Fatwapedia.com – Pengertian Najis ialah kotoran yang bagi setiap Muslim wajib mensucikan diri dari padanya dan mensucikan apa yang dikenainya.
Firman Allah Taala, Artinya: Mengenai pakaianmu, hendaklah kamu bersihkan! (Al-Muddatstsir: 4)
Dan Firman-Nya:
Artinya: Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang taubat, dan mengasihi orang-orang yang bersuci. (Al-Baqarah: 222)
Dan sabda Rasulullah saw Artinya: Bersuci itu sebagian dari keimanan.
Dalam fasal ini ada beberapa pembahasan, kita sebutkan sebagai berikut :
Macam-macam Najis :
1. Bangkai Binatang
Ialah yang mati secara begitu saja artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama.
Termasuk juga dalam ini apa yang dipotong dari binatang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi: Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Apa yang dipotong dari binatang ternak, sedang ia masih hidup, adalah bangkai. (H.R. Abu Daud dan Turmudzi dan diakuinya sebagai hadits hasan. Katanya: Bagi ahli ilmu, ketentuan ini dituruti).
Dikecualikan dari itu:
a. Bangkai ikan dan belalang, maka dia suci, karena hadits Ibnu Umar r.a.
Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw: Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah ialah hati dan limpa. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Syafii, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni, tetapi hadits ini dhaif. Hanya Imam Ahmad mensahkannya sebagai hadits mauquf, sebagai dikatakan oleh Zar’an dan Abu Hatim. Sedang hadits seperti ini hukumnya marfu artinya silsilah sanadnya sampai kepada Nabi, karena ucapan sahabat: dihalalkan bagi kami ini, atau diharamkan bagi kami itu, adalah serupa dengan ucapannya kami diperintah dan kami dilarang.
Dan telah kita sebutkan dulu sabda Nabi saw. mengenai laut yang artinya: Airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya halal buat dimakan.
b. Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci.
Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkannya bernajis.
Berkata Ibnul Mundzir: Tidak saya ketahui adanya pertikaian tentang sucinya apa yang
disebutkan tadi, kecuali apa yang diriwayatkan dari Syafii. Dan yang lebih populer dan madzhabnya ialah najis, hanya dimaafkan bila jatuh dalam benda cair selama benda cair itu tidak berubah karenanya.”
c. Tulang dan bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci, karena asalnya semua ini adalah suci dan tak ada dalil mengatakan najisnya.
Berkata Az-Zuhri mengenai tulang-belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain: Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambilnya sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa apa.“ (Riwayat Bukhari)
Dan diterima dari Ibnu Abbas katanya: Artinya: Majikan dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba ia mati. Kebetulan Rasulullah saw. lewat, maka sabdanva: Kenapa tidak tuan-tuan ambil kulitnya buat disamak, hingga dapat dimanfaatkan? Bukankah itu bangkai?“ ujar mereka. Yang diharamkan ialah memakannya“, ujar Nabi pula. (H.R. Jamaah kecuali Ibnu Majah yang di dalam riwayatnya tersebut Dari Maimunah, sementara dalam riwayat Bukhari dan Nasai tidak disebutkan soal menyamak).
Dan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia membacakan ayat berikut ini:
Artinya: Katakan: Menurut apa yang diwahyukan kepadaku tidak kujumpai makanan yang diharamkan kecuali bangkai.“ (sampai akhir ayat 145 dan surat Al-Anam). Kemudian ulasannya: Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Mengenai kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal (H.R. Ibnul Mundzir dan Ibnu Hatim).
Begitu pula sari susu bangkai dan susunya suci, karena para sahabat sewaktu menaklukkan negeri Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi padahal itu dibuat dari susu, sedang sembelihan mereka itu dipandang sama dengan bangkai.
Sebuah riwayat yang berasal dan Salman al-Farisi r.a. bahwa ia ditanya mengenai sedikit keju, lemak dan bulu, maka jawabnya: Yang halal ialah apa yang dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan yang haram apa yang diharamkan dalam Kitab-Nya, dan apa-apa yang didiamkan-Nya termasuklah barang yang dimaafkan-Nya. Dan sebagai diketahui pertanyaan tersebut adalah mengenai keju orang-orang Majusi, yakni sewaktu Salman menjadi gubernur Umar bin Khaththab di Madain.
2. Darah, baik ia darah yang mengalir atau tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, ataupun darah haid. Tetapi dimaafkan kalau hanya sedikit.
Dari Ibnu Juraij mengenai firman Allah Taala: katanya yang dimaksud dengan darah masfuha itu ialah darah yang mengucur sedang yang terdapat dalam urat-urat itu tidak jadi apa. (Dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir).
