mereka. Selain itu, zaman Umar radhiallahu ‘anhu adalah zaman terbaik setelah zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka bagaimana bisa dibenarkan pernyataan bahwa banyak tindak penipuan pada zaman itu? Paling jauh dalam masalah ini adalah adanya cara menjatuhkan talak yang dilakukan sejumlah orang yang menyelisihi cara syar‘i karena bagaimana pun mereka bukanlah orang-orang yang maksum. Namun, itu tidak merusak sama sekali sifat ‘adalah mereka dan mereka pun tidak bermaksud menipu.
Kelima: Memaknai Hadits Ibnu Abbas Sebagai Perubahan Kebiasaan Masyarakat. Mereka mengatakan bahwa talak yang dijatuhkan masyarakat pada masa Umar radhiallahu ‘anhu dengan redaksi tiga talak sekaligus, pada masa sebelumnya dijatuhkan dengan redaksi satu talak, yaitu dengan ucapan pentalak “anti thaliq” (engkau tertalak), karena asalnya mereka tidak pernah menggunakan redaksi tiga talak sekaligus, atau jarang sekali menggunakannya. Kemudian tatkala penggunaannya menjadi sangat sering pada masa Umar radhiallahu ‘anhu, maka Umar radhiallahu ‘anhu pun memberlakukannya pada mereka dan membolehkannya. Jadi yang dilakukan Umar radhiallahu ‘anhu tidak lebih dari sekadar melaksanakan hukum talak tiga kepada mereka dan itu hukum yang ditetapkan syariat. Berdasarkan hal itu, hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma datang untuk menjelaskan perbedaan kebiasaan masyarakat dalam hal tata cara atau redaksi talak, dan bukan untuk menyatakan jatuhnya sesuai dengan tata caranya.
Bantahan: Masyarakat sudah biasa menjatuhkan talak satu atau tiga. Sudah ada sejumlah suami yang menceraikan istri-istri mereka pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan talak tiga. Di antara mereka itu ada yang istrinya dikembalikan kepadanya karena talaknya dianggap talak satu. Ada pula yang sangat diingkari dan dimarahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena telah menjatuhkan talak tiga sekaligus dan dianggap telah mempermainkan Kitabullah, tetapi tidak diketahui keputusan apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam putuskan untuknya. (Hadits-hadits tentang hal itu akan disebutkan nanti. Hanya saja, hadits-hadits tersebut lemah)
Adapun perkataan Umar radhiallahu ‘anhu “seandainya kami berlakukan talak itu atas mereka”, maka itu menunjukkan bahwa tiga talak sekaligus pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak dianggap jatuh sebagai talak tiga –bagaimanapun penggunaannya– hingga Umar radhiallahu ‘anhu menganggapnya begitu.
3. (Di antara dalil-dalil pendukung pendapat yang mengharamkan) Jalan periwayatan terbaik dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma –tentang kisah Rukanah– perawinya berkata, “Rukanah bin Yazid, saudara Bani Muththalib, mentalak istrinya tiga kali dalam satu majelis. Kemudian dia sangat menyesalinya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu mentalaknya?”Dia menjawab, “Aku mentalaknya tiga kali.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kembali, “Dalam satu majelis?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya itu hanyalah satu talak. Karena itu, rujukilah dia jika kamu mau.” (Dha‘if. Telah dibicarakan saat membahas dalil-dalil pendukung pendapat pertama)
Bantahan: Hadits ini memiliki lafazh yang lain, yaitu bahwa dia mentalak ba’inistrinya lalu berkata, “Aku hanya bermaksud menjatuhkan satu talak.”
Penulis berkata: Hadits ini dha‘if karena mudhtharib dalam semua keadaan sebagaimana telah dijelaskan.
4. Riwayat dari Makhramah bin Bukair dari ayahnya, dia berkata, “Aku mendengar Mahmud bin Labid berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberitahu bahwa ada seorang laki-laki yang mentalak istrinya tiga kali sekaligus. Maka beliau pun berdiri lalu berkata, ‘Apakah dia ingin mempermaikan Kitabullah padahal aku masih ada di tengah-tengah kalian?!’ Hingga seseorang berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya?” (Dha‘if. Hadits Riwayat: an-Nasa’i (VI/142)
Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disangka membolehkan perbuatan orang yang memperolok-olok Kitabullah, membenarkannya dan mempertimbangkannya ke dalam syariat dan hukumnya, serta memberlakukannya, sementara beliau menganggapnya orang yang telah memperolok-olok Kitabullah!? Ini sangat gamblang menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wata’ala tidak mensyariatkan penggabungan tiga talak dan tidak menjadikannya sebagai bagian dari hukum-hukum-Nya.
Bantahan: Hadits tersebut telah dinyatakan memiliki dua ‘illat. Pertama, hadits inimursal karena Mahmud bin Labid menurut sebagian ulama bukan Sahabat. Kedua, Makhramah bin Bukair, kebenaran dia mendengar hadits ini dari ayahnya dipertanyakan.
Penulis berkata: Mengenai apakah Mahmud bin Labib mendengar langsung dari ayahnya, maka lebih dari satu orang ulama telah menyatakan dengan gamblang bahwa riwayatnya dari ayahnya munqathi‘.
5. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Jika dia mengatakan ucapan “engkau tertalak tiga” itu dengan satu kali ucapan, maka jatuh sebagai satu talak.” (Shahih. Lihat al-Irwa’ (VII/121-122)
6. Mengenai keputusan Umar radhiallahu ‘anhu yang memberlakukan tiga talak yang diucapkan dalam satu lafazh (sebagai talak tiga), maka mereka menyikapinya dengan menyatakan bahwa Umar radhiallahu ‘anhu tatkala melihat masyarakat telah banyak melakukan penggabungan talak yang Allah Subhanahu wata’ala haramkan kepada mereka, dan mereka tidak akan berhenti dari itu kecuali dengan ancaman hukuman, maka beliau berpandangan bahwa hukuman untuk mereka adalah memaksa mereka menjalani talak tiga agar mereka tidak lagi melakukannya. Bisa jadi karena menganggap itu sebagai peringatan yang dilakukan saat diperlukan, atau bisa pula karena beliau beranggapan bahwa dahulu dijadikannya tiga talak sebagai satu talak karena diikat dengan suatu syarat yang untuk saat sekarang telah hilang. (Majmu‘ Fatawa Syaikh al-Islam (III/15-16).
“Dan perkataan para Sahabat tersebut dapat diinterpretasikan dengan salah satu dari dua kemungkinan berikut: bisa jadi karena mereka memandang hal tersebut sebagai bagian dari peringatan yang boleh dilakukan saat diperlukan, seperti penambahan hukuman sebanyak 40 cambukan terhadap peminum khamar, atau bisa pula karena perbedaan ijtihad mereka terkadang memandangnya mengikat dan terkadang memandangnya tidak mengikat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa berlakunya tiga talak (yang diucapkan dalam satu lafazh sebagai talak tiga) adalah syariat yang mengikat sebagaimana syariat-syariat lainnya, maka itu adalah pendapat yang tidak dilandasi satu pun dalil yang syar‘i.” (Majmu‘ Fatawa Syaikh al-Islam (III/97-98).
“Tidak boleh seorang pun berkeyakinan bahwa para Sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berijma’ untuk menyelisihi syariat beliau –karena jelas itu termasuk keyakinan para pembangkang–. Tidak boleh pula seorang pun mengklaim adanya syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dimansukh oleh ijma’ seseorang sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana keyakinan salah satu kelompok menyimpang. Sebaliknya, (yang harus diyakini adalah bahwa) semua hal yang telah menjadi ijma’ kaum muslimin pastilah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak akan menyelisihinya. Bahkan, setiap nash yang telah dimansukh oleh ijma’ umat, pastilah umat sudah memiliki nash nasakhnya. Sekarang ini, umat menghafal nash nasakh sebagaimana menghafal nash yang dimansukh, dan menghafal nash nasakh jauh lebih penting bagi mereka.” (Majmu‘ Fatawa Syaikh al-Islam (III/33)
Tarjih:
Setelah pemaparan beberapa argumen setiap pendapat dan bantahannya ini, maka jelaslah bagi setiap peneliti bahwa masalah ini termasuk di antara masalah-masalah ijtihadiah yang menerima perbedaan pendapat. Karena itu, siapapun dari pendukung kedua pendapat tersebut tidak boleh bersikap keras dalam mengingkari kelompok lainnya.
Meskipun yang tampak bagi penulis bahwa secara mutlak dalil yang paling kuat adalah hadits Ibnu Abbas yang lalu, sementara pihak yang berusaha lepas darinya tidak bisa mendatangkan satu pun argumen yang kuat, namun yang rajih menurut penulis adalah pendapat yang menyatakan bahwa tiga talak yang digabung –meskipun dengan pengulangan ucapan “anti thaliq” (engkau tertalak)– hanyalah jatuh sebagai satu talak raj‘i. Hanya saja, penulis menyatakan bahwa itu adalah hukum asal masalah ini. Jika kemudian hakim memandang adanya kemaslahatan dengan menjatuhkan talak seperti ini sebagai talak tiga dalam rangka memberi peringatan dan semisalnya, maka dia punya dasar hukum yang melegakan dalam perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu dan persetujuan para Sahabat. Inilah yang bisa diamalkan terhadap semua dalil yang ada sesuai dengan sumber periwayatannya. Wallahu a‘lam bi ash-shawab.
Footnote:
[1] Ibnu ‘Abidin (III/235), Syarh al-Ma‘ani (III/255), al-Mabsuth (VI/57), Fath al-Qadir (III/329), al-Qawanin al-Fiqhiyyah (halaman 251), Jawahir al-Iklil (I/338), Bidayah al-Mujtahid (halaman 2), al-Umm (V/163), Takmilah al-Majmu‘ (XV/404), Raudhah ath-Thalibin (VIII/77), Mughni al-Muhtaj(III/310), al-Mughni (VII/102-104), al-Inshaf (VIII/454), Kasyf al-Qana‘ (V/240), al-Ifshah (II/148),Majmu‘ al-Fatawa (XXXIII/8-98), Zad al-Ma‘ad (V/241-272), Ighatsah al-Lahfan (I/283-325), Fath al-Bari (IX/275-278), al-Mufashshal (VIII/62-88), Adwa’ al-Bayan (I/221-268), dan Jami‘ Ahkam an-Nisa’(IV/64-72).