Dan sewaktu kepada Abu Mijlaz ditanyakan tentang darah yang terdapat dibekas sembelihan domba. (leher) atau darah yang dijumpai di permukaan periuk, ujarnya: Tidak apa-apa yang dilarang itu hanyalah darah yang tertumpah.“ (Diriwayatkan oleh Abdu Hamid dan Abu Syeikh).
Dan dari Aisyah r.a. katanya: Kami makan daging sedang darah tampak merupakan benang-benang dalam periuk.“ Kata Hasan pula: Kaum Muslimin tetap melakukan shalat dengan luka-luka mereka. (Diriwayatkan oleh Bukhari).
Kemudian ada lagi sebuah riwayat yang sah dan Umar r.a. bahwa Ia sembahyang sedang lukanya masih berdarah. (Disebutkan oleh Hafidh dalam Al-Fath).
Sementara Abu Hurairah r.a. berpendapat tidak apa dibawa shalat kalau hanya setetes atau dua tetes darah.
Adapun darah nyamuk dan yang menetes dari bisul-bisul, maka dimaafkan berdasarkan atsar, atau riwayat dari para sahabat tadi. Dan ditanyakan kepada Abu Mijlaz mengenai bisul yang menimpa badan atau pakaian. Ujarnya: Tidak apa, karena yang disebutkan oleh Allah hanya darah dan tidak disebutnya tentang nanah. Berkata Ibn Taimiyah: Wajib mencuci kain dan nanah beku dan nanah yang bercampur darah.
Ulasnya pula: Tetapi tak ditemukan dalil mengenai najisnya.
Demikianlah, dan yang lebih utama, agar manusia menjaganya sedapat mungkin
3. Daging babi.
Firman Allah Taala Artinya: Katakanlah: Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena itu adalah najis. (Sampai akhir ayat 145 surat Al-Anam).
Maksudnya karena semua itu adalah menjijikkan yang tak disukai oleh selera yang sehat. Maka kata ganti itu kembali pada ketiga jenis tersebut. Mengenai bulu babi, menurut pendapat ulama yang terkuat, dibolehkan untuk diambil benang jahit.
4. 5 dan 6. Muntah, kencing dan kotoran manusia.
Najisnya semua ini disepakati oleh bersama, hanya kalau muntah itu sedikit, maka dimaafkan.
Begitu pun diberi keringanan terhadap kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan, maka cukup buat mensucikannya dengan jalan memercikkanya dengan air, berdasarkan hadits Ummu Qais r.a. yang artinya: Bahwa ia datang kepada Nabi saw. membawa bayinya yang laki-laki yang belum lagi sampai usia buat diberi makan, dan bahwa bayinya itu kencing dalam pangkuan Nabi. Maka Nabi pun meminta air lalu memercikkannya (maksudnya sebagai tersebut pada riwayat-riwayat lain ialah menebarkan air dengan jari-jari sekira tidak sampai cukup banyak buat mengalir) ke atas kainnya, dan tidak mencucinya sekali-kali.“ (Disepakati oleh Ahli-ahli hadits).
Dan dan ”Ali r.a. katanya: Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Kencing bayi laki-laki diperciki air, sedangkan kencing bayi perempuan hendak/ah dicuci. Berkata Qatadah: Ini selama kedua mereka ini belum diberi makan, jika sudah, maka kencing mereka hendaklah dicuci. (H.R. Ahmad dengan lafadh atau susunan kata dan padanya dan Ashabus Sunan kecuali Nasai. Berkata Hafidh dalam Al-Fath: Isnadnya adalah sah).
Kemudian, memerciki itu hanya cukup, selama bayi tiada beroleh makanan selain dari jalan menyusu. Adapun bila ia telah diberi makan, maka tak ada pertikaian tentang wajib mencucinya.
Keringanan dengan cukup diperciki itu mungkin sebabnya karena gemarnya onang-orang buat menggendong bayi hingga sering kena kencing dan masyaqqah atau sulit buat mencucinya, diberi keringanan dengan cara tensebut.
7. Wadi: yaitu air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Ia adalah najis tanpa diperselisihkan.
Berkata ”Aisyah r.a.: Adapun wadi ia adalah setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudhuk dan tidak usah mandi. (Riwayat Ibnul Mundzir)
Dan dari Ibnu Abbas r.a. mengenai mani, wadi dan madzi, katanya: Adapun mani, hendaklah mandi, mengenai madzi dan wadi, pada keduanya berlaku cara bersuci. (Dirwayatkan oleh Atsram dan Baihaqi, sedang pada Baihaqi lafadnya adalah sebagai berikut: Adapun wadi dan madzi, katanya, cucilah kemaluan atau tempat kemaluanmu, dan lakukanlah pekerjaan wudhukmu buat sembahyang.
8. Madzi
Madzu adalah air putih bergetah yang keluar sewaktu mengingat sanggama atau ketika sedang bercanda. Kadang-kadang keluarnya itu tidak terasa. Terdapat pada laki-laki dan perempuan hanya lebih banyak dari golongan perempuan.
Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, hanya bila ia menimpa badan wajib dicuci, dan jika menimpa kain, cukuplah dengan memercikinya dengan air karena ini merupakan najis yang sukar menjaganya sebab sering menimpa pakaian pemuda-pemuda sehat, hingga lebih layak mendapat keringanan dan kencing bayi.
Dari ”Ali r.a katanya: Artinya: Aku adalah seonang laki-laki yang banyak madzi, maka kusuruh seorang kawan menanyakan kepada Nabi saw. mengingat aku adalah suami puterinya. Kawan itu pun menanyakan, maka
jawab Nabi: Berwudhuklah dan cucilah kemaluanmu! (H.R. Bukhari dan lain-lain).
Dan dan Sahl bin Hanif r.a. katanya : Artinya: Aku mendapatkan kesusahan dan kesulitan disebabkan madzi dan sering mandi karenanya. Maka kusampaikan hal itu kepada Rasulullah saw. ujarnya: Cukuplah kamu berwudhuk karena itu.
Lalu kataku pula: Ya Rasulullah, bagaimana yang menimpa kainku? Ujarnya: Cukup bila kau ambil sesauk air, lalu percikkan ke kainmu hingga jelas olehmu mengenainya. (Diriwayatkan oleh Abu Daud, lbnu Majah dan Turmudzi serta katanya: Hadits ini hasan lagi shahih).
Dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Ishak, dan ia adalah dhaif bila meriwayatkan disebabkan mudallas, hanya di sini ia tegas-tegas meriwayatkan hadits.
Juga hadits tersebut diriiwayatkan oleh Al-Astram r.a. dengan lafad: Aku banyak menemukan kesusahan karena madzi, maka aku pun datang mendapatkan Nabi saw. dan mengatakan hal itu kepadanya. Ujarnya: Cukuplah bila kau mengambil sesauk air lalu memercikkan ke atasnya.
9. Mani. Sebagian para ulama berpendapat bahwa ia najis.
Pendapat yang kuat ia adalah suci, tetapi disunatkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Berkata Aisyah r.a.: Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.“ (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan Al-Bazzar).
Dan dari Ibnu Abbas r.a. katanya: Artinya: Nabi saw. ditanya orang mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawabnya: Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan. (Riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Thahawi, sedang hadits menjadi perbantahan
mengenai tentang marfu atau mauqufnya, yakni tentang sampai sanadnya kepada Nabi saw. atau hanya sampai sahabat saja).
10. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya.
Keduanya adalah najis karena hadits Ibnu Masud ra. katanya: Nabi saw. hendak buang air besar, maka disuruhnya aku mengambilkan tiga buah batu. Dapatlah aku dua buah, dan kucari sebuah lagi tapi tidak ketemu. Maka kuambillah tahi kering lalu kuberikan kepadanya. Kedua batu itu diterima oleh Nabi, tetapi tahi tadi dibuangnya, katanya: Ini najis.“ (H.R. Bukhari. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah) yang menambahkan dalam sebuah riwayat: Ini najis, ini adalah tahi keledai. Dan dimaafkan bila hanya sedikit, karena susah menjaganya.
Berkata Walid bin Muslim: Saya tanyakan kepada Auzai: bagaimana tentang kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya seperti bagal, ke/edai dan kuda? Ujarnya: Mereka mendapatkan kesulitan disebabkan itu dalam peperangan, dan tidaklah mereka cuci baik yang mengenai tubuh ataupun kain.
Mengenai kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, di antara ulama yang mengatakannya suci ialah Malik, Ahmad dan segolongan dan ulama madzhab Syafii. Berkata Ibnu Taimiyah: Tak seorang pun di antara sahabat yang mengatakannya najis, bahkan mengatakannya najis itu adalah ucapan yang dibuat-buat yang tak ada dasarnya di kalangan sahabat yang dulu-dulu. Sekian.
Dan Anas r.a. katanya:
Artinya: Orang-onang Ukul dan Urainah datang ke Madinah dan ditimpa sakit perut. Maka Nabi saw. pun menyuruh mereka untuk mencari unta perahan dan supaya meminum kencing dan susunya. (H.R. Ahmad dan kedua Syeikh yakni Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjadi dalil sucinya kencing unta.
Dan binatang-binatang lain yang dimakan dagingnya diqiyaskan kepadanya. Berkata Ibnul Mundzin: Orang-orang yang mengatakan bahwa ini khusus bagi orang tersebut, tidaklah benar, karena keistimewaan itu tak dapat diterima kecuali bila ada alasan.“ Ulasnya lagi: dibiarkannya oleh ahli-ahli ilmu orang-orang itu menjual tahi kambing di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta buat obat-obatan baik di masa dulu maupun sekarang tanpa dapat disangkal, menjadi bukti atas sucinya.
Berkata Syaukani: Yang kuat ialah sucinya kencing dan sisa makanan dan setiap hewan yang dimakan dagingnya, berpegang kepada asal dan ishtish-hab liI baraatil ashliyah artinya mempertahankan hukum lama yakni kebebasan menurut asal. Sedang sifat atau keadaan najis itu adalah suatu hukum syara, yang berpindah dan hukum yang dikehendaki oleh asal dan kebebasan, hingga ucapan orang yang mengakuinya tak dapat diterima kecuali. bila ada dalil yang dapat dipakai alasan untuk memindahkan dan padanya, padahal dan orang-orang yang mengatakannya najis, tidak kita temui alasan tersebut.
11. Binatang jallalah, karena ada larangan terhadap mengendarai jallalah, memakan daging dan meminum susunya.
Dan IbnuAbbas r.a., Katanya:
Artinya: Telah melarang Rasulullah saw. meminum susu jallalah. (Diriwayatkan oleh Yang Berlima kecuali Ibnu Majah, dan oleh Turmudzi di katakan shahih).
Dan pada sebuah riwayat: Nabi melarang mengendarai jallalah.“ (H.R. Abu Daud).
Dan diterima dari Umar bin Syuaib, dan ayah dan seterusnya dan kakeknya r.a;, katanya: Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai piaraan, begitu pun jallalah, baik mengendarai atau memakan dagingnya. (H.R. Ahmad, Nasai dan Abu Daud).
Dan yang dimaksud dengan jallalah binatang-binatang yang memakan kotoran, baik berupa unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lain-lain sampai baunya berubah. Tetapi jika ia dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran itu beberapa waktu dan kembali memakan makanan yang baik, hingga dagingnya jadi baik dan nama jallalah tadi jadi hilang dan dirinya, maka halal, karena illat atau alasan dilarang ialah karena berubah, sedang sekarang sudah tiada perobahan lagi.
12. Khamar yakni arak. Bagi jumhur ulama ia adalah najis karena firman Allah Taala:
Artinya: Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu ada/ah najis, termasuk pekerjaan setan. (Al Maidah: 90).
Sebagian golongan berpendapat bahwa ia suci, sedang kata-kata najis pada ayat tersebut mereka tafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “najis” itu merupakan predikat dan arak serta segala yang dihubungkan dengannya, padahal semua itu sekali-kali tak dapat dikatakan najis biasa.
Berfirman Allah Taala: Hendaklah kamu jauhi najis yang berupa berhala. Ternyata bahwa berhala itu najis maknawi yang bila disentuh tidak menyebabkan kita bernajis.
Juga karena dalam ayat tersebut ada ditafsirkan bahwa ia merupakan pekerjaan setan yang menimbulkan permusuhan dan saling membenci serta jadi penghalang terhadap mengingat Allah dan melakukan shalat.
Dan dalam buku Subulus Salam tertera sebagai berikut: Yang benar bahwa asal pada semua benda yang tersebut itu adahah suci, dan bahwa diharamkannya, tidaklah berarti bahwa ia najis. Contohnya candu, ia adalah haram tetapi tetap suci. Adapun barang najis, maka selamanya berarti haram. Jadi setiap najis haram, tetapi bukan
sebaliknya. Keterangannya ialah menetapkan sesuatu sebagai najis, berarti melarang menyentuhnya dengan cara apa juga. Maka menetapkan sesuatu barang sebagai najis,. berarti menetapkan haramnya.
Lain halnya dengan menetapkan haramnya, misalnya memakai sutera dan emas, padahal keduanya adalah suci berdasarkan syara dan Ijma. Nah, bila ini dapat Anda fahami, maka diharamkannya pelbagai macam tuak berikut arak sebagai di maksudkan oleh dalil-dalil keterangan, tidak benarti bahwa itu najis; untuk itu hendaklah ada dalil atau keterangan lain.
Dan seandainya dalil itu tidak dijumpai, tetaplah ia berada dalam keadaan asal yang telah disepakati bersama yakni suci. Siapa-siapa yang menyangkal, berartilah ia menyangkal dalil itu sendiri.
13. Anjing
Anjing adalah najis dan wajib mencuci apa yang dijilatnya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw.: Mensucikan bejanamu yang dijilat oleh anjing, ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah. (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi).
Mencuci dengan tanah maksudnya ialah mencampurkannya ke dalam air hingga menjadi keruh. Jika ia menjilat ke dalam bejana yang berisi makanan kering, hendaklah dibuang mana yang kena dan sekelilingnya, sedang sisanya tetap dipergunakan karena sucinya tadi.
Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat ia adalah suci, dan tak ada alasan mengatakannya najis.